Perawatan Wajah dan Kecantikan Kulit

Tag Archives: kelainan

BAB I

PENDAHULUAN

I.1     LATAR BELAKANG

Persalinan preterm adalah persalinan pada kehamilan antara 20 – 37 minggu. Meskipun angka kejadian 10 – 15% kehamilan namun kontribusinya terhadap morbiditas dan mortalitas neonatal adalah sekitar 50 – 70%. 75% kematian neonatus pada persalinan preterm disebabkan oleh karena kelainan kongenital.

Untuk menurunkan dampak medis dan ekonomis dari persalinan preterm, tujuan utama dari perawatan obstetri tidak hanya menurunkan angka kejadian persalinan preterm namun juga untuk meningkatkan usia kehamilan dimana persalinan preterm tidak dapat dihindari.

I.2        RUMUSAN MASALAH

–        Bagaimana definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan partus prematurus?

–        Bagaimana definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan partus prematurus?

I.3        TUJUAN

–        Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan partus prematurus.

–        Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan partus prematurus.

I.4        MANFAAT

–    Menambah wawasan mengenai penyakit di bidang kebidanan khususnya partus prematurus.

–    Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu kebidanan dan kandungan.

 

BAB II

STATUS PASIEN

 

II.1      IDENTITAS PASIEN

No Reg : 259572

Nama penderita           : Ny. SA          Nama suami                : Tn. AS

Umur penderita           : 20 tahun        Umur suami                 :25tahun

Alamat                         : jln bromo 09/05 sukun kepanjen

Pekerjaan penderita     : IRT            Pekerjaan suami: pekerja bengkel

Pendidikan penderita : SMA tamat   Pendidikan suami :STM tamat

II.2      ANAMNESA

  1. Masuk rumah sakit tanggal : 12 juli 2011 pukul 10.20 WIB
  2. Datang sendiri/dikirim oleh dukun/bidan/dokter/dokter ahli : dating sendiri
  3. Keluhan utama : perut terasa kenceng-kenceng
  4. Riwayat penyakit sekarang :

Tanggal 11 juli 2011 (22.00 WIB) pasien mengeluh perut terasa kenceng-kenceng sering tanpa disertai keluar cairan lewat jalan lahir. Kemudian tanggal 12 juli 2011 (07.00 WIB) pasien mengeluh mengeluarkan darah lendir lewat jalan lahirnya. Sehingga pasien periksa ke RSUD Kanjuruhan, pukul 10.20 WIB pasien tiba di kaber.

  1. Riwayat kehamilan yang sekarang : hamil ini (anak pertama), ANC 2 kali ke bidan, pijat oyok 1 kali.
  2. Riwayat menstruasi : menarche 14 tahun, , HPHT : 7 januari 2011, HPL : 14 oktober 2011, UK : 28-30 minggu.
  3. Riwayat perkawinan : 1 kali, lama 1 tahun, umur pertama kawin 20 tahun.
  4. Riwayat persalinan sebelumnya : (-)
  5. Riwayat penggunaan kontrasepsi            : tidak ditemukan.
  6. Riwayat penyakit dahulu                         : tidak ditemukan
  7. Riwayat penyakit keluarga                      : tidak ditemukan
  8. Riwayat kebiasaan dan sosial                  : alcohol (-), Jamu (-), Kopi (-)

II.3      PEMERIKSAAN FISIK

  1. Status present
  • Keadaan umum : cukup, Kesadaran compos mentis
  • Tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 98x/menit, suhu: 36,6⁰C, RR: 20x/menit.
  1. Pemeriksaan umum
  • Kulit : gatal (-) luka (-), warna : sawo matang.
  • Kepala :

Mata             : conjungtiva anemi -/-, sclera ikterik -/-, odem palpebra -/-

Wajah           : simetris

Mulut           : kebersihan gigi geligi cukup, stomatitis (-),

hiperemi pharyng (-), pembesaran tonsil(-)

  • Leher : pembesaran kelenjar limfe di leher (-), pembesaran kelenjar tyroid (-)
  • Thorax

Paru :

Inspeksi : Pergerakan pernafasan simetris, tipe pernapasan normal.

Retraksi costa -/-

Palpasi : teraba massa abnormal -/-, pembesaran kelenjar axilla -/-

Perkusi : sonor +/+, hipersonor -/-, pekak -/-

Auskultasi : vesikuler +/+, suara nafas menurun -/-, wheezing -/-, ronchi -/-

Jantung :

Inspeksi : iktus cordis tidak tampak

Palpasi  : thrill –

Perkusi  : batas jantung normal

Auskultasi : denyut jantung regular, S1/S2

  • Abdomen

Inspeksi :  flat (-), distensi (-), gambaran pembuluh darah collateral (-).

Palpasi  : pembesaran organ (-), nyeri tekan (-), teraba massa abnormal (-)    Tinggi fundus uteri 3 jari dibawah prosesus xipoideus

Perkusi  : tympani (+)

Auskultasi : suara bising usus normal, metalic sound (-)

  • Ekstremitas: odema -/-

  1. Status obstetri :

Pemeriksaan luar  :

Leopold I           : diatas bulat, besar, lunak, kurang lenting, TFU : ½ pusat-prosesus xiphoideus  (25 cm), kesan bagian teratas janin : bokong.

Leopold II          : tahanan memanjang di sebelah kiri, bagian kanan teraba bagian kecil janin, punggung janin : punggung kiri, tunggal

Leopold III        : di bagian bawah teraba bulat, besar, keras, melenting, bagian terendah   janin : kepala sudah masuk PAP

Leopold IV        : kepala Hodge I

Bunyi jantung janin: 152x/menit, regular, tunggal

Pemeriksaan Dalam

Dilakukan oleh                 : bidan

Pengeluaran pervaginam  :

Vulva / vagina             : blood slym(+)

Pembukaan                  : 6-7 cm

Penipisan portio           : 50%

Kulit Ketuban                         : (+)

Bagian terdahulu         : belum teraba

Bagian tersamping terdahulu  : belum teraba

Bagian terendah          : belum teraba

Hodge                         : I

Molase                         : –

II.4      Ringkasan      :

Anamnesa        :

Tanggal 11 juli 2011 (22.00 WIB) pasien mengeluh perut terasa kenceng-kenceng sering. Kemudian tanggal 12 juli 2011 (07.00 WIB) pasien mengeluh mengeluarkan darah lendir lewat jalan lahirnya. Sehingga pasien periksa ke RSUD Kanjuruhan, pukul 10.20 WIB pasien tiba di kaber. Pasien hamil anak ke I, UK : 28-30 minggu, ANC 2 kali ke bidan, pijat oyok 1 kali.

Pemeriksaan fisik        :

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, kesadaran compos mentis, Tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 98x/menit, suhu: 36,6⁰C, RR: 20x/menit.

Pemeriksaan luar         :

Leopold I           : diatas bulat, besar, lunak, kurang lenting, TFU : ½ pusat-prosesus xiphoideus  (25 cm), kesan bagian teratas janin : bokong.

Leopold II          : tahanan memanjang di sebelah kiri, bagian kanan teraba bagian kecil janin, punggung janin : punggung kiri, tunggal

Leopold III        : di bagian bawah teraba bulat, besar, keras, melenting, bagian terendah   janin : kepala sudah masuk PAP

Leopold IV        : kepala Hodge I

Bunyi jantung janin: 152x/menit, regular, tunggal

Pemeriksaan Dalam

Pengeluaran pervaginam         :

V/V: blood slym(+), portio Æ 6-7 cm, Penipisan portio: 50%, kulit ketuban (+), Bagian terdahulu belum teraba, Bagian tersamping terdahulu: belum teraba, Bagian terendah: belum teraba, Hodge : I.

Diagnosa: GIP0000Ab000, hamil 28-30 minggu letak kepala inpartu.

Rencana tindakan        :

–          Observasi inpartu à partus spontan

–          Antibiotic 3×1

–          Dexamethasone injeksi 2x2ampul

–          Infus RL (20 tpm).

Lembar Follow Up

Nama pasien                : Ny. SA

Ruang kelas                 : IRNA Brawijaya

Diagnosa                     : P0101Ab000, post partum prematur

13Juli 2011

S = nyeri bekas jahitan (+), perdarahan pervaginam (+), panas (-)

O = Cukup

T = 120/80 mmHg                   N = 86x/menit

S = 36,8⁰C                              RR = 18x/menit

Palpasi      : setinggi umbilicus

A =      post partum hari I

P0101Ab000, post partum prematur

P =       1. Infus RL (20 tpm)

2. observasi perdarahan pervaginam

14 juli 2011

S = nyeri bekas jahitan (+), perdarahan pervaginam (+), panas (-)

O = Cukup

T = 120/80 mmHg                   N = 86x/menit

S = 36,8⁰C                              RR = 18x/menit

Palpasi      : setinggi umbilicus

A =      post partum hari II

P0101Ab000, post partum prematur

P =       1. Infus RL (20 tpm)

2. observasi perdarahan pervaginam

3. berlatih untuk aktivitas

15 juli 2011

S = nyeri bekas jahitan (+), perdarahan pervaginam (+), panas (-)

O = Cukup

T = 120/80 mmHg                   N = 86x/menit

S = 36,8⁰C                              RR = 18x/menit

Palpasi      : setinggi umbilicus

A =      post partum hari III

P0101Ab000, post partum prematur

P =       1. observasi perdarahan pervaginam

2. berlatih untuk aktivitas

3. BLPL

 

LAPORAN KELUAR RUMAH SAKIT

KRS tanggal                           : 15 juli 2011

Keadaan ibu waktu pulang     : Keadaan umum : cukup

T: 120/80 mmHgs       N = 86x/menit

S = 36,8⁰C                RR = 18x/menit

PPV (+)

Payudara                                 : ASI (+)

Fundus uteri                            : TFU setinggi pusat

Kontraksi uterus                      : –

Perineum                                 : –

Lochea                                                : (+)

Lain-lain                                  : (-)

Diagnosa saat pulang              : P0101Ab000, post partum prematur

Pengobatan                             : Motivasi Bedrest, kontrol 1 minggu.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. DEFINISI

Partus prematurus adalah suatu partus dari hasil konsepsi yang dapat hidup tetapi belum aterm (cukup bulan). Berat janin antara 1000 sampai 2500 gram atau tua kehamilan antara 28 minggu sampai 36 minggu.

III.2 FAKTOR RESIKO

Sejumlah kelainan obstetrik, medis dan anatomis berkaitan dengan kejadian persalinan preterm seperti terlihat pada tabel dibawah :

III.3 ETIOLOGI

  1. komplikasi medis dan obstetrik

28% persalinan preterm kehamilan tunggal disebabkan oleh beberapa hal :

  • 50% akibat pre eklampsia
  • 25% akibat gawat janin
  • 25% akibat IUGR (intra uterin growth retardation), solusio plasenta atau kematian janin

72% persalinan preterm kehamilan tunggal sisanya adalah persalinan spontan preterm dengan atau tanpa disertai KPD (ketuban pecah dini).

  1. abortus iminen

Perdarahan pervaginam pada awal kehamilan seringkali berkait dengan meningkatnya perubahan pada outcome kehamilan.

Weiss dkk (2002) : melaporkan adanya kaitan antara perdarahan pervaginam pada kehamilan 6 – 13 minggu dengan kejadian meningkatnya persalinan sebelum kehamilan 24 minggu, persalinan preterm dan solusio plasenta.

  1. gaya hidup

Merokok, kenaikan BB selama kehamilan yang tidak memadai serta penggunaan obat-obatan tertentu memiliki peranan penting dalam angka kejadian dan outcome BBLR.

Casaenuva 2005 : menyimpulkan bahwa faktor maternal lain yang berkaitan dengan persalinan preterm adalah :

    1. Kehamilan remaja atau kehamilan pada usia “tua”
    2. Tubuh dengan posture pendek
    3. Sosial ekonomi kurang
    4. Defisiensi vit C
    5. Faktor pekerjaan (berjalan jauh, berdiri lama, pekerjaan berat, jam kerja yang terlalu lama).

  1. faktor genetik

Perkiraan bahwa terdapat hubungan antara faktor genetik dengan persalinan preterm adalah berdasarkan pada sifat persalinan preterm yang seringkali berulang, menurun dalam keluarga dan banyak dijumpai pada ras tertentu.

  1. chorioamnionitis

Infeksi selaput ketuban dan cairan amnion yang disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme dapat menjelaskan peristiwa KPD (ketuban pecah dini) dan atau persalinan preterm.

Jalan masuk mikroorganisme kedalam cairan amnion pada kondisi selaput ketuban yang masih utuh tidak jelas.

Endotoksin sebagai produk dari bakteri dapat merangsang monosit desidua untuk menghasilkan cytokine yang selanjutnya dapat merangsang asam arachidonat dan produksi prostaglandine.

Prostaglandine E2 dan F bekerja dengan modus parakrin untuk merangsang terjadinya kontraksi miometrium.

III.4 IDENTIFIKASI PASIEN YANG MEMILIKI RESIKO TINGGI TERJADINYA PERSALINAN PRETERM

  • sistem skoring

Berdasarkan penelitian, sistem skoring tidak memberikan manfaat dalam identifikasi pasien resiko tinggi mengalami persalinan preterm.

  • riwayat persalinan preterm

Tabel berikut ini memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara riwayat persalinan preterm dengan kejadian persalinan preterm berikutnya.

Meskipun pasien hamil dengan riwayat persalinan preterm jelas memiliki resiko tinggi mengalami persalinan preterm ulangan, namun peristiwa ini hanya 10% dari keseluruhan persalinan preterm. Dengan kata lain, 90% kejadian persalinan preterm tak dapat diramalkan berdasarkan riwayat persalinan preterm saja.

  • inkompetensia servik

Berdasarkan naskah dari American College of Obstetrician and Gynecologist ( 2001) disebutkan bahwa Inkompetensia servik adalah peristiwa klinis berulang yang ditandai dengan dilatasi servik yang berulang, persalinan spontan pada trimester II yang tidak didahului dengan KPD, perdarahan atau infeksi.

  • dilatasi servik

Dilatasi servik asimptomatik pada kehamilan setelah trimester II adalah faktor resiko terjadinya persalinan preterm, ahli lain berpendapat bahwa hal tersebut adalah variasi normal terutama pada pasien multipara.

Pemeriksaan servik pada kunjungan prenatal untuk memperkirakan adanya persalinan preterm adalah hal yang tak perlu dan berbahaya.

  • panjang servik

Pemeriksaan ultrasonografi transvaginal (TVS) dapat dilakukan untuk mengukur panjang serviks. Panjang servik pada kehamilan 24 minggu = 3.5 cm

Owen dkk (2001) : Terdapat hubungan antara panjang servik pada kehamilan 16 – 24 minggu dengan kejadian persalinan preterm pada kehamilan < 35 minggu

Owen dkk ( 2003) : Nilai panjang servik untuk meramalkan terjadinya persalinan preterm sebelum kehamilan 35 minggu hanya sesuai untuk kehamilan dengan resiko tinggi persalinan preterm.

Iams (2003) pemeriksaan ultrasonografi secara rutin pada kasus kehamilan resiko rendah tidak perlu dikerjakan.

  • fetal fibronectin

Adalah glikoprotein yang dihasilkan dalam 20 bentuk molekul dari berbagai jenis sel antara lain hepatosit, fibroblas , sel endothel serta amnion janin.

Kadar yang tinggi dalam darah maternal serta dalam cairan amnion diperkirakan berperan dalam adhesi interseluler selama implantasi dan dalam mempertahankan adhesi plasenta pada desidua.

Deteksi fibronectin dalam cairan servikovaginal sebelum adanya ketuban pecah adalah “marker” adanya partus prematurus iminen.

Nilai >; 50 ng/mL adalah positif (pemeriksaan dengan metode ELISA dan harus menghindari kontaminasi dengan darah dan cairan ketuban)

Goldenberg dkk (2000) : pemeriksaan fibronectin bahkan pada kehamilan 8 – 22 minggu merupakan prediktor kuat untuk terjadinya persalinan preterm.

Lowe dkk (2004) pemeriksaan fibronectin pada kasus partus prematurus iminen dapat menurunkan lama waktu tinggal di RS.

Intervensi pada pasien dengan Fibronectin positif

Pemeriksaan fibronectin yang positif sering disebabkan oleh adanya infeksi.

Andrews dkk (2003) melihat efektivitas pemberian antimikroba pada kasus dengan fibronectine positif pada kehamilan 21 – 26 minggu untuk mencegah terjadinya persalinan preterm.

  • vaginosis bakterial

Vaginosis bakterial sebenarnya bukan keadaan infeksi namun adalah satu keadaan dimana flora vagina normal ( laktobasilus penghasil hidrogen peroksida) diganti oleh kuman-kuman anerobik (Gardnerella vaginalis, spesies Mobiluncus dan Mycoplasmahominis).

Vaginosis bakterial sering dikaitkan dengan abortus spontan, persalinan preterm, KPD, chorioamnionitis dan infeksi cairan amnion. Vaginosis bakterial menyebabkan terjadinya persalinan preterm melalui mekanisme yang sama dengan yang terjadi akibat infeksi dalam cairan amnion.

Dari penelitian yang ada, tak ada keraguan bahwa perubahan flora vagina yang normal seperti vaginosis bakterial memiliki kaitan erat dengan persalinan preterm spontan. Namun demikian, sampai saat ini skrining maupun terapi dari kondisi tersebut terbukti tidak dapat mencegah terjadinya persalinan preterm.

  • infeksi traktus genitalis bagian bawah

Infeksi chlamydia trachomatis nampaknya tidak berperan dalam proses persalinan preterm.

Goepfert dkk (2002) : angka kejadian pada pasien dengan atau tampa infeksi chlaydia atau trichomonas adalah sama.

Ramsey dkk ( 2003) : hapusan vagina dengan pengecatan gram pada trimester kedua yang menghasilkan peningkatan rasio polimorfonuclear dengan sel epitel adalah prediktif untuk terjadinya persalinan preterm sebelum minggu ke 35.

Knudtson dkk (2003) : wanita tidak hamil yang menderita endometritis kronis diluar kehamilan yang ditandai dengan sel plasma, resiko terjadinya persalinan preterm meningkat 2.5 kali lipat.

  • penyakit periodontal

Pasien hamil yang menderita periodontitis memiliki resiko mengalami persalinan preterm 7.5 kali lipat. Goepfert dkk (2003) : Persalinan preterm sebelum usia kehamilan 32 minggu seringkali disertai dengan periodontitis berat.

III.5 PERANAN PROGESTERON DALAM MEMPERTAHANKAN KEHAMILAN

Pada hewan percobaan, pemberian medroxyprogesteron dapat mencegah terjadinya persalinan dan memiliki aktivitas anti-inflamasi in vivo.

Dalam kaitan ini, terjadi penekananan pada aktivasi jalur cytokine TH1 dan TH2 uterus dan servik. Cytokine ini berperan dalam mempertahankan kehamilan dan mengawali proses persalinan.

Progestin yang paling sering digunakan adalah 17α – hydroxyprogesteron caproate. Pemberian tiap minggu secara intramuskuler pada pasien resiko tinggi dapat menurunkan kejadian persalinan preterm.

Da Fonseca dkk (2003) : menunjukkan efektivitas pemberian suppositoria vagina 100 mg progesteron natural dalam mencegah terjadinya persalinan preterm

 

III.6 GEJALA dan TANDA

Partus prematurus iminen ditandai dengan :

  1. Kontraksi uterus dengan atau tanpa rasa sakit
  2. Rasa berat dipanggul
  3. Kejang uterus yang mirip dengan dismenorea
  4. Keluarnya cairan pervaginam
  5. Nyeri punggung

Gejala diatas sangat mirip dengan kondisi normal yang sering lolos dari kewaspadaan tenaga medis.

III.7 DIAGNOSIS PERSALINAN PRETERM :

American College of Obstetricans and Gynecologist 1997 menyampaikan kriteria diagnosa persalinan preterm :

  1. Terdapat 4 kontraksi uterus dalam waktu 20 menit atau 6 dalam 60 menit disertai dengan perubahan progresif pada servik
  2. Dilatasi servik > 1 cm
  3. Pendataran servik > 80%

III.8 PENATALAKSANAAN PERSALINAN PRETERM

Prinsip : Bila mungkin, hindari persalinan sebelum kehamilan 34 minggu

kontraindikasi menghentikan proses persalinan preterm :

Faktor Maternal :

    • Penyakit hipertensi dalam kehamilan yang berat ( misal eksaserbasi akut hipertensi kronik eklampsia, preeklampsia berat )
    • Penyakit jantung atau paru (mis. Edema paru , ARDS, penyakit katub jantung, takiaritmia)
    • Dilatasi servik sudah > 4 cm
    • Perdarahan pervaginam ( misal. Solusio plasenta, plasenta previa , DIC )

Faktor Janin

    • Bayi mati atau anomali kongenital yang lethal
    • Fetal distress
    • Infeksi intra uterine ( korioamnionitis )
    • Gawat janin berkaitan dengan usaha mempertahankan kehamilan
    • TBJ > 2500 gram
    • Eritroblastosis fetalis
    • PJT berat

RINCIAN PENATALAKSANAAN :

1. Rehidrasi dan tirah baring

2. Kortikosteroid à Diberikan untuk percepatan pematangan paru

  1. Betamethasone 12 mg IM tiap 24 jam selama 48 jam
  2. Dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam

Efek optimal terjadi 24 jam setelah pemberian terakhir mencapai puncak dalam waktu 48 jam dan bertahan sampai 7 hari.

Pemberian ulangan kortikosteroid tak berguna oleh karena dapat mengganggu perkembangan psikomotor janin

Tokolitik :

Nifedipine ( “calcium channel blocker” ) , pemberian per oral efektif dalam menekan kontraksi uterus dengan efek samping maternal dan janin yang minimal (nyeri kepala), flushing, hipotensi dan takikardia.

Protokol :

  • Sediaan : Kapsul gelatin oral 10 atau 20 mg
  • “loading dose” : 30 mg . bila setelah 90 menit kontraksi uterus masih ada berikan dosis ulang 20 mg
  • Dosis pemeliharaan : 20 mg tiap 6 jam selama 24 jam dan dilanjutkan dengan 20 mg untuk 24 jam berikut
  • Kriteria gagal : kontraksi uterus menetap setelah 60 menit pemberian dosis ulangan.

Prostaglandine sintetase inhibitor (dapat digunakan untuk jangka pendek) obat yang sering digunakan indomethacine

Magnesium Sulfat (MgSO4)

Syarat pemberian Mg SO4 :

  • Pemberian harus diawasi dengan ketat dengan pemeriksaan : reflek patela, frekuensi pernafasan, produksi urine
  • Harus tersedia antidotum calcium gluconat 10 ml dalam larutan 10%

Protocol

  • Sediaan Larutan : larutan awal mengandung 6 gram MgSO4 ( 12 ml laritan 50% ) dalam 100 ml Dextrose 5%. Larutan maintanance : 10 gram MgSO4 ( 20 ml larutan 50% ) dalam 500 ml Dextrose 5%
  • Dosis awal : 6 gram selama 15 – 20 menit parenteral
  • Dosis titrasi : 2 gram per jam sampai kontraksi uterus mereda dan diikuti pemeriksaan serum sebesar 5 – 7 mg/dL ; dosis maksimum 4 gram per jam
  • Dosis maintanance : Dosis maintanance untuk 12 jam , kemudian 1 gram per jam untuk 24 – 48 jam dan kemudian diganti dengan betta agonis.

Tokolitik lain :

Indomethacine (Prostaglandine syntetase inhibitors)

  • Pemberian dapat per-oral atau per-rektal.
  • Dosis 50 – 100 mg diikuti dengan pemberian selama 24 jam yang tak melebihi 200 mg.
  • Peck dan Lutheran (2003) : pemberian Indomethacine selama 7 hari atau lebih pada kehamilan < 33 minggu tidak meningkatkan resiko medis pada neonatus.

Atosiban

Kompetitif antagonis dari kontraksi uterus akibat oksitosin. US FDA menolak penggunaan Atosiban dalam pencegahan persalinan prematur oleh karena efektivitas dan keamanan bagi janin atau neonatus meragukan.

3. Antibiotika

Terapi antibiotika pada kasus persalinan preterm diperkirakan oleh sebagian besar ahli tidak memberikan manfaat dalam menghambat persalinan preterm.

Pemberian antibiotika bermanfaat untuk mencegah infeksi GBS pada neonatus. Terapi pilihan adalah pemberian Penicilline atau Ampicilline. Clindamycin diberikan pada pasien yang alergi terhadap penicilline.

 

Rekomendasi Penatalaksanaan Persalinan Preterm

  1. Konfirmasi diagnosa persalinan preterm.
  2. Kehamilan < 34 minggu dengan kemajuan persalinan progresif (dilatasi servik > 4 cm) tanpa disertai indikasi ibu dan atau anak untuk terminasi kehamilan → Observasi ketat kontraksi uterus dan DJJ dan lakukan pemeriksaan servik serial untuk menilai kemajuan persalinan.
  3. Kehamilan < 34 minggu : beri kortikosteroid untuk pematangan paru.
  4. Kehamilan < 34 minggu pada wanita dengan kemajuan persalinan yang tidak progresif [ dilatasi servik < 4 cm] cegah kontraksi uterus dengan pemberian tokolitik dan berikan kortikosteroid serta antibiotika profilaksis untuk GBS.
  5. Pada kehamilan > 34 minggu : lakukan observasi kemajuan persalinan dan kesehatan janin intrauterin.
  6. Pada kasus dengan persalinan aktif yang progresif dilatasi servik > 4 cm] berikan antibiotika untuk profilaksis infeksi GBS pada neonatus.

Penatalaksanaan persalinan :

  • Bila perlu lakukan episiotomi pada kasus dengan perineum yang kaku.
  • Persalinan dengan cunam dengan maksud untuk melindungi kepala janin tak perlu dilakukan oleh karena manfaatnya tidak didukung dengan data out come perinatal.
  • Diperlukan kehadiran neonatologis yang kompeten untuk melakukan resusitasi bayi preterm.

BAB IV

PENUTUP

 

IV.1    KESIMPULAN

Dari anamnesa didapatkan Ny.SA, 20 tahun mengeluhkan perut kenceng-kenceng sering. 8 jam kemudian keluar darah lendir.

Dari pemeriksaan fisik Tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 98x/menit, suhu: 36,6⁰C, RR: 20x/menit. TFU ½ pusat-prosesus xiphoideus  (25 cm), PUKI, letak kepala, sudah masuk PAP, DJJ 152x/mnt. V/V: blood slym(+), portio Æ 6-7 cm, Penipisan portio: 50%, kulit ketuban (+), Bagian terdahulu belum teraba, Bagian tersamping terdahulu: belum teraba, Bagian terendah: belum teraba, Hodge : I.

Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan Diagnosa GIP0000Ab000, hamil 28-30 minggu letak kepala inpartu.

IV.2     SARAN

Untuk menghindari terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat partus prematurus, dilakukan penatalaksanaan yang baik terhadap pasien dan janin. Diberikan dexamethasone untuk pematangan paru janin jika sudah inpartu.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Cunningham FG et al. Preterm Labor in Williams Obstetric, 22st ed. Mc.Graw Hill Publishing Division, New York, 2005.
  2. Wiknjosastro H. Patologi Persalinan dan Penanganannya. Ilmu Kebidanan, edisi ke-3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 2005.
  3. Prawirohardjo, Sarwono, “Asuhan Maternal dan Neonatal ”, YBP-SP, Jakarta : 2002
  4. Mochtar, Rustam, “Sinopsis Obstetri”, EGC. Jakarta : 1998.
  5.  Prawirohardjo, Sarwono, “Ilmu Bedah Kebidanan”, YBP-SP, Jakarta : 1999.
  6. Anonym. 2010. Persalinan preterm. Available at http://www.scribd.com/doc/17953330/Persalinan-Preterm. diunduh tanggal 5 agustus 2011.
  7. Widjanarko, B. 2009. Persalinan preterm FK UMJ Jakarta. Available at http://reproduksiumj.blogspot.com/2009/09/persalinan-preterm.html. diunduh tanggal 5 agustus 2011.

PRM

BAB I

PENDAHULUAN

I.1     LATAR BELAKANG

Premature rupture of the membrane (PRM)/Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi ibu.

Insidensi ketuban pecah dini lebih kurang 10% dari semua kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi 6-19%. Sedangkan pada kehamilan preterm insidensinya 2% dari semua kehamilan. Hampir semua premature rupture of the membrane (PRM) pada kehamilan preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi dalam satu minggu setelah selaput ketuban pecah. Sekitar 85% morbiditas dan mortalitas perinatal disebabkan oleh prematuritas. Ketuban pecah dini berhubungan dengan penyebab kejadian prematuritas dengan insidensi 30-40%. Neonatologis dan ahli obstetri harus bekerja sebagai tim untuk memastikan perawatan yang optimal untuk ibu dan janin.

Etiologi pada sebagian besar kasus tidak diketahui. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebabnya. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kondisi sosial ekonomi rendah yang berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal, penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan Neischeria gonorrhea.

Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan. Dilema sering terjadi pada pengelolaan premature rupture of the membrane (PRM) dimana harus segera bersikap aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan sehingga masa tunggu akan memanjang, yang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada premature rupture of the membrane (PRM) kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup.

I.2        RUMUSAN MASALAH

–        Bagaimana definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan premature rupture of the membrane (PRM)?

–        Bagaimana definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan premature rupture of the membrane (PRM)?

I.3        TUJUAN

–        Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan premature rupture of the membrane (PRM).

–        Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan premature rupture of the membrane (PRM).

I.4        MANFAAT

–    Menambah wawasan mengenai penyakit di bidang kebidanan khususnya premature rupture of the membrane (PRM).

–    Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu kebidanan dan kandungan.

BAB II

STATUS PASIEN

 

II.1      IDENTITAS PASIEN

No Reg : 259426

Nama penderita           : Ny. GW                    Nama suami                : Tn. J

Umur penderita           : 32 tahun                    Umur suami                 : 32 tahun

Alamat                         : Ds. Sumbersari RT/RW 06/09 Wonosari

Pekerjaan penderita     : Ibu Rumah Tangga   Pekerjaan suami          : Tukang ojek

Pendidikan penderita : SMEA tamat             Pendidikan suami        : SMP tamat

II.2      ANAMNESA

  1. Masuk rumah sakit tanggal : 11 juli 2011 pukul 09.00 WIB
  2. Datang sendiri/dikirim oleh dukun/bidan/dokter/dokter ahli : Bidan.
  3. Keluhan utama : Keluar cairan ketuban jernih
  4. Riwayat penyakit sekarang :

Keluar cairan ketuban jernih, merembes dan bertambah banyak, sebelumnya pasien mengeluh kenceng – kenceng jarang kemudian keluar cairan ketuban lewat jalan lahir sejak tadi pagi pukul 05.00 WIB. Saat itu pasien langsung ke bidan, dan bidan mengatakan belum ada pembukaan dan pada pukul 09.00 WIB pasien langsung dirujuk ke RSUD.

  1. Riwayat kehamilan yang sekarang : hamil anak ke 2, ANC 9 kali ke bidan, pijat oyok 5 kali.
  2. Riwayat menstruasi : menarche 15 tahun, , HPHT : 12 Oktober 2010, UK : 39-39 minggu
  3. Riwayat perkawinan : 1 kali, lama 12 tahun, umur pertama kawin 20 tahun.
  4. Riwayat persalinan sebelumnya : anak I lahir ditolong bidan, cukup bulan, laki-laki, BB 2500 gram, pada tahun 1999, hidup.
  5. Riwayat penggunaan kontrasepsi : pil KB, selama 5 tahun.
  6. Riwayat penyakit keluarga : –
  7. Riwayat kebiasaan dan sosial : alcohol (-), Jamu (-), Kopi (-)
  8. Riwayat pengobatan yang telah dilakukan : pil vitamin dari bidan.

II.3      PEMERIKSAAN FISIK

  1. Status present
  • Keadaan umum : cukup, Kesadaran compos mentis
  • Tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 90x/menit, suhu: 36,8⁰C, RR: 20x/menit.
  1. Pemeriksaan umum
  • Kulit : gatal (-) luka (-), warna : sawo matang.
  • Kepala :

Mata             : conjungtiva anemi -/-, sclera ikterik -/-, odem palpebra -/-

Wajah           : simetris

Mulut           : kebersihan gigi geligi cukup, stomatitis (-),

hiperemi pharyng (-), pembesaran tonsil(-)

  • Leher : pembesaran kelenjar limfe di leher (-), pembesaran kelenjar tyroid (-)
  • Thorax

Paru :

Inspeksi : Pergerakan pernafasan simetris, tipe pernapasan normal.

Retraksi costa -/-

Palpasi : teraba massa abnormal -/-, pembesaran kelenjar axilla -/-

Perkusi : sonor +/+, hipersonor -/-, pekak -/-

Auskultasi : vesikuler +/+, suara nafas menurun -/-, wheezing -/-, ronchi -/-

Jantung :

Inspeksi : iktus cordis tidak tampak

Palpasi  : thrill –

Perkusi  : batas jantung normal

Auskultasi : denyut jantung regular, S1/S2

  • Abdomen

Inspeksi :  flat (-), distensi (-), gambaran pembuluh darah collateral (-).

Palpasi  : pembesaran organ (-), nyeri tekan (-), teraba massa abnormal (-)    Tinggi fundus uteri 3 jari dibawah prosesus xipoideus

Perkusi  : tympani (+)

Auskultasi : suara bising usus normal, metalic sound (-)

  • Ekstremitas: odema -/-

  1. Status obstetri :

Pemeriksaan luar  :

Leopold I           : diatas bulat, besar, lunak, kurang lenting, TFU : 3 jari dibawah  prosesus xiphoideus  (35 cm), kesan bagian teratas janin : bokong.

Leopold II          : tahanan memanjang di sebelah kanan, bagian kiri teraba bagian kecil janin, punggung janin : punggung kanan, tunggal

Leopold III        : di bagian bawah teraba bulat, besar, keras, melenting, bagian terendah   janin : kepala belum masuk PAP

Leopold IV     : kepala Hodge I

Bunyi jantung janin: 138x/menit, regular, tunggal

HIS          : 10 menit/2 kali/ 25 detik

Pemeriksaan Dalam

Dilakukan oleh                 : bidan

Pengeluaran pervaginam  :

Vulva / vagina             : blood (-), slym (+), cairan ketuban (+)

Pembukaan waktu his : 1 cm

Penipisan portio           : 10%

Kulit Ketuban                         : (-)

Bagian terdahulu         : (-)

Bagian tersamping terdahulu  : (-)

Bagian terendah          : (-)

Hodge                         : I

Molase                         : –

II.4      Ringkasan      :

Anamnesa        :

Keluar cairan ketuban jernih, merembes dan bertambah banyak, sebelumnya pasien mengeluh kenceng – kenceng jarang kemudian keluar cairan ketuban lewat jalan lahir sejak tadi pagi pukul 05.00 WIB. Saat itu pasien langsung ke bidan, dan bidan mengatakan belum ada pembukaan dan pada pukul 09.00 WIB pasien langsung dirujuk ke RSUD. Pasien hamil anak ke 2, UK 38-39 minggu, ANC 9 kali ke bidan, oyok 5 kali. anak I lahir ditolong bidan, cukup bulan, laki-laki, BB 2500 gram, pada tahun 1999, hidup. Pasien sebelumnya menggunakan kontrasepsi pil selama 5 tahun. Selama hamil pasien mengkonsumsi pil vitamin dari bidan.

Pemeriksaan fisik        :

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, kesadaran compos mentis, tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi: 90x/menit, suhu: 36,8⁰C, RR: 20x/menit.

Pemeriksaan obstetrik luar:

Leopold I           : diatas bulat, besar, lunak, kurang lenting, TFU : 3 jari dibawah  prosesus xiphoideus  (35 cm), kesan bagian teratas janin : bokong.

Leopold II          : tahanan memanjang di sebelah kanan, bagian kiri teraba bagian kecil janin, punggung janin : punggung kanan, tunggal

Leopold III        : di bagian bawah teraba bulat, besar, keras, melenting, bagian terendah   janin : kepala belum masuk PAP

Leopold IV     : kepala Hodge I

Bunyi jantung janin: 138x/menit, regular, tunggal

HIS      : 10 menit/2 kali/ 25 detik

Pemeriksaan Dalam

Pengeluaran pervaginam         :

V/V: blood (-), slym (+), cairan ketuban (+), Æ 1 cm, Penipisan portio: 10%, kulit ketuban (-), Bagian terdahulu belum teraba, Bagian tersamping terdahulu: belum teraba, Bagian terendah: belum teraba, Hodge : I.

Diagnosa: GIIP1001Ab000, UK 38-39 minggu dengan PRM belum inpartu.

Rencana tindakan        :

–          Observasi inpartu à partus spontan

–          AB 3×1 (oxtercid)

–          Infus RL (20 tpm).

Lembar Follow Up

Nama pasien                : Ny. GW

Ruang kelas                 : IRNA Brawijaya

Diagnosa                     : P2002Ab000post partum dengan PRM

13Juli 2011

S = nyeri bekas jahitan (+), perdarahan pervaginam (+), panas (-)

O = Cukup

T = 120/80 mmHg                   N = 86x/menit

S = 36,8⁰C                              RR = 18x/menit

Palpasi      : setinggi umbilicus

A = P2002Ab000post partum dengan PRM

P =       1. Infus RL (20 tpm)

2. Antibiotik 3×1 (oxtercid).

3. BLPL

 

LAPORAN KELUAR RUMAH SAKIT

KRS tanggal                           : 13 juli 2011

Keadaan ibu waktu pulang     : Keadaan umum : cukup

T: 120/80 mmHgs       N = 86x/menit

S = 36,8⁰C                RR = 18x/menit

PPV (+)

Payudara                                 : ASI (=)

Fundus uteri                            : TFU setinggi pusat

Kontraksi uterus                      : –

Perineum                                 : –

Lochea                                                : (+)

Lain-lain                                  : (-)

Diagnosa saat pulang              : P2002Ab000 post pastum dengan PRM

Pengobatan                             : Motivasi Bedrest, kontrol 1 minggu.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. DEFINISI

Ketuban pecah dini atau premature rupture of the membranes (PRM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda-tanda persalinan. Jika ketuban pecah sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini kehamilan preterm atau preterm premature rupture of the membranes (PRM).-

III.2. ETIOLOGI

Walaupun banyak publikasi tentang premature rupture of the membranes (PRM), namun penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan premature rupture of the membranes (PRM), namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predisposisi adalah:

  1. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun ascenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya premature rupture of the membranes (PRM). Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama ketuban pecah dini.
  2. 2.      Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, kuretase).
  3. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya tumor, hidramnion, gemelli.
  4. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya premature rupture of the membranes (PRM). Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabkan terjadinya premature rupture of the membranes (PRM) karena biasanya disertai infeksi.
  5. Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
  6. 6.      Keadaan sosial ekonomi yang berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal, penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan Neischeria gonorhoe.
  7. 7.      Faktor lain yaitu:
  • Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu
  • Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum
  • Defisiensi gizi dari tembaga dan vitamin C

 

Membrana khorioamniotik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Infeksi merupakan faktor yang cukup berperan pada persalinan preterm dengan ketuban pecah dini. Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban.

III.3. DIAGNOSIS

Diagnosis premature rupture of the membranes (PRM) didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Dari anamnesis 90% sudah dapat mendiagnosa premature rupture of the membranes (PRM) secara benar. Pengeluaran urin dan cairan vagina yang banyak dapat disalahartikan sebagai premature rupture of the membranes (PRM). Pemeriksaan fisik kondisi ibu dan janinnya. Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi antara lain bila suhu ibu ≥38°C. Janin yang mengalami takikardi, mungkin mengalami infeksi intrauterin.

Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan langkah pemeriksaan pertama terhadap kecurigaan premature rupture of the membranes (PRM). Pemeriksaan dengan spekulum pada premature rupture of the membranes (PRM) akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada forniks posterior. Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, bau dan PH nya. Air ketuban yang keruh dan berbau menunjukkan adanya proses infeksi.

Tentukan pula tanda-tanda inpartu. Tentukan adanya kontraksi yang teratur. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan. Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk menilai skor pelvik dan dibatasi sedikit mungkin. Pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan penunjang diagnosis antara lain:

  1. Pemeriksaan laboratorium
  • Tes lakmus (tes Nitrazin): jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis) karena pH air ketuban 7 – 7,5 sedangkan sekret vagina ibu hamil pH nya 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap berwarna kuning. Darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu.
  • Mikroskopik (tes pakis): dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
  1. Pemeriksaan ultrasonografi USG

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri dan konfirmasi usia kehamilan. Pada kasus premature rupture of the membranes (PRM) terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Walaupun pendekatan diagnosis premature rupture of the membranes (PRM) cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya premature rupture of the membranes (PRM) sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana.

 

III.4. KOMPLIKASI

Ada tiga komplikasi utama yang terjadi yaitu peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal oleh karena prematuritas, komplikasi selama persalinan dan kelahiran yaitu risiko resusitasi, dan yang ketiga adanya risiko infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko infeksi karena ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada premature rupture of the membranes (PRM), flora vagina normal yang ada bisa menjadi pathogen yang bisa membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Morbiditas dan mortalitas neonatal meningkat dengan makin rendahnya umur kehamilan.

Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal dengan korioamnionitis. Dari studi pemeriksaan histologis cairan ketuban 50% wanita yang lahir prematur, didapatkan korioamnionitis (infeksi saluran ketuban), akan tetapi sang ibu tidak mempunyai keluhan klinis. Infeksi janin dapat terjadi septikemia, pneumonia, infeksi traktus urinarius dan infeksi lokal misalnya konjungtivitis.

 

III.5. PENATALAKSANAAN

Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.

  1. A.    Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Preterm

Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan preterm berupa penanganan konservatif, antara lain:

  • Rawat di Rumah Sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu.
  • Berikan antibiotika (ampisilin 4×500 mg atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
  • Jika umur kehamilan < 32-34 minggu dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
  • Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Sedian terdiri atas betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari atau deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
  • Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa (-): beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
  • Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.
  • Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi.
  • Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).

 

  1. B.     Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Aterm

Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan aterm berupa penanganan aktif, antara lain:

  • Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesaria. Dapat pula diberikan misoprostol 50 μg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
  • Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi, dan persalinan di akhiri:

Bila skor pelvik < 5 lakukan pematangan serviks kemudian induksi. Jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.

Bila skor pelvik > 5 induksi persalinan, partus pervaginam

 

BAB IV

PENUTUP

 

IV.1    KESIMPULAN

Dari anamnesa didapatkan Ny.G, 32 tahun mengeluhkan keluar cairan ketuban jernih (+), kenceng-kenceng (+).

Pemeriksaan fisik tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi: 90x/menit, suhu: 36,8⁰C, RR: 20x/menit. TFU 3 jari dibawah  prosesus xiphoideus  (35 cm), belum masuk PAP, DJJ 138x/menit, regular, tunggal, Pemeriksaan dalam V/V: blood (-), slym (+), cairan ketuban (+), Æ 1 cm, Penipisan portio: 10%, kulit ketuban (-), Hodge:I.

Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan Diagnosa GIIP1001Ab000, UK 38-39 minggu dengan PRM belum inpartu.

IV.2     SARAN

Untuk menghindari terjadinya PRM sebaiknya dihindari adanya factor predisposisi terjadinya PRM. Jika sudah terjadi PRM diberikan antibiotic profilaksis untuk mencegah infeksi dan ibu bed rest. 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Cunningham FG et al. Preterm Labor in Williams Obstetric, 22st ed. Mc.Graw Hill Publishing Division, New York, 2005.
  2. Wiknjosastro H. Patologi Persalinan dan Penanganannya. Ilmu Kebidanan, edisi ke-3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 2005.
  3. Prawirohardjo, Sarwono, “Asuhan Maternal dan Neonatal ”, YBP-SP, Jakarta : 2002
  4. Mochtar, Rustam, “Sinopsis Obstetri”, EGC. Jakarta : 1998.
  5.  Prawirohardjo, Sarwono, “Ilmu Bedah Kebidanan”, YBP-SP, Jakarta : 1999.
  6. Sualman, K. 2009. Penatalaksanaan ketuban  pecah dini kehamilan preterm. Available at http://belibis-a17.com/2009/08/28/penatalaksanaan-kpd-preterm/. Diunduh tanggal 18 juli 2011.
  7. Anonim. 2010. Catatan kuliah lentera impian. Available at http://lenteraimpian.wordpress.com/2010/02/27/ketuban-pecah-sebelum-waktunya-kpsw-atau-ketuban-pecah-dini-kpd-atau-ketuban-pecah-prematur-kpp/. Diunduh tanggal 18 juli 2011.

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. LATAR BELAKANG

Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk mempertahankan  pengembangannya. Paru-paru sebenarnya mengapung dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan normal rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan (1).

Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernapas. Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik (2). Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui. Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1 (2). Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak dikerjakan pendekatan baru berupa tindakan torakostomi disertai video (VATS = video assisted thoracoscopy surgery), ternyata memberikan banyak keuntungan pada pasien-pasien yang mengalami pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi lama rawat inap di rumah sakit (2).

  1. TUJUAN

Tujuan dari penulisan tinjauan pustaka (referat) ini adalah untuk mengetahui definisi dari pneumotoraks, serta cara menegakkan diagnosa pneumotoraks secara tepat sesuai jenis dan luasnya pneumotoraks, karena hal tersebut akan berpengaruh pada penanganannya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. DEFINISI

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (3). Pada keadaan normal, rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada.

  1. KLASIFIKASI

Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

  1. Pneumotoraks spontan

Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:

a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.

b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.

  1. Pneumotoraks traumatik

Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.

Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:

a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.

b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental

Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.

2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)

Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu:

  1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.

  1. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)

Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (4). Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif . Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound) (2).

  1. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)

Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar . Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (2).

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (< 50% volume paru).

2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (> 50% volume paru).

  1. PATOGENESIS

Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial, ditunjang oleh jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. Rongga pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura parietalis melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago, diafragma dan mediastinum, sangat sensitif terhadap nyeri. Pleura viseralis melapisi paru dan menyusup ke dalam semua fisura dan tidak sensitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10-20 ml) dan berfungsi sebagai pelumas antara kedua lapisan pleura.

Patogenesis pneumothoraks spontan sampai sekarang belum jelas.

PENGHITUNGAN LUAS PNEUMOTORAKS

Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Adabeberapa cara yang bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolapsparu, antara lain :

  1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (2).

Misalnya : Diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10 cm dan diameter kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8 cm, maka rasio diameter kubus adalah:

=  ± 50 %

83      512

10 3   1000

  1. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh(2).

x  10

% luas pneumotoraks    A + B + C (cm)

3

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas hemitoraks (4).

(L) hemitorak – (L) kolaps paru

x  100 %

(AxB)  –  (axb)

AxBD.

  1. GEJALA KLINIS

Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah:

1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.

2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.

3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.

4. Denyut jantung meningkat.

5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.

6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut:

1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat

2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat

3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta ada tidaknya jalan napas.

4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan pengisian yang kurang.

  1. PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan :

1. Inspeksi :

a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada)

b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal

c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat

2. Palpasi :

a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar

b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat

c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit

3. Perkusi :

a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar

b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi.

4. Auskultasi :

a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang

b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif

  1. G.   PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto Röntgen

Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara lain:

a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.

b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.

c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai berikut:

1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.

2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.

3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma.

2. Analisa Gas Darah

Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

  1. CT-scan thorax

CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive CT-scan. Menurut Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada tahun 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu:

Derajat I         : Pneumothoraks dengan gambaran paru yang mendekati normal (40%)

Derajat II       : Pneumotoraks dengan perlengketan disertai hemotorak (12%)

Derajat III      : Pneumotoraks dengan diameter bleb atau bulla < 2 cm (31%)

Derajat IV     : Pneumotoraks dengan banyak bulla yang besar, diameter > 2 cm   (17%). (Loddenkemper, 2003)

  1. DIAGNOSIS BANDING

Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli paru dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada pneumotoraks, umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumotoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumotoraks yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura.

  1. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :

  1. 1.    Observasi dan Pemberian O2 Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).
  2. 2.    Tindakan dekompresi

Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara:

a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.

b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :

1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol (4).

2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (4).

3) Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada lineamid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.

Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intra pleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal (2).

3. Torakoskopi

Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop.

  1. Torakotomi

Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut.

5. Tindakan bedah yaitu:

a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit.

b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.

c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

  1. PENGOBATAN TAMBAHAN

1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya: terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator (4).

2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat .

3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema (3).

  1. REHABILITASI

1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.

2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu keras.

3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan ringan.

4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak napas.

  1. KOMPLIKASI

Pneumotoraks tension (terjadi pada 3-5% pasien pneumotoraks), dapat mengakibatkan kegagalan respirasi akut. Pio-pneumotoraks, hidro-pneumotoraks/hemo-pneumotoraks, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi), pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagai akibat komplikasi pneumotoraks spontan, biasanya karena pecahnya esophagus atau bronkus, sehingga kelainan tersebut harus ditegakkan (insidensinya sekitar 1%), pneumotoraks simultan bilateral, insidensinya sekitar 2%, pneumotoraks kronik, bila tetap ada selama waktu lebih dari 3 bulan, insidensinya sekitar 5%.

  1. PROGNOSIS

Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaanya cukup baik umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PPOK harus lebih berhati-hati karena sangat berbahaya.

BAB III

KESIMPULAN

Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleuraterisi oleh udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien sering mengeluhkan adanya sesak napas dan nyeri dada. Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat terbuka, tertutup dan ventil (tension). Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan pada hasil foto röntgen berupa gambaran translusen tanpa adanya corakan bronkovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang merupakan batas paru (colaps line). Dari hasil röntgen juga dapat diketahui seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang terkena pendesakan serta kondisi jantung dan trakea. Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi lagi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC; 1997. (hal. 598)

2. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. (hal. 1063)

3. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010 May 27; cited 2011 January 10. Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551

4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press; 2009. (hal. 162-179)

5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung). Cited : 2011 January 10. Available from : http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm

6. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press; 2007.

7. Embran, P. 2001. Torakoskopi Medis. Pertemuan Ilmiah Paru Milenium 2001. Malang (hal: 136-143)


BAB I

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Rotavirus adalah salah satu virus yang menyebabkan penyakit diare, terutama pada bayi. Rotavirus memiliki diameter tubuh 50-60 nm. Rotavirus menginfeksi sel-sel dalam vili usus halus dan berkembang biak dalam sitoplasma enterosit dan merusak mekanisme transportnya. Sel yang rusak dapat masuk ke dalam lumen usus dan melepaskan sejumlah besar virus, yang kemudian terdapat dalam tinja. Infeksi Rotavirus biasanya selama musim dingin, masa inkubasinya selama 1-4 hari. Penularannya melalui feses yang mengering dan disebarkan lewat udara. Gejala yang timbul jika terserang rotavirus antara lain diare, demam, nyeri perut, dan muntah-muntah, sehingga terjadi dehidrasi. Karena penularannya melalui feses maka penanganan yang paling baik adalah menjaga kebersihan lingkungan, dan penanganan bagi yang sudah terjangkit virus ini adalah dengan mengganti cairan yang hilang dengan meminumkan oralit, atau cairan pengganti oralit yang lain. Sedangkan untuk pencegahannya dapat dilakukan adalah merawat secara terpisah anak yang terinfeksi rotavirus dengan anak yang sehat, dan juga dilakukan vaksinasi.

  1. B.     RUMUSAN MASALAH

Bagaimana etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan penyakit yang disebabkan oleh rotavirus?

 

  1. C.    TUJUAN

Mengetahui etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan penyakit yang disebabkan oleh rotavirus.

  1. D.    MANFAAT
    1. 1.      Menambah wawasan mengenai ilmu penyakit Anak khususnya penyakit yang disebabkan oleh rotavirus.
    2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit Anak.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    DEFINISI

Rotavirus adalah penyebab utama penyakit diare pada bayi dan hewan muda, termasuk anak sapi dan anak babi. Terkadang didapatkan infeksi virus tersebut pada manusia dewasa. Rotavirus adalah penyebab diare pada bayi dan anak-anak yang paling umum. Banyak anak-anak paling tidak mengalami diare akibat rotavirus pada usia 2 sampai 3 tahun.

  1. B.     STRUKTUR

Nama virus rota didasarkan pada gambaran mikroskop electron dari pinggir luar kapsid sebagai pinggiran suatu roda yang mengelilingi jari-jari yang memancar dari inti yang menyerupai pusat. Partikel-partikel mempunyai kapsid berkulit ganda dan  garis tengah berkisar antara 60-75 nm. Partikel-partikel virus berkulit tunggal yang tidak mempunyai kapsid luar menunjukkan pinggir-pinggir luar yang kasar dan bergaris tengah 50-60 nm. Inti dalam dari parikel bergaris tengah 33-40 nm. Partikel virus mengandung 11 segmen ARN beruntai ganda ( BM total 10 x 106 ).

Rotavirus adalah virus dengan ukuran 100 nanometer yang berbentuk roda yang termasuk dalam family Reoviridae. Virus ini terdiri dari grup A, B, C, D, E dan F. grup A sering menyerang bayi dan grup B jarang menyerang bayi. Terdapat empat serotipe major dan paling sedikit 10 serotipe minor dari rotavirus grup A pada manusia. Pembagian serotipe ini didasarkan pada perbedaan antigen pada protein virus 7 (VP7). Virus ini terdiri dari tiga lapisan yaitu kapsid luar, kapsid dalam dan inti. Rota virus terdiri dari 11 segmen, setiap segmen mengandung RNA rantai ganda, yang mana setiap kode untuk enam protein struktur ( VP1, VP2, VP3, VP4, VP6, VP7 ) dan lima protein nonstruktur (NSP1, NSP2, NSP3, NSP4, NSP 5). Dua struktur protein yaitu VP7 yang terdiri dari protein G dan glikoprotein dan VP4 yang terdiri dari protein P dan protease pembelahan protein, merupakan protein yang melapisi bagian luar dari virus dan merupakan pertimbangan yang penting untuk membuat vaksin dari rotavirus. Protein pembuat kapsid bagian dalam paling banyak adalah VP6, dan sangat mudah ditemukan dalam pemeriksaan antigen, sedangkan protein nonstruktur kapsid bagian dalam adalah NSP4 yang merupakan sebagai faktor virulensi dari rotavirus, meskipun protein lain juga terlibat dalam mempengaruhi virulensi dari rotavirus

  1. C.    PATOGENESIS

Rotavirus menyerang dan memasuki sel enterosit yang matang pada ujung vili usus kecil. Virus ini menyebabkan perubahan pada struktur dari mukosa usus kecil, berupa pemendekan villi dan terdapatnya infiltrat sel-sel radang mononuklear pada lamina propria. Kelainan morfologis ini dapat minimal, dan hasil penelitian baru menunjukan bahwa infeksi rotavirus tanpa kerusakan sel epitel dari usus halus. Rotavirus menempel dan masuk dalam sel epitel tanpa kematian sel yang dapat menimbulkan diare. Sel epitel yang dimasuki oleh virus mensintesis dan mensekresi sitokin dan kemokin, yang mana langsung menimbulkan respon imun dari penderita dalam bentuk perubahan morfologi dan fungsi sel epitel. Peneletian baru juga mengatakan diare terjadi pada infeksi rotavirus karena adanya protein nonstruktural dari virus yang mirip dengan enterotoksin yang menyebabkan sekresi aktif dari klorida melalui peningkatan kosentrasi kalsium intra sel

Rotavirus adalah virus yang sulit dibiakkan. Rotavirus menginfeksi sel-sel dalam vili usus halus. Virus-virus itu berkembang biak dalam sitoplasma enterosit dan merusak mekanisme transportnya. Sel yang rusak dapat masuk ke dalam lumen usus dan melepaskan sejumlah besar virus, yang kemudian terdapat dalam tinja. Diare yang disebabkan oleh rotavirus mungkin akibat gangguan penyerapan natrium dan absorpsi glukosa karena sel yang rusak pada vili digantikan oleh sel kriptus belum matang yang tidak meyerap. Dibutuhkan waktu 3-8 minggu untuk perbaikan fungsi normal.

Rotavirus adalah satu-satunya penyebab Gastroenteritis yang terpenting diseluruh dunia pada anak-anak. Gastroenteritis adalah masalah radang perut dan usus. Perkiraan berkisar antara 500 juta sampai 1 milyar selama episode tahunan diare, pada anak-anak dibawah 5 tahun di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, mengakibatkan 5 juta kematian.

  1. D.    FAKTOR RISIKO

Infeksi rotavirus paling umum terdapat pada anak usia 4 sampai 24 bulan, khususnya mereka yang menghabiskan waktu di tempat penampungan anak atau kelompok bermain. Pada orang dewasa dan orang dewasa yang merawat anak-anak, maka akan memiliki peningkatan risiko terinfeksi sama besarnya.

  1. E.     GEJALA

Infeksi rotavirus khas mulai sesudah masa inkubasi kurang dari 48 jam dengan demam ringan sampai sedang dan muntah yang disertai dengan mulainya tinja cair yang sering. Muntah dan demam khas mereda selama hari kedua sakit, tapi diare sering berlanjut selama 5-7 hari. Tinja tanpa sel darah merah atau darah putih yang nyata. Dehidrasi mungkin terjadi dan memburuk dengan cepat, terutama pada bayi. Walaupun kebanyakan neonatus yang terinfeksi dengan rotavirus tidak bergejala.

Infeksi Rotavirus biasanya banyak terdapat selama musim dingin, dengan masa inkubasi selama 1-4 hari. Rotavirus ada dimana-mana. Penularan Virus ini biasa melalui feses yang mengering dan disebarkan lewat udara.

Gejala yang timbul antara lain diare, demam, nyeri perut, dan muntah-muntah, sehingga terjadi dehidrasi. Pada bayi dan anak-anak, kehilangan banyak elektrolit dan cairan dapat mematikan kecuali kalau diobati.

Untuk mempermudah penanganan, sebaiknya kita tahu gejala dehidrasi yaitu anak rewel, kehausan, minta minum terus, sehingga makin muntah karena kebanyakan, mata cekung, kulit pada daerah perut dan dahi tidak kenyal.(jika dicubit tidak kembali lagi).

Dalam pandangan klinis infeksi rotavirus terus berkembang dari diare ringan sampai diare berat yang mengakibatkan dehidrasi, kekurangan elektrolit, shock dan kematian pada bayi dan anak-anak. Pada anak berumur diatas tiga bulan akan menimbulkan gastroenteritis, ketika terjadi reinfeksi akan gejalanya tidak muncul (asimptomatik). Masa inkubasi dari rotavirus adalah 1-3 hari. Dengan serangan tiba-tiba dan memberikan gejala demam, muntah dan diare berair (watery diarrhoea). Gejala gastrointestinal akan hilang setelah 3-7 hari, tetapi penyembuhan infeksi rotavirus mungkin bisa sampai 2-3 minggu.

  1. F.     DIAGNOSIS

Anamnesis sangat penting untuk menegakkan diagnosis dari diare oleh karena infeksi virus khususnya rotavirus. Dari anamnesis dapat diketahui onset, frekuensi dari diare, durasi, volume, apakah diare berair (watery diarrhea), diare berdarah atau berlemak. Dalam melakukan anamnesis pada pasien diare harus lebih fokus pada beratnya diare dan dehidrasi. Intake sangat perlu ditanyakan, jumlah buang air kecil, kehilangan berat badan. riwayat makanan.

Untuk menegakkan diagnosis dari diare akut karena infeksi rotavirus diperlukan pemeriksaan feses dengan metode rapid antigen tests, salah satunya dengan enzyme immunoassay (EIA) dengan sensitivitas dan spesifik lebih dari 98 % atau latex agglutination test yang kurang sensitif dibanding EIA. Antibodi anti rotavirus yaitu imunoglobulin A dan M diekresikan difeses setelah hari pertama terinfeksi rotavirus. Tes antibodi masih positif sampai 10 hari setelah infeksi pertama dan dapat lebih lama lagi jika terjadi infeksi berulang. Oleh karena itu pemeriksaan tes antibodi dapat digunakan untuk mendiagnosa rotavirus.

  1. G.    PENGOBATAN dan PENANGANAN

Anak yang terinfeksi rotavirus biasanya mendapatkan terapi suportif untuk menghilangkan gejala dan komplikasi. Contoh, terjadinya dehidrasi yang merupakan komplikasi paling potensial dari infeksi rotavirus, keadaan ini sering ditangani dengan terapi redidrasi oral. Pada kasus-kasus berat yang diikuti oleh adanya muntah, terapi oral sulit dilakukan dan ini memberikan indikasi untuk dilakukan pemberian cairan intravena serta perawatan di rumah sakit Tujuan utama terapi adalah mencegah dehidrasi (rumatan), mengkoreksi kekurangan cairan elektrolit secara cepat dan mencegah gangguan nutrisi

Salah satu dari pengobatan suportif yang saat ini mulai banyak digunakan adalah penggunaan probiotik (Lactic acid bacteria) yaitu bakteri hidup yang mempunyai efek yang menguntungkan pada host dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik di dalam lumen saluran cerna sehingga seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri probiotik melalui reseptor dalam sel epitel usus, sehingga tidak terdapat tempat lagi untuk bakteri patogen untuk melekatkan diri pada sel epitel usus sehingga kolonisasi bakteri patogen tidak terjadi. Bakteri baik yang termasuk ke dalam kelompok ini seperti Bifidobacterium, Eubacterium, dan Lactobacillus. Dengan mencermati fenomena tersebut bakteri probiotik dapat dipakai sebagai cara untuk pencegahan dan pengobatan diare baik yang disebabkan oleh Rotavirus maupun mikroorganisme lain, pseudomembran colitis maupun diare yang disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika yang tidak rasional rasional (antibiotic associated diarrhea).

Mikroekologi yang rusak oleh karena pemakaian antibotika dapat dinormalisir kembali dengan pemberian bakteri probiotik. Mekanisme kerja bakteri probiotik dalam meregulasi kekacauan atau gangguan keseimbangan mikrobiota komensal melalui 2 model kerja rekolonisasi bakteri probiotik dan peningkatan respon imun dari sistem imun mukosa untuk menjamin terutama sistem imun humoral lokal mukosa yang adekuat yang dapat menetralisasi bakteri patogen yang berada dalam lumen usus yang fungsi ini dilakukan oleh secretory IgA (SIgA).

Mekanisme efek probiotik pada diare

  1. Perubahan lingkungan mikro lumen usus (Ph, Oksigen)
  2. Produksi bahan antimikroba terhadap beberapa patogen
  3. Komposisi nutrien
  4. Mencegah adhesi patogen pada enterosit
  5. Modifikasi toksin atau reseptor toksin
  6. Efek tropik terhadap mukosa usus melalui penyediaan nutrient
  7. Imunomodulasi

Dalam hal jalur penularan yang melalui feses, upaya pengendalian yang penting adalah penanganan air limbah dan kebersihan. Penanganan bagi orang yang terjangkit virus ini adalah dengan penggantian cairan dan pemulihan keseimbangan elektrolit secara intravena atau secara oral. Bisa dilakukan dengan memberikan cairan oralit atau cairan pengganti oralit. Cairan pengganti oralit ini bisa berupa kuah sayur, air teh manis yang ditambahkan garam seujung sendok. Apabila anak muntah, ditunggu lebih dahulu 5-10 menit, agar anak tenang. Setelah itu, baru diberikan cairan pengganti dari sendok secara perlahan-lahan.

  1. H.    PENCEGAHAN

Mengingat penyakit diare rotavirus sangat mudah menular, maka perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan. Salah satunya dengan merawat terpisah anak yang terinfeksi rotavirus dengan anak sehat lainnya. Untuk mengurangi penularan rotavirus, cuci tangan anda secara benar dan teratur –khususnya setelah menggunakan toilet, mengganti popok anak atau membantu anak menggunakan toilet. Tetapi bahkan mencuci tangan seksama tidak menjamin anda akan bebas dari infeksi virus.

Untuk pencegahan agar tidak mudah terinfeksi rotavirus, pemberian imunisasi bisa dilakukan. Apalagi, semua anak pasti pernah mengalami diare. Salah satu diare yang mengancam adalah karena rotavirus. Perkembangan terakhir dengan teknologi kedokteran saat ini telah ditemukan vaksin untuk rotavirus meskipun pemberian di Indonesia belum merata diberikan. Hal ini dikarenakan keterbatasan ketersediaan vaksin. di Indonesia vaksinasi rotavirus belum ada.

Ada dua vaksin yang dapat melawan rotavirus, antara lain:

  1. RotaTeq. Merupakan vaksin yang diberikan lewat mulut dalam tiga dosis, seringkali pada usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan. Vaksin ini tidak digunakan untuk anak yang berusia lebih tua dan mereka yang telah dewasa. Jika setelah vaksinasi, perut anak anda terasa sakit, muntah, diare, darah pada kotorannya, atau kelainan pencernaan lainnya. Segera hubungi dokter.
  2. Rotarix. Vaksin ini berbetuk cair dan diberikan dalam dua dosis kepada bayi pada usia 2 bulan dan 4 bulan.

Infeksi rotavirus bersifat self-limited disease yang terjadi setelah 3-9 hari gejala muncul. Namun pada kasus ini dapat terjadi dehidrasi berat yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian. Dengan rehidrasi yang tepat akan dapat mencegah komplikasi yang seriu

BAB III
PENUTUP

  1. A.    KESIMPULAN

Rotavirus adalah salah satu virus yang menyebabkan penyakit diare, terutama pada bayi. Rotavirus adalah virus dengan ukuran 100 nanometer yang berbentuk roda yang termasuk dalam family Reoviridae.

Infeksi rotavirus khas mulai sesudah masa inkubasi kurang dari 48 jam dengan demam ringan sampai sedang dan muntah yang disertai dengan mulainya tinja cair yang sering. Muntah dan demam khas mereda selama hari kedua sakit, tapi diare sering berlanjut selama 5-7 hari. Tinja tanpa sel darah merah atau darah putih yang nyata. Dehidrasi mungkin terjadi dan memburuk dengan cepat, terutama pada bayi. Walaupun kebanyakan neonatus yang terinfeksi dengan rotavirus tidak bergejala.

Anak yang terinfeksi rotavirus biasanya mendapatkan terapi suportif untuk menghilangkan gejala dan komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Available at http://artikelhot.com/639/rotavirus.aspx. diunduh tanggal 10 november 2011.

Jawetz,Melnick,Adelberg,1996,Mikrobiologi Kedokteran,edisi 20,EGC,Jakarta

Jawetz,Melnick,Adelberg,1995,Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan,edisi 16,

EGC,Jakarta

Puspitasari, D. 2007. Available at http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/rotavirus-20031.pdf. diunduh tanggal 10 november 2011

 Tanod, D. 2011. Available at http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/02/21/rotavirus-diarheae-mekanisme-terjadinya-diare-yang-disebabkan-rotavirus/. Diunduh tanggal 10 november 2011.


BAB I

PENDAHULUAN

Evaluasi gejala respiratory pada pasien yang terinfeksi HIV menjadi suatu tantangan tersendiri untuk diteliti. Gejala respiratory adalah suatu keluhan yang sering terdapat pada pasien yang terinfeksi HIV dan mungkin disebabkan oleh berbagai macam pemicu.

Asosiasi pasien HIV dengan kondisi pulmonary yang meliputi keadaan opportunistic infections (OIs) dan neoplasma. OIs meliputi bakteri, mycobacterial, jamur, virus, dan parasit pathogens. Masing-Masing OIS dan neoplasma tersebut mempunyai suatu karakteristik klinis dan tampilan radiografis yang bermacam-macam. Bagaimanapun, variasi gambaran tersebut harus dipertimbangkan dalam menegakkan diagnosa yang tepat. Oleh karena itu, tidak ada  keluhan dan gejala, penemuan pemeriksaan fisik, kelainan laboratorium, dan penemuan radiografis pada foto thoraks yang spesifik atau pathognomonic untuk penyakit tertentu. Sebagai hasilnya, suatu hasil diagnosa pathologic atau microbiologic pasti lebih baik terutama memungkinkan untuk terapi empiris. Test diagnostik meliputi kultur sputum dan pemeriksaan darah dan pemeriksaan spesimen dari respiratory yang diperoleh melalui prosedur bronchoscopy, thoracentesis, computed tomography (CT)tuntunan aspirasi jarum jarum transthoracic, thoracoscopy, mediastinoscopy, dan open-lung biopsi.

            Bab ini menguraikan frekwensi gejala respiratory, macam-macam penyakit pulmonary yang dapat ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV, dan suatu pendekatan diagnostik melalui evaluasi dari gejala respiratory pada pasien yang terinfeksi HIV, Penyorotan aspek penampilan tertentu yang secara klinis mungkin bermanfaat untuk membedakan antara OIS dan neoplasma.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1       Syndrom Respiratory pada Penderita HIV

2.1.1    Frekuensi Gejala Respiratory

Gejala respiratori adalah suatu keluhan yang sering dikeluhkan oleh penderita yang terinfeksi HIV. Fakta ini telah dibuktikan oleh penelitian komplikasi Pulmonary pada pasien HIV, sebuah penelitian besar, prospectif, observational cohort study dengan lebih dari 1,150 pasien yang terinfeksi HIV yang berasal dari 6 lokasi diseberang Amerika Serikat di mana sejumlah besar pasien HIV tersebut menerima perawatan. Data cohort yang didaftar adalah terdiri kasus AIDS yang dilaporkan ke Amerika Serikat mulai dari 1990 mengenai jenis kelamin, ras atau etnis, dan kategori transmisi HIV. Mempunyai suatu cakupan yang luas meliputi CD4 counts (< 200 cells/µL: 19%; 200-499 cells/µL: 44%; ≥ 500 cells/µL: 37%). Pasien akan dievaluasi setelah didaftar dan pasien dijadwalkan secara interval (secara random 3 hingga 6 bulan). Sebagai tambahan, Bagi pasien yang penyakitnya mengalami gejala perburukan berhubungan dengan respirasi/ pernapasan maka dijadwalkan untuk hadir di suatu tempat studi untuk dievaluasi. Pada tiap kunjungan, dilakukan penilaian review riwayat penyakit pasien dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium secara rutin (complete blood count dengan diferensial, CD4 cell count), gambaran radiografi foto thoraks (tampilan posteroanterior dan lateral), dan test fungsi pulmonary (volume paru-paru, spirometry, dan difus capasitas untuk karbon monoksida). Bagi pasien yang tersangka nebgalami penyakit pulmonary yang telah dicurigai mengalami induksi sputum, bronchoscopy, atau kedua-duanya.

Pada penelitian ini difokuskan pada pulmonary disease. Peneliti mengumpulkan data gambaran radiografis dan data klinis pasien, pada pasien yang penyakitnya berkembang mengalami komplikasi pulmonary disease dan pada pasien dengan kecurigaan mengalami pulmonary disease, dengan penegakan diagnosa secara patologi dan mikrobiologi. Pasien yang terinfeksi HIV,  non-HIV, AIDS, dan non-AIDS dengan berbagai macam penyakit respiratory telah dicatat.

Komplikasi pulmonary pada studi pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan respiratory symptoms merupakan suatu keluhan umum yang terdapat diantara pasaien yang terkena infeksi HIV dan frekuensinya akan terus meningkat seiring dengan penurunan CD4 counts pada kadar < 200 cells/µL ( Tabel 1). Hasil subyek study melaporkan bahwa terdapat keluhan batuk pada 27%, pernapasan pendek sebanyak 23%, dan keluhan demam pada 9% pada lebih dari 12.000 kunjungan klinik. Gejala ini lebih sering ditemukan pada pasien dengan keadaan kadar CD4 count < 200 cells/µL dibandingkan pada kunjungan pasien sebelumnya. Pada kelompok tersebut, dilaporkan bahwa terdapat keluhan batuk pada 34%, pernapasan pendek sebanyak 34%, dan keluhan demam sebanyak 17% pada 4.000 kunjungan klinik pasien.

Penemuan komplikasi pulmonary pada  Studi pasien yang terinfeksi HIV dengan menggunakan suatu metode single-center cohort pada pasien yang terinfeksi HIV dan pada pasien yang tidak terinfeksi HIV. Pada study cohort ini, frekuensi respiratory symptoms adalah keluhan yang tersering ditemukan pada kelompok pasien yang terinfeksi HIV dibandingkan pada kelompok pasien yang tidak terinfeksi HIV. Terdapat keluhan dyspnea (41.6% vs 7.7%), batuk ( 40% vs 25%), dan produksi sputum ( 41.9% v 23.1%). Peneliti menemukan bahwa adanya riwayat merokok pada masa lampau atau saat sekarang merupakan hal penting yang menyebabkan terjadinya respiratory symptoms pada kelompok yang terinfeksi HIV.

 

2.1.2    Spectrum penyakit pulmonary

Gejala respiratory bisa diakibatkan oleh suatu spektrum luas dari berbagai macam penyakit pulmonary yang meliputi kondisi HIV dan non-HIV (Tabel 2). Penilaian keadaan HIV dengan keadaan OIs dan neoplasma. OIs dengan penyebab bakteri, mycobacterial, jamur, virus, dan parasit pathogens. Penilaian OIs dan neoplasma mungkin terbatas hanya pada paru-paru, tetapi pulmonary mungkin merupakan hanya satu manifestasi dari suatu penyakit multiorgan. Karena hasil diagnosa dan terapi yang tepat adalah hal yang penting bagi kesuksesan perawatan pasien HIV, maka evaluasi awal difokuskan pada gejala respiratory yang tersering ditemukan pada pasien yang didiagnosa dengan OIs atau neoplasma. Sangat penting diingat, bahwa tidak ada hubungan antara infeksi HIV dengan keluhan respiratory, terutama pada pasien HIV yang sebelumnya telah memiliki kondisi-kondisi (misalnya, pulmonary embolism, asthma, atau carcinoma bronchogenic pada perokok). Sebagai tambahan, faktor yang berperan untuk infeksi HIV, seperti penggunaan injection drug use (IDU), mungkin berperan pada respiratory disease (misalnya, pulmonary vascular disease). Para klinisi perlu mempertimbangkan pasien non-HIV dengan kondisi respiratory yang sebelumnya telah melakukan penelitian secara menyeluruh pada pasien HIV dengan kondisi OIs atau neoplasma.

Komplikasi Pulmonary dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) seperti sinusitis, pharyngitis, dan bronchitis akut yang biasanya menyebabkan gejala respiratory dibandingkan Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP), bacterial pneumonia, tuberculosis (TB), atau kombinasi dari Sarcoma kaposi pulmonary (Tabel 3). Berbagai penyakit pulmonary yang sebagian besar ISPA dan bronkitis akut berdasarkan keadaan klinis pasien rawat jalan yang berkembang menjadi pneumonias opportunistic pada pasien yang dirawat di rumah sakit,   didasarkan pengaturan klinis yang  berkembang menjadi PCP pada suatu perawatan intensive care unit. Sebagai tambahan, perbedaan regional dan demografis akan mempengaruhi berbagai macam tampilan penyakit pulmonary. Oleh karena itu, pendekatan diagnostik dengan evaluasi dari gejala respiratory pada pasien yang terinfeksi HIV harus mempertimbangkan semua  faktor tersebut.

            Saat ini dimana telah digunakan kombinasi terapi antiretroviral, maka frekuensi pasien HIV dengan OIs dan neoplasma telah berkurang . Pada penggunaan kontras, frekuensi komplikasi non-infectious seperti chronic obstructive pulmonary disease (COPD), pulmonary arterial hypertension (PAH), dan kanker paru mungkin meningkat. Infeksi HIV tampak seperti sebagai suatu faktor resiko untuk terjadinya COPD dan PAH.

 

2.2       Diagnosis

2.2.1    Pendekatan Umum

Pendekatan diagnostik dimulai dengan menilai riwayat penyakit pasien secara seksama dan melakukan pemeriksaan fisik secara ulang. Pada bagian ini, pasien dengan kecurigaan mengidap penyakit pulmonary perlu menjalani tes laboratorium dan foto thoraks. Hasil foto harus dibandingkan dengan gambaran sebelumnya jika tersedia. Tampilan foto dan keadaan klinis pasien akan mengarah kesuatu diferensial diagnosa dan suatu diagnostik dan rencana terapi. Adakalanya, test tambahan seperti CT scan thoraks, thoraks high-resolution CT scan ( HRCT), dan pulmonary function tests mungkin diperlukan untuk evaluasi lebih lanjut, penyebab, gejala, dan differential diagnosis. Diperlukan pendekatan diagnostik meliputi berbagai tes untuk memperoleh suatu hasil diagnosa secara pathologic atau microbiologic. Tes ini meliputi kultur dahak dan darah. Dan meliputi kultur dari specimen yang berhubung dengan pernapasan yang diperoleh oleh bronchoscopy (bronchoalveolar lavage, transbronchial biopsies, brush biopsies, atau forceps/needle biopsies), pleura fluid (dengan atau tanpa pleura biopsies), CT-guided transthoracic needle aspiration, thoracoscopy, mediastinoscopy, dan occasionally, open-lung biopsy. Spesimen diuji melalui mikroskop atau cultured for bacterial, mycobacterial, jamur, viral, and parasitic pathogens dan kemudian dikirim untuk studi pathologic dan cytopathologic.

Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan.[10] Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.

Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pemeriksaan Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil tes positif. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.

Adakalanya, diperlukan spesimen dari lokasi lain (misalnya, kulit, lymph node, bone marrow, cerebrospinal fluid) akan menyediakan bukti untuk hasil diagnosa extrapulmonary atau disseminated disease. Untuk  memastikan OIs, darah atau urine serologies (misalnya, serum cryptococcal antigen, urine Histoplasma antigen) atau teknik molekular seperti analisa polymerase chain reaction (PCR) dapat memberikan bukti yang kuat sebagai hasil diagnosa. Keputusan memilih tes yang tepat untuk memperoleh treatment yang tepat sehingga dapat menyingkirkan diferensial diagnosa secara akurat diperoleh berdasarkan dari suatu penilaian riwayat penyakit terdahulu dan pemeriksaan fisik, data laboratorium, dan pemeriksaan imaging.

 

2.2.2    Riwayat Penyakit dahulu dan Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan ulang riwayat penyakit dahulu dan pemeriksaan fisik adalah untuk menetapkan suatu hasil diferensial diagnosa dan untuk evaluasi lebih lanjut  (misalnya, tes laboratorium, radiografi foto thoraks). Walaupun masing-masing OIs dan neoplasma mempunyai suatu karakteristik tampilan klinis, tampilan ini dapat overlap significantly. Sebagai hasilnya, tidak ada kombinasi gejala atau tanda diagnostik untuk penyakit tertentu. Meskipun demikian, informasi klinis bermanfaat untuk menghasilkan diagnosa tertentu, tanpa CD4 cell count.

 

2.3       Gejala

Respiratory symptoms meliputi batuk, dyspnea, dan pleuritic thoraks pain, dapat muncul sendiri atau dapat berupa kombinasi. Batuk dapat bersifat non-produktif atau produktif dengan sputum, purulent sputum, blood-streaked sputum, atau hemoptysis. Dyspnea dapat bersifat sedang atau berat dan muncul saat istirahat. Keluhan dapat berupa demam, menggigil, berkeringat malam, fatigue, anorexia, dan dapat terjadi penurunan berat badan. Sebagai tambahan, gejala extrapulmonary mungkin dapat ditemukan (misalnya, headache, stiff neck, abdominal tenderness or fullness) dan bisa membantu membedakan antara OIs dan neoplasma.

 

2.4       Tanda

Suatu pemeriksaan fisik secara lengkap, termasuk vital signs, dapat memberikan tanda penting kearah penyakit. Pasien yang terinfeksi HIV dengan pneumonia dapat menunjukkan gejala febrile, tachycardic, dan tachypneic.

Pemeriksaan paru-paru dapat mengarah terhadap suatu etiologi dari gejala respiratory. Sedikitnya 50%  pasien dengan PCP mempunyai hasil pemeriksaan paru-paru normal dan bersih pada auskultasi dan perkusi (Tabel 5). Pada pemeriksaan kontras, pasien dengan bacterial pneumonia sering mempunyai focal lung findings. Angka kejadian wheezing pada pasien yang terinfeksi HIV mempunyai riwayat sakit asma yang dapat muncul sebagai eksaserbasi asthma, sedangkan penemuan suara nafas berbunyi/ mengi pada pasien yang mempunyai riwayat merokok dapat mengindikasikan  emphysema. Pada pasien yang  secara mendadak  mengalami serangan pleuritic thoraks pain atau sesak napas, akan dicurigai sebagai suatu pneumothorax. Adakalanya, penemuan abnormal pada pemeriksaan paru-paru etiologinya dapat berasal dari nonpulmonary. Sebagai contoh, temuan rales dapat berhubungan dengan suara jantung S3 gallop, dapat pula berhubungan dengan elevated jugular venous pressure sehingga dapat disebabkan oleh suatu etiologi yang berhubungan dengan jantung yang memberi gejala respiratory. Pulmonary embolic disease harus dipertimbangkan pada pasien hypoxic, terutama jika ada faktor yang mempengaruhi (misalnya, riwayat sebelumnya, deep vein thrombosis).

 

2.5       Tes Laboratorium

Tes Laboratorium yang tepat dapat menjadi kunci penting yang mengarahkan suatu diagnosa yang tepat. Pasien yang terinfeksi HIV sebagian besar sering memiliki kelainan laboratorium yang diakibatkan oleh infeksi HIV itu sendiri, dari suatu HIV dengan OIs atau neoplasma, atau dari pengobatan infeksi HIV atau suatu kondisi yang berhubungan dengan HIV. maka, tidak ada kelainan laboratorium spesifik untuk penyakit pulmonary tertentu  dan para klinisi harus berhati-hati sebelum menunjukkan suatu kelainan laboratorium pada penyakit pulmonary.

2.6       Foto Thoraks

Gambar hasil foto thoraks dapat membantu evaluasi diagnostic suatu gejala respiratory pada pasien yang terinfeksi HIV. Pasien HIV dengan penyebab OIs dan neoplasma mempunyai suatu tampilan karakteristik radiografis, hasil gambar foto thoraks (yang dikombinasi dengan informasi dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium yang tepat) dapat membatasi berbagai kemungkinan diagnostik dan mengarahkan ke suatu pendekatan diagnostic yang tepat.

Penemuan karakteristik radiografis foto thoraks pada pasien yang terinfeksi HIV yang paling umum OIs dan neoplasma diperlihatkan pada Tabel 6. Masing-masing temuan radiografis, OIs dan neoplasma didaftarkan menurut penggolongan frekwensi berdasarkan  Rumah Sakit Umum San Francisco. Sebagai contoh, PCP lebih umum merupakan penyebab suatu reticular atau granular pattern of opacities dari pulmonary disease yang disebabkan oleh  C neoformans, bacterial pathogens (H influenzae), jamur pathogens (H capsulatum), cytomegalovirus, atau non-Hodgkin lymphoma (Table 6). Tampilan gambar foto thoraks seperti itu ditemukan pada pasien dengan kadar CD4 count <200 cells/µL, pendekatan diagnostik pada umumnya memusat pada diagnosa PCP.

Pada pemeriksaan kontras, pada umumnya, sangat jarang ditemukan tipe miliar pada PCP dibanding pada M tuberculosis atau jamur pathogens (H capsulatum, C immitis, C neoformans). Dengan kehadiran tampilan miliar, pendekatan diagnostik akan mengarah ke pathogens.

 

2.7       CT Thoraks

Dalam banyak kasus, suatu penilaian foto CT thoraks yang tidak menilai gejala klinis dan tampilan radiografis pada foto thoraks perlu disarankan untuk mempertimbangkan beberapa diagnosa. HRCT dapat bermanfaat jika secara klinis PCP dicurigai di mana gambar hasil foto thoraks tidak ditemukan perubahan atau normal. Pasien dengan PCP mempunyai gambaran foto thoraks normal yang mempunyai sifat ground-glass opacity (GGO) pada HRCT. Walaupun kehadiran GGO adalah nonspecific dan mungkin dapat dijumpai pada sejumlah pulmonary disorders, tidak ditemukannya GGO menyingkirkan diagnosa PCP.

Foto CT Thoraks bermanfaat jika gambar hasil foto thoraks terlihat multiple pulmonary nodules. Suatu dominasi nodul dengan diameter < 1 cm dengan distribusi centrilobular mengarah pada suatu keadaan OI (bacterial pneumonia, TB, fungi pneumonia), sedangkan adanya dominasi nodul dengan diameter > 1 cm maka mengarah pada suatu neoplasma (pulmonary Kaposi sarcoma, non-Hodgkin lymphoma). Jika terdapat banyak nodul dengan diameter < 1 cm mengarah adanya gambaran adenopathy intrathoracic, terutama jika kualitasnya rendah maka kemungkinan penyakitnya adalah suatu mycobacterial atau jamur. Jika banyak nodul dengan diameter > 1 cm, ditemuan peribronchovascular dihubungkan dengan Sarcoma kaposi pulmonary. Yang akhirnya, CT scan thoraks dapat digunakan sebagai diagnostik seperti bronchoscopy, CT-guided transthoracic needle aspiration, and surgical procedures.

Karakteristik tampilan radiografis pada foto thoraks yang paling umum OIs- PCP dan bacterial pneumonia harus dikenal baik oleh para klinisi oleh karena frekwensi penyakit tersebut. Untuk menghindari resiko missed diagnosis pada kesehatan pasien, maka para klinisi harus terbiasa dengan karakteristik tampilan radiografis dari M.tuberculosis pneumonia. Akhirnya, sebab paling umum yang tersering adalah neoplasma pulmonary, maka para klinisi harus terbiasa dengan tampilan karakteristik dari Sarcoma kaposi pulmonary. Berikut ini adalah suatu ringkasan penemuan klasik radiografis untuk 4 pulmonary diseases.

2.8       Empat pulmonary diseases pada pasien HIV.

2.8.1    Pneumocystis Pneumonia

Foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii.

Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.

Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.

PCP reticular atau granular infiltrates characteristically adalah bilateral dan symmetric. Kadang, infiltrat unilateral atau asymmetric (Gambar 3). Suatu greater emphasis dapat terlihat (reticular atau granular) yang terdistribusi (bilateral, simetric, atau difus). Pasien dengan penemuan radiografis foto thorak disarankan pemeriksaan sputum atau spesimen bronchoscopy (pada umumnya bronchoalveolar lavage) yang diuji untuk organisme Pneumocystis.

Pada pasien dengan milder disease, penemuan mungkin terbatas hanya pada daerah perihilar. Pada tahap selanjutnya, hasil penemuan gambar foto thoraks sebagian besar daerah perihilar akan lebih sering difus, dan suatu alveolar atau gabungan reticular-alveolar. Berdinding tipis, suatu kista berisi udara atau pneumatoceles ditemukan kira-kira 15-20% pada gambaran foto thoraks dari pasien dengan PCP (Gambar 4, panah). Kombinasi granular opacities bilateral dan pneumatoceles pada pasien yang terinfeksi HIV dengan kadar CD4 count <200 cells/µL lebih mengarah ke PCP (Gambar 4). Pneumatoceles mungkin single atau multiple, berukuran besar atau kecil, dan dapat menyebabkan pasien berkembangan menjadi pneumothorax, tampilan radiografis lain yang mengarah PCP. PCP kadang tampil dengan sebagai focal opacities, dengan suatu pola miliar, dengan pola nodular pattern atau discrete nodules (nodul kecil atau kavitas). Bagaimanapun, adanya penemuan adenopathy intrathoracic maupun  efusi pleura jarang merupakan suatu tampilan dari PCP. Pada pasien dengan PCP, pada umumnya penemuan radiografis ini sering muncul suatu proses secara bersamaan.

Antar pasien yang terinfeksi HIV dengan PCP, peningkatan radiografis sering terlihat setelah 7-14 hari.

2.8.2    Bacterial Pneumonia

Bacterial pneumonia yang disebabkan oleh S.pneumonia characteristically menunjukkan suatu pola bronchopneumonic atau dengan disertai suatu focal segmental atau pola lobar alveolar pattern. Tampilan radiografis adalah serupa dengan pneumococcal pneumonia  pada pasien yang tidak terinfeksi HIV. Sering, dihubungkan dengan efusi pleura. Kadang, tampilan radiografis tidak dapat dibedakan dari OIs. Pada kasus pneumonia yang berat, kemungkinan akan ditemukan gambaran multifocal atau difus. Pasien dengan focal segmental atau lobar alveolar pattern (dengan atau tanpa efusi pleura) pada foto thoraks harus disertai dengan sputum dan kultur darah yang dikirim untuk analisa hasil bakteri sebagai bagian dari evaluasi diagnostik pasien. Thoracentesis juga harus dipertimbangkan pada pasien dengan efusi pleura. Bacterial pneumonia dengan penyebab H.influenzae telah dilaporkan menunjukkan diffuse opacities similar yang serupa pada PCP. Pada pasien yang terinfeksi HIV dengan keadaan imunosupresi, pneumonia yang disebabkan oleh P.aeruginosa dan S.aureus meningkatkan frekwensi tampilan suatu gambaran cavitas infiltrat.

 

2.8.3    Tuberculosis

TB dapat menunjukkan berbagai jenis penemuan tampilan radiografis. Tampilan karakteristik tergantung pada derajat tingkat immunosuppressi. Terutama pada awal permulaan infeksi HIV ( ketika pasien mempunyai CD4 cell count yang relatif tinggi), Secara khas TB menunjukkan suatu pola pengaktifan kembali, terdapat infiltrate pada daerah paru-paru bagian atas (apikal dan posterior segmen lobus atas dan daerah superior segmen lobus bawah), sering dengan cavitas.

Dengan menggunakan kontras, cavitas umum dijumpai pada pasien HIV yang terinfeksi TB dengan kadar CD4 cell counts yang rendah. Pasien-pasien ini lebih sering menyajikan gambaran difus miliar atau sebagian besar terdapat infiltrate pada paru-paru lobus media dan lobus bawah yang sering disalah kira sebagai bacterial pneumonia (Gambar 5). Pada kasus digambar 5, “Kunci” dari diferensial diagnosa adalah pengetahuan CD4 cell count dan fakta bahwa foto thoraks pasien menunjukkan gambaran TB secara radiografis pada pasien dengan CD4 cell count yang rendah. Efusi pleura dapat terlihat pada pasien TB dengan kadar CD4 cell count yang tinggi dan rendah, tetapi adenopathy intrathoracic lebih sering ditemukan pada pasien dengan CD4 cell count yang rendah (Gambar 6).

Pemeriksaan CT thoraks bermanfaat untuk mengevaluasi pasien dengan adenopathy intrathoracic dan untuk menyelidiki penemuan dengan kecurigaan adenopathy pada gambar foto thoraks. Pasien yang secara klinis dicurigai TB disarankan melakukan 3 kali pemeriksaan pemeriksaan sputum  untuk acid-fast organisms dan pemeriksaan kultur darah untuk analisa mycobacterial sebagai bagian dari evaluasi diagnostic pasien. Thoracentesis (dengan biopsi pleura) harus dipertimbangkan untuk pasien dengan efusi pleura. Pada pemeriksaan fisik dapat pula dilakukan pemeriksaan biopsy pada peripheral lymph nodes. Adakalanya, prosedur diagnostik lebih invasif seperti bronchoscopy (dengan bronchoalveolar lavage dan biopsi transbronchial) dan mediastinoscopy (jika prosedur adenopathy intrathoracic dapat dikerjakan). Bukti Laboratorium suatu infiltrate bone marrow dapat mendukung suatu penyakit TB melalui biopsi dan aspirasi bone marrow.

 

2.8.4    Sarcoma Kaposi Pulmonary

Karakteristik  sarcoma kaposi pulmonary menampakkan sifat opasitas bilateral pada daerah sentral atau  perihilar distribusi ( Gambar 7, Gambar 8). Gruden and colleagues at San Francisco General Hospital memperlihatkan gambaran fotoic bahwa 76 pasien mengalami Pulmonary sarcoma kaposi yang didiagnose melalui bronchoscopy.(50) Semua pasien ini  mempunyai hasil bronchoalveolar lavage yang negatif untuk Pneumocystis, M tuberculosis, M avium complex, dan any bacterial, jamur, atau viral pathogen. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 95% gambar foto thoraks hasil sinar x mempunyai peribronchial cuffing dan tram track opacities dengan atau tanpa lebih extensive perihilar coalescent opacities. Nodul kecil  atau nodular opacities dapat terlihat sekitar 78%, bentuk Kerley B 71%, dan effusi pleura 53% pada gambar fotoic. Sebagai catatan, tidak ada pasien yang menunjukkan bentuk Kerley B atau effuse pleura tanpa penemuan parenchymal secara bersamaan. Abnormalitas fotoic cenderung terdapat didaerah sentral atau berdistribusi di daerah perihilar, kemungkinan evaluasi adenopathy intrathoracic secara tepat mungkin agak sulit. Meskipun demikian, sekitar 16% pasien ini yang telah bersih daerah hilar atau pelebaran mediastinal lymph node dapat tampak pada gambar fotoic mereka.

Pasien dengan penemuan radiografis perlu menjalani pemeriksaan bronchoscopy sebagai bagian dari evaluasi diagnostik. Visualisasi karakteristik lesi Kaposi Tracheobronchial akan mengkonfirmasikan hasil diagnosa.

STADIUM WHO PADA HIV/AIDS

 

Stadium Klinis 1

  • Tanpa gejala (asimtomatis)
  • Limfadenopati generalisata persisten

Stadium Klinis 2

  • Hepatosplenomegaly persisten tanpa alas an*
  • Erupsi papular pruritis
  • Infeksi virus kutil yang luas
  • Moluskum kontagiosum yang luas
  • Infeksi jamur di kuku
  • Ulkus mulut yang berulang
  • Pembesaran parotid persisten tanpa alasan
  • Eritema lineal gingival (LGE)
  • Herpes zoster
  • Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore, sinusitis, atau tonsilitis)

Stadium Klinis 3

  • Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku
  • Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)
  • Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus, lebih dari 1 bulan)
  • Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)
  • Oral hairy leukoplakia (OHL)
  • Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut
  • Tuberkulosis pada kelenjar getah bening
  • Tuberkulosis paru
  • Pneumonia bakteri yang parah dan berulang
  • Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala
  • Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis
  • Anemia (<8g/dl), neutropenia (<0,5 × 109/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 × 109/l) tanpa alasan

Stadium Klinis 4**

  • Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa alasan dan tidak menanggapi terapi yang baku
  • Pneumonia Pneumosistis (PCP)
  • Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia)
  • Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan atau viskeral pada tempat apa pun)
  • Tuberkulosis di luar paru
  • Sarkoma Kaposi
  • Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)
  • Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)
  • Ensefalopati HIV
  • Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan)
  • Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)
  • Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis)
  • Kriptosporidiosis kronis
  • Isosporiasis kronis
  • Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
  • Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B
  • Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
  • Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV

* ‘Tanpa alasan’ berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain.

** Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah (misalnya penisiliosis di Asia)

 

BAB III

Kesimpulan dan saran

 

3.1 Kesimpulan

Karakteristik tampilan radiografis pada foto thoraks yang paling umum OIs- PCP dan bacterial pneumonia harus dikenal baik oleh para klinisi oleh karena frekwensi penyakit tersebut. Untuk menghindari resiko missed diagnosis pada kesehatan pasien, maka para klinisi harus terbiasa dengan karakteristik tampilan radiografis dari M.tuberculosis pneumonia. Akhirnya, sebab paling umum yang tersering adalah neoplasma pulmonary, maka para klinisi harus terbiasa dengan tampilan karakteristik dari Sarcoma kaposi pulmonary.

Empat pulmonary diseases pada pasien HIV yaitu: Pneumocystic pneumonia, Bacterial pneumonia, Tuberculosis dan Sarcoma Kaposi pulmonary.

 

3.2 Saran

 

LAMPIRAN 1

TABEL

Table 1. Frekuenci Gejala Respiratory dengan metode Cohort pada subjek yang terinfeksi HIV

Respiratory Symptom(s) All Patients N (%)* Patients with CD4 Count
<200 cells/µL

N (%)#Batuk3,359 (27.1)1,395 (33.9)Shortness of breath (SOB)2,856 (23.0)1,380 (33.6)Demam1,127 (9.1)693 (16.9)Batuk dan SOB1,691 (13.6)820 (19.9)Batuk dan Demam719 (5.8)430 (10.5)SOB dan demam709 (5.7)447 (10.9)Batuk, SOB, dan demam536 (4.3)332 (8.1)

Table 2. Spectrum of Respiratory Illnesses in HIV-Infected Patients

Infections (most-frequently identified organisms)
Bacteria *
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Gram-negative bacilli ( Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae)
Staphylococcus aureus
Mycobacteria
Mycobacterium tuberculosis #
Mycobacterium kansasii §
Mycobacterium avium complex §
Fungi
Pneumocystis jiroveci**
Cryptococcus neoformans §
Histoplasma capsulatum §
Coccidioides immitis §
Aspergillus spp
Viruses
Cytomegalovirus**
Herpes simplex virus**
Parasites
Toxoplasma gondii***
Strongyloides stercoralis
Neoplasms
Kaposi sarcoma**
Non-Hodgkin lymphoma**
Bronchogenic carcinoma
Other respiratory illnesses
     Upper respiratory illnesses
         Upper respiratory tract infection
Sinusitis
Pharyngitis
     Lower respiratory tract
         Lymphocytic interstitial pneumonitis ##
Nonspecific interstitial pneumonitis
Acute bronchitis
Obstructive lung disease
Asthma
Chronic bronchitis
Bronchiectasis
Emphysema
Pulmonary vascular disease
Illicit drug-induced lung disease
Medication-induced lung disease
Pulmonary arterial hypertension
Bronchiolitis obliterans with organizing pneumonia (BOOP)

* AIDS-defining condition in adults/adolescents if ≥2 episodes within 12 months. Not applicable as AIDS-defining condition in children (<13 years old).

# AIDS-defining condition in adults/adolescents. AIDS-defining condition in children if accompanied by disseminated or extrapulmonary disease.

§ AIDS-defining condition in adults/adolescents and children if accompanied by disseminated or extrapulmonary disease.

** AIDS-defining condition in adults/adolescents and children.

## AIDS-defining condition in children <13 years old. Not applicable as AIDS-defining condition in adults/adolescents.

Table 3.Angka kejadian kasus dengan kondisi gejala Respiratory pada pasien yang terinfeksi HIV

Time →

Year 1

Year 2

Year 3

Year 4

Year 5

Disorder ↓

Upper Respiratory Infection 47 35 40 40 52
Bronchitis 13 14 13 14 14
Pneumocystis Pneumonia 2.9 4.3 5.8 5.8 9.5
Bacterial Pneumonia 3.9 4.7 6.1 6.4 7.3
Tuberculosis 0.5 0.6 0.5 0.5 1.0

Adapted from Wallace JM, Hansen NI, Lavange L, et al. Respiratory disease trends in the Pulmonary Complications of HIV Infection Study Group. Am J Respir Crit Care Med. 1997 Jan;155(1):72-80.

Table 4. CD4 Cell Count Ranges for Selected HIV-Related and Non-HIV-Related Respiratory Illnesses

Any CD4 cell count
Any CD4 Cell Count
Upper respiratory tract illness
Upper respiratory tract infection
Sinusitis
Pharyngitis
Acute bronchitis
Obstructive airway disease
Bacterial pneumonia
Tuberculosis
Non-Hodgkin lymphoma
Pulmonary embolus
Bronchogenic carcinoma
CD4 Count ≤500 Cells/µL

Bacterial pneumonia (recurrent)
Pulmonary mycobacterial pneumonia (nontuberculous)
CD4 Count ≤200 Cells/µL

Pneumocystis pneumonia
Cryptococcus neoformans pneumonia/pneumonitis
Bacterial pneumonia (associated with bacteremia/sepsis)
Disseminated or extrapulmonary tuberculosis
CD4 Count ≤100 Cells/µL

Pulmonary Kaposi sarcoma
Bacterial pneumonia (gram-negative bacilli and
Staphylococcus aureus increased)
Toxoplasma pneumonitis

CD4 Count ≤50 Cells/µL
Disseminated Histoplasma capsulatum
Disseminated Coccidioides immitis
Cytomegalovirus pneumonitis
Disseminated Mycobacterium avium complex
Disseminated mycobacterium (nontuberculous)
Aspergillus spp pneumonia

Table 5. Clinical, Laboratory, and Chest Radiographic Findings That May Help in Distinguishing Pneumocystis Pneumonia and Bacterial Pneumonia

Findings      Pneumocystis Bacteria
CD4 cell count ≤200 cells/µL Any
Symptoms Nonproductive cough Productive cough
Purulent sputum
Symptom duration Typically weeks Typically 3-5 days
Signs 50% clear lungs Focal lung examination
Laboratory tests WBC varies

Serum LDH elevatedWBC frequently elevated

Serum LDH variesChest radiograph         DistributionDiffuse > focalFocal > diffuse       LocationBilateralUnilateral, segmental/lobar       PatternReticular-granularAlveolar       Cysts15-20%Rarely       Pleural effusionsVery rarely25-30%

Table 6. Kharakteristik penemuan gambaran radiographic foto thoraks pada Selected HIV-Related Opportunistic Infections dan Ne$oplasma

 

Difus atau infiltrat multifocal

Pneumocystis
Bacteria
Mycobacterium tuberculosis
Fungi
Kaposi sarcoma
Non-Hodgkin lymphoma
Cytomegalovirus
Focal infiltrate

Bacteria
M tuberculosis
Fungi
Non-Hodgkin lymphoma
Pneumocystis
Reticular atau granular pattern

Pneumocystis
Cryptococcus neoformans
Bacteria ( Haemophilus influenzae)
Other fungi ( Histoplasma capsulatum)
Cytomegalovirus
Non-Hodgkin lymphoma
Alveolar pattern

Bacteria
M tuberculosis (low CD4 cell count)
C neoformans
Non-Hodgkin lymphoma
Pneumocystis (uncommon unless severe, diffuse PCP)
Reticular atau granular pattern

Pneumocystis
C neoformans
Bacteria ( H influenzae)
Other fungi ( H capsulatum)
Cytomegalovirus
Non-Hodgkin lymphoma
Miliary pattern

M tuberculosis
Fungi ( H capsulatum, Coccidioides immitis, C neoformans)
Pneumocystis (uncommon)
Nodular pattern atau nodule(s)

M tuberculosis
Fungi ( C neoformans, H capsulatum, C immitis, Aspergillus spp)
Kaposi sarcoma (small nodules that gradually form larger, coalescent nodules)
Non-Hodgkin lymphoma (nodules/masses)
Bacteria
Pneumocystis (less common)
Kista

Pneumocystis
Fungi (especially C neoformans and C immitis)
Kavitas

M tuberculosis (usually high CD4 cell count)
Bacteria (especially Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Rhodococcus equi)
Fungi ( Aspergillus spp, C neoformans, C immitis)
Mycobacterium kansasii
Pneumocystis (uncommon)
Pneumothorax

Pneumocystis
Bacteria (uncommon)
M tuberculosis (uncommon)
Adenopathy Intrathoracic

M tuberculosis (frequently low attenuation with low CD4 cell count)
M avium complex (frequently low attenuation)
Fungi ( C neoformans, C immitis, H capsulatum) (frequently low attenuation)
Kaposi sarcoma
Non-Hodgkin lymphoma
Efusi pleural

Bacteria
M tuberculosis (all CD4 cell counts, ranges)
Fungi (especially C neoformans)
Kaposi sarcoma
Non-Hodgkin lymphoma
Normal

Pneumocystis
Fungi (eg, C neoformans meningitis, disseminated H capsulatum)
M tuberculosis (disseminated or extrapulmonary)
Kaposi sarcoma (only involving the trachea) 

LAMPIRAN II

GAMBAR

 

Gambar 1. Foto thoraks pada pasien yang terinfeksi HIV., CD4 count <200 cells/µL, revealing bilateral, diffuse granular opacities. Gambaran radiographic ini menunjukkan characteristic Pneumocystis pneumonia, dilakukan konfirmasi tes mikroscopik melalui pemeriksaan induksi sputum. (Courtesy of L. Huang, used with permission)


Gambar 2. High-resolution computed tomography (HRCT) scan thoraks pada pasien yang terinfeksi HIV yang memiliki foto thoraks normal.  CD4 count <200 cells/µL. Bilateral patchy areas of ground-glass opacity mendukung Pneumocystis pneumonia, dilakukan konfirmasi tes mikroscopik melalui pemeriksaan induksi sputum. (Courtesy of L. Huang, used with permission)

 

Gambar 3. Foto thoraks pada pasien yang terinfeksi HIV, CD4 count <200 cells/µL, mununjukkan unilateral (paru-paru kiri) opacitas granular. Walaupun, characteristically Pneumocystis pneumonia tampak pada sisi bilateral, biasanya symmetric, opacities, the opacities dapat unilateral atau asymmetric. Diagnosis Pneumocystis pneumonia tetap dicurigai jika terdapat reticular atau granular opacities, bahkan jika unilateral atau asymmetric. (Courtesy of L. Huang, used with permission)

  

Gambar 4. Foto thoraks pada pasien yang terinfeksi HIV, CD4 count <200 cells/µL, mununjukkan bilateral, sebagian besar di sentral, opacitas granular dan 3 thin-walled, kista berisi udara (pneumatoceles) (arrows). Penemuan kombinasi semakin mendukung Pneumocystis pneumonia, dilakukan konfirmasi tes mikroscopik melalui pemeriksaan bronchoalveolar lavage fluid. (Courtesy of L. Huang, used with permission)

 

Gambar 5. Foto thoraks pada pasien yang terinfeksi HIV, CD4 count <50 cells/µL, menunjukkan sebuah focal opacity pada paru-paru kanan. Pada kasus ini, kunci penting dari diagnosis tuberculosis berdasarkan jumlah CD4 cell count dan pengenalan tampilan gambar radiographic dapat menampilkan pasien dengan tuberculosis dimana kadar CD4 cell count nya rendah. Pasien ini akhirnya didiagnosis dengan tuberculosis resistant rifampin berdasarkanculture sputum mycobacterial. (Courtesy of L. Huang, used with permission)

 

Gambar 6. CT scan thoraks pada pasien yang terinfeksi HIV, CD4 count <100 cells/µL, revealing effusi pleura bilateral dan multiple low-attenuation (suggesting necrosis) subcarinal dan hilar lymph nodes. Menampilkan low-attenuation intrathoracic adenopathy mendukung suatu mycobacterial atau fungal disease. Pasien ini didiagnosis dengan tuberculosis dari pleural biopsy. (Courtesy of L. Huang, used with permission)

 

Gambar 7. Foto thoraks pada seorang pria yang terinfeksi HIV, CD4 count <100 cells/µL, menunjukkan bilateral, sebagian besar pada bagian pertengahan dan abnormalitas daerah paru-paru bagian bawah dengan distribusi sentral. Abnormalitas meliputi sebuah central coalescent pattern dengan ukuran kecil, nodular opacities terlihat dengan baik pada periphery zona atas pada paru-paru. Kerley B lines dapat ikut terlihat pada daerah dasar. Penemuan  constellation ini pada pria yang terinfeksi HIV mendukung Sarcoma kaposi pulmonary. Diagnosis dikonfirmasi menggunakan bronchoscopic visualization dengan karacteristik lesi kaposi terlihat pada tracheobronchial tree. (Courtesy of L. Huang, used with permission)

 

Gambar 8. CT scan thoraks pada seorang pria yang terinfeksi HIV, penemuan karakteristik pulmonary Sarcoma Kaposi, meliputi dinding bronchial thickening dan multiple nodules. (Courtesy of L. Huang, used with permission)

 

Gambar 9. Foto thoraks pada pasien yang terinfeksi HIV, CD4 count <50 cells/µL, menunjukkan suatu tipe milier tersebut mendukung juga mycobacterial atau disseminated fungal disease (informasi klinis mungkin dapat membantu menandai the relative probabilities). Diagnosis pasien ini dikonfirmasi dengan disseminated coccidioidomycosis. (Courtesy of L. Huang, used with permission)  

Gambar 10. CT scan thoraks pada pasien yang terinfeksi HIV, CD4 count <200 cells/µL, dengan multiple, kista bilateral dan sebuah konsolidasi focal alveolar consolidation secondary mengarah ke Streptococcus pneumoniae. (Courtesy of L. Huang, used with permission)

  

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Crothers, K, Goulet, JL, Rodriguez-Barradas, MC, Gibert, CL, Butt, AA, Braithwaite, RS, Peck, R, and Justice, AC. Decreased awareness of current smoking among health care providers of HIV-positive compared to HIV-negative veterans. J Gen Intern Med 2007;22(6):749-754.
  2. Crothers, K, Griffith, TA, McGinnis, KA, Rodriguez-Barradas, MC, Leaf, DA, Weissman, S, Gibert, CL, Butt, AA, and Justice, AC. The impact of cigarette smoking on mortality, quality of life, and comorbid illness among HIV-positive veterans. J Gen Intern Med 2005;20(12):1142-1145.
  3. Feikin, DR, Feldman, C, Schuchat, A, and Janoff, EN. Global strategies to prevent bacterial pneumonia in adults with HIV disease. Lancet Infect Dis 2004;4(7):445-455.
  4. Gruden JF, Huang L, Webb WR, et al. AIDS-related Kaposi sarcoma of the lung: Radiographic findings and staging system with bronchoscopic correlation. Radiology 1995;195(2):545-552.
  5. Huang L. Unpublished data; 2007
  6. http://eradiology.bidmc.harvard.edu/LearningLab/respiratory/Meyer.pdf
  7. http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-04-01-05
  8. http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-04-01-06
  9. http://www.hivmedicine.com/pdf/pulmo.pdf
  10. Kumaranayake, L. and Watts, C. (2001). “Resource allocation and priority setting of HIV/AIDS interventions: addressing the generalized epidemic in sub-Saharan Africa”. J. Int. Dev. 13 (4): 451–466. doi:10.1002/jid.798.
  11. Patel, prapid. 2006. “Lecture notes: Radiologi”. Edisi Kedua. EMS. Surabaya
  12. Thomas, CF, Jr., and Limper, AH. Pneumocystis pneumonia. N Engl J Med 2004;350(24):2487-2498.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Fraktur adalah masalah yang akhir-akhir ini sangat banyak menyita perhatian masyarakat. Kecelakaan lalu-lintas merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia, setelah penyakit jantung dan stroke. Pada kecelakaan lalu lintas banyak yang sebagian korban yang mengalami fraktur. Banyak pula kejadian alam yang tidak terduga yang banyak menyebabkan fraktur.

Dengan mobilitas yang tinggi disektor lalu lintas dan faktor kelalaian manusia sebagai salah satu penyebab paling sering terjadinya kecelakaan yang dapat menyebabkan fraktur. Penyebab yang lain dapat karena kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga.

Tibia merupakan tulang panjang yang paling sering mengalami cedera. Mempunyai permukaan subkutan yang paling panjang, sehingga paling sering terjadi fraktur terbuka. Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat yang berbeda, daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya pada tingkat yang sama. Pada cedera tak langsung, salah satu dari fragmen tulang dapat menembus kulit, cedera langsung akan menembus atau merobek kulit di atas fraktur. Kalau kulit diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur tertutup. Kecelakaan sepeda motor adalah penyebab yang paling lazim. Banyak diantara fraktur itu disebabkan oleh trauma tumpul, dan resiko komplikasinya berkaitan langsung dengan luas dan tipe kerusakan jaringan lunak.

Pada fraktur dan dislokasi pergelangan kaki biasanya kaki tertambat di tanah sementara momentum tubuh terus ke depan, pasien dapat tersandung pada rintangan yang tak diduga-duga atau tangga, atau masuk ke dalam cekungan kecil di tanah, atau jatuh dari tempat tinggi. Jika tidak dapat menangani dan merawat fraktur dengan cermat, akan dapat menyebabkan kecacatan yang berat.

1.2       RUMUSAN MASALAH

1.2.1 Bagaimana etiologi, patogenesis, pemeriksaan fisik, diagnosis dan penatalaksanaan fraktur tibia fibula tertutup?

1.3       TUJUAN

1.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, pemeriksaan fisik, diagnosis dan penatalaksanaan fraktur tibia fibula tertutup.

1.4       MANFAAT

1.4.1    Menambah wawasan mengenai penyakit bedah khususnya fraktur tibia fibula tertutup.

1.4.2    Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah ortopedi.

 

BAB II

STATUS PENDERITA

 

  1. A.           IDENTITAS PENDERITA

Nama                             : Sdr. R

Umur                             : 21 tahun

Jenis kelamin                 : Laki-laki

Pekerjaan                       : –

Agama                           : Islam

Alamat                           : Selorejo

Status perkawinan         : Belum Menikah

Suku                              : Jawa

Tanggal MRS                : 30 Agustus 2011

No. Reg                         : 269 121

 

  1. B.            ANAMNESA
  2. Keluhan utama            : Tungkai kiri bawah nyeri
  1. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke UGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan ambulance dalam keadaan sadar setelah kecelakaan lalu lintas ± 2 jam sebelum MRS. Pasien mengeluhkan tungkai kiri bawahnya nyeri dan tidak dapat digerakkan.

Pasien tidak mampu menceritakan kronologis kejadian karena waktu kejadian pasien mengaku tidak sadar dan lupa peristiwa yang terjadi saat kejadian. Menurut ibu korban, pasien dibonceng oleh temannya dengan mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi pada malam hari sekitar pukul 23.00 dalam kondisi jalan yang gelap sehingga akhirnya sepeda motor tersebut menabrak pembatas jalan sehingga terjatuh. Saat itu pasien langung pingsan dan tidak sadarkan diri. Pasien kemudian dibawa ke puskesmas setempat dan lukanya dibersihkan serta dipasang bidai. Setelah itu, pasien diantar oleh warga ke UGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen.

Psien tiba di UGD pukul 01. 00. Setelah sampai di UGD pasien sudah sadarkan diri dan mengeluh kepalanya sakit, serta pasien merasakan mual,dan sempat muntah selama 2 kali. Pasien mengaku tidak mengalami gangguan BAK ataupun gangguan BAB.

 

  1. Riwayat penyakit dahulu

­   Riwayat trauma sebelumnya tidak ditemukan

­   Pasien tidak pernah mengalami sakit yang sama sebelumnya

­   Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya

  1. Riwayat pengobatan

–        Mengkonsumsi obat-obatan untuk DM tidak ditemukan

–        Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama tidak ditemukan

  1. Riwayat Keluarga

­    Operasi (-)

­    DM (-)

­    Hipertensi (-)

 

  1. C.           PRIMARY SURVEY
  2. D.           SECONDARY SURVEY
  • Airway : tidak ada gangguan jalan nafas
  • Breathing : Pernafasan 18 x/mnt
  • Circulation : tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 84 x/mnt
  • Disability : GCS E4 V5 M6
  • Exposure : Suhu 36,8oC

Status Lokalis : Regio cruris sinistra

  • Look :  Ekskoriasi (+), deformitas (+): terdapat penonjolan abnormal dan angulasi (+),  oedem (+), hematoma (+), tak tampak sianosis pada bagian distal lesi.
  • Feel   :  Nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+), suhu rabaan hangat, NVD (neurovaskuler disturbance) (-), kapiler refil < 2 detik (normal),  arteri dorsalis pedis teraba lemah dibandingkan bagian yang sehat.

Panjang tungkai kanan 87 cm

Panjang tungkai kiri 84 cm

LLD 3 cm

  • Move   :           Gerakan aktif dan pasif terhambat, Gerakan abduksi tungkai kiri terhambat, gerakan adduksi tungkai kiri terhambat, sakit bila digerakkan, gangguan persarafan tidak ada, tampak gerakan terbatas (+), keterbatasan pergerakan sendi-sendi distal (karena terasa nyeri saat digerakkan).

 

 

 

  1. E.            RESUME

Laki-laki umur 21 tahun datang dengan keluhan pada nyeri tungkai kiri bawah dan tak dapat digerakkan setelah jatuh dari motor ± 2 jam sebelum MRS, pingsan (+), mual (+), muntah(+), kepala pusing (+).

Primary survey tidak didapatkan kelainan. Secondary survey regio cruris sinistra didapatkan Ekskoriasi (+), oedem (+), deformitas (+), angulasi (+), nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+),  LLD 3 cm, gerakan aktif dan pasif terhambat karena nyeri,

 

F.      DIAGNOSA KERJA

Fraktur Tibia Fibula Kiri Tertutup

 

  1. G.           PLANNING DIAGNOSA
  • Planning pemeriksaan

–     Foto Rontgen: cruris sinistra AP-lateral

–     Lab : DL, CT, BT, HbSAg

  • Planning Terapi
  1. Non operatif
    1. Medikamentosa
  • Analgetik
  1. Non medikamentosa
  • Pemasangan gips sampai di atas lutut
  1. Operatif

Reposisi terbuka dan fiksasi interna: ORIF


BAB III

PEMBAHASAN PENYAKIT

 

  1. A.    ANATOMI TIBIA FIBULA

Os tibia merupakan os longum yang terletak di sisi medial region cruris. Ini merupakan tulang terpanjang kedua setelah os femur. Tulang ini terbentang ke proksimal untuk membentuk articulation genu dan  ke distal terlihat semakin mengecil.

Os fibula atau calf bone terletak sebelah lateral dan lebih kecil dari tibia. Extremitas proximalis fibula terletak agak posterior dari caput tibia, dibawah articulation genus dan tulang ini tidak ikut membentuk articulation genus.

Fascia cruris merupakan tempat perleketan musculus dan bersatu dengan perosteum. Ke proximal akan melanjutkan diri ke fascia lata, dan akan melekat di sekitar articulation genus ke os patella, ligamentum patellae, tuberositas tibiae dan capitulum fibulae. Ke posterior membentuk fascis poplitea yang menutupi fossa poplitea. Disini tersusun oleh serabut-serabut transversal yang ditembus oleh vena saphena parva. Fascia ini menerima serabut-serabut tendo m.biceps femoris femoris disebelah lateral dan tendo m. Sartorius, m.gracilis, m.semitendinosus, dan m.semimembranosus disebelah medial. Ke anterior, fascia ini bersatu dengan perosteum tibia serta perostenium capitulum fibulae dan malleolus fibulae. Ke distal, faascia ini melanjutkan diri ke raetinaculum mm.extensorum superior dan retinaculum mm. flexorum. Fascia ini menjadi tebal dan kuat dibagian proximal dan anterior cruris, untuk perlekatan m.tibialis anterior dan m.extensor digitorum longus. Tetapi, fascia ini tipis dibagian posterior yang menutupi m.gastrocnemeus dan m.soleus. disisi lateral cruris, fascia ini membentuk septum intermusculare anterius dan septum intermusculare posterius. Musculus di region cruris dibedakan menjadi tiga kelompok. Yaitu (a) kelompok anterior, (b) kelompok posterior dan (c) kelompo lateralis.

  1. Musculus di region anterior
    1. M. tibialis anterior
    2. M. extensor hallucis longus
    3. M. extensor digitorum longus dan m.peroneus tertius
    4. Musculus regio cruris posterior kelompok superficialis
      1. M. gastrocnemius
      2. M. soleus
      3. M. plantaris
      4.  Musculus regio cruris posterior kelompok profunda
        1. M. popliteus
        2. M. flexor hallucis longus
        3. M. flexor digitorum longsu
        4. M. tibialis posterior
        5. Musculus region cruris lateralis
          1. M. peroneus longus
          2. M. peroneus brevis

 

  1. B.     DEFINISI FRAKTUR

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan persarafan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.

Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung, misalnya sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula.

Fraktur kruris (L:crus = tungkai) merupakan fraktur yang terjadi pada tibia dan fibula. Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar. Maka fraktur kruris tertutup adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi maupun tulang rawan epifisis yang terjadi pada tibia dan fibula yang tidak berhubungan dengan dunia luar. Fraktur kruris merupakan fraktur yang sering terjadi dibandingkan dengan fraktur pada tulang panjang lainnya. Periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya fragmen frakturnya bergeser karena berada langsung dibawah kulit sehingga sering juga ditemukan fraktur terbuka.

 

  1. C.    PENYEBAB FRAKTUR

Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat:

  1. Peristiwa trauma

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan lunaknya juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.

  1. Fraktur kelelahan atau tekanan

Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.

  1. Fraktur patologik

Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget).

Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat yang berbeda; daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya pada tingkatyang sama. Pada cedera tak langsung, salah satu dari fragmen tulang dapat menembus kulit; cedera langsung akan menembus atau merobek kulit diatas fraktur. Kecelakaan sepeda motor adalah penyebab yang paling lazim.

 

  1. D.  KLASIFIKASI FRAKTUR TIBIA FIBULA

Klasifikasi fraktur pada tibia dan fibula:

  1. Fraktur proksimal tibia
  2. Fraktur diafisis
  3. Fraktur dan dislokasi pada  pergelangan kaki

FRAKTUR PROKSIMAL TIBIA

a)      Fraktur Infrakondilus Tibia

Fraktur Infrakondilus tibia terjadi sebagai akibat pukulan pada tungkai pasien yang mematahkan tibia dan fibula sejauh 5cm di bawah lutut. Walaupun tungkai bawah dapat membengkak dalam segala arah, namun biasanya terjadi pergeseran lateral ringan dan tidak ada tumpang tindih atau rotasi. Fraktur tidak masuk ke dalam lututnya. Dapat dirawat dengan gips tungkai panjang, sama seperti fraktur pada tibia lebih distal. Jika fragmen tergeser, dapat dilakukan manipulasi ke dalam posisinya dan gunakan gips tungkai panjang selama 6 minggu. Kemudian dapat dilepaskan dan diberdirikan denganmenggunakan tongkat untuk menahan berat badan.

b)      Fraktur Berbentuk T

Terjadi karena terjatuh dari tempat yang tinggi, menggerakkan korpus tibia ke atas diantara kondilus femur, dan mencederai jaringan lunak pada lutut dengan hebat. Kondilus tibia dapat terpisah, sehingga korpus tibia tergeser diantaranya. Traksi tibia distal sering dapat mereduksi fraktur ini secara adekuat.

c)      Fraktur Kondilus Tibia(bumper fracture)

Fraktur kondilus lateralis terjadi karena adanya trauma abduksi terhadap femur dimana kaki terfiksasi pada dasar. Fraktur ini biasanya terjadi akibat tabrakan pada sisi luar kulit oleh bumper mobil, yang menimbulkan fraktur pada salah satu kondilus tibia, biasannya sisi lateral.

d)     Fraktur Kominutiva Tibia Atas

Pada fraktur kominutiva tibia atas biasanya fragmen dipertahankan oleh bagian periosteum yang intak. Dapat direduksi dengan traksi yang kuat, kemudian merawatnya dengan traksi tibia distal.

 

FRAKTUR DIAFISIS

Fraktur diafisis tibia dan fibula lebih sering ditemukan bersama-sama. Fraktur dapat juga terjadi hanya pada tibia atau fibula saja. Fraktur diafisis tibia dan fibula terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan trauma tipe spiral. Fraktur jenis ini dapat diklasifikasikan menjadi:

a)      Fraktur Tertutup Korpus Tibia pada Orang Dewasa

Dua jenis cedera dapat mematahkan tibia dewasa tanpa mematahkan fibula:

1) Jika tungkai mendapat benturan dari samping, dapat mematahkan secara transversal atau oblik, meninggalkan fibula dalam keadaan intak, sehingga dapat membidai fragmen, dan pergeseran akan sangat terbatas.

2) Kombinasi kompresi dan twisting dapat menyebabkan fraktur oblik spiral hampir tanpa pergeseran dan cedera jaringan lunak yang sangat terbatas.

Fraktur jenis ini biasanya menyembuh dengan cepat. Jika pergeseran minimal, tinggalkan fragmen sebagaimana adanya. Jika pergeseran signifikan, lakukan anestesi dan reduksikan.

b)      Fraktur Tertutup Korpus Tibia pada Anak-anak

Pada bayi dan anak-anak yang muda, fraktur besifat spiral pada tibia dengan fibula yang intak. Pada umur 3-6 tahun, biasanya terjadi stress torsional pada tibia bagian medial yang akan menimbulkan fraktur green stick pada metafisis atau diafisis proksimaldengan fibula yang intak. Pada umur 5-10 tahun, fraktur biasanya bersifat transversaldengan atau tanpa fraktur fibula.

 

 

c)      Fraktur Tertutup Pada Korpus Fibula

Gaya yang diarahkan pada sisi luar tungkai pasien dapat mematahkan fibula secara transversal. Tibianya dapat tetap dalam keadaan intak, sehingga tidak terjadi pergeseran atau hanya sedikit pergeseran ke samping. Biasanya pasien masih dapat berdiri. Otot-otot tungkai menutupi tempat fraktur, sehingga memerlukan sinar-X untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Tidak diperlukan reduksi, pembidaian, dan perlindungan, karena itu asalkan persendian lutut normal, biarkan pasien berjalan segera setelah cedera jaringan lunak memungkinkan. Penderita cukup diberi analgetika dan istirahat dengan tungkai tinggi sampai hematom diresorbsi.

d)     Fraktur Tertutup pada Tibia dan Fibula

Pada fraktur ini tungkai pasien terpelintir, dan mematahkan kedua tulang pada tungkai bawah secara oblik, biasanya pada sepertiga bawah. Fragmen bergeser ke arah lateral, bertumpang tindih, dan berotasi. Jika tibia dan fibula fraktur, yang diperhatikan adalah reposisi tibia. Angulasi dan rotasi yang paling ringan sekalipun dapat mudah terlihat dan dikoreksi. Perawatan tergantung pada apakah terdapat pemendekan. Jika terdapat pemendekan yang jelas, maka traksi kalkaneus selama seminggu dapat mereduksikannya. Pemendekan kurang dari satu sentimeter tidak menjadi masalah karena akan dikompensasi pada waktu pasien sudah mulai berjalan. Sekalipun demikian, pemendekan sebaiknya dihindari.

 

  1. E.  PEMERIKSAAN KLINIS

Kulit mungkin tidak rusak atau robek dengan jelas, kadang-kadang kulit tetap utuh tetapi melesak atau telah hancur, dan terdapat bahaya bahwa kulit itu dapat mengelupas dalam beberapa hari. Kaki biasanya memuntir keluar dan deformitas tampak jelas. Kaki dapat menjadi memar dan bengkak. Nadi dipalpasi untuk menilai sirkulasi, dan jari kaki diraba untuk menilai sensasi. Pada fraktur gerakan tidak boleh dicoba, tetapi pasien diminta untuk menggerakkan jari kakinya. Sebelum merencanakan terapi, perlu dilakukan penentuan beratnya cedera.

Pada anamnesis dalam kasus fraktur kondilus tibia terdapat riwayat trauma pada lutut, pembengkakan dan nyeri serta hemartrosis. Terdapat gangguan dalam pergerakan sendi lutut. Pada fraktur diafisis tulang kruris ditemukan gejala berupa pembengkakan, nyeri dan sering ditemukan penonjolan tulang keluar kulit. Pada fraktur dan dislokasi sendi pergelangan kaki ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruan atau deformitas. Yang penting diperhatikan adalah lokaliasasi dari nyeri tekan apakah pada daerah tulang atau pada ligament.

 

  1. F.   DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis fraktur dapat secara klinis meliputi anamnesis lengkap danmelakukan pemeriksaan fisik yang baik, namun sangat penting untuk dikonfirmasikan denganmelakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen untuk membantu mengarahkan danmenilai secara objektif keadaan yang sebenarnya.

  1. A.  Anamnesa

Penderita biasanya datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi ditempat lain. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas,  jatuh dari ketinggian atau jatuh dikamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin atau karena trauma olah raga. Penderita biasanya datang karena nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.

  1. B.  Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:

  • Syok, anemia atau perdarahan.
  • Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
  • Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis (penyakit Paget).

Pada pemeriksaan fisik dilakukan:

 Look (Inspeksi)

–          Deformitas: angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi,perpendekan atau perpanjangan).

–          Bengkak atau kebiruan.

–          Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak).

–          Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh. Kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound).

 Feel (palpasi)

Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:

–          Temperatur setempat yang meningkat

–          Nyeri tekan; nyeri tekan yang superfisisal biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.

–          Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati.

–          Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku.

–          Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan.

 Move (pergerakan)

–          Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.

–          Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.

–          Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.

  1. C.  Pemeriksaan Penunjang

­ Sinar -X

Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta eksistensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.

Tujuan pemeriksaan radiologis:

  • Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.
  • Untuk konfirmasi adanya fraktur.
  • Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya.
  • Untuk mengetahui teknik pengobatan.
  • Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.
  • Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler.
  • Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.
  • Untuk melihat adanya benda asing.

Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan ´Rules of Two´:

  • Dua pandangan

Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang (AP & Lateral/Oblique).

  • Dua sendi

Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan dalam foto sinar-X.

  • Dua tungkai

Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.

  • Dua cedera

Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1 tingkat. Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu juga diambil foto sinar-X pada pelvis dan tulang belakang.

  • Dua kesempatan

Segera setelah cedera, suatu fraktur mungkin sulit dilihat, kalau ragu-ragu, sebagai akibatresorbsi tulang, pemeriksaan lebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan diagnosis.

­     Pencitraan Khusus

Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu dinyatakan apakah fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana yang terkena dan lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta waktu penyembuhan fraktur, misalnya penyembuhan fraktur transversal lebihlambat dari fraktur oblik karena kontak yang kurang. Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada sinar-X biasa.Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau fraktur kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satu-satunya cara yang dapat membantu, sesungguhnya potret transeksional sangat penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang sukar. Radioisotop scanning berguna untuk mendiagnosis fraktur-tekanan yang dicurigai atau fraktur tak bergeser yang lain.

 

  1. G.    TEKNIK PENANGANAN

Penatalaksanaan Fraktur :

Non Operatif

1. Reduksi

Reduksi adalah terapi fraktur dengan cara mengantungkan kaki dengan tarikan atau traksi.

2. Imobilisasi

Imobilisasi dengan menggunakan bidai. Bidai dapat dirubah dengan gips dalam 7-10 hari, atau dibiarkan selama 3-4 minggu.

3. Pemeriksaan dalam masa penyembuhan

Dalam penyembuhan, pasien harus di evaluasi dengan pemeriksaan rontgen tiap 6 atau 8 minggu. Program penyembuhan dengan latihan berjalan, rehabilitasi ankle, memperkuat otot kuadrisef yang nantinya diharapkan dapat mengembalikan ke fungsi normal

Operatif

Penatalaksanaan Fraktur dengan operasi, memiliki 2 indikasi, yaitu:

 

 

a. Absolut

–          Fraktur terbuka yang merusak jaringan lunak, sehingga memerlukan operasi dalam penyembuhan dan perawatan lukanya.

–          Cidera vaskuler sehingga memerlukan operasi untuk memperbaiki jalannya darah di tungkai.

–          Fraktur dengan sindroma kompartemen.

–          Cidera multipel, yang diindikasikan untuk memperbaiki mobilitas pasien, juga mengurangi nyeri.

b. Relatif, jika adanya:

–          Pemendekan

–          Fraktur tibia dengan fibula intak

–          Fraktur tibia dan fibula dengan level yang sama

Adapun jenis-jenis operasi yang dilakukan pada fraktur tibia diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Fiksasi eksternal

a. Standar

Fiksasi eksternal standar dilakukan pada pasien dengan cidera multipel yang hemodinamiknya tidak stabil, dan dapat juga digunakan pada fraktur terbuka dengan luka terkontaminasi. Dengan cara ini, luka operasi yang dibuat bisa lebih kecil, sehingga menghindari kemungkinan trauma tambahan yang dapat memperlambat kemungkinan penyembuhan. Di bawah ini merupakan gambar dari fiksasi eksternal tipe standar.

 

 

 

 

b. Ring Fixators

Ring fixators dilengkapi dengan fiksator ilizarov yang menggunakan sejenis cincin dan kawat yang dipasang pada tulang. Keuntungannya adalah dapat digunakan untuk fraktur ke arah proksimal atau distal. Cara ini baik digunakan pada fraktur tertutup tipe kompleks. Di bawah ini merupakan gambar pemasangan ring fixators pada fraktur diafisis tibia.

c. Open reduction with internal fixation (ORIF)

Cara ini biasanya digunakan pada fraktur diafisis tibia yang mencapai ke metafisis. Keuntungan penatalaksanaan fraktur dengan cara ini yaitu gerakan sendinya menjadi lebih stabil. Kerugian cara ini adalah mudahnya terjadi komplikasi pada penyembuhan luka operasi. Berikut ini merupakan gambar penatalaksanaan fraktur dengan ORIF.

d. Intramedullary nailing

Cara ini baik digunakan pada fraktur displased, baik pada fraktur terbuka atau tertutup. Keuntungan cara ini adalah mudah untuk meluruskan tulang yang cidera dan menghindarkan trauma pada jaringan lunak.

2. Amputasi

Amputasi dilakukan pada fraktur yang mengalami iskemia, putusnya nervus tibia dan pada crush injury dari tibia.

H. KOMPLIKASI

1) Infeksi

Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa internal fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena luka yang tidak steril.

2) Delayed union

Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang tetapi terhambat yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak tercukupinya peredaran darah ke fragmen.

3) Non union

Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah 5 bulan mungkin disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum dan pergerakan pada tempat fraktur.

 

4) Avaskuler nekrosis

Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanya defisiensi suplay darah.

5). Kompartemen Sindrom

kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan.

6) Mal union

Terjadi pnyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar seperti adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan.

6) Trauma saraf terutama pada nervus peroneal komunis.

7) Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki.

Gangguan ini biasanya disebakan karena adanya adhesi pada otot-otot tungkai bawah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

KESIMPULAN

 

Berdasarkan anamnesa didapatkan Laki-laki umur 21 tahun datang dengan keluhan nyeri dan tak dapat digerakkan pada tungkai kiri  bawah setelah jatuh dari motor sejak ± 2 jam sebelum MRS, pingsan (+), mual (+), muntah(+), kepala pusing (+).

Primary survey tidak didapatkan kelainan. Secondary survey regio cruris sinistra didapatkan Ekskoriasi (+), oedem (+), deformitas (+), angulasi (+), nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+), hematoma (+), suhu rabaan hangat, LLD 3 cm, gerakan aktif dan pasif terhambat, gerakan abduksi tungkai kiri terhambat, gerakan adduksi tungkai kiri terhambat, sakit bila digerakkan, tampak gerakan terbatas (+), keterbatasan pergerakan sendi-sendi distal (karena terasa nyeri saat digerakkan).

Berdasarkan anamnesa, primary survey dan secondary survey didapatkan diagnosa fraktur tibia fibula kiri tertutup.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ekawati, Indriana Dani. 2008. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Kasus Post Fraktur Cruris 1/3 Tengah Dextra Dengan Pemasangan Plate and Screw Di Bangsal Bougenville Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Karya Tulis Ilmiah. Diakses pada tangal 8 Mei 2011.

 

Hadiwidjaja, Satimin. 2004. Anatomi Extremitas (Suatu Pendekatan Anatomi Regional) Jilid 2 Sei Extremitas Inferior. Sebelas Maret University Press. Surakarta

 

Mahyudin, Lestari. 2010. Fraktur Diafisis Tibia. (http://www.Belibis17.tk.

 

Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang Lamumpatue.

 

Sjamsuhidajat R,  Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta: EGC.

 

Skinner, Harry B. 2006. Current Diagnosis & Treatment In Orthopedics. USA: The McGraw-Hill Companies.

 

Anonymous. Fraktur Tibia Fibula. http://www.docstoc.com/  .

 


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Kanker payudara merupakan keganasan yang menyerang hampir sepertiga dari seluruh keganasan yang dijumpai pada wanita. Kanker payudara juga merupakan penyebab kematian kedua setelah kanker paru pada wanita serta menempati insiden tertinggi dari seluruh jenis keganasan. Setiap tahun, lebih dari satu juta kasus baru kanker payudara didiagnosa di seluruh dunia dan hampir 400.000 orang akan meninggal akibat penyakit tersebut

Sesuai dengan data yang didapatkan dari American Cancer Society , di Amerika Serikat sepanjang tahun 2001, insiden kanker payudara mencapai 192.200 penderita dan 40.860 berakhir dengan kematian. Sekitar 75% penderita berusia lebih dari 50 tahun dan hanya 5% yang berusia kurang dari 40 tahun. Awalnya insiden 1% pertahun, tetapi mulai tahun 1980an terjadi peningkatan menjadi 3 – 4% pertahun atau dijumpai 111 kasus baru pada setiap 100.000 wanita. Penderita lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan dengan pria (200 :1). Pada 2002 didapatkan 203.500 kasus baru dan 39.600 kasus berakhir dengan kematian. Selama 50 tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus kanker payudara di Amerika Serikat. Di negara-negara Asia, insiden kanker payudara mencapai 20 orang per 100.000 penduduk. Di Indonesia sendiri, kanker payudara menduduki peringkat kedua setelah kanker leher rahim di antara kanker yang menyerang wanita Indonesia

Kanker payudara merupakan keadaan malignansi yang berasal dari sel-sel yang terdapat pada payudara. Payudara wanita terdiri dari lobulus-lobulus, duktus-duktus, lemak dan jaringan konektif, pembuluh darah dan limfe. Pada umumnya kanker berasal dari sel-sel yang terdapat di duktus, beberapa diantaranya berasal dari lobulus dan jaringan lainnya.

Banyak sekali faktor resiko yang selanjutnya dapat menyebabkan berkembangnya kanker payudara. Secara statistik resiko kanker payudara meningkat pada wanita nullipara, menarche dini, menopause terlambat dan pada wanita yang mengalami kehamilan anak pertama di atas usia 30 tahun. Sebanyak kurang dari 1% kanker payudara tejadi pada usia kurang dari 25 tahun, setelah usia lebih dari 39 tahun insiden meningkat cepat. Insiden tertinggi dijumpai pada usia 45 – 50 tahun.

1.2       RUMUSAN MASALAH

Bagaimana definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Ca mammae?

I.3        TUJUAN

Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Ca mammae

I.4        MANFAAT

I.4.1     Menambah wawasan mengenai penyakit bedah khususnya Ca mammae

I.4.2     Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mammae

Setiap payudara terdiri dari 12 sampai 20 lobulus kelenjar tubuloalveolar yang masing-masing mempunyai saluran ke puting susu yang disebut duktus laktiferus. Diantara kelenjar susu dan fasia pektoralis serta diantara kulit dan kelenjar payudara terdapat jaringan lemak. Diantara lobulus terdapat ligamentum Cooper yang memberi rangka untuk payudara. Setiap lobules terdiri dari sel-sel asini yang terdiri dari sel epitel kubus dan mioepitel yang mengelilingi lumen. Sel epitel mengarah ke lumen, sedangkan sel mioepitel terletak diantara sel epitel dan membran basalis.

Perdarahan payudara terutama berasal dari cabang a. perforantes anterior dari a. mammaria interna. Persarafan kulit payudara diurus oleh cabang pleksus servikalis dan n. interkostalis. Jaringan kelenjar payudara sendiri diurus oleh saraf simpatik. Aliran limfe dari payudara sekitar 75% menuju ke aksila, sisanya ke kelenjar parasternal dan interpektoralis.

 

Gambar 2.1. Anatomi payudara

Secara fisiologis, payudara mengalami berbagai perubahan yang dipengaruhi oleh hormonal. Pada saat pubertas, estrogen dan progesteron yang dihasilkan oleh ovarium dan pengaruh hipofisa anterior menyebabkan berkembangnya duktus dan asinus. Sesuai dengan siklus menstruasi, terjadi peningkatan estrogen dan progesteron sehingga terjadi proliferasi sel dan retensi cairan. Pada saat kehamilan, terjadi proliferasi sel akibat pengaruh estrogen, progesteron, laktogen plasenta dan prolaktin. Pada saat menyusui terjadi peningkatan produksi prolaktin dan penurunan estrogen dan progesteron, sedangkan pada saat menopause terjadi involusi payudara diikuti dengan berkurangnya jumlah kelenjar.

2.2. Kanker Payudara

Kanker payudara merupakan keadaan malignansi yang berasal dari sel-sel yang terdapat pada payudara. Payudara wanita terdiri dari lobulus-lobulus, duktus-duktus, lemak dan jaringan konektif, pembuluh darah dan limfe. Pada umumnya karsinoma berasal dari sel-sel yang terdapat di duktus, beberapa diantaranya berasal dari lobulus dan jaringan lainnya. 2.2.1. Epidemiologi

Kanker payudara merupakan salah satu penyebab kematian pada wanita dan lebih dari satu juta kasus ditemukan di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat setiap tahunnya ditemukan 100.000 kasus baru dan 30.000 diantaranya meningggal. Di Amerika Utara dan Eropa Utara lebih tinggi, yaitu 91,4 kasus baru dari 100.000 wanita per tahun, diikuti dengan Eropa Selatan dan Amerika Latin dan paling rendah di Asia dan Afrika. Pada beberapa tempat di dunia seperti Amerika Utara, Eropa dan Australia telah terjadi penurunan angka mortalitas sehubungan dengan keberhasilan untuk mendiagnosis secara dini dan terapi yang tepat. Berbeda dengan di Jepang, Costa Rica dan Singapura angka mortalitas cenderung meningkat. Di Singapura, kanker payudara merupakan keganasan terbanyak pada wanita, ditemukan 46,1 kasus per 100.000 wanita pertahun dan mengalami peningkatan 3,68% per tahun.

2.2.2. Faktor Resiko

Usia

Kanker payudara jarang terjadi pada usia sebelum 25 tahun, kecuali pada beberapa kasus yang berhubungan dengan faktor familial. Secara keseluruhan dapat terjadi pada semua usia, 77% terjadi pada wanita di atas usia 50 tahun dan rata-rata diagnosis ditegakkan pada wanita usia 64 tahun.

Usia menarche

Pada 20% kasus, terjadi peningkatan insiden kanker payudara pada wanita usia menarche kurang dari 11 tahun jika dibandingkan dengan usia yang mendapat menarche pada usia 14 tahun. Menopause yang terlambat juga merupakan faktor penyebab terjadinya resiko kanker payudara.

Usia kehamilan anak pertama

Pada wanita dengan usia kehamilan anak pertama kurang dari 20 tahun memiliki faktor resiko separuhnya jika dibandingkan dengan wanita pada saat usia kehamilan anak pertama lebih dari 35 tahun atau pada nullipara. Diduga, pada saat kehamilan menyebabkan terjadinya diferensiasi terminal sel-sel epitel yang dikatakan berpotensi untuk tejadinya perubahan maligna.

Hubungan familial pada garis pertama

Resiko terjadinya kanker payudara meningkat sehubungan dengan derajat kekerabatan garis pertama familial dalam keluarga, misalnya ibu, saudara peremuan dan anak perempuan. Secara mayoritas, kanker terjadi pada tanpa adanya hubungan tersebut, sekitar 13% yang mempunyai hubungan demikian.

Ras

Walaupun secara keseluruhan insiden kanker payudara rendah pada wanita Afrika dan Amerika, tetapi pada kelompok ini ditemukan pada stadium yang lanjut sehngga angka mortalitas meningkat jika dibandingkan dengan wanita kulit putih. Kanker payudara lebih banyak ditemukan pada wanita kulit hitam jika dibandingkan dengan wanita kulit putih serta berusia lebih dari 40 tahun. Pada wanita kulit hitam yang menderita kanker payudara umumnya dengan nuclear high-grade, lebih sering tanpa reseptor hormonal dan terjadinya mutasi sporadik p53. Penderita kanker payudara paling banyak ditemukan pada wanita Kaukasia. Faktor sosial yang berpengaruh seperti keterlambatan pemeriksaan ke pusat kesehatan dan sedikitnya penggunaan mamografi juga memegang peranan penting.

Paparan estrogen

Penggunaan hormon pengganti pada wanita postmenopausal menunjukkan peningkatan faktor resiko terjadinya kanker payudara. Pemberian estrogen dan progesteron secara bersamaan meningkatkan terjadinya insiden kanker payudara jika dibandingkan dengan pemberian estrogen saja. Keadaan ini terutama dijumpai pada karsinoma lobular invasif. Tidak adanya estrogen endogen (oovorektomi) dapat menurunkan insiden kanker payudara mencapai 75%.

Faktor-faktor lain yang berpengaruh seperti geografik, diet, obesitas, olah raga teratur, menyusui, toksin lingkungan dan merokok dikatakan mempunyai factor keterkaitan.

2.2.3. Etiologi dan Patogenesis

Berkembangnya suatu kanker payudara pada umumnya berhubungan dengan faktor hormonal dan genetik (riwayat keluarga). Secara sporadik, kanker payudara berhubungan dengan paparan hormonal dan secara herediter berhubungan dengan mutasi germ-line.

Herediter

Ditemukan 13% kanker payudara terjadi secara herediter pada garis pertama keturunan, hanya sekitar 1% yang diakibatkan oleh multifaktor dan mutasi germ-line. Sekitar 23% kanker payudara terjadi secara familial (atau 3% dari seluruh kanker payudara) hal ini dikaitkan dengan BRCA1 dan BRCA2. Probabilitas terjadinya kanker payudara yang berhubungan dengan mutasi gen ini meningkat jika terjadi pada garis pertama keturunan, penderita terkena sebelum menopause dan atau dengan kanker multipel, atau pada pria dengan kanker payudara dan jika ada anggota keluarga menderita kanker ovarium. Secara herediter , penyebab terjadinya mutasi multifaktorial dan pada umumnya antar faktor ini saling mempengaruhi. Perubahan terjadi pada salah satu dari gen sekian banyak gen yang dapat mencetuskan suatu transformasi maligna didukung oleh faktor lain

Gen BRCA1 dan BRCA2

Pada kanker payudara ditemukan dua gen yang bertanggung jawab pada dua pertiga kasus kanker payudara familial atau 5% secara keseluruhan, yaitu gen BRCA1 yang berlokasi pada kromosom 17(17q21) dan gen BRCA2 yang berlokasi pada kromosom 13q-12-13. Adanya mutasi dan delesi BRCA1 yang bersifat herediter pada 85% menyebabkan terjadinya peningkatan resiko untuk terkena kanker payudara, 10% secara nonherediter dan kanker ovarium. Mutasi dari BRCA1 menunjukkan perubahan ke arah karsinoma tipe medular, cenderung high grade, mitotik sangat aktif, pola pertumbuhan sinsitial dan status reseptor estrogen negatif dan mempunyai prognosis yang buruk. Gen BRCA2 yang berlokasi pada kromosom 13q melibatkan 70% untuk terjadinya kanker payudara secara herediter dan bukan merupakan mutasi sekunder dari BRCA1. Seperti halnya BRCA1, BRCA2 juga dapat menyebabkan terjadinya kanker ovarium dan pada pria dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara.

Mutasi Germline

Faktor genetik ditunjukkan dengan kecenderungan familial yang kuat. Tidak adanya pola pewarisan menunjukkan bahwa insiden familial dapat disebabkan oleh kerja banyak gen atau oleh faktor lingkungan serupa yang bekerja pada anggota keluarga yang sama. Pada penderita sindroma Li-Fraumeni terjadi mutasi dari tumor supressor gen p53. Keadaan ini dapat menyebabkan keganasan pada otak dan kelenjar adrenal pada anak-anak dan kanker payudara pada orang dewasa. Ditemukan sekitar 1% mutasi p53 pada penderita kanker payudara yang dideteksi pada usia sebelum 40 tahun.

Mutasi sporadik

Secara mayoritas keadaan mutasi sporadik berhubungan dengan paparan hormon, jenis kelamin, usia menarche dan menopause, usia reproduktif, riwayat menyusui dan estrogen eksogen. Keadaan kanker seperti ini dijumpai pada wanita postmenopause dan overekspresi estrogen reseptor. Estrogen sendiri mempunyai dua kemampuan untuk berkembangnya kanker payudara. Metabolit estrogen dapat menyebabkan mutasi atau menyebabkan perusakan DNA-radikal bebas. Melalui aktivitas hormonal, estrogen dapat menyebabkan proliferasi lesi premaligna menjadi suatu maligna. Sifat bergantung hormon ini berkaitan dengan adanya estrogen, progesteron dan reseptor hormon steroid lain di inti sel payudara. Pada neoplasma yang memiliki reseptor ini terapi hormon (antiestrogen) dapat memperlambat pertumbuhannya dan menyebabkan regresi tumor.

HER2/neu

HER2/neu (c-erbB-2) merupakan suatu onkogen yang meng-encode glikoprotein transmembran melalui aktivitas tirosin kinase, yaitu p185. Overekspresi HER2/neu dapat dideteksi melalui pemeriksaan imunohistokimia, FISH (fluorecence in situ hybridization) dan CISH (chromogenic in situ hybridization).10 Suatu “kromosom penanda” (1q+) telah dilaporkan dan peningkatan ekspresi onkogen HER2/neu telah dideteksi pada beberapa kasus. Adanya onkogen HER2/neu yang mengalami amplikasi pada sel-sel kanker payudara berhubungan dengan prognosis yang buruk.

Virus

Diduga menyebabkan kanker payudara. Faktor susu Bittner adalah suatu virus yang menyebabkan kanker payudara pada tikus yang ditularkan melalui air susu. Antigen yang serupa dengan yang terdapat pada virus tumor mammaria tikus telah ditemukan pada beberapa kasus kanker payudara pada manusia tetapi maknanya tidak jelas.

2.2.4. Lokasi

Sekitar 50% massa tumor terdapat pada kuadran lateral atas, 15% pada kuadran medial atas, 10% pada kuadran lateral bawah dan 17% pada regio sentral (1 cm dari areola mamma) dan 3% difus. Beberapa kasus menunjukkan bahwa massa tumor lebih sering ditemukan pada payudara kiri dibandingkan dengan payudara kanan

 

2.2.5 Klasifikasi Histologis

Stadium

Stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil penelitian dokter saat mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita pasiennya, sudah sejauh manakah tingkat penyebaran kanker tersebut baik ke organ atau jaringan sekitar maupun penyebaran ketempat lain. Stadium hanya dikenal pada tumor ganas atau kanker dan tidak ada pada tumor jinak.

Untuk menentukan suatu stadium, harus dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya yaitu histopatologi atau PA, rontgen, USG, dan bila memungkinkan dengan CT scan, scintigrafi, dan lain-lain. Banyak sekali cara untuk menentukan stadium, namun yang paling banyak digunakan saat ini adalah stadium kanker berdasarkan klasifikasi sistem TNM yang direkomendasikan oleh UICC (International Union Against Cancer dari World Helath Organization) / AJCC (American Joint Committee On Cancer yang disponsori oleh American Cancer Society dan American College of Surgeons).

Sistem TNM

TNM merupakan singkatan dari “T” yaitu tumor size atau ukuran tumor, “N” yaitu node atau kelenjar getah bening regional dan “M” yaitu metastasis atau penyebaran jauh. Ketiga faktor T, N, dan M dinilai baik secara klinis sebelum dilakukan operasi, juga sesudah operasi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi (PA). Pada kanker payudara, penilaian TNM sebagai berikut :

a)      Ukuran Tumor (T) :

 

b. Palpable Lymph Node (N):

 

c. Metastase (M) :

 

Setelah masing-masing faktor T, N, M didapatkan, ketiga faktor tersebut kemudian digabungkan dan akan diperoleh stadium kanker sebagai berikut:

 

Tabel 2.5 Stadium Numerik Kanker Payudara

Gejala permulaan kanker payudara sering tidak disadari atau dirasakan dengan jelas oleh penderita sehingga banyak penderita yang berobat dalam keadaan lanjut. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kematian kanker tersebut. Padahal, pada stadium dini kematian akibat kanker masih dapat di cegah. Tjindarbumi (1982) mengatakan, bila penyakit kanker payudara ditemukan dalam stadium dini, angka harapan hidupnya (life expectancy) tinggi, berkisar antara 85-95%. Namun, dikatakannya pula bahwa 70-90% penderita datang ke rumah sakit setelah penyakit parah, yaitu setelah masuk dalam stadium lanjut.

Gejala Klinis Kanker Payudara

Wanita dengan kanker payudara, bisa jadi mengalami gejala-gejala berikut. Kadang meskipun di tubuhnya telah tumbuh kanker dia tidak merasakan gejala apapun. Atau boleh juga ditubuhnya menujukkan gejala tersebut tetapi bukan karena kanker payudara, tetapi akibat kondisi medis lain. Adapun tanda-tanda atau gejalanya antara lain :

 

 

 

• Ada bejolan yang keras di payudara

–          Bentuk umumnya berupa benjolan yang tidak nyeri pada payudara. Benjolan itu mula-mula kecil, semakin lama akan semakin besar, lalu melekat pada kulit atau menimbulkan perubahan pada kulit payudara atau pada puting susu.

–          Puting berubah (bisa masuk kedalam, atau terasa sakit terus-menerus), mengeluarkan cairan atau darah

  • Kulit atau puting susu menjadi tertarik ke dalam (retraksi), bewarna merah muda atau kecoklat-coklatan sampai menjadi odema hingga kulit kelihatan seperti kulit jeruk, mengkerut, atau timbul borok pada payudara. Borok itu semakin lama akan semakin membesar dan mendalam sehingga dapat menghancurkan seluruh payudara, sering berbau busuk, dan mudah berdarah. Ciri-ciri lainnya antara lain pendarahan pada puting susu, rasa sakit atau nyeri pada umumnya baru timbul apabila tumor sudah besar, sudah timbul borok, atau bila sudah muncul metastase ke tulang-tulang, kemudian timbul pembesaran kelenjar getah bening di ketiak, bengkak (edema) pada lengan, dan penyebaran kanker ke seluruh tubuh
  • Ada perubahan pada kulit payudara diantara berkerut, iritasi, seperti kulit jeruk.
  • Adanya benjolan-benjolan kecil
  • Ada luka di payudara yang sulit sembuh
  • Payudara terasa panas, memerah, dan bengkak
  • Terasa sakit atau nyeri (bisa juga ini bukan sakit karena kanker, tetapi tetap harus diwaspadai)
  • Terasa sangat gatal di daerah sekitar puting
  • Benjolan yang keras itu tidak bergerak (terfiksasi) dan biasanya pada awal tidak terasa sakit
  • Apabila benjolan itu kanker, awalnya biasanya hanya pada satu payudara.

Kanker payudara lanjut sangat mudah dikenali degan mengetahui kriteria operabilitas Heagensen sebagai berikut :

  • Terdapat edema luas pada kulit payudara (lebih 1/3 luas kulit payudara);
  • Adanya nodul satelit pada kulit payudara;
  • Kanker payudara jenis mastitis karsinimatosa;
  • Terdapat model parasternal dan nodel supraklavikula;
  • Adanya edema lengan dan metastase jauh;
  • Serta terdapat dua dari tanda-tanda locally advanced, yaitu ulserasi kulit, edema kulit, kulit terfiksasi pada dinding toraks, kelenjar getah bening aksila berdiameter lebih 2,5 cm dan kelenjar getah bening aksila melekat satu sama lain.

Pemeriksaan penunjang

1. Mammografi

Mammografi merupakan pemeriksaan yang paling dapat diandalkan untuk mendeteksi kanker payudara sebelum benjolan atau massa dapat dipalpasi. Karsinoma yang tumbuh lambat dapat diidentifikasi dengan mammografi setidaknya 2 tahun sebelum mencapai ukuran yang dapat dideteksi melalui palpasi.

Mammografi telah digunakan di Amerika Utara sejak tahun 1960 dan teknik ini terus dimodifikasi dan diimprovisasi untuk meningkatkan kualitas gambarnya. Mammografi konvensional menyalurkan dosis radiasi sebesar 0,1 sentigray (cGy) setiap penggunaannya. Sebagai perbandingan, Foto X-ray thoraks menyalurkan 25% dari dosis radiasi mammografi. Mammografi dapat digunakan baik sebagai skrining maupun diagnostik. Mammografi mempunyai 2 jenis gambaran, yaitu kraniokaudal (CC) dan oblik mediolateral (MLO).MLO memberikan gambaran jaringan mammae yang lebih luas, termasuk kuadran lateral atas dan axillary tail of Spence. Dibandingkan dengan MLO, CC memberikan visualisasi yang lebih baik pada aspek medial dan memungkinkan kompresi payudara yang lebih besar.

Radiologis yang berpengalaman dapat mendeteksi karsinoma payudara dengan tingkat false-positive sebesar 10% dan false-negative sebesar 7%. Gambaran mammografi yang spesifik untuk karsinoma mammae antara lain massa padat dengan atau tanpa gambaran seperti bintang (stellate), penebalan asimetris jaringan mammae dan kumpulan mikrokalsifikasi. Gambaran mikrokalsifikasi ini merupakan tanda penting karsinoma pada wanita muda, yang mungkin merupakan satu-satunya kelainan mammografi yang ada. Mammografi lebih akurat daripada pemeriksaan klinis untuk deteksi karsinoma mammae stadium awal, dengan tingkat akurasi sebesar 90%. Protokol saat ini berdasarkan National Cancer Center Network (NCCN) menyarankan bahwa setiap wanita diatas 20 tahun harus dilakukan pemeriksaan payudara setiap 3 tahun. Pada usia di atas 40 tahun, pemeriksaan payudara dilakukan setiap tahun disertai dengan pemeriksaan mammografi. Pada suatu penelitian atas screening mammography, menunjukkan reduksi sebesar 40% terhadap karsinoma mammae stadium II, III dan IV pada populasi yang dilakukan skrining dengan mammografi.

 

 

2. Ultrasonografi (USG)

Penggunaan USG merupakan pemeriksaan penunjang yang penting untuk membantu hasil mammografi yang tidak jelas atau meragukan, baik digunakan untuk menentukan massa yang kistik atau massa yang padat. Pada pemeriksaan dengan USG, kista mammae mempunyai gambaran dengan batas yang tegas dengan batas yang halus dan daerah bebas echo di bagian tengahnya. Massa payudara jinak biasanya menunjukkan kontur yang halus, berbentuk oval atau bulat, echo yang lemah di bagian sentral dengan batas yang tegas. Karsinoma mammae disertai dengan dinding yang tidak beraturan, tetapi dapat juga berbatas tegas dengan peningkatan akustik. USG juga digunakan untuk mengarahkan fine-needle aspiration biopsy (FNAB), coreneedle biopsy dan lokalisasi jarum pada lesi payudara. USG merupakan pemeriksaan yang praktis dan sangat dapat diterima oleh pasien tetapi tidak dapat mendeteksi lesi dengan diameter ≤ 1 cm.

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Sebagai alat diagnostik tambahan atas kelainan yang didapatkan pada mammografi, lesi payudara lain dapat dideteksi. Akan tetapi, jika pada pemeriksaan klinis dan mammografi tidak didapat kelainan, maka kemungkinan untuk mendiagnosis karsinoma mammae sangat kecil.

MRI sangat sensitif tetapi tidak spesifik dan tidak seharusnya digunakan untuk skrining. Sebagai contoh, MRI berguna dalam membedakan karsinoma mammae yang rekuren atau jaringan parut. MRI juga bermanfaat dalam memeriksa mammae kontralateral pada wanita dengan karsinoma payudara, menentukan penyebaran dari karsinoma terutama karsinoma lobuler atau menentukan respon terhadap kemoterapi neoadjuvan.

4. Biopsi

Fine-needle aspiration biopsy (FNAB) dilanjutkan dengan pemeriksaan sitologi merupakan cara praktis dan lebih murah daripada biopsi eksisional dengan resiko yang rendah. Teknik ini memerlukan patologis yang ahli dalam diagnosis sitologi dari karsinoma mammae dan juga dalam masalah pengambilan sampel, karena lesi yang dalam mungkin terlewatkan. Insidensi false-positive dalam diagnosis adalah sangat rendah, sekitar 1-2% dan tingkat false-negative sebesar 10%. Kebanyakan klinisi yang berpengalaman tidak akan menghiraukan massa dominan yang mencurigakan jika hasil sitologi FNA adalah negatif, kecuali secara klinis, pencitraan dan pemeriksaan sitologi semuanya menunjukkan hasil negatif. Large-needle (core-needle) biopsy mengambil bagian sentral atau inti jaringan dengan jarum yang besar. Alat biopsi genggam menbuat large-coreneedle biopsy dari massa yang dapat dipalpasi menjadi mudah dilakukan di klinik dan cost-effective dengan anestesi lokal.

Open biopsy dengan lokal anestesi sebagai prosedur awal sebelum memutuskan tindakan defintif merupakan cara diagnosis yang paling dapat dipercaya. FNAB atau core-needle biopsy, ketika hasilnya positif, memberikan hasil yang cepat dengan biaya dan resiko yang rendah, tetapi ketika hasilnya negatif maka harus dilanjutkan dengan open biopsy. Open biopsy dapat berupa biopsy insisional atau biopsi eksisional. Pada biopsy insisional mengambil sebagian massa payudara yang dicurigai, dilakukan bila tidak tersedianya core-needle biopsy atau massa tersebut hanya menunjukkan gambaran DCIS saja atau klinis curiga suatu inflammatory carcinoma tetapi tidak tersedia core-needle biopsy. Pada biopsi eksisional, seluruh massa payudara diambil.

5. Biomarker

Biomarker karsinoma mammae terdiri dari beberapa jenis. Biomarker sebagai salah satu faktor yang meningkatkan resiko karsinoma mammae. Biomarker ini mewakili gangguan biologik pada jaringan yang terjadi antara inisiasi dan perkembangan karsinoma. Biomarker ini digunakan sebagai hasil akhir dalam penelitian kemopreventif jangka pendek dan termasuk perubahan histologis, indeks dari proliferasi dan gangguan genetik yang mengarah pada karsinoma.

Nilai prognostik dan prediktif dari biomarker untuk karsinoma mammae antara lain (1) petanda proliferasi seperti proliferating cell nuclear antigen (PNCA), BrUdr dan Ki-67; (2) petanda apoptosis seperti bcl-2 dan rasio bax:bcl-2; (3) petanda angiogenesis seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) dan indeks angiogenesis; (4) growth factors dan growth factor receptors seperti human epidermal growth receptor (HER)-2/neu dan epidermal growth factor receptor (EGFr) dan (5) p53.

Penatalaksanaan

Terapi dapat bersifat kuratif atau paliatif. Terapi kuratif dianjurkan untuk stadium I, II, dan III. Pasien dengan tumor lokal lanjut (T3,T4) dan bahkan inflammatory carcinoma mungkin dapat disembuhkan dengan terapi multimodalitas, tetapi kebanyakan hanya bersifat paliatif. Terapi paliatif diberikan pada pasien dengan stadium IV dan untuk pasien dengan metastasis jauh atau untuk karsinoma lokal yang tidak dapat direseksi.

A. Terapi secara pembedahan

1. Mastektomi partial (breast conservation)

Tindakan konservatif terhadap jaringan payudara terdiri dari reseksi tumor primer hingga batas jaringan payudara normal, radioterapi dan pemeriksaan status KGB (kelenjar getah bening) aksilla. Reseksi tumor payudara primer disebut juga sebagai reseksi segmental, lumpectomy, mastektomi partial dan tylectomy. Tindakan konservatif, saat ini merupakan terapi standar untuk wanita dengan karsinoma mammae invasif stadium I atau II. Wanita dengan DCIS hanya memerlukan reseksi tumor primer dan radioterapi adjuvan. Ketika lumpectomy dilakukan, insisi dengan garis lengkung konsentrik pada nipple-areola complex dibuat pada kulit diatas karsinoma mammae. Jaringan karsinoma diangkat dengan diliputi oleh jaringan mammae normal yang adekuat sejauh 2 mm dari tepi yang bebas dari jaringan tumor. Dilakukan juga permintaan atas status reseptor hormonal dan ekspresi HER-2/neu kepada patologis.

Setelah penutupan luka payudara, dilakukan diseksi KGB aksilla ipsilateral untuk penentuan stadium dan mengetahui penyebaran regional. Saat ini, sentinel node biopsy merupakan prosedur staging yang dipilih pada aksilla yang tidak ditemukan adanya pembesaran KGB. Ketika sentinel node biopsy menunjukkan hasil negatif, diseksi KGB akilla tidak dilakukan.

2. Modified Radical Mastectomy

Modified radical mastectomy mempertahankan baik M. pectoralis mayor and M. pectoralis minor, dengan pengangkatan KGB aksilla level I dan II tetapi tidak level III. Modifikasi Patey mengangkat M. pectoralis minor dan diseksi KGB axilla level III. Batasan anatomis pada Modified radical mastectomy adalah batas anterior M. latissimus dorsi pada bagian lateral, garis tengah sternum pada bagian medial, bagian inferiornya 2-3 cm dari lipatan infra-mammae dan bagian superiornya m. subcalvia. Seroma dibawah kulit dan di aksilla merupakan komplikasi tersering dari mastektomi dan diseksi KGB aksilla, sekitar 30% dari semua kasus. Pemasangan closed-system suction drainage mengurangi insidensi dari komplikasi ini. Kateter dipertahankan hingga cairan drainage kurang dari 30 ml/hari. Infeksi luka jarang terjadi setelah mastektomi dan kebanyakan terjadi sekunder terhadap nekrosis skin-flap. Pendarahan sedang dan hebat jarang terjadi setelah mastektomi dan sebaiknya dilakukan eksplorasi dini luka untuk mengontrol pendarahan dan memasang ulang closed-system suction drainage. Insidensi lymphedema fungsional setelah modified radical mastectomy sekitar 10%. Diseksi KGB aksilla ekstensif, terapi radiasi, adanya KGB patologis dan obesitas merupakan factor-faktor predisposisi.

Terapi secara medikalis (non-pembedahan)

1. Radioterapi

Terapi radiasi dapat digunakan untuk semua stadium karsinoma mammae. Untuk wanita dengan DCIS, setelah dilakukan lumpectomy, radiasi adjuvant diberikan untuk mengurangi resiko rekurensi lokal, juga dilakukan untuk stadium I, IIa, atau IIb setelah lumpectomy. Radiasi juga diberikan pada kasus resiko/kecurigaan metastasis yang tinggi.

Pada karsinoma mammae lanjut (Stadium IIIa atau IIIb), dimana resiko rekurensi dan metastasis yang tinggi maka setelah tindakan pembedahan dilanjutkan dengan terapi radiasi adjuvan.

2. Kemoterapi

a. Kemoterapi adjuvan

Kemoterapi adjuvan memberikan hasil yang minimal pada karsinoma mammae tanpa pembesaran KGB dengan tumor berukuran kurang dari 0,5 cm dan tidak dianjurkan. Jika ukuran tumor 0,6 sampai 1 cm tanpa pembesaran KGB dan dengan resiko rekurensi tinggi maka kemoterapi dapat diberikan. Faktor prognostik yang tidak menguntungkan termasuk invasi pembuluh darah atau limfe, tingkat kelainan histologis yang tinggi, overekspresi HER-2/neu dan status reseptor hormonal yang negatif sehingga direkomendasikan untuk diberikan kemoterapi adjuvan. Contoh regimen kemoterapi yang digunakan antara lain siklofosfamid, doxorubisin, 5-fluorourasil dan methotrexate. Untuk wanita dengan karsinoma mammae yang reseptor hormonalnya negative dan lebih besar dari 1 cm, kemoterapi adjuvan cocok untuk diberikan. Rekomendasi pengobatan saat ini, berdasarkan NSABP B-15, untuk stadium IIIa yang operabel adalah modified radical mastectomy diikuti kemoterapi adjuvant dengan doxorubisin diikuti terapi radiasi.

b. Neoadjuvant chemotherapy

Kemoterapi neoadjuvan merupakan kemoterapi inisial yang diberikan sebelum dilakukan tindakan pembedahan, dimana dilakukan apabila tumor terlalu besar untuk dilakukan lumpectomy. Rekomendasi saat ini untuk karsinoma mammae stadium lanjut adalah kemoterapi neoadjuvan dengan regimen adriamycin diikuti mastektomi atau lumpectomy dengan diseksi KGB aksilla bila diperlukan, diikuti kemoterapi adjuvan, dilanjutkan dengan terapi radiasi. Untuk Stadium IIIa inoperabel dan IIIb, kemoterapi neoadjuvan digunakan untuk menurunkan beban atau ukuran tumor tersebut, sehingga memungkinkan untuk dilanjutkan modified radical mastectomy, diikuti dengan kemoterapi dan radioterapi.

3. Terapi anti-estrogen

Dalam sitosol sel-sel karsinoma mammae terdapat protein spesifik berupa reseptor hormonal yaitu reseptor estrogen dan progesteron. Reseptor hormon ini ditemukan pada lebih dari 90% karsinoma duktal dan lobular invasif yang masih berdiferensiasi baik. Setelah berikatan dengan reseptor estrogen dalam sitosol, tamoxifen menghambat pengambilan estrogen pada jaringan payudara. Respon klinis terhadap anti-estrogen sekitar 60% pada wanita dengan karsinoma mammae dengan reseptor hormon yang positif, tetapi lebih rendah yaitu sekitar 10% pada reseptor hormonal yang negatif. Kelebihan tamoxifen dari kemoterapi adalah tidak adanya toksisitas yang berat. Nyeri tulang, hot flushes, mual, muntah dan retensi cairan dapat terjadi pada pengunaan tamoxifen. Resiko jangka panjang pengunaan tamoxifen adalah karsinoma endometrium. Terapi dengan tamoxifen dihentikan setelah 5 tahun. Beberapa ahli onkologi merekomendasikan tamoxifen untuk ditambahkan pada terapi neoadjuvan pada karsinoma mammae stadium lanjut terutama pada reseptor hormonal yang positif. Untuk semua wanita dengan karsinoma mammae stadium IV, anti-estrogen (tamoxifen), dipilih sebagai terapi awal.

4. Terapi antibodi anti-HER2/neu

Penentuan ekspresi HER-2/neu pada semua karsinoma mammae yang baru didiagnosis, saat ini direkomendasi. Hal ini digunakan untuk tujuan prognostic pada pasien tanpa pembesaran KGB, untuk membantu pemilihan kemoterapi adjuvan karena dengan regimen adriamycin menberikan respon yang lebih baik pada karsinoma mammae dengan overekspresi HER-2/neu. Pasien dengan overekspresi Her-2/neu mungkin dapat diobati dengan trastuzumab yang ditambahkan pada kemoterapi adjuvan.

Prognosis

Survival rates untuk wanita yang didiagnosis karsinoma mammae antara tahun 1983-1987 telah dikalkulasi berdasarkan pengamatan, epidemiologi dan hasil akhir program data, didapatkan bahwa angka 5-year survival untuk stadium I adalah 94%, stadium IIa 85%, IIb 70%, dimana pada stadium IIIa sekitar 52%, IIIb 48% dan untuk stasium IV adalah 18%.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Hernia merupakan penyakit yang mulai berkembang dan semakin dikenal di masyarakat, baik pada Negara maju maupun berkembang. Hernia merupakan salah satu kasus dibagian bedah yang pada umumnya sering menimbulkan masalah kesehatan dan pada umumnya memerlukan tindakan operasi. Dari hasil penelitian pada populasi hernia ditemukan sekitar 10% yang menimbulkan masalah kesehatan dan pada umumnya pada pria. Hernia adalah pembukaan atau kelemahan dalam struktur otot dinding perut. Penyakit ini menyebabkan penonjolan dari dinding perut. Hal ini lebih terlihat ketika otot-otot perut dikencangkan, sehingga meningkatkan tekanan dalam perut. Setiap kegiatan yang meningkatkan tekanan intra-abdomen dapat memperburuk penyakit hernia; contoh kegiatan tersebut mengangkat, batuk, atau bahkan berusaha untuk buang air besar.

Hernia dapat terjadi akibat kelainnan kongenital maupun didapat. Pada anak-anak atau bayi, lebih sering disebabkan oleh kurang sempurnanya procesus vaginalis untuk menutup seiring dengan turunnya testis atau buah zakar. Pada orang dewasa adanya faktor pencetus terjadinya hernia antara lain kegemukan, beban berat, batuk- batuk kronik, asites, riwayat keluarga, dan lain-lain.Lokasi yang paling umum untuk penyakit hernia adalah lipat paha (inguinal) sehingga ada jenis penyakit hernia yang disebut dengan hernia inguinal.

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu tindakan konservatif dan operatif. Peengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian penyanggah atau penunjang untuk memepertahankan isi hernia yang telah direposisi. Sedangkan prinsip dasar operasi hernia pada anak adalah herniotomi.

I.2        RUMUSAN MASALAH

I.2.1 Bagaimana etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan hernia?

I.3        TUJUAN

I.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan hernia.

I.4        MANFAAT

I.4.1     Menambah wawasan mengenai penyakit bedah khususnya hernia.

I.4.2     Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah.

BAB II

STATUS PENDERITA

 

  1. A.    IDENTITAS PENDERITA

Nama                     : Tn. S

Umur                     : 66 tahun

Jenis kelamin         : Laki-laki

Pekerjaan               : Petani

Agama                   : Islam

Alamat                  : Wajak

Status perkawinan : Menikah

Suku                      : Jawa

Tanggal periksa     : Jumat, 19 Agustus 2011

No. Reg                 : 263183

  1. B.     ANAMNESA
  2. Keluhan utama            : benjolan di kantung buah zakar bagian kanan
  1. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan benjolan di kantung buah zakar bagian kanan sejak ± 1 tahun yang lalu. Benjolan tersebut sebesar buah kelapa namun tidak sakit. Benjolan tersebut muncul jika pasien batuk-batuk, mengejan serta mengangkat beban yang berat. Awalnya benjolan yang timbul tersebut bisa masuk kembali jika didorong dengan tangan pasien. Namun, sejak ± 6 bulan yang lalu benjolan tersebut sudah tidak dapat masuk kembali. Benjolan tidak terasa sakit, tidak merah, dan tidak terasa tegang. Pasien tidak mengeluhkan adanya perubahan dalam BAB, BAB tidak berdarah dan tidak pernah keluar benjolan dari dubur. Pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan BAK, pada saat BAK pasien selalu merasa tuntas dan tidak merasa nyeri. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya mual dan muntah. Selain itu pasien mengeluh batuk yang telah dirasakan sejak ± 1 tahun ini serta sesak napas dan pusing.

  1. Riwayat penyakit dahulu

­   Sakit dirasakan sejak ± 1 tahun yang lalu

­   Riwayat bronchitis kronis (+),hipertensi (-), DM (-), alergi (-), bronchitis kronis (+)

  1. Riwayat penyakit keluarga

­   riwayat keluarga dengan penyakit serupa (-)

­   hipertensi (-), DM (-, alergi (-)

  1. Riwayat kebiasaan

­   Pasien suka merokok

 

C. PEMERIKSAAN FISIK

  1. keadaan umum : cukup, kompos mentis
  2. 2.      vital sign

tensi     : 120/80 mmHg

nadi     : 80x/mnt

RR       : 18x/mnt

suhu     : 370

Kepala

Bentuk : normocephali

Rambut : warna putih, distribusi tidak merata.

Mata

Sklera Ikterik              : -/-

Conjuctiva Anemis     : -/-

Telinga

Bentuk                                    : normotia

Secret                          : -/-

Hidung

Tidak ada deviasi septum

Sekret                          :  -/-

Mulut dan tenggorokan

Bibir                            : tidak kering dan tidak cyanosis

Tonsil                          :  T1/T1

Pharing                        : tidak hiperemi

Leher

Trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran KGB

Paru

Suara nafas vesikuler, ronchi +/+, wheezing +/+

Jantung

Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur  (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : abdomen datar, tidak tampak adanya massa

Palpasi : teraba lemas, tidak ada defence muskular

Perkusi : timpani.

Auskultasi : bising usus (+) normal

  1. 3.      status lokalis

Regio Scrotalis

Inspeksi           : Tampak adanya ketidakseimbangan antara testis kanan dan kiri, testis kana terlihat lebih besar dari pada testis kiri. Ukuranya sebesar biji kelapa, warna serupa dengan kulit, tidak ada tanda radang.

Palpasi             : teraba massa di scrotum ukuran 5×6 cm, konsistensi lunak, permukaan rata, mobile, tidak nyeri tekan, terpisah dari testis

 

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap

Laboratorium darah

–        Hemoglobin    14,8 g/dl

–        Lekosit            9300 sel/cmm

–        Trombosit        325.000 sel/cmm

–        Hematokrit      46 %

–        Gula darah sewaktu    71 mg/dl

–        SGOT              35

–        SGPT              7

–        Ureum             43

–        Kreatinin         0,52

  1. E.     RESUME

Tn.S, 66 tahun, datang dengan benjolan di kantung buah zakar bagian kanan sejak 1 tahun yang lalu, Benjolan tersebut sebesar buah kelapa namun tidak sakit. Benjolan tersebut muncul jika pasien batuk-batuk, mengejan serta mengangkat beban yang berat. Awalnya benjolan yang timbul tersebut bisa masuk kembali jika didorong dengan tangan pasien. Namun, sejak ± 6 bulan yang lalu benjolan tersebut sudah tidak dapat masuk kembali. Benjolan tidak terasa sakit, tidak merah, dan tidak terasa tegang.

Pasien juga tidak mengeluhkan adanya mual dan muntah. Selain itu pasien mengeluh batuk yang telah dirasakan sejak ± 1 tahun ini serta sesak napas dan pusing.

Dari pemeriksaan generalis: rhonki : +/+, wheezing +/+. Inspeksi. Pada pemeriksaan lokalis Tampak adanya ketidakseimbangan antara testis kanan dan kiri, testis kana terlihat lebih besar dari pada testis kiri. Ukuranya sebesar biji kelapa, warna serupa dengan kulit, tidak ada tanda radang. Pada Palpasi teraba massa di scrotum ukuran 5×6 cm, konsistensi lunak, permukaan rata, mobile, tidak nyeri tekan, terpisah dari testis

  1. F.     DIAGNOSA

Hernia Scrotalis Dextra

  1. G.    PENATALAKSANAAN

–        Herniotomi

 

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia.

3.2 Anatomi Dinding Perut

Anatomi dari dinding perut dari luar ke dalam terdiri dari :

1. Kutis

2. lemak subkutis

3. fasia skarpa

4. muskulus obligus eksterna

5. muskulus obligus abdominis interna

6. muskulus abdominis tranversal

7. fasia transversalis

8. lemak peritoneal

9. peritoneum.

 

Gambar. Anatomi abdomen

 

 

 

b. Regio inguinalis

b.1. Kanalis inguinalis

Kanalis inguinalis dibatasi di kraniolateral oleh anulus inguinalis internus yang merupakan bagian yang terbuka dari fasia tranversus abdominis. Di medial bawah, diatas tuberkulum pubikum, kanal ini dibatasi oleh anulus inguinalis eksternus, bagian terbuka dari aponeurosis m. Obligus eksternus. Atapnya ialah aponeurosis m.oblikus eksternus dan di dasarnya terdapat ligamentum inguinale. Kanal berisi tali sperma pada lelaki, ligamentum rotundum pada perempuan.

 

Gambar. Kanalis inguinalis

 

b.2. Kanalis femoralis

Kanalis femoralis terletak medial dari v.femoralis di dalam lakuna vasorum, dorsal dari ligamentum inguinalis, tempat vena safena magna bermuara di dalam v.femoralis. Foramen ini sempit dan dibatasi oleh tepi yang keras dan tajam. Batas kranioventral dibentuk oleh ligamentum inguinalis, kaudodorsal oleh pinggir os pubis dari ligamentum iliopektineal (ligamentum cooper), sebelah lateral oleh sarung vena femoralis, dan sebelah medial oleh ligamentum lakunare Gimbernati. Hernia femoalis keluar melalui lakuna vasorum kaudal dari ligamentum inguinale. Keadaan anatomi ini sering mengakibatkan inkaserasi hernia femoralis.

Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan hernia dapatan atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya, misalnya diafragma, inguinal, umbilikal, femoral.

Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk ke perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus. Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga perut, hernia disebut hernia ireponibel. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum kantong hernia. Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun tanda sumbatan usus. Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara klinis, hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulata. Pada keadaan sebenarnya, gangguan vaskularisasi telah terjadi pada saat jepitan dimulai, dengan berbagai tingkat gangguan mulai dari bendungan sampai nekrosis.

Gambar 1. Bagian-bagian Hernia2

1. Kantong hernia: pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis; 2. Isi hernia: berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia. Pada hernia abdominalis berupa usus; 3. Locus Minoris Resistence (LMR); 4. Cincin hernia: Merupakan bagian locus minoris resistence yang dilalui kantong hernia; 5. Leher hernia: Bagian tersempit kantong hernia yang sesuai dengan kantong hernia.

 

 

3.2 Klasifikasi Hernia Berdasarkan Arah Herniasi

Klasifikasi Hernia

Secara umum hernia diklasifikasikan menjadi:

  1. Hernia eksterna, yaitu jenis hernia dimana kantong hernia menonjol secara keseluruhan (komplit) melewati dinding abdomen seperti hernia inguinal (direk dan indirek), hernia umbilicus, hernia femoral dan hernia epigastrika.
  2. Hernia intraparietal, yaitu kantong hernia berada didalam dinding abdomen.
  3. Hernia interna adalah hernia yang kantongnya berada didalam rongga abdomen seperti hernia diafragma baik yang kongenital maupun yang didapat.
  4. Hernia reponibel (reducible hernia), yaitu apabila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus.
  5. Hernia ireponibel (inkarserata), yaitu apabila kantong hernia tidak dapat kembali ke abdomen. Ini biasanya disebabkan oleh perlengkatan isi kantong pada peritoneum kantong hernia. Hernia ini disebut hernia akreta, merupakan jenis hernia ireponibel yang sudah mengalami obstruksi tetapi belum ada gangguan vaskularisasi.
  6. Hernia strangulasi adalah hernia yang sudah mengalami gangguan vaskularisasi.

 

Hernia Eksterna

Penonjolannya dapat dilihat dari luar :

a.  Hernia Inguinalis Medialis dan Lateralis

b. Hernia Femoralis

c. Hernia Umbilicus

d. Hernia Epigastrica

e. Hernia Lumbalis

f.  Hernia Obturatoria

g. Hernia Semilunaris

h. Hernia Perinealis

i.  Hernia Ischiadica
Hernia Interna

Bila isi hernia masuk ke dalam rongga lain, misalnya cavum thorax, cavum abdomen :

a. Hernia Epiploici Winslowi : Herniasi viscera abdomen melalui foramen omentale

b. Hernia Bursa Omentalis

c. Hernia Mesenterica

d. Hernia Retroperitonealis

e. Hernia Diafragmatica

Gambar 2. Beberapa Contoh Hernia Eksterna

Hernia Inguinalis

Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis) adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis indirek (lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui locus minoris resistence (annulus inguinalis internus); dan hernia inguinalis direk (medialis), di mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah pada dinding belakang kanalis inguinalis. Hernia inguinalis lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, sementara hernia femoralis lebih sering terjadi pada wanita.

 

Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai hernia inguinalis.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hernia inguinalis antara lain:

  1. Kelemahan aponeurosis dan fasia tranversalis,
  2. Prosesus vaginalis yang terbuka, baik kongenital maupun didapat,
  3. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik, hipertrofi prostat, konstipasi, dan asites,
  4. Kelemahan otot dinding perut karena usia,
  5. Defisiensi otot,
  6. Hancurnya jaringan penyambung oleh karena merokok, penuaan atau penyakit sistemik.

Pada neonatus kurang lebih 90 % prosesus vaginalis tetap terbuka, sedangka pada bayi umur satu tahun sekitar 30 % prosesus vaginalis belum tertutup. Akan tetapi, kejadian hernia pada umur ini hanya beberapa persen. tidak sampai 10 % anak dengan prosesus vaginalis paten menderita hernia. Pada lebih dari separuh populasi anak, dapat dijumpai prosesus vaginalis paten kontralateral, tetapi insiden hernia tidak melebihi 20 %. Umumnya disimpulkan adanya prosesus vaginalis yang paten bukan merupakan penyebab tunggal terjadinya hernia, tetapi diperlukan faktor lain, seperti anulus inguinalis yang cukup besar.

Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi anulus internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intraabdomen tidak tinggi dan kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal. Sebaliknya bila otot dinding perut berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal dan anulus inguinalis tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus ke dalam kanalis inguinalis. Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan n.ilioinguinalis dan iliofemoralis setelah apendektomi. Jika kantong hernia inguinalis lateralis mencapai skrotum, hernia disebut hernia skrotalis.

                                                     Gambar 3. Hernia Inguinalis

Hernia juga mudah terjadi pada individu yang kelebihan berat badan, sering mengangkat benda berat, atau mengedan.

Jika kantong hernia inguinalis lateralis mencapai scrotum maka disebut hernia skrotalis. Hernia ini harus dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya.

Gambaran Klinis dan Diagnosis

Gejala dan tanda klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi hernia. Pada hernia reponibel keluhan satu-satunya adalah adanya benjolan di lipat paha yang muncul pada waktu berdiri, batuk, bersin, atau mengedan dan menghilang setelah berbaring. Keluhan nyeri jarang dijumpai kalau ada biasanya dirasakan di daerah epigastrium atau periumbilikal berupa nyeri visceral karena regangan pada mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia. Nyeri yang disertai mual muntah baru timbul kalau terjadi inkaserata karena ileus atau strangulasi karena nekrosis atau gangren.

Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada saat inspeksi saat pasien mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis lateral muncul sebagai penonjolan di regio inguinalis yang berjalan dari lateral atas medial bawah. Kantong hernia yang kosong dapat diraba pada funikulus spermatikus sebagai gesekan dari dua lapis kantong yang memberikan sensasi gesekan dua permukaan sutera. Tanda ini disebut tanda sarung tangan sutera, tetapi pada umumnya tanda ini susah ditentukan. Kalau kantong hernia berisi organ, tergantung isinya, pada palpasi mungkin teraba usus, omentum maupun ovarium. Dengan jari telunjuk atau dengan jari kelingking, pada anak dapat dicoba mendorong isi hernia dengan cara mendorong isi hernia dengan menekan kulit skrotum melalui anulus eksternus sehingga dapat ditentukan apakah hernia ini dapat direposisi atau tidak. Dalam hal hernia dapat direposisi, pada waktu jari masuk berada dalam anulus eksternus, pasien diminta mengedan. Kalau ujung jari menyentu hernia berarti hernia inguinalis lateralis, dan bagian sisi jari yang menyentuhnya adalah hernia inguinalis medial.

Diagnosis ditegakkan atas dasar benjolan yang dapat direposisi, atau jika tidak dapat direposisi, atas dasar tidak adanya pembatasan jelas di sebelah kranial dan adanya hubungan ke kranial melalui anulus eksternus.

Gambar 4. Hernia scrotalis yang berasal dari hernia inguinalis indirek

Jenis hernia yang lain-lain

1. Hernia umbilikalis

Umbilikus adalah tempat umum terjadinya herniasi. Hernia umblikalis lebih sering terjadi pada wanita, kegemukan dengan kehamilan berulang-ulang merupakan prekusor umum. Asites sering mengekserbasi masalah ini. Strangulasi kolon dan omentum umum terjadi. Ruptura sering terjadi pada sirosis asitik kronik, suatu kasus dimana diperlukan segera dekompresi portal atau pintas nevus peritoneal secara darurat.

Hernia umbilikalis umum pada bayi dan menutup secara spontan tanpa terapi khusus jika defek aponeurosis berukuran 1,5 cm atau kurang. Perbaikan diindikasikan pada bayi dengan defek hernia yang diameternya lebih besar dari 2,0 cm dan dalam semua anak dengan hernia umbilikalis yang masih ada pada usia 3-4 tahun. Perbaikan klasik untuk hernia umbilikalis adalah hernioplasti Mayo. Operasi terdiri dari imbrikasi vest-over-pants dari segmen aponeurosis superior dan inferior. Hernia umbilikalis lebih besar, lebih suka ditangani dengan protesis.

2. Hernia paraumbilikalis.

Hernia para umbilikalis merupakan hernia melalui suatu celah di garis tengah di tepi kranial umblikus, jarang terjadi di tepi kaudalnya. Penutupan secara spontan jarang terjadi sehingga dibutuhkan operasi koreksi.

 

 

 

3. Hernia ventralis

Kebanyakan hernia ventralis disebabkan oleh insisi pada tubuh yang sebelumnya tidak sembuh secara tepat atau terpisah karena tegangan abnormal. Cacat ini memungkinkan penonjolan suatu hernia dan operasi umumnya direkomendasikan.. Jika cacat ini berukuran kecil atau sedang , maka tindakan ini relatf jelas dan memuaskan tetapi apabila hernia ventralsinya besar dan fasianya jelek, merupakan prognosa yang jelek pada hernia ventralis. Pada umumnya tindakan yang dilakukan adalah operasi dengan memobilisasi jaringan denga cermat dan untuk mencapai penutupan langsung primer jika mungkin. Kadang-kadang penggunaan kasa protesis seperti kasa marlex atau fasia lata diindikasikan.

4. Hernia epigastrika

Hernia yang keluar melalui defek di linea alba di antara umbilikus dan prosesus xipoideus. Isi hernia berupa penonjolan jaringan lemak preperitoneal dengan atau tanpa kantong peritoneum.

5. Hernia lumbalis

Di daerah lumbal antara iga XII dan krista iliaka, ada dua buah trigonum masing-masing trigonum kostolumbal superiorn (Grinfelt) berbentuk segitiga terbalik dan trigonum kostolumbalis inferior atau trigonum iliolumbalis (Petit) berbentuk segitiga. Trigonum Grijfelt di batasi di kranial oleh iga XII, di anterior oleh tepi bebas m. Obligus internus abdominis, sedangkan tutupnya m. Latisimussdorsi. Trigonum petit dibatasi di kaudal oleh krista iliaka, di anterior oleh tepi bebas m.obligus eksternus abdominis, dan posterior oleh tepi bebas m. Latisimuss dorsi. Dasar segitiga ini adalah m. Oblikus internus abdominis dan tutupnya adalah fasia superfisialis. Hernia pada kedua trigonum ini jarang dijumpai. Pada pemeriksaan fisik tampak dan teraba benjolan di pinggang di tepi bawah tulang rusuk XII atau di tepi kranial panggul dorsal. Diagnosis di tegakkan dengan memeriksa pintu hernia. Diagnosis banding adalah hematoma, abses dingin atau tumor jaringan lunak. Pengelolaan terdiri dari atas herniotomi dan hernioplasti. Pada hernioplasti dilakukan juga penutupan defek.

6. Hernia Littre

Hernia yang sangat jarang dijumpai ini merupakan hernia yang mengandung divertikulum meckel. Hernia Littre dianggap sebagai hernia sebagian dinding usus.

7. Hernia Speighel

Hernia Spieghel adalah hernia interstial dengan atau tanpa isinya melalui fasia Spieghel. Hernia ini sangat jarang dijumpai. Biasanya dijumpai pada usia 40-70 tahun, tanpa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya terjadi dikanan dan jarang bilateral. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukan benjolan di sebelah Mc burney bagian kanan maupun sebelah kiri pada tepi lateral m. Rektus Abdominis. Isi hernia dapat terdiri dari usus, omentum atau ovarium. Sebagai pemeriksaan penunjang dapat dilakukan ultrasonografi. Pengelolaan terdiri atas herniotomi dan hernioplastik dengan menutup defek pada m.tranversus abdominis dan m.abdominis internus. Hernia yang besar sangat membutuhkan suatu protesis.

8. Hernia obturatoria

Hernia obturatoria ialah hernia melalui foramen obturatoria. Dapat berlangsung dalam empat tahap. Mula-mula tonjolan lemak retroperitoneum masuk ke dalam kanalis obturatorius, disusul oleh tonjolan peritoneum parietal. Kantong hernia ini mungkin diisi oleh lekuk usus yang dapat mengalami inkaserasi parsial, sering secara Richter atau total.

Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar adanya keluhan nyeri seperti ditusuk-tusuk dan parestesia di daerah panggul, lutut, dan bagian medial paha akibat penekanan pada n. Obturatorius (tanda howship Romberg) yang patognomonik. Pada colok dubur atau pemeriksaan vaginal dapat ditemukan tonjolan hernia yang nyeri yang merupakan tanda (Hoeship Romberg). Pengelolaan bedah dengan pendekatan transperitoneal atau preperitoneal.

9. Hernia perinealis

Hernia perineal merupakan penonjolan hernia pada perineum melalui defek dasar panggul dapat terjadi secara primer pada perempuan multipara, atau sekunder setelah operasi melalui perineum seperti prostaktomi atau reseksi rektum secara abdominoperineal.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tanpak dan teraba benjolan diperieneum yang mudah keluar masuk dan jarang mengalami inkaserasi. Pintu hernia dapat diraba secara bimanual dengan pemeriksaan rektovaginal. Dalam keadaan ragu-ragu dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Biasanya pendekatan operatif dengan transperitoneal, perineal atau kombinasi abdomino dan perineal.

10. Hernia pantalon

Hernia pantalon merupakan kombinasi hernia inguinalis lateralis dengan hernia inguinalis medial pada satu sisi. Kedua kantong hernia dipisahkan oleh vasa epigastrika inferior sehingga berbentuk seperti celana. Keadaan ini ditemukan kira-kira 15% dari hernia inguinalis. Diagnosis umum sukar ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan biasanya sering ditemukan setelah dilakukan operasi. Pengelolaan seperti biasanya pada hernia inginalis, herniotomi dan hernioplasti.

 

3.3 Pemeriksaan Hernia

Inspeksi Daerah Inguinal dan Femoral

Meskipun hernia dapat didefinisikan sebagai setiap penonjolan viskus, atau sebagian daripadanya, melalui lubang normal atau abnormal, 90% dari semua hernia ditemukan di daerah inguinal. Biasanya impuls hernia lebih jelas dilihat daripada diraba.

Pasien disuruh memutar kepalanya ke samping dan batuk atau mengejan. Lakukan inspeksi daerah inguinal dan femoral untuk melihat timbulnya benjolan mendadak selama batuk, yang dapat menunjukkan hernia. Jika terlihat benjolan mendadak, mintalah pasien untuk batuk lagi dan bandingkan impuls ini dengan impuls pada sisi lainnya. Jika pasien mengeluh nyeri selama batuk, tentukanlah lokasi nyeri dan periksalah kembali daerah itu.

 

Pemeriksaan Hernia Inguinalis

Palpasi hernia inguinal dilakukan dengan meletakan jari pemeriksa di dalam skrotum di atas testis kiri dan menekan kulit skrotum ke dalam. Harus ada kulit skrotum yang cukup banyak untuk mencapai cincin inguinal eksterna. Jari harus diletakkan dengan kuku menghadap ke luar dan bantal jari ke dalam. Tangan kiri pemeriksa dapat diletakkan pada pinggul kanan pasien untuk sokongan yang lebih baik.

Telunjuk kanan pemeriksa harus mengikuti korda spermatika di lateral masuk ke dalam kanalis inguinalis sejajar dengan ligamentum inguinalis dan digerakkan ke atas ke arah cincin inguinal eksterna, yang terletak superior dan lateral dari tuberkulum pubikum. Cincin eksterna dapat diperlebar dan dimasuki oleh jari tangan.

Dengan jari telunjuk ditempatkan pada cincin eksterna atau di dalam kanalis inguinalis, mintalah pasien untuk memutar kepalanya ke samping dan batuk atau mengejan. Seandainya ada hernia, akan terasa impuls tiba-tiba yang menyentuh ujung atau bantal jari penderita. Jika ada hernia, suruh pasien berbaring terlentang dan perhatikanlah apakah hernia itu dapat direduksi dengan tekanan yang lembut dan terus-menerus pada massa itu. Jika pemeriksaan hernia dilakukan dengan perlahan-lahan, tindakan ini tidak akan menimbulkan nyeri.

Setelah memeriksa sisi kiri, prosedur ini diulangi dengan memakai jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan. Sebagian pemeriksa lebih suka memakai jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan pasien, dan jari telunjuk kiri untuk memeriksa sisi kiri pasien. Cobalah kedua teknik ini dan lihatlah cara mana yang anda rasakan lebih nyaman.

Jika ada massa skrotum berukuran besar yang tidak tembus cahaya, suatu hernia inguinal indirek mungkin ada di dalam skrotum. Auskultasi massa itu dapat dipakai untuk menentukan apakah ada bunyi usus di dalam skrotum, suatu tanda yang berguna untuk menegakkan diagnosis hernia inguinal indirek.

Transluminasi Massa Skrotum

Jika anda menemukan massa skrotum, lakukanlah transluminasi. Di dalam suatu ruang yang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi pembesaran skrotum. Struktur vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis normal tidak dapat ditembus sinar. Transmisi cahaya sebagai bayangan merah menunjukkan rongga yang mengandung cairan serosa, seperti hidrokel atau spermatokel.

3.4 Komplikasi

Komplikasi hernia tergatung kepada keadaan yang dialami oleh isi hernia. Isihernia dapat bertahan dalam kantong hernia pada hernia ireponibel, ini dapat terjadi kalau isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri dari omentum, organ ekstraperitoneal, disini tidak ada keluhan kecuali ada benjolan. Dapat pula isi hernia terjepit oleh cincin hernia yang akan menimbulkan hernia strangulata. Jepitan cincin hernia akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi hernia. Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga terjadi udem organ atau struktur didalam hernia dan terjadi transudasi kedalam kantong hernia. Timbulnya udem akan menambah jepitan pada cincin hernia sehingga perfusi jaringan makin terganggu. Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong hernia akan terisi transudat yang bersifat serosanguinis. Kalau isi hernia terdiri dari usus maka akan terjadi perforasi yang akhirnya akan menimbulkan abses lokal, fistel dan peritonitis jika ada hubungan dengan rongga perut.

Gambaran klinis pada hernia inkaserata yang mengandung usus yang dimulai dengan gambaran obstruksi usus dengan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basah. Bila terjadi strangulasi akan menyebabkan gangguan vaskularisasi dan akan terjadilah ganggern. Hernia strangulata adalah keadaan emergensi yang perlu tindakan operatif secepatnya.

 

 

3.5 Penatalaksanaan

1. Konservatif

Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi.

2. Operatif

Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar operasi hernia adalah hernioraphy, yang terdiri dari herniotomi dan hernioplasti.

a. Herniotomi

Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya. Kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi, kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong.

b. Hernioplasti

Pada hernioplasti dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplasti lebih penting artinya dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan herniotomi. Dikenal berbagai metode hernioplasti seperti memperkecil anulus inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup dan memperkuat fasia transversa, dan menjahitkan pertemuan m. tranversus internus abdominis dan m. oblikus internus abdominis yang dikenal dengan nama conjoint tendon ke ligamentum inguinale poupart menurut metode Bassini, atau menjahitkan fasia tranversa m. transversus abdominis, m.oblikus internus abdominis ke ligamentum cooper pada metode Mc Vay. Bila defek cukup besar atau terjadi residif berulang diperlukan pemakaian bahan sintesis seperti mersilene, prolene mesh atau marleks untuk menutup defek.

3.5  Pencegahan

Kelainan kongenital yang menyebabkan hernia memang tidak dapat dicegah, namun langkah-langkah berikut ini dapat mengurangi tekanan pada otot-otot dan jaringan abdomen:

–                      Menjaga berat badan ideal. Jika anda merasa kelebihan berat badan, konsultasikan dengan dokter mengenai program latihan dan diet yang sesuai.

–                      Konsumsi makanan berserat tinggi. Buah-buahan segar, sayur-sayuran dan gandum baik untuk kesehatan. Makanan-makanan tersebut kaya akan serat yang dapat mencegah konstipasi.

–                      Mengangkat benda berat dengan hati-hati atau menghindari dari mengangkat benda berat. Jika harus mengangkat benda berat, biasakan untuk selalu menekuk lutut dan jangan membungkuk dengan bertumpu pada pinggang.

–                      Berhenti merokok. Selain meningkatkan resiko terhadap penyakit-penyakit serius seperti kanker dan penyakit jantung, merokok seringkali menyebabkan batuk kronik yang dapat menyebabkan hernia inguinalis.

 

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Tn.S, 66 tahun, datang dengan benjolan di kantung buah zakar bagian kanan sejak 1 tahun yang lalu, Benjolan tersebut sebesar buah kelapa namun tidak sakit. Benjolan tersebut muncul jika pasien batuk-batuk, mengejan serta mengangkat beban yang berat. Awalnya benjolan yang timbul tersebut bisa masuk kembali jika didorong dengan tangan pasien. Namun, sejak ± 6 bulan yang lalu benjolan tersebut sudah tidak dapat masuk kembali. Benjolan tidak terasa sakit, tidak merah, dan tidak terasa tegang.

Pasien juga tidak mengeluhkan adanya mual dan muntah. Selain itu pasien mengeluh batuk yang telah dirasakan sejak ± 1 tahun ini serta sesak napas dan pusing.

Dari pemeriksaan generalis: rhonki : +/+, wheezing +/+. Inspeksi. Pada pemeriksaan lokalis Tampak adanya ketidakseimbangan antara testis kanan dan kiri, testis kana terlihat lebih besar dari pada testis kiri. Ukuranya sebesar biji kelapa, warna serupa dengan kulit, tidak ada tanda radang. Pada Palpasi teraba massa di scrotum ukuran 5×6 cm, konsistensi lunak, permukaan rata, mobile, tidak nyeri tekan, terpisah dari testis.

Pasien dilakukan tindakam herniotomi serta dilakukan pengobatan pada penyakit yang menyertai pada pasien tersebut. Pasien disarankan untuk beristirahat, berhati-hati jika mengangkat beban yang berat serta berhenti mengkonsumsi rokok.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta : EGC, 2004. pp. 519-37
  2. Anonim. Hernia. www.burrill.demon.co.uk .  Diakses tanggal 23 September 2007
  3. Mulyana S. Hernia inguinalis. http://medlinux.blogspot.com .  Diakses tanggal 21 September 2007
  4. Anonim. Hernia. http://hernia.tripod.com .  Diakses tanggal 23 September 2007
  5. Anonim. Inguinal hernia. http://en.wikipedia.org . Diakses tanggal 23 September 2007
  6. Anonim. Inguinal hernia. http://www.mayoclinic.com . Diakses tanggal 22 September 2007
  7. Anonim. What is an inguinal hernia. http://health.yahoo.com . Diakses tanggal 23 September 2007
  8. Swartz MH. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Alih Bahasa : Lukmanto P, Maulany R.F, Tambajong J. Jakarta : EGC, 1995. pp. 276-8

 

 

2-50�Pq.o؛b +e

 

–          Penyulit : minimal (2 kasus di konversi).

–          Waktu yang dibutuhkan : ± 56 menit.

  • Laser

–          Yang digunakan adalah Holmium YAG. Hasilnya sangat baik pada kasus batu besar, tidak tergantung jenis batu.

–          Kelebihan yang lain adalah masa rawat singkat dan tidak ada penyulit.

–          Angka bebas batu : 100%.

–          Penyulit : tidak ada.

–          Waktu yang dibutuhkan : ± 57 menit.

  • Pneumatik

–          Litotripsi pneumatik hasilnya cukup baik digunakan sebagai terapi batu kandung kemih. Lebih efisien dibandingkan litotripsi ultrasound dan EHL pada kasus batu besar dan keras.

–          Angka bebas batu : 85%.

–          Penyulit : tidak ada.

–          Waktu yang dibutuhkan : ± 57 menit.

  1. 3.      Vesikolitotomi perkutan

–          Merupakan alternatif terapi pada kasus batu pada anak-anak atau pada penderita dengan kesulitan akses melalui uretra, batu besar atau batu múltipel.

–          Tindakan ini kontra indikasi pada adanya riwayat keganasan kandung kemih, riwayat operasi daerah pelvis, radioterapi, infeksi aktif pada saluran kemih atau dinding abdomen.

–          Angka bebas batu : 85-100%.

–          Penyulit : tidak ada.

–          Waktu yang dibutuhkan : 40-100 menit.

 

 

  1. 4.      Vesikolitotomi terbuka

–          Diindikasikan pada batu dengan stone burden besar, batu keras, kesulitan akses melalui uretra, tindakan bersamaan dengan prostatektomi atau divertikelektomi.

–          Angka bebas batu : 100%.

  1. 5.      ESWL

–          Merupakan salah satu pilihan pada penderita yang tidak memungkinkan untuk operasi. Masalah yang dihadapi adalah migrasi batu saat tindakan.

–          Adanya obstruksi infravesikal serta residu urin pasca miksi akan menurunkan angka keberhasilan dan membutuhkan tindakan tambahan per endoskopi sekitar 10% kasus untuk mengeluarkan pecahan batu.

–          Dari kepustakaan, tindakan ESWL umumnya dikerjakan lebih dari satu kali untuk terapi batu kandung kemih.

–          Angka bebas batu : elektromagnetik; 66% pada kasus dengan obstruksi dan 96% pada kasus non obstruksi. Bila menggunakan piezoelektrik didapatkan hanya 50% yang berhasil.

 

Dari sekian banyak pilihan untuk terapi batu kandung kemih yang dikerjakan oleh para ahli di luar negeri maka di Indonesia hanya beberapa tindakan saja yang bisa dikerjakan, dengan alasan masalah ketersediaan alat dan sumber daya manusia. Penggunaan istilah ‘standar’, ‘rekomendasi’ dan ‘opsional’ digunakan berdasarkan fleksibilitas yang akan digunakan sebagai kebijakan dalam penanganan penderita.

BAB VI

KESIMPULAN

4.1  KESIMPULAN

Pasien Tn.D ♂ umur 53 tahun datang ke poli bedah RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan keluhan nyeri saat BAK sejak ± 7 tahun yang lalu, dan selama ini sudah 4x keluar batu saat BAK. pasien juga mengalami BAK tidak lancar, saat BAK terasa panas dan nyeri hingga kadang-kadang saat BAK keluar darah yang bercampur dengan air seni. Nyeri dapat hilang saat pasien merubah posisi. Pasien juga mengeluh pinggang bagian belakang terasa nyeri terutama di sebelah kanan. Pasien mengeluh anyang-anyangan

Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan di regio suprapubik, nyeri ketok (+) pada regio lumbalis kanan.

Dari hasil USG abdomen didapatkan kesimpulan: Vesicolithiasis.

Terapi yang dilakukan untuk pasien ini adalah vesicolithotomi.

 

DAFTAR PUSTAKA.

  1. R. Sjamsuhidajat., Wim de Jong. : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman. 758.
  2. Hassan, Rusepno. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta :Penerbit UI, 1985. 840-843
  3. Alia. Profil Analisis Batu Saluran Kemih Departemen Bedah Urologi RSU Dr Saiful Anwar: 2011
  4. Lina, N. Faktor-Faktor Risko Kejadian Batu Saluran Kemih pada Laki-Laki (Studi Kasus di RS Dr. Kariadi, RS Roemani dan RSI Sultan Agung Semarang). 2008
  5. http://www.respiratory.usu.com
  6. http://www.medicastore.com