Perawatan Wajah dan Kecantikan Kulit

Tag Archives: materi

BAB I

STATUS PASIEN

Laporan Kasus Pasien

1.1  Identitas Pasien :

  • Nama               : Tn.P
  • Umur               : 60 tahun
  • Alamat                        : Pakisaji
  • Kelamin           : Laki-laki
  • Pekerjaan         : Petani
  • Status              : Menikah
  • Pendidikan      : SD

1.1.1        ANAMNESA

1. Masuk rumah sakit tanggal             : 14 Juni 2011 jam 22.00

2. Keluhan utama                                : keluar darah dari jalan lahir

3. Keluhan penyerta                            :

Pasien dibawa ke RS dengan keluhan keluar darah sedikit dari jalan lahir berwarna merah  segar dan bergumpal sejak tanggal 10 Juni 2011. Pasien pergi ke bidan 4 hari yang lalu, kata bidan belum ada pembukaan. Pasien juga mengeluh sudah 3 hari ini tidak ada pergerakan janin, sehingga pasien pergi ke bidan dan disarankan USG, hasil USG bayi meninggal. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD Kanjuruhan.

4. Riwayat menstruasi                         :

  • Menarche        = usia 18 tahun
  • HPHT              = lupa, pasien merasa hamil 9 bln

5. Riwayat perkawinan                       : Menikah 1x, lamanya 18 tahun

6. Riwayat persalinan sebelumnya      : Anak 1 = th 1999, persalinan normal, di bidan, hidup

Anak 2 = th 2008, keguguran

7. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi         : pil KB, lama 3 tahun

8. Riwayat penyakit sistemik yang pernah dialami     : HT (+), DM (-), Asma (-), Alergi (-), kejang (-), peny. Jantung (-)

9. Riwayat penyakit keluarga             : HT (+), DM (+), Asma (-), Alergi (-), kejang (-), peny. Jantung (-)

10. Riwayat kebiasaan                        : pijit  oyok (+), jamu (+), kopi (-)

11. Riwayat pengobatan                     : –

1.1.2        PEMERIKSAAN FISIK

  1. a.      Status present

Keadaan umum           : cukup

Tekanan darah             : 150/100 mmHg, nadi : 88 x/mnt, suhu : 36,5˚C

RR                               : 20 x/mnt

  1. b.      Pemeriksaan umum

Kulit                            : cianosis (-), ikterik (-), turgor menurun (-)

Kepala                         :

Mata                : anemi -/-, ikterik -/-, edema palpebra -/-

Wajah              : simetris

Mulut              : stomatitis (-), hiperemi pharing (-), pembesaran tonsil (-)

Leher                           : pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tonsil (-)

Thorax                         :

Paru                 : Inspeksi : pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan normal, retraksi costae -/-

Palpasi : teraba massa abnormal -/-, pembesaran kel. Axilla -/-

Perkusi : sonor +/+, hipersonor -/-, pekak -/-

Auskultasi : vesikuler +/+, suara nafas menurun -/-, Wh -/-, Rh -/-

Jantung            : inspeksi : iktus cordis tak teraba

Palpasi : thrill -/-

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : denyut jantung regular

Abdomen                    : inspeksi : flat -, distensi -, gambaran pembuluh darah collateral –

Palpasi pembesaran uterus +, TFU 2 jari dibwh px

Perkusi : –

Auskultasi : bising usus + normal

Ekstremitas                 : edema -/-

  1. c.       Status obstetri

Leopold 1 : TFU 2 jari di bawah px, 32 cm

Leopold 2 : punggung kanan

Leopold 3 : bagian terendah kepala

Leopold 4 : kepala sdh masuk PAP

DJJ : (-)

Pemeriksaan dalam

Pembukaan porsio       : (+) 1cm

v/v                               : cairan ketuban mekoneal, eff 25% , KK (-), H1

1.2 RINGKASAN

Anamnesa      : Pasien dibawa ke RS dengan keluhan keluar darah sedikit dari jalan lahir berwarna merah  segar dan bergumpal sejak tanggal 10 Juni 2011. Pasien pergi ke bidan 4 hari yang lalu, kata bidan belum ada pembukaan. Pasien juga mengeluh sudah 3 hari ini tidak ada pergerakan janin, sehingga pasien pergi ke bidan dan disarankan USG, hasil USG bayi meninggal. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD.

Pemeriksaan fisik      : Tensi: 150/100 mmHg, nadi : 88 x/mnt, suhu : 36,5˚C, RR: 20 x/mnt

Abdomen : Palpasi pembesaran uterus +, TFU 2 jari dibwh px

Pemeriksaan obstetric luar   : TFU 2 jari dibwh px/32 cm, punggung kanan, bagian terendah kepala, kepala sdh masuk PAP

Pemeriksaan obstetric dalam : v/v:cairan ketuban mekoneal, eff 25% , KK (-), H1, Pembukaan porsio    : (+) 1cm.

Hb tanggal 15 Juni 2011: 9 gr/dL

Kondisi pasien: Tanggal 15-6-2011 jam 14.55 partus spontan

Tensi: 150/100

Nadi : 80

TFU 2 jari dibwh pusat

Jam 15.30

Tensi: 150/90

Nadi : 100

perdarahan ± 500 cc

kontraksi uterus lembek

Jam 16.30

Tensi: 120/90

Nadi : 120

perdarahan ± 600 cc

kontraksi uterus lembek

anemis (+)

Jam 17.30

Tensi: 70/50

Nadi : 130

kontraksi uterus lembek

anemis (+)

Lapor: laparotomi cito

Jam 18.25 pasien operasi

Jam 20.30 selesai operasi, pasien dirawat di ICU

STATUS ANASTESI

KETERANGAN UMUM

Nama penderita           : Ny. S                         Umur   : 39 thn, JK : P , Tgl : 15 Juni 2011

Ahli bedah                  : dr. Irwan BP, Sp.OG                        Ahli anastesi    : dr.Wisnu.W, Sp.An

Ass. Bedah                  : –                                             Prwt. Anastesi :

Diagnose Pra bedah    : HPP et causa atoni uteri        Jenis pembedahan:

Diagnose pasca bedah : Ruptur Uteri Inkomplit         Jenis anastesi   : GA

KEADAAN PRABEDAH

Keadaan umum           : gizi kurang/cukup/gemuk/anemis/sianosis/sesak

Tekanan darah :90/50 nadi: 150x/mnt  Pernapasan : 24x/mnt, Suhu  : -°C, Berat badan :± 80 kg, Golongan darah :………….

Hb       : 9 gr%, Lekosit           :6500   /uL  PVC         :………%     Lain-lain:………………

Penyakit-penyakit lain: ……………………………STATUS FISIK  ASA: 1234 Elektif darurat

PREMEDIKASI : S. Atropin……mg Valium……………mg Petidin…………mg DBP…….mg

Lain-lain……………Jam :………………IMIV Lain-lain Efek: …………

POSISI : Supine/prone/lateral/lithotomic/lain-lain AIRWAY : masker muka/endotraheal/traheostomi/ lain-lain

TEKNIK ANASTESI            : Semi closed/closed/spinal/Epidural/Blok Saraf/Lokal/lain-lain

PERNAPASAN         : SPONTAN/ASSISTED/KONTROL

OBAT ANASTESI

  1. Metoklopramid 10 mg
  2. Ketamin 100 mg
  3. Notrixum 30 mg
  4. Efedrin 10 mg
  5. Morfin 3 mg
  6. Ketorolac 30 mg

O2: 3 l/mnt

N2O : 3 l/mnt

Cairan pre op: NaCl 500

DO : RL 1000

DIAGNOSIS

Syok Hipovolemik Pada Perdarahan Post Partum et causa Ruptur Uteri

RENCANA TINDAKAN

  • Infus 2 line
  • Transfusi WB 4 labu
  • Antibiotic
  • Histerektomi

—  Terapi 15-6-2011 di ICU

ceftazidime 2×1                      RL 2000

antrain 3×1                              D5 500

kalnex 2×1                               WB

furosemid                                NS

—  Terapi 16-6-2011 di ICU

ketorolac 3×30 mg

RL 1000 (dlm 24 jam)

D5 1000 (dlm 24 jam)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LATAR BELAKANG

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.

Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari makalah ini adalah syok hipovolemik akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya.

Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun 1900-an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi syok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda resusitasi cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan. Kristaloid dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan pasien yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip yang lain membantu pada perkembangan pedoman yang ada untuk penanganan syok hemoragik traumatik.
2.2 PATOFISIOLOGI

Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.

Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.

Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.

Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dan hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.

Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.

Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.
2.3 MANIFESTASI KLINIS

Riwayat Penyakit

  • Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan langsung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental.
  • Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien.
  • Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor)
  • Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri
  • Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.
  • Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah.
  • Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau nyeri panggul.
  • Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting. Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan. Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esophagus.
  • Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok.
Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat.

Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.

Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.

  • Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
    • Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
    • Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan.
    • Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar 10%
    • Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
      • Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan.
      • Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.
    • Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
      • Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.
      • Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
      • Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
    • Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
      • Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
      • Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis).

Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha, dan bagian luar tubuh.

  • Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang melemah, karena perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru.
  • Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang menunjukkan cedera intraabdominal.
  • Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-tanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha).
  • Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan luar.

Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen. Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit. Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.

Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril. Meskipun, pada perdarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai “double set-up” di ruang operasi. Periksa abdomen, uterus,atau adneksa.
2.4 PENYEBAB

Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh darah, gastrointestinal, atau berhubungan dengan kehamilan. Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma benda tumpul. Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur, dan laserasi pada tengkorak.

Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan darah antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena. Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok hemoragik antara lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, Mallory-Weiss tears, dan fistula aortointestinal. Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik terganggu, plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik umum terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.

2.5 DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Solusio plasenta

Kehamilan ektopik

Aneurisma abdominal

Perdarahan post partum

Aneurisma thoracis

Trauma pada kehamilan

Fraktur femur

Syok hemoragik

Fraktur pelvis

Syok hipovolemik

Gastritis dan ulkus peptikum

Toksik
Plasenta previa
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri.

Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.
Pemeriksaan Radiologi

Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi. . Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan.

Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.

Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur. Jika pasien hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis harus segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.

Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada. Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil. Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi.
2.7 PENATALAKSANAAN

Penanganan Sebelum di Rumah Sakit

Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah yang lebih lanjut.

Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma. Vertebra servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin, dan dipindahkan ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan neurovaskuler dan kehilangan darah.

Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.

Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.

Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.

Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.

Pada tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi perdebatan tentang penggunaan Military Antishock Trousers (MAST). MAST diperkenalkan tahun1960-an dan berdasarkan banyak kesuksesan yang dilaporkan, hal ini menjadi standar terapi pada penanganan syok hipovolemik sebelum ke rumah sakit pada akhir tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an, “American College of Surgeon Commite on Trauma” memasukkan penggunaannya sebagai standar penanganan pasien trauma dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Sejak saat itu, penelitian telah gagal untuk menunjukkan perbaikan hasil dengan penggunaan MAST. “American College of Surgeon Commite on Trauma” tidak lama merekomendasikan penggunaan MAST.
Bidang Kegawatdaruratan 

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain:

1)          memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah,

2)          mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan

3)          resusitasi cairan.

1)          Memaksimalkan penghantaran oksigen

Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.

Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman.

Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.

Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.

Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).

Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.

Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.

Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.

2)          Kontrol perdarahan lanjut

Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.

Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan

Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan. Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim.

Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.

Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.

Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan pasien. Pada pasien yang berusaia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.

Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru).

Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.

Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.

Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut.

3)          Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah kepada keadaan normal sebelum control perdarahan.

Selama perang dunia I, Cannon mengamati dan menandai pasien yang mengalami syok. Dia kemudian mengajukan suatu model hipotensi yang dapat terjadi pada perlukaan tubuh, dengan minimalisasi intensif perdarahan selanjutnya. Penemuan dari penelitian awal menunjukkan bahwa binatang yang mengalami perdarahan telah meningkat angka kelangsungan hidupnya jika binatang ini memperoleh resusitasi cairan. Namun, pada penelitian ini perdarahan dikontol dengan ligasi setelah binatang tersebut mengalami perdarahan.

Selama perang Vietnam dan Korea, resusitasi cairan yang agresif dan akses yang cepat telah dilakukan. Tercatat bahwa pasien yang segera mendapatkan penanganan resusitasi yang agresif memperlihatkan hasil yang lebih baik, dan pada tahun 1970-an, prinsip ini diterapkan secara luas pada masyarakat sipil.

Sejak saat itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah prinsip ini valid pada pasien dengan perdarahan yang tidak terkontrol. Sebagian besar dari penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan angka kelangsungan hidup pada hipotensi yang berat dan kasus yang terlambat ditangani. Teori ini mengatakan bahwa peningkatan tekanan menyebabkan perdarahan lebih banyak dan merusak bekuan darah yang baru terbentuk, di lain pihak hipotensi berat dapat meningkatkan risiko perfusi otak.

Pertanyaan yang belum terjawab dengan sempurna adalah sebagai berikut: mekanisme dan pola cedera yang mana yang disetujui untuk pengisian volume darah sirkulasi? Apakah tekanan darah yang adekuat, tetapi tidak berlebihan?

Meskipun beberapa data menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 80-90 mmHg mungkin adekuat pada trauma tembus pada badan tanpa adanya cedera kepala, dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.
2.8 PENGOBATAN

Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi
Obat Anti Sekretorik

Obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat mengurangi aliran darah ke sistem porta.
Somatostatin (Zecnil)

Secara alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit.

  • Dosis

Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika berhasil

Anak-anak Tidak dianjurkan

  • Interaksi

Epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat ini.

  • Kontraindikasi

Hipersensitifitas
Kehamilan: Risiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada risiko terhadap janin.

  • Perhatian

Dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih; mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan defek konduksi jantung.

Ocreotide (Sandostatin)

Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama. Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau pankreas.

  • Dosis

Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg; penanganan hingga 5 hari.

Anak-anak
1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W.

  • Kontraindikasi

Hipersensitivitas
Kehamilan : Risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada beberapa penelitian pada binatang.

  • Perhatian

Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pasien Ny. S, usia 39 th, Pasien dibawa ke RS dengan keluhan keluar darah sedikit dari jalan lahir berwarna merah  segar dan bergumpal sejak tanggal 10 Juni 2011. Pasien pergi ke bidan 4 hari yang lalu, kata bidan belum ada pembukaan. Pasien juga mengeluh sudah 3 hari ini tidak ada pergerakan janin, sehingga pasien pergi ke bidan dan disarankan USG, hasil USG bayi meninggal. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD.Pemeriksaan fisik: Tensi: 150/100 mmHg, nadi : 88 x/mnt, suhu : 36,5˚C, RR: 20 x/mnt, Abdomen : Palpasi pembesaran uterus +, TFU 2 jari dibwh px. Pemeriksaan obstetric luar: TFU 2 jari dibwh px/32 cm, punggung kanan, bagian terendah kepala, kepala sdh masuk PAP. Pemeriksaan obstetric dalam : v/v:cairan ketuban mekoneal, eff 25% , KK (-), H1, Pembukaan porsio : (+) 1cm.

Hasil lab. Tgl 15 Juni 2011: Hb 9 gr/dL, Status Anestesi: Tekanan darah :90/50 nadi: 150x/mnt  Pernapasan : 24x/mnt, Berat badan :± 80 kg. Status Fisik : ASA III, diagnosis : Syok Hipovolemik Pada Perdarahan Post Partum et causa Ruptur Uteri, penatalaksaan : Infus 2 line, Transfusi WB 4 labu, Antibiotic, Histerektomi.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Ettinger, S. J. dan E. C. Feldman.  2005.  Textbook of Veterinary Internal Medicine. Vol. 1.  6th Ed.  St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.
  2. Fuentes, V. L.  2007.  Cardiovascular emergencies.  In  Proceedings of the SCIVAC Congress. Rimini, Italy.
  3. Kahn, C. M. dan S. Line.  2008.  The Merck Veterinary Manual (E-book). 9th Ed.Whitehouse Station, N.J., USA: Merck and Co., Inc.
  4. Kirby, R.  2007.  Shock and shock resuscitation. In Proceedings of the Societa Culturale Italiana Veterinari Per Animali Da Compagnia Congress. Rimini, Italy.
  5. Lorenz, M. D., L. M. Cornelius, dan D. C. Ferguson.  1997.  Small Animal Medical Therapeutics.  Philadelphia: Lippincott Raven Publisher.
  6. Lorenz, M. D. dan L. M. Cornelius.  2006.  Small Animal Medical Diagnosis. 2nd Ed.  Iowa, USA: Blackwell Publishing.
  7. Sibuea, W. H., M. M. Panggabean, dan S. P. Gultom.  2005.  Ilmu Penyakit Dalam.  Cetakan Kedua.  Jakarta: Rineka Cipta.