Perawatan Wajah dan Kecantikan Kulit

Tag Archives: adalah


BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1     LATAR BELAKANG

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih kontroversial dalam kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum ada, selalu berubah. KPD sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi. Kematian perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada pengelolaan konservatif.

Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan, atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan, sehingga masa tunggu akan memanjang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Sedangkan sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup.

Ada 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama, infeksi, karena ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang normal ada bisa menjadi patogen yang akan membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk mempercepat persalinan dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan resiko terjadinya infeksi ; kedua, adalah kurang bulan atau prematuritas, karena KPD sering terjadi pada kehamilan kurang bulan. Masalah yang sering timbul pada bayi yang kurang bulan adalah gejala sesak nafas atau respiratory Distress Syndrom (RDS) yang disebabkan karena belum masaknya paru. (4)

Protokol pengelolaan yang optimal harus memprtimbangkan 2 hal tersebut di atas dan faktor-faktor lain seperti fasilitas serta kemampuan untuk merawat bayi yang kurang bulan. Meskipun tidak ada satu protokol pengelolaan yang dapat untuk semua kasus KPD, tetapi harus ada panduan pengelolaan yang strategis, yang dapat mengurangi mortalitas perinatal dan dapat menghilangkan komplikasi yang berat baik pada anak maupun pada ibu.

Sebenarnya ada banyak pertanyaan mengenai cairan ketuban. Apa fungsinya dan seberapa bahaya jika terjadi pecah dini atau pecah sebelum waktunya? Berbahayakan kondisi tersebut bagi ibu dan janin? Mengapa bisa terjadi dan bagaimana mengatasinya? Berikut penjelasan singkatnya mengenai cairan ajaib ini agar ibu hamil mendapatkan informasi yang jelas dan tepat.

I.2        RUMUSAN MASALAH

I.2.1      Bagaimana etiologi dan patofisiologi KPD pada kehamilan?

I.2.2      Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan KPD pada kehamilan?

I.3        TUJUAN

I.3.1     Mengetahui etiologi dan patofisiologi KPD pada kehamilan.

I.3.2     Mengetahui cara mendiagnosis dan penatalaksanaan KPD pada kehamilan.

I.4        MANFAAT

I.4.1     Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu kebidanan dan kandungan pada khususnya

I.4.2     Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu kebidanan dan kandungan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

STATUS PASIEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

 

II.1  IDENTITAS PASIEN

No. Reg : 2357112

  1. A.    Identitas pribadi :

Nama penderita           : Ny. S                         Nama Suami    : Tn. F

Umur penderita           : 25 tahun                    Umur suami     : 28 tahun

Alamat                        : Sukun , Kec.Kepanjen

Pekerjaan penderita     : Buruh Pabrik             Pekerjaan suami : buruh bangunan

Pendidikan penderita : SMP                          Pendidikan suami : SMA

 

  1. B.     Anamnesa :
    1. Masuk rumah sakit tanggal : 28 Maret 2011 pada pukul 20.00
    2. Keluhan utama : Keluar cairan jernih dari jalan lahir.
    3. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh keluar cairan dari jalan lahir pada pukul 15.00. Cairan yang keluar banyak, berwarna jernih. Pasien juga sudah merasa kenceng-kenceng  namun masih jarang-jarang. Selain itu, pasien juga mengeluh mengeluarkan darah sedikit pada pukul 19.30, lalu pasien langsung dibawa ke rumah sakit.
    4. Riwayat kehamilan yang sekarang : ini merupakan kehamilan pertama pasien, pada saat trimester I & II tidak ada keluhan, mual muntah (-)
    5. Riwayat menstruasi : menarche umur 17 tahun, HPHT 1-7-2010,  UK : 40-41 minggu HPL : 8-4-2011
    6. Riwayat perkawinan : pasien menikah 1 x, lamanya 1 tahun, umur pertama menikah 24 tahun.
    7. Riwayat persalinan sebelumnya : –
    8. Riwayat penggunaan kontrasepsi : –
    9. Riwayat penyakit sistemik yang pernah dialami : –
    10. Riwayat penyakit keluarga : –
    11. Riwayat kebiasaan dan sosial : sosial menengah ke bawah, kebiasaan : –
    12. Riwayat pengobatan yang telah dilakukan : pasien belum mengkonsumsi obat apapun

 

 

 

  1. C.    Pemeriksaan fisik
    1. Status present

Keadaan umum : kesadaran compos mentis

Tekanan darah : 110/70 mmHg                       Nadi : 80x/menit

Suhu                : 36,5°C                                  Frekwensi pernapasan : 20x/menit

Tinggi Badan   : 145 cm                                  Berat badan : 42 Kg

  1. Pemeriksaan umum

Kulit                            : normal

Kepala                         :

Mata                : anemi (-/-)      ikterik (-/-)       odem palpebra  (-/-)

Wajah              : simetris

Mulut              : kebersihan gigi geligi kurang            stomatitis (-)

hiperemi faring (-)                 pembesaran tonsil (-)

Leher                           : pembesaran kelenjar limfe di leher (-)

pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax                         :

Paru :

Inspeksi           : hiperpigmentasi areola mammae (+) ASI (-)

pergerakan pernapasan simetris tipe pernapasan normal

retraksi costa -/-

Palpasi             : teraba massa abnormal -/-     pembesaran kelenjar axila -/-

Perkusi            : sonor +/+       hipersonor -/-               pekak -/-

Auskultasi       : vesikuler +/+             suara nafas menurun -/-

wheezing -/-              ronki -/-

Jantung :

Inspeksi           : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi             : thrill -/-

Perkusi            : batas jantung normal

Auskultasi       : denyut jantung                      S1                    S2

Abdomen                    :

Inspeksi           : flat -/-, distensi -/-, gambaran pembuluh darah kolateral -/-

Palpasi             : pembesaran organ -/-             nyeri tekan -/-

teraba massa abnormal -/-

Perkusi            : timpani

Auskultasi       : suara bising usus +/+ metallic sound -/-

Ekstremitas                 : odem -/-

 

  1. C.       Status obstetri

Pemeriksaan luar     

Leopold I        : Tinggi fundus uteri :3 jari dibawah procesus xiphoideus/ 28 cm

Fundus uteri teraba lunak

Leopold II       : sebelah kiri teraba bagian-bagian kecil, sebelah kanan kesan teraba tahanan memanjang

Leopold III     : teraba keras, bundar dan melenting

Leopold IV     : Masuk PAP 2 jari

Bunyi jantung janin     : 128x/menit, regular

Ukuran panggul luar : –

 

Pemeriksaan obstetric dalam           :

Pada pemeriksaan dalam didapatkan blood slym (-), pembukaan : 1 jari, penipisan portio (-), kulit ketuban (-).

 

  1. D.                Ringkasan  

Anamnesa Keluar cairan jernih dari jalan lahir pada pukul 15.00. Cairan yang keluar banyak, berwarna jernih. Pasien juga sudah merasa kenceng-kenceng  namun masih jarang-jarang. Selain itu, pasien juga mengeluh mengeluarkan darah sedikit pada pukul 19.30, lalu pasien langsung dibawa ke rumah sakit. Saat ini pasien hamil anak pertama dengan umur kehamilan 40-41 minggu.

Pemeriksaan fisik : keadaan umum : kesadaran compos mentis, tekanan darah : 110/70 nadi : 80x/menit, suhu: 36,5°C, frekwensi pernapasan : 20x/menit, Tinggi badan : 145 cm, Berat Badan : 42 Kg.

Pemeriksaan obstetric luar      :

Leopold I        : Tinggi fundus uteri :3 jari dibawah procesus xiphoideus/ 28 cm

Fundus uteri teraba lunak

Leopold II       : sebelah kiri teraba bagian-bagian kecil, sebelah kanan kesan teraba tahanan memanjang

Leopold III     : teraba keras, bundar dan melenting

Leopold IV     : Masuk PAP 2 jari

Bunyi jantung janin     : 128x/menit, regular

Pemeriksaan obstetric dalam   : Vulva / vagina : Blood slym (-), pembukaan : 1 jari, penipisan portio (-), kulit ketuban (-).

 

Diagnose         : GIP0000Ab000 umur kehamilan 40-41 minggu belum inpartu

dengan Ketuban Pecah Dini + Suspect Cephalopelvic Disproportion

Rencana tindakan       :

1. Infus RL 20 tpm

2. Pasang DC

3. Observasi tanda vital

4. Antibiotik

5. SC

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lembar Follow Up

 

Nama pasien                : Ny. S

Ruang kelas                 : IRNA Brawijaya

Diagnose                     : P1001Ab000 Post SC

Bayi Ny.S :

Jenis kelamin               : Perempuan

Berat lahir                   : 2800 gram

Panjang                       : 50 cm

Apgar Score                : 7-8

LK/LD/LLA               : 32/31,5/11

Caput                          :  (-)

Anus                            : (+)

Cacat                           : (-)

Ketuban                      : keruh

 

29 Maret 2011

S : Luka masih terasa sakit, pusing (+), BAB (-), BAK (-)

O : T = 120/80 mmHg

N = 88x/menit

S = 36,5⁰C

RR = 19x/menit

Pemeriksaan obstetric luar : TFU setinggi 2 jari dibawah pusat.

A = P1001Ab000 Post SC hari pertama

P =       1. Infus RL

2. Cefotaxim IV

4. observasi TTV

 

30 Maret 2011

S : Luka masih terasa sakit, pusing (-), BAB (-), BAK (+)

O : T = 120/80 mmHg

N = 84x/menit

S = 36,7⁰C

RR = 18x/menit

Pemeriksaan obstetric luar : TFU setinggi pertengan pusat dan symnpisis.

A = P1001Ab000 Post SC hari pertama

P =       1. Infus RL

2. Cefotaxim IV

4. observasi TTV

 

31 Maret 2011

S : Luka masih terasa sakit, pusing (-), BAB (-), BAK (+)

O : T = 120/80 mmHg

N = 88x/menit

S = 36,6⁰C

RR = 18x/menit

Pemeriksaan obstetric luar : TFU setinggi pertengan pusat dan symnpisis.

A = P1001Ab000 Post SC hari pertama

P =       BLPL + KIE perawatan luka

 

LAPORAN KELUAR RUMAH SAKIT

KRS tanggal                           : 1 April 2011

Keadaan pasien waktu pulang            : keadaan umum cukup,  T = 120/80 mmHg, N = 84,  S = 36˚C

  • Hb                               : 11,5 gr/dL
  • PPV                             : –
  • Massa                          : –
  • Diagnose saat pulang  : P1001Ab000 post SC

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. A.    Definisi

Ketuban pecah prematur yaitu pecahnya membran khorio-amniotik sebelum onset persalinan atau disebut juga Premature Rupture Of Membrane = Prelabour Rupture Of Membrane = PROM.

Ketuban pecah prematur pada preterm yaitu pecahnya membran Chorio-amniotik sebelum onset persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau disebut juga Preterm Premature Rupture Of Membrane = Preterm Prelabour Rupture Of Membrane = PPROM

Ketuban pecah dini merupakan pecahnya selaput janin sebelum proses persalinan dimulai.

1.   KPD saat preterm (KPDP) adalah KPD pada usia <37 minggu

2.   KPD memanjang merupakan KPD selama >24 jam yang berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi intra-amnion.

Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membrane atau meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan mambran disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina serviks. (Sarwono Prawiroharjo, 2002)

Ketuban pecah dini atau sponkaneous/ early/ premature rupture of the membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum partus : yaitu bila pembukaan pada primigravida dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. (Rustam Mochtar 1998)

 

 

 

B.     Etiologi

Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Selain itu ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi obstetri. Penyebab lainnya adalah sebagai berikut :

1.      Serviks inkompeten.

2.      Ketegangan rahim berlebihan : kehamilan ganda, hidramion.

3.      Kelainan letak janin dan rahim : letak sungsang, letak lintang.

4.      Kemungkinan kesempitan panggul : bagian terendah belum masuk PAP (sepalo pelvic  disproporsi).

5.      Infeksi yang menyebabkan terjadinya biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk preteolitik sel sehingga memudahkan ketuban pecah. (Amnionitis/ Korioamnionitis).

6.      Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetik)

7.      Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten

a.       Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi

b.      Makin muda kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin

 

C.    Patofisiologi

Banyak teori, mulai dari defect kromosom kelainan kolagen, sampai infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%)

High virulensi : Bacteroides

Low virulensi : Lactobacillus

Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast, jaringa retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh system aktifitas dan inhibisi interleukin -1 (iL-1) dan prostaglandin.

Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/ amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.

 

  1. E.     Diagnosa

Secara klinik diagnosa ketuban pecah dini tidak sukar dibuat anamnesa pada klien dengan keluarnya air seperti kencing dengan tanda-tanda yang khas sudah dapat menilai itu mengarah ke ketuban pecah dini. Untuk menentukan betul tidaknya ketuban pecah dini bisa dilakukan dengan cara :

  • Adanya cairan yang berisi mekonium (kotoran janin), verniks kaseosa (lemak putih) rambut lanugo atau (bulu-bulu halus) bila telah terinfeksi bau
  • Pemeriksaan inspekulo, lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis pada bagian yang sudah pecah, atau terdapat cairan ketuban pada forniks posterior
  • USG : volume cairan amnion berkurang/oligohidramnion
  • Terdapat infeksi genital (sistemik)
  • Gejala chorioamnionitis

Maternal : demam (dan takikardi), uterine tenderness, cairan amnion yang keruh dan berbau, leukositosis (peningkatan sel darah putih) meninggi, leukosit esterase (LEA) meningkat, kultur darah/urin

Fetal : takikardi, kardiotokografi, profilbiofisik, volume cairan ketuban berkurang

Cairan amnion: Tes cairan amnion, diantaranya dengan kultur/gram stain, fetal fibronectin, glukosa, leukosit esterase (LEA) dan sitokin.

Jika terjadi chorioamnionitis maka angka mortalitas neonatal 4x lebih besar, angka respiratory distress, neonatal sepsis dan pardarahan intraventrikuler 3x lebih besar

  • Dilakukan tes valsava, tes nitrazin dan tes fern

Normal pH cairan vagina 4,5-5,5 dan normal pH cairan amnion  7,0-7,5

  • Dilakukan uji kertas lakmus/nitrazine test
    • Jadi biru (basa)            : air ketuban
    • Jadi merah (asam)       : air kencing

 

Pemeriksaan Lain :

a. Ultrasonografi : Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda, anormaly janin atau melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosintesis.

b. Amniosintesis : Cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kematangan paru janin.

c. Pemantauan janin : Membantu dalam mengevaluasi janin

d. Protein C-reaktif : Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan peringatan korioamnionitis

 

F.     Penatalaksanaan

Perlu dilakukan pertimbangan tentang tata laksana yang paling tinggi mencapai well born baby dan well health mother. Masalah berat dalam menghadapi ketuban pecah dini adalah apabila kehamilan kurang dari 26 minggu karena untuk mempertahankannya memerlukan waktu lama. Bila berat janin sudah mencapai 2000 gram, induksi dapat dipertimbangkan. Kegagalan induksi disertai dengan infeksi yang diikuti histerektomi.

Selain itu, dapat dilakukan pemberian kortikosteroid dengan pertimbangan. Tindakan ini akan menambah reseptor pematangan paru, meningkatnya maturitas paru janin. Pemberian betametason 12 minggu dilakukan dengan interval 24 jam dan 12 minggu tambahan, maksimum dosis 24 minggu, masa kerjanya sekitar 2-3 hari. Bila janin setelah satu minggu belum lahir, pemberian berakortison dapat diulang lagi.

Indikasi melakukan pada ketuban pecah dini adalah sebagai berikut :

1.      Pertiimbangan waktu dan berat janin dalam rahim. Pertimbangan waktu apakah 6, 12, atau 24 jam. Berat janin sebaiknya lebih dari 2000 gram.

2.      Terdapat tanda infeksi intra uteri. Suhu meningkat lebih dari 38°c, dengan pengukuran  per rektal. Terdapat tanda infeksi melalui hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan kultur air ketuban.

Penatalaksanaan

  • Penatalaksanaan ketuban pecah dini tergantung pada umur kehamilan dan tanda infeksi intrauterin.
  • Pada umumnya lebih baik untuk membawa semua pasien dengan KPD ke RS dan melahirkan bayi yang berumur > 37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya ketuban untuk memperkecil resiko infeksi intrauterin.
  • Tindakan konservatif (mempertahankan kehamilan) diantaranya pemberian antibiotik dan cegah infeksi (tidak melakukan pemeriksaan dalam), tokolisis, pematangan paru, amnioinfusi, epitelisasi (vit C dan trace element, masih kontroversi), fetal and maternal monitoring. Tindakan aktif (terminasi/mengakhiri kehamilan) yaitu dengan sectio caesarea (SC) atau pun partus pervaginam.
  • Dalam penetapan langkah penatalaksanaan tindakan yang dilakukan apakah langkah konservatif ataukah aktif, sebaiknya perlu mempertimbangkan usia kehamilan, kondisi ibu dan janin, fasilitas perawatan intensif, kondisi, waktu dan tempat perawatan, fasilitas/kemampuan monitoring, kondisi/status imunologi ibu dan kemampuan finansial keluarga.
  • Untuk usia kehamilan <37 minggu dilakukan penanganan konservatif dengan mempertahankan kehamilan sampai usia kehamilan matur.
  • Untuk usia kehamilan 37 minggu atau lebih lakukan terminasi dan pemberian profilaksis streptokokkus grup B. Untuk kehamilan 34-36 minggu lakukan penatalaksanaan sama halnya dengan aterm
  • Untuk usia kehamilan 32-33 minggu lengkap lakukan tindakan konservatif/expectant management kecuali jika paru-paru sudah matur (maka perlu dilakukan tes pematangan paru), profilaksis streptokokkus grup B, pemberian kortikosteroid (belum ada konsensus namun direkomendasikan oleh para ahli), pemberian antibiotik selama fase laten.
  • Untuk previable preterm (usia kehamilan 24-31 minggu lengkap) lakukan tindakan konservatif, pemberian profilaksis streptokokkus grup B, single-course kortikosteroid, tokolisis (belum ada konsensus) dan pemberian antibiotik selama fase laten (jika tidak ada kontraindikasi)
  • Untuk non viable preterm (usia kehamilan <24 minggu), lakukan koseling pasien dan keluarga, lakukan tindakan konservatif atau induksi persalinan, tidak direkomendasikan profilaksis streptokokkus grup B dan kortikosteroid, pemberian antibiotik tidak dianjurkan karena belum ada data untuk pemberian yang lama)
  • Rekomendasi klinik untuk PROM, yaitu pemberian antibiotik karena periode fase laten yang panjang, kortikosteroid harus diberikan antara 24-32 minggu (untuk mencegah terjadinya resiko perdarahan intraventrikuler, respiratory distress syndrome dan necrotizing examinations),tidak boleh dilakukan digital cervical examinations jadi pilihannya adalah dengan spekulum, tokolisis untuk jangka waktu yang lama tidak diindikasikan sedangkan untuk jangka pendek dapat dipertimbangkan untuk memungkinkan pemberian kortikosteroid, antibiotik dan transportasi maternal, pemberian kortikosteroid setelah 34 minggu dan pemberian multiple course tidak direkomendasikan
  • Pematangan paru dilakukan dengan pemberian kortikosteroid yaitu deksametason 2×6 mg (2 hari) atau betametason 1×12 mg (2 hari)
  • Agentokolisis yaitu B2 agonis (terbutalin, ritodrine), calsium antagonis (nifedipine), prostaglandin sintase inhibitor (indometasin), magnesium sulfat, oksitosin antagonis (atosiban)
  • Tindakan epitelisasi masih kotroversial, walaupun vitamin C dan trace element terbukti berhubungan dengan terjadinya ketuban pecah terutama dalam metabolisme kolagen untuk maintenance integritas membran korio-amniotik, namun tidak terbukti menimbulkan epitelisasi lagi setelah terjadi PROM
  • Tindakan terminasi dilakukan jika terdapat tanda-tanda chorioamnionitis, terdapat tanda-tanda kompresi tali pusat/janin (fetal distress) dan pertimbangan antara usia kehamilan, lamanya ketuban pecah dan resiko menunda persalinan
  • KPD pada kehamilan < 37 minggu tanpa infeksi, berikan antibiotik eritromisin 3×250 mg, amoksisillin 3×500 mg dan kortikosteroid
  • KPD pada kehamilan  > 37 minggu tanpa infeksi (ketuban pecah >6 jam) berikan ampisillin 2×1 gr IV dan penisillin G 4×2 juta IU, jika serviks matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan SC
  • KPD dengan infeksi (kehamilan <37 ataupun > 37 minggu), berikan antibiotik ampisillin 4×2 gr IV, gentamisin 5 mg/KgBB, jika serviks matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan SC.

 

 

 

 

 

G. Prognosis/komplikasi

Adapun pengaruh ketuban pecah dini terhadap ibu dan janin adalah :

Prognosis ibu :  Infeksi intrapartal/dalam persalinan

Jika terjadi infeksi dan kontraksi ketuban pecah maka bisa menyebabkan sepsis yang selanjutnya dapat mengakibatkan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas

  • Infeksi puerperalis/ masa nifas
  • Dry labour/Partus lama
  • Perdarahan post partum
  • Meningkatkan tindakan operatif obstetri (khususnya SC)
  • Morbiditas dan mortalitas maternal

Prognosis janin :  Prematuritas

Masalah yang dapat terjadi pada persalinan prematur diantaranya adalah respiratory distress sindrome, hypothermia, neonatal feeding problem, retinopathy of premturity, intraventricular hemorrhage, necrotizing enterocolitis, brain disorder (and risk of cerebral palsy), hyperbilirubinemia, anemia, sepsis.

  • Prolaps funiculli/ penurunan tali pusat
  • Hipoksia dan Asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada bayi)

Mengakibatkan kompresi tali pusat, prolaps uteri, dry labour/pertus lama, apgar score rendah, ensefalopaty, cerebral palsy, perdarahan intrakranial, renal failure, respiratory distress.

  • Sindrom deformitas janin

Terjadi akibat oligohidramnion. Diantaranya terjadi hipoplasia paru, deformitas ekstremitas dan pertumbuhan janin terhambat (PJT)

  • Morbiditas dan mortalitas perinatal

H. Penyulit : Chepalopelvic Disproportion (CPD)

1. Definisi

Chepalopelvic Disproportion /Disproporsi sefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak dapat keluar melalui vagina. Disproporsi sefalopelvik disebabkan oleh panggul sempit, janin yang besar ataupun kombinasi keduanya.

 

2. Ukuran Panggul

a. Pintu Atas Panggul :

Pintu atas panggul dibentuk oleh promontorium corpus vertebra sacrum 1, linea innominata, serta pinggir atas simfisis. Konjugata diagonalis adalah jarak dari pinggir bawah simfisis ke promontorium, Secara klinis, konjugata diagonalis dapat diukur dengan memasukkan jari telunjuk dan jari tengah yang dirapatkan menyusur naik ke seluruh permukaan anterior sacrum, promontorium teraba sebagai penonjolan tulang. Dengan jari tetap menempel pada promontorium, tangan di vagina diangkat sampai menyentuh arcus pubis dan ditandai dengan jari telunjuk tangan kiri. Jarak antara ujung jari pada promontorium sampai titik yang ditandai oleh jari telunjuk merupakan panjang konjugata diagonalis.

Konjugata vera yaitu jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium yang dihitung dengan mengurangi konjugata diagonalis 1,5 cm, panjangnya lebih kurang 11 cm. Konjugata obstetrika merupakan konjugata yang paling penting yaitu jarak antara bagian tengah dalam simfisis dengan promontorium, Selisih antara konjugata vera dengan konjugata obstetrika sedikit sekali.

 

b. Panggul Tengah (Pelvic Cavity)

Ruang panggul ini memiliki ukuran yang paling luas. Pengukuran klinis panggul tengah tidak dapat diperoleh secara langsung. Terdapat penyempitan setinggi spina isciadika, sehingga bermakna penting pada distosia setelah kepala engagement. Jarak antara kedua spina ini yang biasa disebut distansia interspinarum merupakan jarak panggul terkecil yaitu sebesar 10,5 cm. Diameter anteroposterior setinggi spina isciadica berukuran 11,5 cm. Diameter sagital posterior, jarak antara sacrum dengan garis diameter interspinarum berukuran 4,5 cm.

 

c. Pintu Bawah Panggul

Pintu bawah panggul bukanlah suatu bidang datar namun terdiri dari dua segitiga dengan dasar yang sama yaitu garis yang menghubungkan tuber isciadikum kiri dan kanan. Pintu bawah panggul yang dapat diperoleh melalui pengukuran klinis adalah jarak antara kedua tuberositas iscii atau distansia tuberum (10,5 cm), jarak dari ujung sacrum ke tengah-tengah distensia tuberum atau diameter sagitalis posterior (7,5 cm), dan jarak antara pinggir bawah simpisis ke ujung sacrum (11,5 cm).

d. Panggul Sempit

Distosia adalah persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlalu lambatnya kemajuan persalinan. Distosia dapat disebabkan oleh kelainan pada servik, uterus, janin, tulang panggul ibu atau obstruksi lain di jalan lahir. Kelainan ini oleh ACOG dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Kelainan kekuatan (power) yaitu kontraktilitas uterus dan upaya ekspulsif ibu.
a. Kelainan his : inersia uteri / kelemahan his

b. kekuatan mengejan yang kurang misalnya pada hernia atau sesak nafas.

2. Kelainan yang melibatkan janin (passenger), misalnya letak lintang, letak dahi, hidrosefalus.
3. Kelainan jalan lahir (passage), misalnya panggul sempit, tumor yang mempersempit jalan lahir.
Pola Persalinan Kriteria Diagnostik Penanganan yang dianjurkan Penanganan Khusus

Panggul dengan ukuran normal tidak akan mengalami kesukaran kelahiran pervaginam pada janin dengan berat badan yang normal. Ukuran panggul dapat menjadi lebih kecil karena pengaruh gizi, lingkungan atau hal lain sehingga menimbulkan kesulitan pada persalinan pervaginam.

Panggul sempit yang penting pada obstetric bukan sempit secara anatomis namun panggul sempit secara fungsional artinya perbandingan antara kepala dan panggul. Selain panggul sempit dengan ukuran yang kurang dari normal, juga terdapat panggul sempit lainnya. Panggul ini digolongkan menjadi empat, yaitu:

1. Kelainan karena gangguan pertumbuhan intrauterine: panggul Naegele, panggul Robert, split pelvis, panggul asimilasi.

2. Kelainan karena kelainan tulang dan/ sendi: rakitis, osteomalasia, neoplasma, fraktur, atrofi, nekrosis, penyakit pada sendi sakroiliaka dan sendi sakrokoksigea.

3. Kelainan panggul karena kelainan tulang belakang: kifosis, skoliosis, spondilolistesis.
4. Kelainan panggul karena kelainan pada kaki: koksitis, luksasio koksa, atrofi atau kelumpuhan satu kaki.

Setiap penyempitan pada diameter panggul yang mengurangi kapasitas panggul dapat menyebabkan distosia saat persalinan. penyempitan dapat terjadi pada pintu atas panggul, pintu tengah panggul, pintu bawah panggul, atau panggul yang menyempit seluruhnya.

Penyempitan pintu atas panggul

Pintu atas panggul dianggap sempit apabila diameter anterioposterior terpendeknya (konjugata vera) kurang dari 10 cm atau apabila diameter transversal terbesarnya kurang dari 12 cm. Diameter anteroposterior pintu atas panggul sering diperkirakan dengan mengukur konjugata diagonal secara manual yang biasanya lebih panjang 1,5 cm. Dengan demikian, penyempitan pintu atas panggul biasanya didefinisikan sebagai konjugata diagonal yang kurang dari 11,5 cm.

Mengert (1948) dan Kaltreider (1952) membuktikan bahwa kesulitan persalinan meningkat pada diameter anteroposterior kurang dari 10 cm atau diameter transversal kurang dari 12 cm. Distosia akan lebih berat pada kesempitan kedua diameter dibandingkan sempit hanya pada salah satu diameter.

Diameter biparietal janin berukuran 9,5-9,8 cm, sehingga sangat sulit bagi janin bila melewati pintu atas panggul dengan diameter anteroposterior kurang dari 10 cm. Wanita dengan tubuh kecil kemungkinan memiliki ukuran panggul yang kecil, namun juga memiliki kemungkinan janin kecil. Dari penelitian Thoms pada 362 nullipara diperoleh rerata berat badan anak lebih rendah (280 gram) pada wanita dengan panggul sempit dibandingkan wanita dengan panggul sedang atau luas.

Pada panggul sempit ada kemungkinan kepala tertahan oleh pintu atas panggul, sehingga gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus secara langsung menekan bagian selaput ketuban yang menutupi serviks. Akibatnya ketuban dapat pecah pada pembukaan kecil dan terdapat resiko prolapsus funikuli. Setelah selaput ketuban pecah, tidak terdapat tekanan kepala terhadap serviks dan segmen bawah rahim sehingga kontraksi menjadi inefektif dan pembukaan berjalan lambat atau tidak sama sekali. Jadi, pembukaan yang berlangsung lambat dapat menjadi prognosa buruk pada wanita dengan pintu atas panggul sempit.

Pada nulipara normal aterm, bagian terbawah janin biasanya sudah masuk dalam rongga panggul sebelum persalinan. Adanya penyempitan pintu atas panggul menyebabkan kepala janin megapung bebas di atas pintu panggul sehingga dapat menyebabkan presentasi janin berubah. Pada wanita dengan panggul sempit terdapat presentasi wajah dan bahu tiga kali lebih sering dan prolaps tali pusat empat sampai enam kali lebih sering dibandingkan wanita dengan panggul normal atau luas.

Penyempitan panggul tengah

Dengan sacrum melengkung sempurna, dinding-dinding panggul tidak berkonvergensi, foramen isciadikum cukup luas, dan spina isciadika tidak menonjol ke dalam, dapat diharapkan bahwa panggul tengah tidak akan menyebabkan rintangan bagi lewatnya kepala janin. Penyempitan pintu tengah panggul lebih sering dibandingkan pintu atas panggul.Hal ini menyebabkan terhentunya kepala janin pada bidang transversal sehingga perlu tindakan forceps tengah atau seksio sesarea.

Penyempitan pintu tengah panggul belum dapat didefinisikan secara pasti seperti penyempitan pada pintu atas panggul. Kemungkinan penyempitan pintu tengah panggul apabila diameter interspinarum ditambah diameter sagitalis posterior panggul tangah adalah 13,5 cm atau kurang. Ukuran terpenting yang hanya dapat ditetapkan secara pasti dengan pelvimetri roentgenologik ialah distansia interspinarum. Apabila ukuran ini kurang dari 9,5 cm, perlu diwaspadai kemungkinan kesukaran persalinan apalagi bila diikuti dengan ukuran diameter sagitalis posterior pendek.

Penyempitan Pintu Bawah Panggul

Pintu bawah panggul bukan suatu bidang datar melainkan dua segitiga dengan diameter intertuberosum sebagai dasar keduanya. Penyempitan pintu bawah panggul terjadi bila diameter distantia intertuberosum berjarak 8 cm atau kurang. Penyempitan pintu bawah panggul biasanya disertai oleh penyempitan pintu tengah panggul. Disproporsi kepala janin dengan pintu bawah panggul tidak terlalu besar dalam menimbulkan distosia berat. Hal ini berperan penting dalam menimbulkan robekan perineum. Hal ini disebabkan arkus pubis yang sempit, kurang dari 900 sehingga oksiput tidak dapat keluar tepat di bawah simfisis pubis, melainkan menuju ramus iskiopubik sehingga perineum teregang dan mudah terjadi robekan.

Perkiraan Kapasitas Panggul Sempit

Perkiraan panggul sempit dapat diperoleh dari pemeriksaan umum dan anamnesa. Misalnya pada tuberculosis vertebra, poliomyelitis, kifosis. Pada wanita dengan tinggi badan yang kurang dari normal ada kemungkinan memiliki kapasitas panggul sempit, namun bukan berarti seorang wanita dengan tinggi badan yang normal tidak dapat memiliki panggul sempit. Dari anamnesa persalinan terdahulu juga dapat diperkirakan kapasitas panggul. Apabila pada persalinan terdahulu berjalan lancar dengan bayi berat badan normal, kemungkinan panggul sempit adalah kecil.

Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan salah satu cara untuk memperoleh keterangan tentang keadaan panggul. Melalui pelvimetri dalama dengan tangan dapat diperoleh ukuran kasar pintu atas dan tengah panggul serta memberi gambaran jelas pintu bawah panggul. Adapun pelvimetri luar tidak memiliki banyak arti.

Pelvimetri radiologis dapat memberi gambaran yang jelas dan mempunyai tingkat ketelitian yang tidak dapat dicapai secara klinis. Pemeriksaan ini dapat memberikan pengukuran yang tepat dua diameter penting yang tidak mungkin didapatkan dengan pemeriksaan klinis yaitu diameter transversal pintu atas dan diameter antar spina iskhiadika.

Tetapi pemeriksaan ini memiliki bahaya pajanan radiasi terutama bagi janin sehingga jarang dilakukan. Pelvimetri dengan CT scan dapat mengurangi pajanan radiasi, tingkat keakuratan lebih baik dibandingkan radiologis, lebih mudah, namun biayanya mahal. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan dengan MRI dengan keuntungan antara lain tidak ada radiasi, pengukuran panggul akurat, pencitraan janin yang lengkap. Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena biaya yang mahal.

Dari pelvimetri dengan pencitraan dapat ditentukan jenis panggul, ukuran pangul yang sebenarnya, luas bidang panggul, kapasitas panggul, serta daya akomodasi yaitu volume dari bayi yang terbesar yang masih dapat dilahirkan spontan.

Pada kehamilan yang aterm dengan presentasi kepala dapat dilakukan pemeriksaan dengan metode Osborn dan metode Muller Munro Kerr. Pada metode Osborn, satu tangan menekan kepala janin dari atas kearah rongga panggul dan tangan yang lain diletakkan pada kepala untuk menentukan apakah kepala menonjol di atas simfisis atau tidak. Metode Muller Munro Kerr dilakukan dengan satu tangan memegang kepala janin dan menekan kepala ke arah rongga panggul, sedang dua jari tangan yang lain masuk ke vagina untuk menentukan seberapa jauh kepala mengikuti tekanan tersebut dan ibu jari yang masuk ke vagina memeriksa dari luar hubungan antara kepala dan simfisis.

Janin yang besar

Normal berat neonatus pada umumnya 4000gram dan jarang ada yang melebihi 5000gram. Berat badan neonatus lebih dari 4000gram dinamakan bayi besar. Frekuensi berat badan lahir lebih dari 4000gram adalah 5,3%, dan berat badan lahir yang melihi 4500gram adalah 0,4%. Biasanya untuk berat janin 4000-5000 gram pada panggul normal tidak terdapat kesulitan dalam proses melahirkan. Factor keturunan memegang peranan penting sehingga dapat terjadi bayi besar. Janin besar biasanya juga dapat dijumpai pada ibu yang mengalami diabetes mellitus, postmaturitas, dan pada grande multipara. Selain itu, yang dapat menyebabkan bayi besar adalah ibu hamil yang makan banyak, hal tersebut masih diragukan.

Untuk menentukan besarnya janin secara klinis bukanlah merupakan suatu hal yang mudah. Kadang-kadang bayi besar baru dapat kita ketahui apabila selama proses melahirkan tidak terdapat kemajuan sama sekali pada proses persalinan normal dan biasanya disertai oleh keadaan his yang tidak kuat. Untuk kasus seperti ini sangat dibutuhkan pemeriksaan yang teliti untuk mengetahui apakah terjadi sefalopelvik disproporsi. Selain itu, penggunaan alat ultrasonic juga dapat mengukur secara teliti apabila terdapat bayi dengan tubuh besar dan kepala besar.

Pada panggul normal, biasanya tidak menimbulkan terjadinya kesulitan dalam proses melahirkan janin yang beratnya kurang dari 4500gram. Kesulitan dalam persalinan biasanya terjadi karena kepala janin besar atau kepala keras yang biasanya terjadi pada postmaturitas tidak dapat memasuki pntu atas panggul, atau karena bahu yang lebar sulit melalui rongga panggul. Bahu yang lebar selain dapat ditemukan pada janin yang memiliki berat badan lebih juga dapat dijumpai pada anensefalus. Janin dapat meninggal selama proses persalinan dapat terjadi karena terjadinya asfiksia dikarenakan selama proses kelahiran kepala anak sudah lahir, akan tetapi karena lebarnya bahu mengakibatkan terjadinya macet dalam melahirkan bagian janin yang lain. Sedangkan penarikan kepala janin yang terlalu kuat ke bawah dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada nervus brakhialis dan muskulus sternokleidomastoideus.

3. Penanganan

1. Persalinan Percobaan

Setelah dilakukan penilaian ukuran panggul serta hubungan antara kepala janin dan panggul dapat diperkirakan bahwa persalinan dapat berlangsung per vaginan dengan selamat dapat dilakukan persalinan percobaan. Cara ini merupakan tes terhadap kekuatan his, daya akomodasi, termasuk moulage karena faktor tersebut tidak dapar diketahui sebelum persalinan.

Persalinan percobaan hanya dilakukan pada letak belakang kepala, tidak bisa pada letak sungsang, letak dahi, letak muka, atau kelainan letak lainnya. Ketentuan lainnya adalah umur keamilan tidak boleh lebih dari 42 mingu karena kepala janin bertambah besar sehingga sukar terjadi moulage dan ada kemungkinan disfungsi plasenta janin yang akan menjadi penyulit persalinan percobaan.

Pada janin yang besar kesulitan dalam melahirkan bahu tidak akan selalu dapat diduga sebelumnya. Apabila dalam proses kelahiran kepala bayi sudah keluar sedangkan dalam melahirkan bahu sulit, sebaiknya dilakukan episiotomy medioateral yang cukup luas, kemudian hidung dan mulut janin dibersihkan, kepala ditarik curam kebawah dengan hati-hati dan tentunya dengan kekuatan terukur. Bila hal tersebut tidak berhasil, dapat dilakukan pemutaran badan bayi di dalam rongga panggul, sehingga menjadi bahu depan dimana sebelumnya merupakan bahu belakang dan lahir dibawah simfisis. Bila cara tersebut masih juga belum berhasil, penolong memasukkan tangannya kedalam vagina, dan berusaha melahirkan janin dengan menggerakkan dimuka dadanya. Untuk melahirkan lengan kiri, penolong menggunakan tangan kanannya, dan sebaliknya. Kemudian bahu depan diputar ke diameter miring dari panggul untuk melahirkan bahu depan.

Persalinan percobaan ada dua macam yaitu trial of labour dan test of labour. Trial of labour serupa dengan persalinan percobaan di atas, sedangkan test of labour sebenarnya adalah fase akhir dari trial of labour karena baru dimulai pada pembukaan lengkap dan berakhir 2 jam kemudian. Saat ini test of labour jarang digunakan karena biasanya pembukaan tidak lengkap pada persalinan dengan pangul sempit dan terdapat kematian anak yang tinggi pada cara ini.

Keberhasilan persalinan percobaan adalah anak dapat lahir sontan per vaginam atau dibantu ekstraksi dengan keadaan ibu dan anak baik. Persalinan percobaan dihentikan apabila pembukaan tidak atau kurang sekali kemajuannnya, keadaan ibu atau anak kurang baik, ada lingkaran bandl, setelah pembukaan lengkap dan ketuban pecah kepala tidak masuk PAP dalam 2 jam meskipun his baik, serta pada forceps yang gagal. Pada keadaan ini dilakukan seksio sesarea.

2. Seksio Sesarea

Seksio sesarea elektif dilakukan pada kesempitan panggul berat dengan kehamilan aterm, atau disproporsi sephalopelvik yang nyata. Seksio juga dapat dilakukan pada kesempitan panggul ringan apabila ada komplikasi seperti primigravida tua dan kelainan letak janin yang tak dapat diperbaiki.

Seksio sesarea sekunder (sesudah persalinan selama beberapa waktu) dilakukan karena peralinan perobaan dianggap gagal atau ada indikasi untuk menyelesaikan persalinan selekas mungkin sedangkan syarat persalinan per vaginam belum dipenuhi.

3. Simfisiotomi

Tindakan ini dilakukan dengan memisahkan panggul kiri dan kanan pada simfisis. Tindakan ini sudah tidak dilakukan lagi. Kraniotomi dan Kleidotomi : Pada janin yang telah mati dapat dilakukan kraniotomi atau kleidotomi. Apabila panggul sangat sempit sehingga janin tetap tidak dapat dilahirkan, maka dilakukan seksio sesarea.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

III.1  KESIMPULAN

Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu sebelum proses persalinan berlangsung dan dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm.

Penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi adalah: Infeksi, Servik yang inkompetensia, Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus), misalnya (trauma, hidramnion, gemelli), Kelainan letak, Keadaan sosial ekonomi, dan faktor lain.

Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :

1. Anamnesa

2. Inspeksi

3. Pemeriksaan dengan spekulum.

4. Pemeriksaan dalam

5. Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan laboraturium, Tes Lakmus (tes Nitrazin), Mikroskopik (tes pakis),Pemeriksaan ultrasonografi (USG).

Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana.

Komplikasi yang mungkin dapat terjadi : Tali pusat menumbung, Prematuritas, persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm, Oligohidramnion, bahkan sering partus kering (dry labor) karena air ketuban habis, infeksi maternal : (infeksi intra partum (korioamnionitis) ascendens dari vagina ke intrauterine, korioamnionitis (demam >380C, takikardi, leukositosis, nyeri uterus, cairan vagina berbau busuk atau bernanah, DJJ meningkat), endometritis), penekanan tali pusat (prolapsus) : gawat janin kematian janin akibat hipoksia (sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang), trauma pada waktu lahir dan Premature dan komplikasi infeksi intrapartum.

Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten.

 

III.2  SARAN

  1. Dilakukan penelitian epidemiologis tentang KPD di Indonesia
  2. Mahasiswa diharapkan lebih mengenalkan kepada masyarakat tentang KPD

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Andhi Juanda, 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Jakarta. FKUI
  2. Centers for Disease Control and Prevention (CDC); Update to CDC’s sexually transmitted diseases treatment guidelines, 2006: fluoroquinolones no longer recommended for treatment of gonococcal infections.; MMWR Morb Mortal Wkly Rep; 2007; Vol. 56; pp. 332-6
  3. Centers for Disease Control and Prevention, Workowski KA, Berman SM; Sexually transmitted diseases treatment guidelines, 2006.; MMWR Recomm Rep; 2006; Vol. 55; pp. 1-94
  4. Freddy dinata. Kelainan pada kelenjar bartholini. diakses dari www.azramedicalcentre tanggal 4 maret 2011
  5. Irma handayani. Radang genitalia pada wanita. Diakses dari www.google.com tanggal 8 maret 2011
  6. Landay Melanie, Satmary Wendy A, Memarzadeh Sanaz, Smith Donna M, Barclay David L, “Chapter 49. Premalignant & Malignant Disorders of the Vulva & Vagina” (Chapter). DeCherney AH, Nathan L: CURRENT Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, 10e.USA: McGraw-Hill
  7. MacKay H. Trent, “Chapter 18. Gynecologic Disorders” (Chapter). McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Jr.: CURRENT Medical Diagnosis & Treatment 2010.USA: McGraw-Hill
  8. 8.             Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3 hal. 386. 2005. FK UI
  9. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG, “Chapter 41. Surgeries for Benign Gynecologic Conditions” (Chapter). Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG: Williams Gynecology.USA: McGraw-Hill
  10. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG, “Chapter 4. Benign Disorders of the Lower Reproductive Tract” (Chapter). Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG: Williams Gynecology.  USA: McGraw-Hill

 


BAB I

LAPORAN KASUS

 

  1. I.                   IDENTITAS PENDERITA

Nama                                 :  An. Z

Umur                                 : 5 bulan

Jenis Kelamin                    : Laki-laki

Nama Ayah                       : Bp. A

Pekerjaan Ayah                 : PNS

Nama Ibu                          : Ny. Y

Pekerjaan Ibu                     : wiraswasta

Agama                               : Islam

Alamat                              : Yosodipuron RT 03/RW 03, Pasar  kliwon,

Surakarta

Tanggal masuk                  : 13 November 2011

Tanggal pemeriksaan         : 13 November 2011

No. RM                             : 01096230

                        

  1. II.                ANAMNESIS

Alloanamnesis diperoleh dari ibu pen­derita tanggal 13 November 2011

  1. A.  Keluhan Utama

Mencret

  1. B.  Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan SMRS pasien mencret kurang lebih 4 kali/hari, tinja cair lebih banyak daripada ampas (+), sekali BAB kurang lebih ¼ gelas aqua, warna tinja kekuningan, darah (-), lendir (-), BAB nyemprot (-), bau amis (-), kesakitan saat akan BAB (-), disertai muntah (+) lebih dari 5x/hari sebanyak ¼ gelas aqua berisi makanan dan minuman yang dimakan. Panas (-), batuk (-), pilek (-), kejang (-).

Pasien tampak lemas, rewel dan nafsu makan berkurang, penderita tampak kehausan dan ingin minum terus. Tetapi setiap kali makan atau minum pasien muntah . Sebelum diare pasien minum susu formula  dan makan- makanan seperti biasa. Buang air kecil pasien selama ini lancar, berwarna kuning jernih, sehari 4-5  kali/hari, masing masing kurang lebih setengah gelas aqua, saat diare BAK dalam sehari < 4x. BAK terakhir tidak diketahui karena saat itu pasien memakai pampers.. Kemudian oleh ibu pasien dibawa berobat ke RS Dr. Moewardi.

 

  1. C.  Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat alergi

  1. Susu              : disangkal
  2. Makanan       : disangkal
  3. Obat             : disangkal

Riwayat penyakit serupa                    : disangkal

Riwayat asma                                     : disangkal

Riwayat mondok                               : disangkal

Riwayat cacingan                               : disangkal

Riwayat operasi                                 : disangkal

Riwayat kejang                                  : disangkal

 

  1. D.    Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan

Riwayat penyakit serupa               : disangkal

Riwayat alergi   : disangkal

Riwayat asma    : disangkal

 

  1. E.     Riwayat Kesehatan Keluarga

– Ayah    :  baik

– Ibu       :  baik

 

 

 

 

 

 

  1. F.     Pemeliharaan Kehamilan dan Kelahiran
–            Pemeriksaan di bidan puskesmas
–            Frekuensi        :    trimester I     :  1 x / bulan
                                    trimester II   : 2 x / bulan
                                    trimester III  : 3 x / bulan

–      Keluhan selama kehamilan       :  (-)

 

G.    Pohon Keluarga?

Generasi I

 

Generasi II

Generasi III

 

An. Z 5 bulan

 

 

 

 

Penderita adalah anak pertama dan satu-satunya. Lahir dengan berat badan lahir 3100 gram dan panjang badan 51 cm, lahir normal spontan, menangis kuat, umur kehamilan 9 bulan, lahir di rumah  ditolong oleh bidan. Ayah dan ibu menikah satu kali.

 

  1. H.    Riwayat Kelahiran

Lahir cukup bulan di tolong bidan BBL = 3100 gr ,spontan, menangis kuat.

 

  1. I.       Riwayat Imunisasi

Hepatitis B      : 4 kali (usia 0 hari, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)

DPT                 : 3 kali ( usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan

Polio                : 4 kali ( usia 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan )

BCG                : 1 kali ( usia 1 bulan )

Campak           : belum

Kesan              : imunisasi dasar sesuai dengan KMS, tidak sesuai dengan IDAI 2010

 

J.      Perkembangan Anak

Motorik Kasar

Mengangkat kepala                 : 3 bulan

Tengkurap kepala tegak          : 4 bulan

Duduk sendiri                                     : –

Berdiri sendiri                         : –

Berjalan                                   : –

Bahasa

Bersuara “aah/ooh”                 : 2,5 bulan

Berkata (tidak spesifik)           : –

Motorik halus

Memegang benda                    :3,5 bulan

Personal sosial

Tersenyum                               : 1 bulan

Mulai makan                            : –

Tepuk tangan                           : –

Kesan                          : pertumbuhan dan perkembangan baik sesuai usia

 

K.    Riwayat Makan Minum Anak
  1. Usia 0-4 bulan : ASI diberikan sejak lahir, sampai pasien berumur 1 bulan. ASI diberikan tiap kali menangis kurang lebih 8-10x sehari, lama menyusui 10 menit, bergantian payudara kanan dan kiri, sesudah disusui anak tertidur. Penghentian ASI pada usia 1 bulan oleh karena ibu pasien bekerja.
  2. Susu formula diberikan sejak usia pasien 1 bulan sampai sekarang.
  3. Makanan padat dan bubur : bubur susu diberikan pada usia 4 bulan, diberikan 3x sehari sebanyak setengah bungkus sachet bubur susu.
L.     Keluarga Berencana
Ibu tidak mengikuti program KB

 

  1. III.     PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum    : tampak gelisah, rewel

Derajat kesadaran            : Apatis

 

Tanda vital

Nadi                     : 160 x/menit, regular, isi tegangan cukup

Laju nafas                        : 46 x/ menit, kedalaman cukup, reguler, tipe

torakoabdominal

Suhu                     : 37,2 0C peraksila

BB                        : 6,3 kg

TB                        : 65 cm

LK                        : 42 cm

–          Kulit
Kulit sawo matang
–          Kepala

Bentuk mesocephal

–          Mata

Cowong (+/+), air mata (</<), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+) normal, pupil isokor (3mm/3mm)

–          Hidung

Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)

–          Mulut

Mukosa kering (+), sianosis (-)

–          Telinga

Daun telinga bentuk normal, sekret (-/-)

–          Tenggorok

Uvula di tengah, mukosa faring hiperemis (-), tonsil T1 – T1.

–          Leher

Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak membesar.

–          Thoraks

Bentuk                :            normochest,  retraksi (-/-)

Cor                     :

Inspeksi                    :       iktus kordis tidak tampak

Palpasi                      :       iktus kordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat

Perkusi                      :

Batas kiri atas               : SIC II Linea parasternalis Sinistra

Batas kiri bawah           : SIC IV Linea Mid clavicularis sinistra

Batas kanan atas           : SIC II Linea parasternalis Dextra

Batas kanan bawah       : SIC IV Linea parasternalis Dextra

–             Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi                : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

        Pulmo :

Inspeksi                 : pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi                   : fremitus raba sulit dievaluasi

Perkusi                  : sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi             : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

 

–          Abdomen

Inspeksi                      : dinding perut sejajar dengan dinding dada

Auskultasi                  : bising usus (+) N

Perkusi                       : timpani

Palpasi                        : supel,  hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor

kembali lambat

 

 

 

 

Oedem
     –
     –
–          Ekstremitas
Akral Dingin
   –
   –

 

Capillary refill time < 2 detik

Arteri dorsalis pedis teraba kuat

 

–          Genitalia : phymosis (-)

 

–          Status Gizi

Secara antropometri

Umur                     : 5 bulan

Berat badan           : 6,3 kg

Tinggi badan         :  65 cm

 

BB            : 6,3   x 100% = 84 % à p3 <  BB/U < p15

U                  7,5

TB             : 65x 100% = 98,4 % à p15 <  TB/U < p50

U                 66

BB             : 6,3 100% = 86,3 %   à-2SD < Z score < -1SD

TB              7,3

Status gizi secara antropometri : gizi baik

Kebutuhan kalori perhari  : 7,3 x 108 = 788,4 kal/hari

Karbohidrat 50 % x 788,4 = 394,2 kal/hari = ¼ x 394,2 = 98,55 kal/hari

Lemak 35 % x 788,4 = 275,94 kal/hari = 1/9 x 275,94 = 30,66 kal/hari

Protein 15 % x 788,4 = 118,26 kal/hari = ¼ x 118,26 = 29,56 kal/hari

 

 

 

  1. IV.        PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium Darah

Pemeriksaan 15/11/2011 Satuan Rujukan
Hemoglobin 10,7 g/dl 10-12,8
Hematokrit 37 % 31-43
Jumlah Eritrosit 4,61 106 /l 3,7-5,7
Jumlah Lekosit 8,8 103 /l 4,5-11
Jumlah Trombosit 221 103/l 140-450
MCV 72,9 m3 80-96
MCH 23,2 mg 28-33
MCHC 31,8 g/dl 33-36
Eosinofil 1,90 % 1 – 2
Basofil 0,50 % 0 – 1
Neutrofil 43,80 % 18 -74
Limfosit 44,40 % 60 – 66
Monosit 5,80 % 0 – 6
LUC 3,60 %
K 4,2 mmol/L 3,7-5,4
Cl         115 mmol/L 98-106
Gol Darah A
GDS 79 mg/dl <140
hs-CRP 0,2 mg/l <4,1
Besi (SI)                    74 ug/dl 25 – 126
TIBC       223 ug/dl 228 – 428
Saturasi Transferin 37 % 15 – 45
Ferritin       36,8 ng/ml 20 – 200

 

 

 

 

 

b. Feses Rutin

Warna                 : kuning

Konsistensi         : cair

Bau                     : negatif

Darah                 : negatif

Cacing                : negatif

lendir                  : (-)

Eritrosit              : negatif

Leukosit             : negatif

Protozoa             : negatif

Telur Cacing       : negatif

Kuman               : (+ + +)

 

c. Urin rutin

Makroskopis                                           Mikroskopis

Warna                 : kuning                       eritrosit            : 1,2/ μL

Kejerinihan         : clear                           eritrosit            : 0/LPB

Kimia Urine                                           leukosit            : 0,5/ μL

Berat jenis          : 1.010                         leukosit            : 0/LPB

 

pH                      : 6.0                             Epitel

leukosit               : negative                     epitel squameous: 0-1/ LPB

nitrit                   : negative

protein                : negative

glukosa               : normal

keton                  : negative

urobilinogen       : normal

bilirubin              : negative

eritrosit               : negative

 

 

     

  1. V.          RESUME

Pasien laki-laki, usia 5 bulan, keluhan mencret sejak kemarin ± 4 kali/hari, tinja cair lebih banyak daripada ampas (+), sekali BAB ±¼ gelas aqua, warna kekuningan, disertai muntah (+) lebih dari > 5x/hari sebanyak ¼ gelas aqua berisi makanan dan minuman. Pasien tampak lemas, rewel dan pasien tampak kehausan selalu ingin minum tetapi selalu dimuntahkan. BAK selama diare berkurang < 4x sehari. BAK terakhir tidak diketahui karena bayi melakai pampers.

Dari pemeriksaan laboratorium darah masuk didapatkan Hb = 10,7 g/dl; Hct = 32 %; eritrosit 4,61 x 106ul; leukosit 8,8 x 103ul; trombosit 221 x 103ul; limfosit 44,40 %; monosit 5,80 %; SI 74 ug/dl; TIBC 223 ug/dl; Saturasi transferin 37 %.

 

 

  1. VI.       DAFTAR MASALAH

Anamnesa

  1. Mencret ± 4 kali/hari, tinja cair, warna kuning
  2. Muntah lebih dari > 5x/hari
  3. Tampak rewel, lemas, kehausan
  4. UUB cekung
  5. Mata cowong
  6. Air mata berkurang
  7. Mukosa mulut kering
  8. Turgor kembali lambat

 

  1. VII.          DIAGNOSIS BANDING
  2. Diare akut ec virus dengan dehidrasi sedang
  3. Diare akut ec bakteri dengan dehidrasi sedang

 

  1. VIII.       DIAGNOSIS KERJA

1)      Diare akut ec virus dengan dehidrasi sedang

2)      Anemia mikrositik hipokromik ec defisiensi besi

 

 

 

 

  1. IX.       PENATALAKSANAAN
  • Rehidrasi oralit 75 cc/ kgBB/ 3 jam à peroral. Selalu dimuntahkan

è Via NGT à pasien muntah lebih banyak daripada yang dimasukkan

è Ganti infus RL 1500 cc/hari à 15 tpm makro

  • Probiotik 2×1/2 sachet/hari
  • Zinc 1×10 mg
  • Oralit 5 cc/kgBB à jika muntah, 10 cc/kgBB à jika diare

Planning

SI, TIBC, ferritin

GDT

Diff. count

Urin + feces rutin

Monitoring

Evaluasi dalam 24 jam

KUVS tiap 2 jam

–          Status hidrasi tiap 2 jam

–          Balance cairan dan diuresis tiap 8 jam

 

  1. X.        PROGNOSIS

Ad vitam                     :  baik

Ad sanam                    :  baik

Ad fungsionam           :  baik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. XI.       PROGRESS REPORT
DPH TanggalJam Keluhan Pemeriksaan  & Diagnosis Terapi & Plan
I 14/11/2011 Keluhan:BAB (+) cair ± 4 x sehari muntah (+) Demam (-) Pusing (-)Nyeri perut (-) Pemeriksaan Fisik :KU lemah, ApatisHR 132 x/ menitRR  40 x/ menit

Suhu 36,5oC

Kepala: mesochephal

Mata: cowong (+/+), CA (-/-), SI (-/-), air mata (</<)

Hidung : NCH (-), sekret (-/-)

Mulut: MB (+), sianosis (-)

Thoraks :  retraksi(-/-)

Cor : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo: SDV (+/+), ST (-/-),

Abdomen: supel, NT (+), BU (+) normal, Hepar & Lien tak teraba

Ext : sianosis (-), CRT < 2”

A. dorsalis pedis teraba kuat

 

Diagnosis :

  1. Diare akut ec virus dg dehidrasi sedang

 

 

Terapi :1. Diet ASB (+) dan bubur cerelac 750 kkal3. ASI on demand2.  IVFD D ¼ 20 tpm à aff

3.   Zinc 1 x 10 mg

4. Prebiotik 2 x ½ sachet

7. oralit 100 cc tiap diare dan 50 cc tiap muntah

 

Planning :

–          Laboratorium darah lengkap

–          Feses rutin

 

 

Monitoring:

KU/VS per 2 jam

SH per 2 jam

BCD per 8 jam

II 15/11/2011 BAB (+) cair 2 xMuntah (+)BAK (+)Mual (-)

Panas (-)

 

KU cukup, CMHR 124 x/ menitRR 36 x/ menitSuhu 36,3 oC

Kepala: mesochephal

Mata: cowong (-/-), CA (-/-), SI (-/-)

Hidung : NCH (-), sekret (-/-)

Mulut: MB (+), sianosis (-)

Thoraks :  retraksi(-)

Cor : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo: SDV (+/+), ST (-/-),

Abdomen: supel, NT (+), BU (+) meningkat, Hepar & Lien tak teraba

Ext : sianosis (-), CRT < 2”

A. dorsalis pedis teraba kuat

 

Diagnosis :

  1. Diare akut ec virus dehidrasi sedang

 

Terapi :1. Diet ASB dan bubur cerelac 750 kkal3. ASI on demand4. zink 1 x 10 mg

6. probiotik 2 x 1/2 sachet

7. oralit 100 cc tiap diare dan 50 cc tiap muntah

 

Planning :

Urin rutin

Feses rutin

Monitoring:

KU/VS per 8 jam

BCD per 8 jam

III 16/11/2011 BAB (+) 1x warna kuning, lunakBAK (+)Pusing (-)Mual (-)

Muntah (-)

KU baik, CMHR  122x/ menitRR 32 x/ menitSuhu 36,2 oC

Kepala: mesochephal

Mata: cowong (-/-), CA (-/-), SI (-/-)

Hidung : NCH (-), sekret (-/-)

Mulut: MB (+), sianosis (-)

Thoraks :  retraksi(-)

Cor : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo: SDV (+/+), ST (-/-),

Abdomen: supel, NT (+), BU (+) meningkat, Hepar & Lien tak teraba

Ext : sianosis (-), CRT < 2”

A. dorsalis pedis teraba kuat

Terapi :1. ASI / ASB on demand2. Zink 1 x 20 mg2. Probiotik 2 x 1/2 sachet

3. Oralit 100 cc tiap diare dan 50 cc tiap muntah

Planning :

  1. Urin rutin
  2. Tunggu hasil GDT

 

Monitoring:

KU/VS per 8 jam

BCD per 8 jam

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. A.    PENDAHULUAN

Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai hasil Survei kesehatan Rumah Tangga diare menempati kisaran urutan ke-2 dan ke-3 berbagai penyebab kematian bayi di Indonesia1. Sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang terjadi karena infeksi seluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel, penetrasi ke lamina propria serta kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan maldiges dan malabsorpsi2. Bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya dapat mengalami invasi sistemik2.

Secara umum penanganan diare akut ditujukan untuk mencegah/menanggulangi dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya intolerasi, mengobati kausa diare yang spesifik, mencegah dan menanggulangi gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta. Untuk melaksanakan terapi diare secara komprehensif, efisien dan efekstif harus dilakukan secara rasional. Pemakaian cairan rehidrasi oral secara umum efektif dalam mengkoreksi dehidrasi. Pemberian cairan intravena diperlukan jika terdapat kegagalan oleh karena tingginya frekuensi diare, muntah yang tak terkontrol dan terganggunya masukan oral oleh karena infeksi. Beberapa cara pencegahan dengan vaksinasi serta pemakaian probiotik telah banyak diungkap dan penanganan menggunakan antibiotika yang spesifik dan antiparasit3.

 

  1. B.     DEFINISI

Diare adalah keluarnya tinja air dan elektrolit yang hebat. Pada bayi, volume tinja lebih dari 15 gram/kg/24 jam disebut diare. Pada umur 3 tahun, yang volume tinjanya sudah sama dengan volume orang dewasa, volume lebih dari 200 gram atau 200ml/24 jam disebut diare.1,2

Diare akut menurut Cohen4 adalah keluarnya buang air besar sekali atau lebih yang berbentuk cair dalam satu hari dan berlangsung kurang 14 hari. Menurut Noerasid, diare akut ialah diare yang terjadi secara mendakak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat. Sedangkan American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan diare dengan karakteristik peningkatan frekuensi dan/atau perubahan konsistensi, dapat disertai atau tanpa gejala dan tanda seperti mual, muntah, demam atau sakit perut yang berlangsung selama 3 – 7 hari6.

Klasifikasi diare ke dalam jenis akut dan kronis dibedakan atas dasar waktu berlangsungnya diare. Diare akut adalah diare yang terjadi selama kurang dari 2 minggu, sedangkan diare kronis adalah diare yang terjadi selama lebih dari 2 minggu.1

         

  1. C.    EPIDEMILOGI

Setiap tahun diperikirakan lebih dari satu milyar kasus diare di dunia dengan 3,3 juta kasus kematian sebagai akibatnya7. Diperkirakan angka kejadian di negara berkembang berkisar 3,5 – 7 episode per anak pertahun dalam 2 tahun pertama kehidupan dan 2 – 5 episode per anak per tahun dalam 5 tahun pertama kehidupan8. Hasil survei oleh Depkes. diperoleh angka kesakitan diare tahun 2000 sebesar 301 per 1000 penduduk angka ini meningkat bila dibanding survei pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk. Diare masih merupakan penyebab utama kematian bayi dan balita. Hasil Surkesnas 2001 didapat proporsi kematian bayi 9,4% dengan peringkat 3 dan proporsi kematian balita 13,2% dengan peringkat 29. Diare pada anak merupakan penyakit yang mahal yang berhubungan secara langsung atau tidak terdapat pembiayaan dalam masyarakat. Biaya untuk infeksi rotavirus ditaksir lebih dari 6,3 juta poundsterling setiap tahunya di Inggris dan 352 juta dollar di Amerika Serikat.

 

 

  1. D.    ETIOLOGI
  2. Infeksi
    1. Enteral
  • Bakteri : Shigella sp., E.coli patogen, Salmonella sp., Vibrio cholera, Yersinia enterocolytica, Campylobacter jejuni, V.parahemoliticus, Staphylococcus aureus, Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, Proteus, dll.
  • Virus: Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Norwalk like virus, CMV, echovirus, HIV.
  • Parasit:
    • Protozoa: Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia, Cryptosporidium parvum, Balantidium coli.
    • Cacing: A.lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichiura, S.stercoralis, cestodiasis, dll.
    • Jamur: Kandida/moniliasis
  1. Parenteral: Otitis Media Akut (OMA), pneumonia, traveler’s diarrhea: E.coli, G.lamblia, E.hystolitica, dll.
  2. Makanan:
  • Intoksikasi: makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan mengandung bakteri/toksin: Clostridium perfringens, B.cereus, S.aureus, Streptococcus anhaemolyticus, dll.
  • Alergi: susu sapi, makanan tertentu
  • Malabsorpsi/maldigesti: karbohidrat (monosakarida, disakarida), lemak, protein (celiacsprue gluten malabsorption, protein intolerance, cows milk).
  1. Imunodefisiensi: hipogamaglobulinemia, panhipogamaglobulinemia (Bruton), penyakit granulomatose kronik, defisiensi IgA, imunodefisiensi IgA
  2. Terapi obat: antibiotik, kemoterapi, antacid, dll.
  3. Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomi, dosis tinggi terapi radiasi
  4. Lain-lain: Zollinger-Ellison Syndrome, neuropati autonomic (neuropati diabetik)

 

  1. E.     KLASIFIKASI

Diare secara garis besar dibagi atas radang dan non radang. Diare radang dibagi lagi atas infeksi dan non infeksi. Diare non radang bisa karena hormonal, anatomis, obat-obatan dan lain-lain. Penyebab infeksi bisa virus, bakteri, parasit dan jamur, sedangkan non infeksi karena alergi, radiasi10

 

  1. F.     PATOFISIOLOGI

Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang masuk

melalui makanan dan minuman sampai ke enterosit, akan menyebabkan infeksi dan kerusakan villi usus halus. Enterosit yang rusak diganti dengan yang baru yang fungsinya belum matang, villi mengalami atropi dan tidak dapat mengabsorpsi cairan dan makanan dengan baik, akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan meningkatkan motilitasnya sehingga timbul diare.4,7

Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bekteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri. 5,7

Rotavirus,Shigella spp dan E. Coli enterotoksigenik Rotavirus jelas merupakan penyebab diare akut yang paling sering diidentifikasi pada anak dalam komunitas tropis dan iklim sedang.13 Diare dapat disebabkan oleh alergi atau intoleransi makanan tertentu seperti susu, produk susu, makanan asing terdapat individu tertentu yang pedas atau tidak sesuai kondisi usus dapat pula disebabkan oleh keracunan makanan dan bahan-bahan kimia. Beberapa macam obat, terutama antibiotika dapat juga menjadi penyebab diare. Antibiotika akan menekan flora normal usus sehingga organisme yang tidak biasa atau yang kebal antibiotika akan berkembang bebas.7,14 Di samping itu sifat farmakokinetik dari obat itu sendiri juga memegang peranan penting. Diare juga berhubungan dengan penyakit lain misalnya malaria, schistosomiasis, campak atau pada infeksi sistemik lainnya misalnya, pneumonia, radang tenggorokan, dan otitis media.4,7

Menurut patofisiologinya diare dibedakan dalam beberapa kategori yaitu diare osmotik, sekretorik dan diare karena gangguan motilitas usus. Diare osmotik terjadi karena terdapatnya bahan yang tidak dapat diabsorpsi oleh usus akan difermentasi oleh bakteri usus sehingga tekanan osmotik di lumen usus meningkat yang akan menarik cairan. Diare sekretorik terjadi karena toxin dari bakteri akan menstimulasi cAMP dan cGMP yang akan menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit. Sedangkan diare karena gangguan motilitas usus terjadi akibat adanya gangguan pada kontrol otonomik, misal pada diabetik neuropathi, post vagotomi, post reseksi usus serta hipertiroid.7

 

  1. G.    DIAGNOSIS dan MANIFESTASI KLINIS
  2. 1.      Anamnesis

Pasien diare akut datang dengan gambaran klinis yang bergantung dari etiologinya. Keluhan diare akut infektif bersifat khas yaitu nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan feces yang sering, bisa air, malabsorptif, atau berdarah tergantung dari bakteri patogen yang spesifik. gambaran klinis diare juga dapat dibedakan menurut letak usus yang sakit.

Berikut adalah hubungan antara karakteristik feces dengan usus yang sakit:6

Karakter feces Usus halus Usus besar
Morfologi Berair Berlendir, darah (+)
Volume Banyak Sedikit
Frekuensi Meningkat Sangat meningkat
Darah Darah (mikros) Darah banyak (makros)
Ph Mungkin > 5,5 >5,5
Leukosit <5 dengan perbesaran maksimal Umumnya >10 dengan perbesaran maksimal
Leukosit darah Normal Bisa leukositosis
Patogen ViralRotavirus, Adenovirus, Calicivirus, Astrovirus, NorovirusEnterotoxigenic bacteria

E coli, Klebsiella, Clostridium perfringens, Cholera sp., Vibrio sp.

 

Parasites

Giardia sp. Cryptosporidium sp.

 

Invasive bacteriaEscherichia Coli (enteroinvasive, enterohemorrhagic), Shigella sp., Salmonella sp., Campylobacter sp., Yersinia sp., Aeromonas sp., Plesiomonassp.Toxic of bacteria

Clostridium difficile

 

Parasites

Entamoeba organisms

Tabel 1. Korelasi karakteristik feces dan usus yang sakit (Takayeshu, 2010)

Dibutuhkan informasi tentang kontak dengan penderita gastroenteritis, frekuensi dan konsistensi buang air besar dan muntah, intake cairan dan urine output, riwayat perjalanan, penggunaan antibiotika, dan obat-obatan lain yang bisa menyebabkan diare.

  1. 2.      Pemeriksaan Fisik1,6,9

Yang dapat ditemukan saat melakukan pemeriksaan fisik yakni

  1. Dehidrasi, yang dapat timbul bila terjadi diare berat dan terbatasnya asupan oral karena nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Berikut adalah klasifikasi diare menurut klinisnya:

 

Gejala/tanda KLASIFIKASI
Ringan (<3% BB turun) Sedang (3 – 9% BB turun) Berat (>9% BB turun)
Keadaan umum Baik, compos mentis Anxietas Letargi/tidak sadar
Denyut jantung Normal Sedikit meningkat Takikardi atau bradikardi
Kualitas denyut Normal Sedikit lemah Lemah hingga impalpable
Napas Normal Agak meningkat Takipnea-hiperpnea
Mata Normal Cekung Cekung
Fontanella Normal Agak cekung Cekung
Air mata Normal Sedikit menurun Tidak ada
Mukosa Lembab Agak kering Kering hingga pecah-pecah
Rasa haus Minum biasa, tidak haus Sangat haus Tidak minum
Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat (<2”) Kembali sangat lambat (>2”)
Capillary Refill Time < 2” Agak memanjang Memanjang dan kurang merah
Extremitas Hangat Dingin Sianosis

 

Tabel 1. Tingkatan dehidrasi ( King et al., 2003)

  1. Gagal tumbuh dan malnutrisi

Penurunan massa tubuh dan lemak atau edema perifer dapat menunjukkan kelainan malabsorpsi karbohidrat, lemak, dan/atau protein. Giardia sp. dapat mengakibatkan diare intermiten dan malabsorpsi lemak.

  1. Nyeri abdomen

Pemeriksaan abdomen diperlukan untuk mengetahui adanya dan kualitas bunyi usus serta ada atau tidak adanya distensi abdomen. Nyeri saat palpasi biasanya tidak didapatkan pada diare. Nyeri abdomen fokal yang bertambah nyeri bila dipalpasi menunjukkan kemungkinan komplikasi atau diagnosis non-infeksi lainnya.

  1. Eritema perianal

Buang air besar yang sering dapat menimbulkan kerusakan kulit perianal, terutama pada bayi dan anak kecil. Malabsorpsi karbohidrat sekunder dapat mengakibatkan feces asam. Malabsorpsi asam empedu sekunder mengakibatkan dermatitis berat perianal.

 

 

  1. 3.      Pemeriksaan penunjang8

Pemeriksaan penunjang diperlukan pada pasien dengan dehidrasi atau toksisitas berat atau diare yang sudah berlangsung selama beberapa hari. pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit), kadar elektrolit serum, ureum dan kreatinin, pemeriksaan feces, pemeriksaan Enzym-linked Immunoabsorbent Assay (ELISA) untuk mendeteksi giardiasis, test serologi amebiasis, dan foto rontgen abdomen.

Pasien dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit yang normal atau limfositosis, pasien dengan infeksi bakteri terutama bakteri yang invasive ke mukosa, memiliki leukositosis dengan sel darah putih muda.

Ureum dan kreatinin diperiksa untuk memeriksa adanya kekurangan volume cairan dan mineral tubuh. Pemeriksaan feces dilakukan untuk melihat adanya leukosit dalam feces yang menunjukkan adanya infeksi bakteri, telur cacing, dan parasit dewasa.

 

  1. H.    DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding diare perlu dibuat agar dapat memberikan pengobatan yang lebih baik dan tepat. Diagnosis banding untuk diare akut pada anak adalah:9

  1. Meningitis
  2. Bacterial sepsis
  3. Pneumonia
  4. Otitis media
  5. Infeksi saluran kemih

 

  1. I.       TATA LAKSANA

Menurut ketentuan World Health Organization (WHO) dalam revisi keempat tahun 2008 mengenai tatalaksana diare akut pada anak menyebutkan, tujuan pengobatan diare akut pada anak adalah :

  1. Pencegahan dehidrasi bila tidak dijumpai tanda – tanda dehidrasi.
  2. Pengobatan dehidrasi bila dijumpai tanda – tanda dehidrasi.
  3. Mencegah timbulnya kurang kalori protein dengan cara memberikan makanan selama diare berlangsung dan setelah diare berhenti.
  4. Mengurangi lama dan beratnya diare dan mengurangi kekambuhan diare pada hari – hari mendatang dengan memberikan zink dosis 10 mg sampai 20 mg selama 10 sampai 14 hari.

Prinsip penatalaksanaan pada anak-anak dengan diare dan dehidrasi:6,8

  1. Pemberian oralit dengan cepat dalam 3 – 4 jam. Bila tidak ada oralit, bisa diberikan oralit rumahan dengan cara menyampurkan 2 sendok makan (sdm) gula/madu, ¼ sendok teh (sdt) garam, ¼ sdt soda kue ke dalam 1 liter air. Pemberian sebanyak 10 ml/kgBB tiap diare, dan 2 ml/kgBB tiap muntah.
  2. Bila dehidrasi telah terkoreksi, beri cairan maintenance
    1. Diet tanpa batas sesuai umur
    2. Lanjutkan minum ASI
    3. Pemberian susu/makanan formula
    4. Pemberian oralit tambahan untuk cairan yang sedang hilang
    5. Tidak diperlukan tes laboratorium atau medikasi.

Berikut adalah manajemen diare akut pada anak menurut World Gastroenterology Organization (WGO) 2008:9

  1. Rehidrasi.
Tindakan Klasifikasi dehidrasi
Ringan Sedang Berat
Rehidrasi Tidak ada Oralit 50-100 ml/kgBB dalam 3-4 jam Rehidrasi dengan RL (100 ml/kgBB) i.v dalam 4-6 jam lalu lanjutkan pemberian oralit hingga pasien membaik
Penggantian cairan yang telah hilang <10 kgBB: 60 – 120 mL oralit tiap diare dan muntah <10 kgBB: 60 – 120 mL oralit tiap diare dan muntah <10 kgBB: 60 – 120 mL oralit tiap diare dan muntah
Diet Lanjutkan ASI atau makanan sesuai umurnya Lanjutkan ASI atau makanan setelah dilakukan rehidrasi Lanjutkan ASI atau makanan setelah dilakukan rehidrasi

 

Prinsip penentuan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Formula pemberian cairan:8

  1. Rumus BJ plasma:

BJ plasma – 1,025

Kebutuhan cairan =                                   x Berat Badan x 4 ml

0,001

BJ plasma:

Dehidrasi berat: BJ plasma 1,032 – 1,040

Dehidrasi sedang: BJ plasma 1,028 – 1,032

Dehidrasi ringan: BJ plasma 1,025 – 1,028

  1. Metode pierce berdasarkan klinis:

Dehidrasi ringan, keb. Cairan = 5% x BB (kg)

Dehidrasi sedang, keb. Cairan = 9% x BB (kg)

Dehidrasi ringan, keb. Cairan = 12% x BB (kg)

Pemberian rehidrasi terbagi atas:8

  1. Dua jam pertama (tahap inisial): jumlah total kebutuhan cairan menurut rumus BJ plasma diberikan langsung dalam 2 jam ini.
  2. Satu jam berikutnya, pemberian diberikan berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya.
  3. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui feces dan Insensible Water Loss (IWL)
  4. Suplemen Zinc, multivitamin, dan mineral lainnya9

Pemberian zinc dapat menurunkan durasi dan derajat keparahan diare pada anak. Suplementasi zinc zulfat (2 mg/hari selama 14 hari) menurunkan insiden diare selama 2 – 3 bulan sehingga membantu mengurangi laju mortalitas pada anak dengan diare persisten.

Selain zinc, WHO menyarankan pemberian vitamin dan mineral lainnya, misalnya asam folat, vitamin A, magnesium,

Dasar pemikiran pengunaan mikronutrien dalam pengobatan diare akut didasarkan kepada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel seluran cerna selama diare. Seng telah dikenali berperan di dalam metallo – enzymes, polyribosomes , selaput sel, dan fungsi sel, juga berperan penting di dalam pertumbuhan sel dan fungsi kekebalan .19 Sazawal S dkk 26 melaporkan pada bayi dan anak lebih kecil dengan diare akut, suplementasi seng secara klinis penting dalam menurunkan lama dan beratnya diare. Strand 27 Menyatakan efek pemberian seng tidak dipengaruhi atau meningkat bila diberikan bersama dengan vit A. Pengobatan diare akut dengan vitamin A tidak memperlihatkan perbaikan baik terhadap lamanya diare maupun frekuensi diare. 19 Bhandari dkk 28 mendapatkan pemberian vitamin A 60mg dibanding dengan plasebo selama diare akut dapat menurunkan beratnya episode dan risiko menjadi diare persisten pada anak yang tidak mendapatkan ASI tapi tidak demikian pada yang mendapat ASI.

  1. Diet1,8,9

Pasien diare tidak dianjurkan puasa, kecuali bila muntah-muntah hebat. Makanan segera diberikan 4 jam setelah pemberian oralit atau cairan intravena. Pasien dianjurkan minum-minuman sari buah, minuman tak bersoda, makanan mudah dicerna (seperti pisang, nasi, keripik, dan sup). Susu sapi dihindarkan karena adanya defisiensi lactase transien yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri.

Berikan:

  • Diet sesuai umur disamping cairan oralit dan maintenance
  • Pemberian makan yang sering dan sedikit-sedikit (6x/hari)
  • Makanan berenergi tinggi dan mengandung banyak mikronutrien (daging, buah, sayur)
  1. Terapi nonspesifik

Antidiare sebenarnya kurang memberikan manfaat besar pada anak dengan diare akut/persisten. Antiemetic tidak diberikan pada diare akut.9

  1. Antimotil

Loperamid. Tidak dianjurkan penggunaannya pada anak < 2 tahun. Merupakan obat terpilih untuk orang dewasa (dosis 4 – 6 mg/hari; 2 – 4 mg/hari untuk anak > 8 tahun).

  1. Agen antisekretorik.

Salazer –lindo E dkk 22 dari Department of Pedittrics, Hospital Nacional Cayetano Heredia, Lima,Peru, melaporkan bahwa pemakaian Racecadotril ( acetorphan ) yang merupakan enkephalinace inhibitor dengan efek anti sekretorik serta anti diare ternyata cukup efektif dan aman bila diberikan pada anak dengan diare akut oleh karena tidak mengganggu motilitas usus sehingga penderita tidak kembung .Bila diberikan bersamaan dengan cairan rehidrasi oral akan memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan hanya memberikan cairan rehidrasi oral saja .Hasil yang sama juga didapatkan oleh Cojocaru dkk dan cejard dkk.untuk pemakaian yang lebih luas masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat multi senter dan melibatkan sampel yang lebih besar.23

  1. Adsorbent. Misalnya kaolin-pectin, atapulgite
  2. Probiotik

Probiotik merupakan bakteri hidup yang mempunyai efek yang menguntungkan pada host dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik didalam lumen saluran cerna sehingga seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri probiotik melalui reseptor dalam sel epitel usus. Dengan mencermati penomena tersebut bakteri probiotik dapat dipakai dengan cara untuk pencegahan dan pengobatan diare baik yang disebabkan oleh Rotavirus maupun mikroorganisme lain, speudomembran colitis maupun diare yang disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika yang tidak rasional rasional (antibiotik asociatek diarrhea ) dan travellers,s diarrhea. 14,15,24. Terdapat banyak laporan tentang penggunaan probiotik dalam tatalaksana diare akut pada anak. Hasil meta analisa Van Niel dkk 25 menyatakan lactobacillus aman dan efektif dalam pengobatan diare akut infeksi pada anak, menurunkan lamanya diare kira-kira 2/3 lamanya diare, dan menurunkan frekuensi diare pada hari ke dua pemberian sebanyak 1 – 2 kali. Kemungkinan mekanisme efekprobiotik dalam pengobatan diare adalah : Perubahan lingkungan mikro lumen usus, produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa patogen, kompetisi nutrien, mencegah adhesi patogen pada anterosit, modifikasi toksin atau reseptor toksin, efektrofik pada mukosa usus dan imunno modulasi.14,24

  1. Antibiotik

Terapi antibiotik bukanlah indikasi pada anak-anak. Pemberian ini hanya dilakukan pada anak dengan diare bercampur darah (pada umumnya shigellosis), tersangka kolera dengan dehidrasi berat, dan pasien dengan manifestasi klinis berat (misalnya pneumonia). Namun, pemberian antiprotozoa sangat bermanfaat pada anak dengan diare, khususnya giardiasis, Entamoeba hystolitica, dan Cryptosporodium, dengan menggunakan nitazoxanide.

Beberapa antimikroba yang sering dipakai antara lain 15,18

ü  Kolera : Tetrasiklin 50mg/kg/hari dibagi 4 dosis (2 hari)

Furasolidon 5mg/kg/hari dibagi 4 dosis (3 hari)

ü    Shigella : Trimetroprim 5-10mg/kg/hari

Sulfametoksasol 25mg/kg/hari Diabgi 2 dosis (5 hari)

Asam Nalidiksat : 55mg/kg/hari dibagi 4 (5 hari)

ü    Amebiasis: Metronidasol 30mg/kg/hari dibari 4 dosis 9 5-10 hari)

Untuk kasus berat : Dehidro emetin hidrokhlorida 1-1,5 mg/kg (maks 90mg)(im) s/d 5 hari tergantung reaksi (untuk semua umur)

ü    Giardiasis : Metronidasol 15mg.kg/hari dibagi 4 dosis ( 5 hari ).

 

  1. J.      PENCEGAHAN

Amatlah penting untuk tetap memberikan nutrisi yang cukup selama diare, terutama pada anak dengan gizi yang kurang. Minuman dan makanan jangan dihentikan lebih dari 24 jam, karena pulihnya mukosa usus tergantung dari nutrisi yang cukup.Bila tidak makalah ini akan merupakan faktor yang memudahkan terjadinya diare kronik29 Pemberian kembali makanan atau minuman (refeeding) secara cepat sangatlah penting bagi anak dengan gizi kurang yang mengalami diare akut dan hal ini akan mencegah berkurangnya berat badan lebih lanjut dan mempercepat kesembuhan. Air susu ibu dan susu formula serta makanan pada umumnya harus dilanjutkan pemberiannya selama diare penelitian yang dilakukan oleh Lama more RA dkk30 menunjukkan bahwa suplemen nukleotida pada susu formula secara signifikan mengurangi lama dan beratnya diare pada anak oleh karena nucleotide adalah bahan yang sangat diperlukan untuk replikasi sel termasuk sel epitel usus dan sel imunokompeten. Pada anak lebih besar makanan yang direkomendasikan meliputi tajin ( beras, kentang, mi, dan pisang) dan gandum ( beras, gandum, dan cereal). Makanan yang harus dihindarkan adalah makanan dengan kandungan tinggi, gula sederhana yang dapat memperburuk diare seperti minuman kaleng dan sari buah apel. Juga makanan tinggi lemak yang sulit ditoleransi karena karena menyebabkan lambatnya pengosongan lambung.31

Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa diberikan pada penderita yang menunjukkan gejala klinik dan laboratorium intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa berspektrum dari yang ringan sampai yang berat dan kebanyakan adalah tipe yang ringan sehingga cukup memberikan formula susu biasanya diminum dengan pengenceran oleh karena intoleransi laktosa ringan bersifat sementara dan dalam waktu 2 – 3 hari akan sembuh terutama pada anak gizi yang baik. Namun bila terdapat intoleransi laktosa yang berat dan berkepanjangan tetap diperlukan susu formula bebas laktosa untuk waktu yang lebih lama. Untuk intoleransi laktosa ringan dan sedang sebaiknya diberikan formula susu rendah laktosa. Sabagaimana halnya intoleransi laktosa, maka intoleransi lemak pada diare akut sifatnya sementara dan biasanya tidak terlalu berat sehingga tidak memerlukan formula khusus.Pada situasi yang memerlukan banyak energi seperti pada fase penyembuhan diare, diet rendah lemak justru dapat memperburuk keadaan malnutrisi dan dapat menimbulkan diare kronik 32

  1. K.    KESIMPULAN

Diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian. Penyebab utama diare akut adalah infeksi Rotavirus yang bersifat self limiting sehingga tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotika. Pemakaian antibitika hanya untuk kasus-kasus yang diindikasikan.Masalah utama diare akut pada anak berkaitan dengan risiko terjadinya dehidrasi. Upaya rehidrasi menggunakan cairan rehidrasi oral merupakan satu-satunya pendekatan terapi yang paling dianjurkan. Penggantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi diare akut. Pemakaian anti sekretorik,probiotik, dan mikronutrien dapat memperbaiki frekuensi dan lamanya diare. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemberian makanan atau nutrisi yang cukup selama diare dan mengobati penyakit penyerta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ANEMIA

  1. A.    PENDAHULUAN

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang.

Gambaran diagnosis etiologis dapat ditegakkan dari petunjuk patofisiologi,  patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, diagnosis banding, penatalaksanaan dan terapi. Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah. Yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat, tetapi tubuh juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta keseimbangan hormone, terutama eritroprotein. Tanpa zat gizi dan hormone tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen sebagaimana mestinya.

Hal yang harus diingat :

1. Anemia bukan penyakit, tetapi tanda/gejala

2. Anemia adalah proses yang terus berubah

3. Anemia banyak dijumpai pada orang tua, tetapi menjadi tua bukan penyebab anemia

4. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan laboratorium

Sekali lagi diingatkan, Anemia bukan suatu penyakit, tetapi keadaan yang ditandai dengan  menurunnya kadar hemoglobin di bawah nilai normal yang diikuti dengan menurunnya nilai hematokrit. Kadar Hb tergantung dari umur, jenis kelamin, letak geografis dan metode pemeriksaan.

Nilai normal kadar Hb orang indonesia menurut Depkes, sesuai dengan WHO: ANAK PRA-SEKOLAH :  Hb  <  11 g/dL

ANAK SEKOLAH :  Hb  <  12 g/dL

WANITA HAMIL :  Hb  <  11 g/dL

IBU MENYUSUI :  Hb  <  12 g/dL

WANITA DEWASA :  Hb  <  12 g/dL

PRIA DEWASA :  Hb  <  13 g/dL

Kadar Hb akan meningkar 1 g/dL pada ketinggian 2.000 m dan meningkat 2 g/dL pada ketinggian  3.000  m.  Pemeriksaan  kadar  Hb  yang  dianjurkan  adalah  dengan  cara spektrofotometer, menggunakan reagen sianmethemoglobin.Untuk mengetahui penyebab anemia maka diperlukan  data klinis, pemeriksaan fisik dan laboratorium.

  1. B.     DEFINISI

Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 100 ml darah. (Ngastiyah, 1997).

Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan sehingga tubuh akan mengalami hipoksia. Anemia bukan suatu penyakit atau diagnosis melainkan merupakan pencerminan ke dalam suatu penyakit atau dasar perubahan patofisilogis yang diuraikan oleh anamnese dan pemeriksaan fisik yang teliti serta didukung oleh pemeriksaan laboratorium.

 

  1. C.    EPIDEMILOGI

Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah ADB da terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama selain kekurangan kalori protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30 – 40%, pada anak sekolah 25 – 35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 5,55%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi belajar di sekolah

 

  1. D.    ETIOLOGI

Anemia disebabkan oleh berbagai jenis penyakit, namun semua kerusakan tersebut secara signifikan akan mengurangi banyaknya oksigen yang tersedia untuk jaringan. Menurut Brunner dan Suddart (2001), beberapa penyebab anemia secara umum antara lain :

a. Secara fisiologis anemia terjadi bila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

b.  Akibat dari sel darah merah yang prematur atau penghancuran sel darah  merah yang berlebihan.

c.   Produksi sel darah merah yang tidak mencukupi.

  1. Faktor lain meliputi kehilangan darah, kekurangan nutrisi, faktor keturunan, penyakit kronis dan kekurangan zat besi.

 

  1. E.     KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan pendekatan fisiologis:

1. Anemia hipoproliferatif, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan oleh defek produksi sel darah merah, meliputi:

a. Anemia aplastik

Penyebab:

  • agen neoplastik/sitoplastik
  • terapi radiasi, antibiotic tertentu
  • obat antu konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason
  • benzene
  • infeksi virus (khususnya hepatitis)

Penurunan jumlah sel eritropoitin (sel induk) di sumsum tulang

Kelainan sel induk (gangguan pembelahan, replikasi, deferensiasi)

Hambatan humoral/seluler

Gangguan sel induk di sumsum tulang

Jumlah sel darah merah yang dihasilkan tak memadai

Pansitopenia

Anemia aplastik

 

Gejala-gejala:

  • Gejala anemia secara umum (pucat, lemah, dll)
  • Defisiensi trombosit: ekimosis, petekia, epitaksis, perdarahan saluran cerna, perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan saraf pusat.

Morfologis: anemia normositik normokromik

b.    Anemia pada penyakit ginjal

Gejala-gejala:

·     Nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 10 mg/dl

·       Hematokrit turun 20-30%

·       Sel darah merah tampak normal pada apusan darah tepi

Penyebabnya adalah menurunnya ketahanan hidup sel darah merah maupun defisiensi eritopoitin

 

c.     Anemia pada penyakit kronis

Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan anemia jenis normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna yang normal).  Kelainan ini meliputi artristis rematoid, abses paru, osteomilitis, tuberkolosis dan berbagai keganasan

d.    Anemia defisiensi besi

Penyebab:

·     Asupan besi tidak adekuat, kebutuhan meningkat selama hamil,    menstruasi

·     Gangguan absorbsi (post gastrektomi)

·  Kehilangan darah yang menetap (neoplasma, polip, gastritis, varises  oesophagus, hemoroid, dll.)

gangguan eritropoesis

Absorbsi besi dari usus kurang

sel darah merah sedikit (jumlah kurang)

sel darah merah miskin hemoglobin

Anemia defisiensi besi

Gejala-gejalanya:

·       Atropi papilla lidah

·       Lidah pucat, merah, meradang

·       Stomatitis angularis, sakit di sudut mulut

Morfologi: anemia mikrositik hipokromik

e.      Anemia megaloblastik

Penyebab:

·     Defisiensi defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat

·  Malnutrisi, malabsorbsi, penurunan intrinsik faktor (aneia rnis st gastrektomi) infeksi parasit, penyakit usus dan keganasan, agen kemoterapeutik, infeksi cacing pita, makan ikan segar yang terinfeksi, pecandu alkohol.

Sintesis DNA terganggu

Gangguan maturasi inti sel darah merah

Megaloblas (eritroblas yang besar)

Eritrosit immatur dan hipofungsi

 

  1. Anemia hemolitika, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan oleh destruksi sel darah merah:

·     Pengaruh obat-obatan tertentu

·     Penyakit Hookin, limfosarkoma, mieloma multiple, leukemia limfositik kronik

·     Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenase

·     Proses autoimun

·     Reaksi transfusi

·     Malaria

Mutasi sel eritrosit/perubahan pada sel eritrosit

Antigesn pada eritrosit berubah

Dianggap benda asing oleh tubuh

sel darah merah dihancurkan oleh limposit

Anemia hemolisis

 

  1. F.     PATOFISIOLOGI

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel darah merah secara berlebihan atau keduanya.  Kegagalan sumsum dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui.  Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.

Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa.  Hasil samping proses ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah.  Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera).

Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada kelainan hemolitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia).  Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin (hemoglobinuria).

Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan dasar:1. hitung retikulosit dalam sirkulasi darah; 2. derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia.

Anemia

viskositas darah menurun

resistensi aliran darah perifer

penurunan transport O2 ke jaringan

hipoksia, pucat, lemah

beban jantung meningkat

kerja jantung meningkat

payah jantung

v  Terjadinya anemia karena kekurangan zat besi

Anemia karena kekurangan zat besi biasanya terjadi secara bertahap, melalui beberapa stadium, gejalanya baru timbul pada stadium lanjut.

–          Stadium 1.Kehilangan zat besi melebihi asupannya, sehingga menghabiskan cadangan dalam tubuh, terutama di sumsum tulang. Kadar ferritin (protein yang menampung zat besi) dalam darah berkurang secara progresif.

–          Stadium 2.Cadangan besi yang telah berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pembentukan se darah merah, sehingga sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya lebih sedikit.

–          Stadium 3.Mulai terjadi anemia.Pada awal stadium ini, sel darah merah tampak normal, tetapi jumlahnya lebih sedikit.Kadar hemoglogin dan hematokrit menurun.

–          Stadium 4. Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah dengan ukuran yang sangat kecil (mikrositik), yang khas untuk anemia karena kekurangan zat besi.

–          Stadium 5. Dengan semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia, maka akan timbul gejala-gejala karena kekurangan zat besi dan gejala-gejala karena anemia semakin memburuk.

 

  1. G.    DIAGNOSIS dan MANIFESTASI KLINIS
  • Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anemia defisiensi besi dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu gejala langsung anemia (anemic syndrome) dan gejala khas defisiensi besi. Gejala yang termasuk dalam anemic syndrome terjadi ketika kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 mg/dL berupa lemah, cepat lelah, mata berkunang-kunang, dan telinga berdenging. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan konjungtiva pasien pucat. Gejala khas yang muncul akibat defisiensi besi antara lain koilonychia (kuku sendok), atrofi papil lidah, cheilosis (Stomatitis angularis), disfagia, atrofi mukosa gaster, dan Pica (Keinginan untuk memakan tanah).

Selain gejala-gejala tersebut jika anemia disebabkan oleh penyakit tertentu maka gejala penyakit yang mendasarinya juga akan muncul misalnya infeksi cacing tambang menyebabkan gejala dyspepsia atau kanker kolon menyebabkan hematoskezia.

Tanda dan Gejala Anemia

1.       Pusing

2.       Mudah berkunang-kunang

3.       Lesu

4.       Aktivitas kurang

5.       Rasa mengantuk

6.       Susah konsentrasi

7.       Cepat lelah

8.       prestasi kerja fisik/pikiran menurun

9.       Konjungtiva pucat

10.   Telapak tangan pucat

11.   Iritabilitas dan Anoreksia

12.   Takikardia , murmur sistolik

13.   Letargi, kebutuhan tidur meningkat

14.   Purpura

15.   Perdarahan

Gejala khas masing-masing anemia:

1. Perdarahan berulang/kronik pada anemia pasca perdarahan, anemia defisioensi besi

2.   Ikterus, urin berwarna kuning tua/coklat, perut mrongkol/makin buncit pada anemia hemolitik

3.   Mudah infeksi pada anemia aplastik dan anemia karena keganasan.

 

 

 

  • Diagnosis
  1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk melihat kondisi umum yang mungkin menjadi penyebab utama yang mempengaruhi kondisi pasien atau efek anemia terhadap kondisi umum pasien. Pemeriksaan fisik ditujukan untuk menemukan berbagai kondisi klinis manifestasi kekurangan besi dan sindroma anemic.

  1. Pemeriksaan laboratorium
Jenis Pemeriksaan Nilai

HemoglobinKadar Hb biasanya menurun disbanding nilai normal berdasarkan jenis kelamin pasien

MCVMenurun (anemia mikrositik)MCHMenurun (anemia hipokrom)MorfologiTerkadang dapat ditemukan ring cell atau pencil cell

FerritinFerritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem RE sehingga kadar Ferritin secara tidak langsung menggambarkan konsentrasi kadar Fe.  Standar kadar normal ferritin pada tiap center kesehatan berbeda-beda. Kadar ferritin serum normal tidak menyingkirkan kemungkinan defisiensi besi namun kadar ferritin >100 mg/L memastikan tidak adanya anemia defisiensi besiTIBCTotal Iron Binding Capacity biasanya akan meningkat >350 mg/L (normal: 300-360 mg/L )

Saturasi transferinSaturasi transferin bisanya menurun <18% (normal: 25-50%)Pulasan sel sumsum tulangDapat ditemukan hyperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan normoblas kecil. Pulasan besi dapat menunjukkan butir hemosiderin (cadangan besi) negatif. Sel-sel sideroblas yang merupakan sel blas dengan granula ferritin biasanya negatif. Kadar sideroblas ini adalah Gold standar untuk menentukan anemia defisiensi besi, namun pemeriksaan kadar ferritin lebih sering digunakan.

Pemeriksaan penyait dasarBerbagai kondisi yang mungkin menyebabkan anemia juga diperiksa, misalnya pemeriksaan feces untuk menemukan telur cacing tambang, pemeriksaan darah samar, endoskopi, dan lainnya.

 

 

  1. Kriteria diagnosis

Diagnosis anemia defisiensi besi meliputi bukti-bukti anemia, bukti defisiensi besi, dan menentukan penyebabnya. Menentukan adanya anemia dapat dilakukan secara sederhana dengan pemeriksaan hemoglobin. Untuk pemeriksaan yang lebih seksama bukti anemia dan bukti defisiensi besi dapat dilakukan kriteria modifikasi Kerlin yaitu:

v  Kriteria Utama

–          anemia mikrositik hipokromik pada hapusan darah tepi

–          MCV <80 fL dan MCHC <31%

v  Kriteria Tambahan

–          Parameter laboratorium khusus: Kadar Fe serum <50 mg/L, TIBC >350 mg/L, saturasi transferin <15%*

–          Ferritin serum <20 mg/L

–          Pulasan sumsum tulang menunjukkan butir hemosiderin negatif

–          Dengan pemerian sulfas ferrosus 3 x 200 mg/hari atau preparat besi lain yang setara selama 4 minggu tidak disertai dengan kenaikan kadar hemoglobin >2g/dL

*Dihitung 1 poin jika 2 dari 3 paramater lab tersebut positif

Anemia defisieni besi dapat ditegakkan dengan 1 kriteria utama ditambah 1 kriteria tambahan tersebut.

Setelah diagnosis anemia defisiensi besi terpenuhi langkah berikutnya adalah menentukan penyebab spesifiknya.

 

  1. H.    DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis diferensial utama dari anemia defisiensi besi yang mikrostik hipokromik adalah thallasaemia, penyakit inflamasi kronik, dan sindroma mielodisplastik. Perbedaan dari kondisi-kondisi tersebut antara lain:

Parameter Anemia defisiensi besi Thallasaemia Inflamasi kronik Sindroma mielodisplastik
Klinis Sindroma anemia, tanda-tanda defisiensi besi Sindroma anemia, hepatomegali, overload besi Sindroma anemia jelas/tidak, gejala sistemik lain Sindroma anemia
Blood smear Micro/hypo Normal, micro/hypo Micro/hypo, target cell Micro/hypo
TIBC Meningkat Menurun Normal
Ferritin Menurun Normal Normal Normal/

MeningkatTransferinMenurunNormalNormal/

Meningkat-

 

 

  1. I.       TATA LAKSANA

Tatalaksana dari anemia defisiensi besi meliputi tatalaksana kausa penyebab anemia dan pemberian preparat pengganti besi (Iron replacement therapy)

  1. Tatalaksana kausa

Merupakan terapi terhadap kondisi yang menyebabkan anemia misalnya memberikan obat cacing pada pasien dengan infeksi cacing atau pembedahan pada pasien hemmoroid.

  1. Iron replacement therapy

Tujuan dari terapi ini adalah mengkoreksi nilai hemoglobin dan juga mengisi cadangan besi tubuh secara permanen. Besi yang diberikan dapat melalui pemerian oral atau pemberian parenteral.

  1. Suplemen besi oral

Suplemen besi oral merupakan salah satu pilihan yang baik untuk mengganti defisiensi besi karena harganya yang relatif murah dan mudah didapat. Terdapar berbagai sediaan preparat besi oral seperti ferrous sulfas, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan lainnya namun demikian ferrous sulfat merupakan pilihan utama karena murah dan cukup efektif.

Suplemen besi oral ini diberikan dengan dosis 300 mg/hari yang dapat dibagikan menjadi beberapa kali makan. Dengan dosis suplementasi tersebut diharapkan terserap 50 mg/hari karena besi memang diserap dalam jumlah yang tidak banyak oleh sistem pencernaan manusia. Besi yang diserap akan digunakan langsung untuk eritropoiesis, hasilnya di hari ke 4-7 biasanya eritropoesis telah jauh meningkat dan memuncak pada hari 8-12 setelah terapi dimulai. Setelah terjadi penyerapan besi dalam jumlah besar di awal terapi tubuh akan merespon dengan penurunan eritropoetin sehingga penyerapan di besi di usus dikurangi, akibatnya kadar penyerapan tidak lagi sebesar sebelumnya. Tujuan yang juga akan dicapai dari terapi ini adalah mengisi cadangan besi tubuh sebanyak 0,5-1 g besi karena itu suplementasi ini diberikan selama 6-12 bulan untuk mengatasi asorbsi usus yang telah menurun.

Edukasi kepada pasien tentang suplementasi besi merupakan salah satu kewajiban dokter. Pasien diberikan informasi bahwa sebaiknya suplemen tersebut dikonsumsi sebelum pasien makan karena akan meningkatkan absorbsinya. Efek samping obat ini yaitu gangguan gastrointestinal juga perlu diberitahukan kepada pasien. Penyebab kegagalan terapi besi oral antara lain gangguan absorbsi dan kepatuhan minum obat pasien yang rendah. Jika defisiensi besi masih belum juga tertangani dengan langkah-langkah tersebut dipikirkan untuk memberikan terapi besi parenteral.

  1. Terapi besi parenteral

Alur terapi ini sangat efektif karena tidak melalui sistem pencernaan dan menghadapi masalah absorbsi, namun demikian risikonya lebih besar dan harganya lebih mahal oleh karena itu hanya diindikasikan untuk kondisi tertentu saja misalnya kepatuhan pasien yang sangat rendah. Preparat yang tersedia untuk terapi ini misalnya Iron dextran complex (50 mg/mL).  Pemberian terapi parenteral adalah melalui IV atau IM.  Kebutuhan besi seseorang dapat dihitung dengan persamaan

Kebutuhan besi (mg)= ((15-Hb saat ini) x BB x 2,4) + 500 atau 1000 mg

  1. J.      PENCEGAHAN

Langkah Promotif/Preventif: Upaya penanggulangan AKB diprioritaskan pada kelompok rawan yaitu BALITA, anak usia sekolah, ibu hamil dan menyusui, wanita usia subur termasuk remaja putri dan pekerja wanita. Upaya pencegahan efektif untuk menanggulangi AKB adalah dengan pola hidup sehat dan upaya-upaya pengendalian faktor penyebab dan predisposisi terjadinya AKB yaitu berupa penyuluhan kesehatan, memenuhi kebutuhan zat besi pada masa pertumbuhan cepat, infeksi kronis/berulang pemberantasan penyakit cacing dan fortifikasi besi.

 

v  PEMANTAUAN

I. Terapi

–          Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu

–          Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat

–          Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar diulu hati, nyeri abdomen dan mual. Gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.

II.  Tumbuh Kembang

–          Penimbangan berat badan setiap bulan

–          Perubahan tingkah laku

–          Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan konsultasi ke ahli psikologi

–          Aktifitas motorik

 

  1. K.    KESIMPULAN

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan masalah kesehatan yang paling besar di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia.

Dari hasil SKRT 1992 diperoleh prevalensi ADB pada anak balita di Indonesia adalah 55,5%. Komplikasi ADB akibat jumlah total besi tubuh yang rendah dan gangguan pembentukan hemoglobin (Hb) dihubungkan dengan fungsi kognitif, perubahan tingkah laku, tumbuh kembang yang terlambat dan gangguan fungsi imun pada anak.

Prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi, awal masa anak, anak sekolah dan masa remaja karena adanya percepatan tumbuh pada masa tersebut disertai asupan besi yang rendah, penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang kurang

Perbedaan ADB dengan Penyakit Kronis

Mikrositik hipokromik /normositik normokrom Mikrositik hipokromik
MCV rendah/normal MCV rendah
Fe rendah Fe rendah
TIBC rendah TIBC meningkat
Saturasi transferin rendah Saturasi transferin rendah
Ferritin serum rendah Ferritin serum rendah
Transferin reseptor normal Transferin reseptor rendah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

ANALISIS KASUS

 

Diagnosa diare akut dengan dehidrasi sedang pada pasien ini ditegakkan berdasarkan        :

  1. Anamnesis :
  • Pasien mencret sejak 2 hari yang lalu (akut <2 mgg)
  • Frekuensi mencret ±10 kali sehari (>3 kali dalam 24 jam)
  • Terdapat perubahan konsistensi tinja yakni cair
  1. Pemeriksaan fisik
  • Kesadaran pasien apatis, tampak lemas,  rewel, dan gizi kesan kurang
  • Mata cowong (+)
  • Turgor kembali lambat (<2 detik)
  1. Pemeriksaan penunjang

Hasil pemeriksaan feces rutin didapatkan hasil konsistensi cair, tidak terdapat lendir maupun darah, warna feces cokelat, dan tidak ditemukan cacing. Secara mikroskopis, didapatkan hasil leukosit negatif dan telur cacing negatif.

Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu diberi diet  nasi lunak 1150 kal/hari, IVFD RL 80 cc/KgBB/5 jam 20 tpm, Probiotik 2 sachet/hari, Zinc 1×20 mg, dan Paracetamol syr 1xcth (k/p).

Pemberian probiotik pada pasien diare bermanfaat untuk mengembalikan komposisi dan peran bakteri baik yang bermanfaat dalam efek terapi dan profilaksis terhadap infeksi patogen. Pemberian oralit 100cc tiap kali diare bertujuan untuk penggantian cairan secara cepat. Sedangkan pemberian zinc bertujuan dalam penguatan sistem imun dan menjaga keutuhan epitel usus.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Kandun NI. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat dalam kumpulan makalah Kongres nasional II BKGAI juli 2003 hal 29

 

  1. Hillman RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and Management. New York; McGraw Hill, 1995 : 72-85.

 

  1. Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke-2. New York; Churchill Livingstone Inc, 1995 : 35-50.

 

  1. Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood. Edisi ke-1. Philadelphia; Saunders, 1974 : 103-25.

 

  1. Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. Dalam : McMillan JA, DeAngelis CD, Feigin RD, Warshaw JB, penyunting. Oski’s Pediatrics : Principles and Practice. Edisi   ke-3. Philadelphia; Lippincott William & Wilkins, 1999 : 1447-8.

 

  1. Schwart E. Iron Deficiency Anemia. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia;  Saunders, 2000 : 1469-71

 

  1. Sudoyo AW et al. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Jakarta: Pusat penerbitan ilmu penyakit dalam, 2006.

 

  1. Adamson JW. Iron deficiency anemia. Harrison’s Principle of Internal Medicine, 17th Ed. USA: McGraw-Hill Inc. 2005. p586-592.

 

  1. Conrad ME. Iron deficiency anemia. http://www.eMedicine.com. Cited in Sunday, October 24., 2010. August 4, 2009.

 

  1. Bakta, I.M ., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.

 

  1. Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC.

 

  1. Weiss, G.,Goodnough, L.T., 2005. Anemia of Chronic Disease.Nejm, 352 : 1011-1023.

 

  1. Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003. Anemia at the end of life: prevalence, significance, and causes in patients receiving palliative care. Medlineplus. 26:1132-1139.

 

.

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

I.1     LATAR BELAKANG

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri (2). Tipe letak sungsang yaitu: Frank breech (50-70%) yaitu kedua tungkai fleksi ; Complete breech (5-10%) yaitu tungkai atas lurus keatas, tungkai bawah ekstensi ; Footling (10-30%) yaitu satu atau kedua tungkai atas ekstensi, presentasi kaki (1).

Kematian perinatal langsung yang disebabkan karena persalinan presentasi bokong sebesar 4-5 kali dibanding presentasi kepala. Sebab kematian perinatal pada persalinan presentasi bokong yang terpenting adalah prematuritas dan penanganan persalinan yang kurang sempurna, dengan akibat hipoksia atau perdarahan di dalam tengkorak. Trauma lahir pada presentasi bokong banyak dihubungkan dengan usaha untuk mempercepat persalinan dengan tindakan-tindakan untuk mengatasi macetnya persalinan.

Kehamilan dengan presentasi bokong merupakan kehamilan yang memiliki risiko. Hal ini dikaitkan dengan abnormalitas janin dan ibu. Frekuensi dari letak sungsang ditemukan kira-kira 4,4 % di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan dan 4,6 % di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Banyak faktor yang dapat menyebabkan kelainan letak presentasi bokong, diantaranya paritas ibu dan bentuk panggul ibu. Angka kejadian presentasi bokong jika dihubungkan dengan paritas ibu maka kejadian terbanyak adalah pada ibu dengan multigravida dibanding pada primigravida, sedangkan jika dihubungkan dengan panggul ibu maka angka kejadian presentasi bokong terbanyak adalah pada panggul sempit, dikarenakan fiksasi kepala janin yang tidak baik pada Pintu Atas Panggul (10).

Berikut ini diajukan suatu kasus seorang wanita 30 tahun yang masuk kamar bersalin dengan diagnosa GIIPI00IAb000 usia kehamilan 37-38 minggu, Anak aterm, tunggal, hidup, intrauterin dengan Letak Sungsang dan Asma Bronkhial, yang selanjutnya ditatalaksana untuk persalinan Sectio caesaria. Selanjutnya akan dibahas apakah tindakan penatalaksaaan ini sudah tepat dan sesuai dengan literatur.

I.2        RUMUSAN MASALAH

–        Bagaimana definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan letak sungsang pada kehamilan?

–        Bagaimana definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan asma bronkhial pada kehamilan?

I.3        TUJUAN

–        Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan letak sungsang pada kehamilan.

–        Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan asma bronkhial pada kehamilan.

I.4        MANFAAT

–    Menambah wawasan mengenai penyakit di bidang kebidanan khususnya asma bronkhial pada kehamilan.

–    Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu kebidanan dan kandungan.

BAB II

STATUS PASIEN

 

II.1      IDENTITAS PASIEN

No Reg : 230498

Nama penderita           : Ny. W                                   Nama suami                : Tn. R

Umur penderita           : 30 tahun                                Umur suami                 : 34 tahun

Alamat                         : Jatiguwi Rt 3 Rw 8, Sumber Pucung

Pekerjaan penderita     : Ibu rumah tangga                  Pekerjaan suami          : Pedagang

Pendidikan penderita : SMP – Tamat                         Pendidikan suami        : SD

II.2      ANAMNESA

  1. Masuk rumah sakit tanggal : 12 April 2011
  2. Datang sendiri/dikirim oleh dukun/bidan/dokter/dokter ahli : datang sendiri.
  3. Keluhan utama : Perut terasa kenceng- kenceng dan disertai sesak napas.
  4. Riwayat penyakit sekarang :

–        Perut terasa kenceng- kenceng sejak tadi pagi.

–        Disertai lendir darah dari kemaluan.

–        Tanpa mual- muntah

–        dan disertai sesak napas.

–        HPHT : lupa       TP : ??

  1. Riwayat kehamilan yang sekarang : hamil anak ke 2, ANC teratur ke bidan.
  2. Riwayat menstruasi : menarche 13 tahun, Lama masa menstruasi, HPHT : lupa, merasa hamil 9 bulan.
  3. Riwayat perkawinan : 1 kali, lama 10 tahun
  4. Riwayat persalinan sebelumnya : anak 1 lahir spontan di bidan, cukup bulan, perempuan (♀), BB 3800 gram, pada tahun 2002.  Masa persalinan tanpa disertai serangan asma bronkhial.
  5. Riwayat penggunaan kontrasepsi : suntik 3 bulanan, selama 8 tahun.
  6. Riwayat penyakit sistemik yang pernah dialami : Asma Bronkhial (+) sejak kecil.
  7. Riwayat penyakit keluarga : Asma Bronkhial (+) pada nenek.
  8. Riwayat kebiasaan dan social : Pijat oyok (-), Jamu (-), Konsumsi kopi (-)
  9. Riwayat pengobatan yang telah dilakukan : pil vitamin dari bidan

II.3      PEMERIKSAAN FISIK

  1. Status present
  • Keadaan umum : Tampak sesak napas, kesadaran compos mentis
  • Tekanan darah: 130/80 mmHg, nadi: 100x/menit, suhu: 36⁰C, RR: 26 x/menit.

  1. Pemeriksaan umum
  • Kulit : normal, warna : sawo matang.
  • Kepala :

Mata                : anemi -/-, ikterik -/-, odem palpebra -/-

Wajah              : simetris

Mulut               : kebersihan gigi geligi cukup, stomatitis (-),

hiperemi pharyng (-), pembesaran tonsil –

  • Leher : pembesaran kelenjar limfe di leher (-), pembesaran kelenjar tyroid (-)
  • Thorax

Paru :

Inspeksi : Pergerakan pernafasan simetris, tipe pernapasan normal.

Retraksi costa -/-

Palpasi : teraba massa abnormal -/-, pembesaran kelenjar axilla -/-

Perkusi : sonor +/+, hipersonor -/-, pekak -/-

Auskultasi : vesikuler +/+, suara nafas menurun -/-

wheezing +/+, ronchi +/+

Jantung :

Inspeksi : iktus cordis tidak tampak

Palpasi  : thrill –

Perkusi  : batas jantung normal

Auskultasi : denyut jantung regular, S1/S2

  • Abdomen

Inspeksi :  flat (-), distensi (-), gambaran pembuluh darah collateral (-).

Palpasi : pembesaran organ (-), nyeri tekan (-), teraba massa abnormal (-). Tinggi fundus uteri 3 jari dibawah prosesus xipoideus

Perkusi  : tympani (+)

Auskultasi : suara bising usus normal, metalic sound (-)

  • Ekstremitas: odema -/-
  1. Status obstetri :

Pemeriksaan luar  :

Leopold I        : Tinggi fundus uteri 3 jari dibawah prosesus xipoideus, 33 cm.

Bagian teratas janin : kepala.

Leopold II       : Punggung janin : Kiri, ballotement (+) , Tunggal/gemelli : Tunggal

Leopold III     : Bagian terendah dari janin : Bokong, ballotement (+)

Leopold IV     : Bagian terendah janin masuk ke PAP : (-)

Bunyi jantung janin: 141x/menit, regular

Pemeriksaan Dalam

Pengeluaran pervaginam  :

Vulva / vagina             : blood (+), slym (+),

Pembukaan waktu his : 1 cm

Penipisan portio           : 25%

Ketuban                       : +                                warna : –

Bagian terdahulu         : Bokong

Bagian tersamping terdahulu  : belum teraba

Bagian terendah          : belum teraba

Hodge                         : I

Molase                         : –

II.4      Ringkasan      :

Anamnesa        :

Pasien datang  sendiri ke RSUD karena pasien mengalami perut kenceng- kenceng sejak pagi hari disertai sesak napas. Pasien hamil anak ke 2, dan merasa hamil 9 bulan. Anak 1 lahir spontan di bidan, cukup bulan, perempuan (♀), BB 3800 gram. Pasien sebelumnya menggunakan  kontrasepsi  suntik 3 bulanan, selama 8 tahun. Selama hamil pasien mengkonsumsi vitamin dari bidan.

Pemeriksaan fisik        :

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah tampak sesak, kesadaran compos mentis, tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi : 100x/menit, suhu: 36⁰C, pernapasan : 26x/menit.

Pemeriksaan obstetrik luar:

TFU 3 jari dibawah prosesus xipoideus, 33 cm. Bagian teratas janin : kepala. Punggung janin : Kiri, ballotement (+),Bunyi jantung janin: 141x/menit, regular Tunggal, Bagian terendah dari janin : Bokong, ballotement (+), Bagian terendah janin belum masuk ke PAP.

Pemeriksaan Dalam

Pengeluaran pervaginam         :

V/V: Blood (+), slym (+), Æ 1 cm, Penipisan portio   : 25%, Ketuban (+), Bagian terdahulu Bokong, Bagian tersamping terdahulu : belum teraba, Bagian terendah           : belum teraba, Hodge : I.

Diagnosa: GIIPI00IAb000 usia kehamilan 37-38 minggu, Anak aterm, tunggal, hidup, intrauterin dengan Letak Sungsang dan Asma Bronkhial

Rencana tindakan        :

1. IVFD D5%

2. Drip Aminophilin 1 Ampul, 20 tetes/ menit.

3. Antibiotik Ceftazidim 1gr IV, 2×1

4. Besok R/ SC

5. Lapor dr. Sp. Anestesi dan dr. Sp.P à persiapan R/ SC

6. Pasang DC

7. Metilprednisolon 1 gr IV

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lembar Follow Up

Nama pasien                : Ny. W

Ruang kelas                 : IRNA Kaber à IRNA Brawijaya

Diagnosa                     : GIIPI00IAb000 usia kehamilan 37-38 minggu dengan Letak Sungsang dan Asma Bronkhial.

 

14 April 2011

S = Pasien mengeluh napas teras sesak dan nyeri luka op. SC

O = T = 130/80 mmHg                       N = 90x/menit

S = 36,3⁰C                                   RR = 28x/menit

KU: Cukup                                                PPV: (+)

Pus: (-)                                           Kontraksi uterus : baik

Grimace : (+)                                  Sesak : (-)

Ronchi : (+)                                    Wheezing : (-)

A = Post SC hari ke I dengan Letak Sungsang dan Asma Bronkhial

P = Di ruang ICU:

1. O2 4 liter/ menit

2. Aminophilin IV, 1 ampul/ flesh, 3×1

3. Antibiotik Ceftazidim IV, 2×1 gr

4. Ventolin Nebulizer, 3×1

5. Tramadol IV, 3×1

6. Metilprednisolon, 2×125

7. IVFD RL + Aminophilin, 24 – 18 tetes/ menit

15 April 2011

S = Sesak napas (+), batuk (+), prolonged ekspirasi (+)

O = T = 120/80 mmHg                       N = 84x/menit

S = 36,7⁰C                                   RR = 26 x/menit

KU: Cukup                                                PPV: (+)

Pus: (-)                                           Kontraksi uterus : baik

Grimace : (+)                                  Sesak : (-)

Ronchi : (+)                                    Wheezing : (-)

A = Post SC hari ke II dengan Letak Sungsang dan Asma Bronkhial

P =       1. Terapi tetap

2. Observasi TTV

3. Posisi semi fauler

4. IVFD D5%

5. IVFD RL + Drip aminophilin 18 tetes/ menit

6. Diet NSTKTP

7. O2 4 liter/ menit

 

16 April 2011

S = Keluhan sudah mulai berkurang, sesak berkurang, batuk berkurang.

O = T = 120/90 mmHg                       N = 84x/menit

S = 36,4⁰C                                   RR = 20x/menit

KU: Cukup                                                PPV: (+)

Pus: (-)                                           Kontraksi uterus : baik

Grimace : (+)                                  Sesak : (-)

Ronchi : (-)                         Wheezing : (-)

A = Post SC hari ke III dengan Letak Sungsang dan Asma Bronkhial

P =       1. Boleh pulang

2. kontrol 1 minggu lagi

LAPORAN PERSALINAN

 

  1. Ketuban                                  : Pecah sendiri : tidak              warna : jernih
  2. Jenis persalinan                       : Sectio Caesaria
  3. Presentasi selama persalinan   : Bokong
  4. Episiotomi                               : tidak dilakukan
  5. Pembiusan                               : Regional anestesi
  6. Ruptur perineum                     : tidak
  7. Penyulit persalinan                  : Letak Sungsang, Asma bronkhial
  8. Lama persalinan                      : ±30 menit
  9. Plasenta lahir                           : manual melalui Sectio Caesaria bersama bayi
  10. Kontraksi uterus                      : (+)
  11. Tali pusat                                 : (+)
  12. Perdarahan selama persalinan : (+) 500 cc
  13. Obat-obatan yang telah diberikan kepada ibu selama persalinan :

1. IVFD D5%

2. IVFD RL

3. Aminophilin IV

4. Antibiotik Ceftazidim

5. Metilprednisolon

6. O2 4 liter/ menit

7. Ventolin Nebulizer, 3×1

8. Tramadol IV

  1. Bayi                                         : ♂, BB = 3000 gr.

 

 

LAPORAN KELUAR RUMAH SAKIT

 

KRS tanggal                           : 16 April 2011

Keadaan ibu waktu pulang     : Keadaan umum : cukup

T: 120/90 mmHg, N: 84x/menit, S: 36,4⁰C, RR: 20x/menit

PPV (+), Pus (-), Sesak (-), Ronchi (-), Wheezing (-)

Payudara                                 : ASI (+)

Fundus uteri                            : TFU setinggi pertengahan antara simphisis dan pusat

Kontraksi uterus                      : Baik

Perineum                                 : normal

Lochea                                                : (-)

Lain-lain                                  : (-)

Diagnosa saat pulang              : Post SC hari ke III dengan Letak Sungsang dan Asma   Bronkhial

Pengobatan                             : Letonal 1×1 tablet, Aminophilin.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1.    Letak Sungsang

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni: presentasi bokong, presentasi bokong kaki sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki. Pada presentasi bokong, akibat ekstensi kedua sendi lutut, kedua kaki terangkat ke atas sehingga ujungnya terdapat setinggi bahu atau kepala janin. Dengan demikian pada pemeriksaan dalam hanya dapat diraba bokong. Pada presentasi bokong kaki sempurna disamping bokong dapat diraba kedua kaki. Pada presentasi bokong kaki tidak sempurna hanya terdapat satu kaki disamping bokong sedangkan kaki yang lain terangkat keatas. Pada presentasi kaki bagian paling rendah ialah satu atau dua kaki. Letak sungsang ditemukan kira- kira 2-4%. Greenhill melaporkan 4-4,5%. Holland: 2-3%, sedangkan di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan ditemukan frekuensi 4,4% dan di Rumah Sakit Hasan Sadikin bandung 4,6%.

III.1.1  Diagnosis

Diagnosis letak sungsang pada umumnya tidak sulit. Pada pemeriksaan luar, dibagian bawah uterus tidak dapat diraba bagian yang keras dan bulat, yakni kepala, dan kepala teraba difundus uteri. Kadang- kadang bokong janin teraba bulat dan dapat memberi kesan seolah- olah kepala, tetapi bokong tidak dapat digerakkan semudah kepala. Seringkali wanita tersebut menyatakan bahwa kehamilannya terasa lain daripada kehamilan yang terdahulu, karena terasa penuh dibagian atas dan gerakan terasa lebih banyak di bagian bawah. Denyut jantung janin pada umumnya ditemukan setinggi atau sedikit lebih tinggi daripada umbilikus. Apabila diagnosis letak sungsnag dengan pemeriksaan luar tidak dapat dibuat, karena misalnya dinding perut tebal, uterus mudah berkontraksi atau banyaknya air ketuban, maka diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan dalam. Apabila masih ada keragu- raguan, harus dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografik atau M.R.I. (Magnetic Resonance Imaging).

Setelah ketuban pecah, dapat diraba lebih jelas adanya bokong yang ditandai dengan adanya sakrum, kedua tuber ossis iskii, dan anus. Bila dapat diraba kaki, maka harus dibedakan dengan tangan. Pada kaki terdapat tumit, sedangkan pada tangan ditemukan ibu jari yang letaknya tidak sejajar dengan jari- jari lain dan panjang jari kurang lebih sama dengan panjang telapak tangan. Pada persalinan lama, bokong janin mengalami edema, sehingga kadang- kadang sulit untuk membedakan bokong dengan muka. Pemeriksaan yang teliti dapat membedakan bokong dengan muka karena jari yang akan dimasukkan kedalam anus mengalami rintangan otot, sedangkan jari yang dimasukkan ke dalam mulut akan meraba tulang rahang dan alveola tanpa ada hambatan. Pada presentasi bokong kaki sempurna, kedua kaki dapat diraba disamping bokong, sedangkan pada presentasi bokong kaki tidak tidak sempurna, hanya teraba satu kaki disamping bokong.

 

III.1.2  Etiologi

Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin terhadap ruangan didalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih 32 minggu, jumlah air ketuban relatif lebih banyak, sehingga memungkinkan janin bergerak dengan leluasa. Dengan demikian janin dapat menempatkan diri dalam presentasi kepala, letak sungsang atau letak lintang. Pada kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air ketuban relatif berkurang. Karena bokong dengan kedua tungkai yang terlipat lebih besar di fundus uteri, sedangkan kepala berada dalam ruangan yang lebih kecil di segmen bawah uterus. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa pada kehamilan belum cukup bulan, frekuensi letak sungsang lebih tinggi, sedangkan pada kehamilan cukup bulan, janin sebagian besar ditemukan dalam presentasi kepala. Faktor- faktor lain yang memegang peranan dalam terjadinya letak sungsang diantaranya ialah multiparitas, hamil kembar, hidramnion, hidrosefalus, placenta previa dan panggul sempit. Kadang- kadang letak sungsang disebabkan oleh kelainan uterus dan kelainan bentuk uterus. Placenta yang terletak di daerah kornu fundus uteri dapat pula menyebabkan letak sungsang, karena plasenta mengurangi luas ruangan di daerah fundus.

 

 

 

III.1.3  DIAGNOSIS BANDING

Kehamilan dengan letak sungsang dapat didiagnosis dengan kehamilan dengan letak muka. Pada pemeriksaan fisik dengan palpasi Leopold masih ditemukan kemiripan. Ini dibedakan dari pemeriksaan dalam yakni pada letak sungsang akan didapatkan jari yang dimasukkan ke dalam anus mengalami rintangan otot dan anus dengan tuberosis iskii sesuai garis lurus. Pada letak muka, jari masuk mulut akan meraba tulang rahang dan alveola tanpa hambatan serta mulut dan tulang pipi membentuk segitiga. Sedangkan dengan USG atau rontgen sangatlah dapat dibedakan (1,4).

PENATALAKSANAAN

1. Dalam Kehamilan

Pada umur kehamilan 28-30 minggu ,mencari kausa daripada letak sungsang yakni dengan USG; seperti plasenta previa, kelainan kongenital, kehamilan ganda, kelainan uterus. Jlka tidak ada kelainan pada hasil USG, maka dilakukan knee chest position atau dengan versi luar (jika tidak ada kontraindikasi) (1).

Versi luar sebaiknya dilakukan pada kehamilan 34-38 minggu.

Pada umumnya versi luar sebelum minggu ke 34 belum perlu dilakukan karena kemungkinan besar janin masih dapat memutar sendiri, sedangkan setelah minggu ke 38 versi luar sulit dilakukan karena janin sudah besar dan jumlah air ketuban relatif telah berkurang. Sebelum melakukan versi luar diagnosis letak janin harus pasti sedangkan denyut jantung janin harus dalam keadaan baik. Kontraindikasi untuk melakukan versi luar; panggul sempit, perdarahan antepartum, hipertensi, hamil kembar, plasenta previa (1,2,4). Keberhasilan versi luar 35-86 % (rata-rata 58 %). Peningkatan keberhasilan terjadi pada multiparitas, usia kehamilan, frank breech, letak lintang. Newman membuat prediksi keberhasilan versi luar berdasarkan penilaian seperti Bhisop skor (Bhisop-like score).

Skor

0

1

2

3

Pembukaan serviks

0

1-2

3-4

5+

Panjang serviks (cm)

3

2

1

0

Station

-3

-2

-1

+1,+2

Konsistensi

Kaku

Sedang

Lunak

Position

posterior

Mid

anterior

 

Artinya: Keberhasilan 0% jika nilai <2 dan 100 % jika nilai >9.

Kalau versi luar gagal karena penderita menegangkan otot-otot dinding perut, penggunaan narkosis dapat dipertimbangkan, tetapi kerugiannya antara lain: narkosis harus dalam, lepasnya plasenta karena tidak merasakan sakit dan digunakannya tenaga yang berlebihan, sehingga penggunaan narkosis dihindari pada versi luar (4).

2. Dalam Persalinan

Menolong persalinan letak sungsang diperlukan lebih banyak ketekunan dan kesabaran dibandingkan dengan persalinan letak kepala. Pertama-tama hendaknya ditentukan apakah tidak ada kelainan lain yang menjadi indikasi seksio, seperti kesempitan panggul, plasenta previa atau adanya tumor dalam rongga panggul (4).

Pada kasus dimana versi luar gagal/janin tetap letak sungsang, maka penatalaksanaan persalinan lebih waspada. Persalinan pada letak sungsang dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal (seksio sesaria). Pervaginam dilakukan jika tidak ada hambatan pada pembukaan dan penurunan bokong (1,4). Syarat persalinan pervaginam pada letak sungsang: bokong sempurna (complete) atau bokong murni (frank breech), pelvimetri, klinis yang adekuat, janin tidak terlalu besar, tidak ada riwayat seksio sesaria dengan indikasi CPD, kepala fleksi. Mekanisme persalinan letak sungsang berlangsung melalui tiga tahap yaitu:

  • Persalinan bokong
  1. Bokong masuk ke pintu atas panggul dalam posisi melintang atau miring.
  2. Setelah trokanter belakang mencapai dasar panggul, terjadi putaran paksi dalam sehingga trokanter depan berada di bawah simfisis.
  3. Penurunan bokong dengan trokanter belakangnya berlanjut, sehingga distansia bitrokanterika janin berada di pintu bawah panggul.
  4. Terjadi persalinan bokong, dengan trokanter depan sebagai hipomoklion.
  5. Setelah trokanter belakang lahir, terjadi fleksi lateral janin untuk persalinan trokanter depan, sehingga seluruh bokong janin lahir.
  6. Terjadi putar paksi luar, yang menempatkan punggung bayi ke arah perut ibu.
  7. Penurunan bokong berkelanjutan sampai kedua tungkai bawah lahir.
  8. Bahu janin memasuki pintu atas panggul dalam posisi melintang atau miring.
  9. Bahu belakang masuk dan turun sampai mencapai dasar panggul.
  10. Terjadi putar paksi dalam yang menempatkan bahu depan dibawah simpisis dan bertindak sebagai hipomoklion.
  11. Bahu belakang lahir diikuti lengan dan tangan belakang.
  12. Penurunan dan persalinan bahu depan diikuti lengan dan tangan depan sehingga seluruh bahu janin lahir.
  13. Kepala janin masuk pintu atas panggul dengan posisi melintang atau miring.
  14. Bahu melakukan putaran paksi dalam.
  15. Kepala janin masuk pintu atas panggul dalam keadaan fleksi dengan posisi dagu berada dibagian posterior.
  16. Setelah dagu mencapai dasar panggul, dan kepala bagian belakang tertahan oleh simfisis kemudian terjadi putar paksi dalam dan menempatkan suboksiput sebagai hipomiklion.
  17. Persalinan kepala berturut-turut lahir: dagu, mulut, hidung, mata, dahi dan muka seluruhnya.
  18. Setelah muka, lahir badan bayi akan tergantung sehingga seluruh kepala bayi dapat lahir.
  19. Setelah bayi lahir dilakukan resusitasi sehingga jalan nafas bebas dari lendir dan mekoneum untuk memperlancar pernafasan. Perawatan tali pusat seperti biasa. Persalinan ini berlangsung tidak boleh lebih dari delapan menit (1-5).
  • Persalinan bahu
  • Persalinan kepala janin

Mekanisme letak sungsang dapat dilihat dalam gambar berikut:

 

Tipe dari presentasi bokong:
a)      Presentasi bokong (frank breech)
b)      Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech)

 

c)      Presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (incomplete or footling)

 

 

 

 

  • Bokong masuk ke pintu atas panggul dalam posisi melintang atau miring.
  • Setelah trokanter belakang mencapai dasar panggul, terjadi putaran paksi dalam sehingga trokanter depan berada di bawah simfisis.

 

 

 

  • Penurunan bokong dengan trokanter belakangnya berlanjut, sehingga distansia bitrokanterika janin berada di pintu bawah panggul.

 

 

  • Terjadi persalinan bokong, dengan trokanter depan sebagai hipomoklion.
  • Setelah trokanter belakang lahir, terjadi fleksi lateral janin untuk persalinan trokanter depan, sehingga seluruh bokong janin lahir.

 

 

 

  • Jika bokong tidak mengalami kemajuan selama kontraksi berikutnya, episiotomi dapat dilakukan dan bokong dilahirkan dengan traksi ke bawah perut.

 

 

  • Terjadi putar paksi luar, yang menempatkan punggung bayi ke arah perut ibu.
  • Penurunan bokong berkelanjutan sampai kedua tungkai bawah lahir.

 

 

 

  • Jika kaki janin telah keluar, penolong dapat menyusupkan tangan sepanjang kaki anterior dan melahirkan kaki dengan flexi dan abduksi sehingga bagian badan lainnya dapat dilahirkan.

 

 

  • Bahu janin mencapai pelvic ‘gutter’ (jalan sempit) dan melakukan putar paksi dalam sehingga diameter biacromion terdapat pada diameter anteroposterior diameter pelvic bagian luar.
  • Secara simultan, bokong melakukan rotasi anterior  90o. Kepala janin kemudian masuk ke tepi pelvik, sutura sagitalis berada pada tepi diameter transversal.
    Penurunan ke dalam pelvic terjadi dengan flexi dari kepala.

 

(Professor Jeremy Oats and Professor Suzanne Abraham, 2005)

 

 

 

 

Jenis-jenis persalinan sungsang:

  1. Persalinan Pervaginam

Berdasarkan tenaga yang dipakal dalam melahirkan janin pervaginam, persalinan pervaginam dibagi menjadi 3, yaitu:

a)      Persalinan spontan (spontaneous breech), janin dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sendiri. Cara ini lazim disebut cara, Bracht.

b)      Manual aid (partial breech extraction; assisted breech delivery), janin dilahirkan sebagian menggunakan tenaga dan kekuatan ibu dan sebagian lagi dengan tenaga penolong.

c)      Ekstraksi sungsang (total breech extraction), janin dilahirkan seluruhnya dengan memakai tenaga, penolong.

  1. Persalinan perabdominam (seksio sesaria).

 

Prosedur pertolongan persalinan spontan

Tahapan :

  1. Tahap pertama : fase lambat, yaitu mulai melahirkan bokong sampai pusat (skapula depan).
  2. Tahap kedua: fase cepat, yaitu mulai dari lahirnya pusat sampai lahirnya mulut.
  3. Tahap ketiga: fase lambat, yaitu mulai lahirnya mulut sampai seluruh kepala lahir.

Teknik :

  1. Sebelum melakukan pimpinan persalinan penolong harus memperhatikan sekali lagi persiapan untuk ibu, janin, maupun penolong. Pada persiapan kelahiran.janin harus selalu disediakan cunam Piper.
  2. Ibu tidur dalam posisi litotomi, sedang penolong berada didepan vulva. Ketika timbul his ibu disuruh mengejan dan merangkul kedua pangkal paha. Pada saat bokong mulai membuka vulva (crowning) disuntikan 2-5 unit oksitosin intramuskuler.
  3. Episiotomi dikerjakan saat bokong membuka vulva. Segera setelah bokong lahir, bokong dicengkram secara Bracht, yaitu kedua ibu jari penolong sejajar sumbu panjang paha, sedangkan jani-jari lain memegang panggul.
  4. Pada setiap his, ibu disuruh mengejan. Pada waktu tali pusat lahir dan tampak teregang, tali pusat dikendorkan. Kemudian penolong melakukan hiperlordosis pada badan janin guna mengikuti gerakan rotasi anterior, yaitu punggung janin didekatkan ke punggung ibu. Penolong hanya mengikuti gerakan ini tanpa melakukan tarikan, sehingga gerakan tersebut disesuaikan dengan gaya berat badan janin. Bersamaan dengan dilakukannya hiferlordossis, seorang asisten melakukan ekspresi Kristeller pada fundus uteri sesuai dengan sumbu panggul. Dengan gerakan hiperlordossis ini berturut-turut lahir pusar, perut, badan lengan, dagu, mulut dan akhirnya kepala.
  5. Janin yang baru lahir segera diletakan diperut ibu. Bersihkan jalan nafas dan rawat tali pusat.

Keuntungan :

Dapat mengurangi terjadinya bahaya infeksi oleh karena tangan penolong tidak ikut masuk ke dalam jalan lahir. Dan juga cara ini yang paling mendekati persalinan fisiologik, sehingga mengurangi trauma pada janin.

Kerugian :

Dapat mengalami kegagalan sehingga tidak semua persalinan letak sungsang dapat dipimpin secara Bracht. Terutama terjadi peda keadaan panggul sempit, janin besar, jalan lahir kaku seperti pada primigravida, adanya lengan menjungkit atau menunjuk.

Prosedur Manual Aid

Indikasi :

Dilakukan jika pada persalinan dengan cara Bracht mengalami kegagalan, misalnya terjadi kemacetan saat melahirkan bahu atau kepala. Dan memang dari awal sudah direncanakan untuk manual aid.

Tahapan :

  1. Tahap pertama :lahirnya bokong sampai pusar yang dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sendiri.
  2. Tahap kedua : lahirnya bahu dan lengan yang memakai tenaga penolong.

Cara/teknik untuk melahirkan bahu dan lengan ialah secara :

a)      Klasik (Deventer)

b)      Mueller

c)      Lovset

d)     Bickenbach.

3. Tahap ketiga : lahirnya kepala, dapat dengan, cara

a)      Mauriceau (Veit-Smellie)

b)      Najouks

c)      Wigand Martin-Winckel

d)     Parague terbalik

e)      Cunam piper

Tehnik :

Tahap pertama persalinan secara bracht sampai pusat lahir. Tahap kedua melahirkan bahu dan langan oleh penolong:

  1. Cara klasik

Prinsip melahirkan bahu dan lengan secara klasik ini melahirkan lengan belakang lebih dulu karena lengan belakang berada di ruang yang luas (sacrum), kemudian melahirkan lengan depan yang berada di bawaah simpisis. Kedua kaki janin dipegang dengan tangan kanan penolong pada pergelangan kakinya dan dielevasi ke atas sejauh mungkin sehingga perut janin mendekati perut ibu. Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam jalan lahir dan dengan jari tengah dan telunjuk menelusuri bahu janin sampai pada fossa kubiti kemudian lengan bawah dilahirkan dengan gerakan seolah-olah lengan bawah mengusap muka janin. Untuk melahirkan lengan depan, pergelangan kaki janin diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik curam ke bawah sehingga punggung janin mendekati punggung ibu. Dengan cara yang sama lengan depan dilahirkan. Keuntunga cara klasik adalah pada umumnya dapat dilakukan pada semua persalinan letak sungsang tetapi kerugiannya lengan janin relative tinggi didalam panggul sehingga jari penolong harus masuk ke dalam jalan lahir yang dapat manimbulkan infeksi.

  1. Cara Mueller

Prinsip melahirkan bahu dan lengan secara Mueller ialah melahirkan bahu dan lengan depan lebih dulu dengan ekstraksi, baru kemudian melahirkan bahu dan lengan belakang. Bokong janin dipegang dengan femuro-pelvik yaitu kedua ibu jari penolong diletakkan sejajar spina sakralis media dan jari telunjuk pada krisat iliaka dan jari-jari lain mencengkram bagian depan. Kemudian badan ditarik ke curam ke bawah sejauh mungkin sampai bahu depan tampak di bawah simpisis dan lengan depan dilahirkan dengan mengait lengan bawahnya. Setelah bahu depan dan lengan lahir, tarik badan janin ke atas sampai bahu belakang lahir. Tangan penolong tidak masuk ke dalam jalan lahir sehingga mengurangi infeksi.

  1. Cara lovset

Prinsip melahirkan persalinan secara Lovset ialah memutar badan janin dalam setengah lingkaran bolak-balik sambil dilakukan traksi curam ke bawah sehingga bahu yang sebelumnya berada di belakang akhirnya lahir dibawah simpisis dan lengan dapat dilahirkan. Keuntungannya yaitu sederhana dan jarang gagal, dapat dilakukan pada semua letak sungsang, minimal bahay infeksi. Cara lovset tidak dianjurkan dilakukan pada sungsang dengan primigravida, janin besar, panggul sempit.

  1. Cara Bickhenbach

Prinsip melahirkan ini merupakan kombinasi antara cara Mueller dengan cara klasik.

Tahap ketiga : melahirkan kepala yang menyusul (after coming head)

  1. Cara Mauriceau

Tangan penolong yang sesuai dengan muka janin dimasukkan ke dalam jalan lahir. Jari tengah dimasukkan ke dalam mulut dan jari telunjuk dan jari keempat mencengkeram fossa kanina, sedang jari lain mencengkeram leher. Badan anak diletakkan diatas lengan bawah penolong seolah-olah janin menunggang kuda. Jari telunjuk dan jari ketiga penolong yang lain mencengkeram leher janin dari punggung. Kedua tangan penolong menarik kepala janin curam ke bawah sambil seorang asisten melakukan ekspresi kristeller. Tenaga tarikan terutama dilakukan oleh penolong yang mencengkeram leher janin dari arah punggung. Bila suboksiput tampak dibawah simpisis, kepala dielevasi keatas dengan suboksiput sebagai hipomoklion sehingga berturut-turut lahir dagu, mulut, hidung, mata dahi, ubun-ubun besar dan akhirnya lahirnya seluruh kepala janin.

  1. Cara Naujoks

Teknik ini dilakukan apabila kepala masih tinggi sehingga jari penolong tidak dimasukkan ke dalam mulut janin. Kedua tangan penolong yang mencengkeram leher janin menarik bahu curam kebawah dan bersamaan dengan itu seorang asisten mendorong kepala janin kearah bawah. Cara ini tidak dianjurkan lagi karena menimbulkan trauma yang berat.

  1. Cara Prague Terbalik

Teknik ini dipakai bila oksiput dengan ubun-ubun kecil berada di belakang dekat sacrum dan muka janin menghadap simpisis. Satu tangan penolong mencengkeram leher dari bawah dan punggung janin diletakkan pada telapak tangan penolong. Tangan penolong yang lain memegang kedua pergelangan kaki, kemudian ditarik keatas bersamaan dengan tarikan pada bahu janin sehingga perut janin mendekati perut ibu. Dengan laring sebagai hipomoklion, kepala janin dapat dilahirkan.

  1. Cara Cunam Piper

Seorang asisten memegang badan janin pada kedua kaki dan kedua lengan janin diletakkan dipunggung janin. Kemudian badan janin dielevasi ke atas sehingga punggung janin mendekati punggung ibu. Pemasangan cunam piper sama prinsipnya dengan pemasangan pada letak belakang kepala. Hanya saja cunam dimasukkan dari arah bawah sejajar dengan pelipatan paha belakang. Setelah oksiput tampak dibawah simpisis, cunam dielevasi ke atas dan dengan suboksiput sebagai hipomoklion berturut-turut lahir dagu, mulut, muka, dahi dan akhirnya seluruh kepala lahir.

 

 

 

 

 

 

 

Prosedur Ekstraksi Sungsang

  1. Teknik ekstraksi kaki

Tangan dimasukkan ke dalam jalan lahir mencari kaki depan dengan menelusuri bokong, pangkal paha sampai lutut, kemudian melakukan abduksi dan fleksi pada paha janin sehingga kaki bawah menjadi fleksi. Tangan yang dikuar mendorong fundus uterus ke bawah. Setelah kaki bawah fleksi pergelangan kaki dipegang oleh jari kedua dan jari ketiga dan dituntun keluar dari vagina sampai batas lutut. Kedua tangan memegang betis janin, kaki ditarik curam kebawah sampai pangkal paha lahir. Pangkal paha dipegang kemudian tarik curam ke bawah trokhanter depan lahir. Kemudian pangkal paha dengan pegangan yang sama dielevasi keatas sehingga trokhanter belakang lahir dan bokong pun lahir. Setelah bokong lahir maka untuk melahirkan janin selanjutnya dipakai teknik pegangan femuro-pelviks, badan janin ditarik curam kebawah sampai pusat lahir. Selanjutnya untuk melahirkan badan janin yang lainnya dilakukan cara persalinan yang sama seperti pada manual aid.

  1. Teknik ekstraksi bokong

Dilakukan pada letak bokong murni (frank breech) dan bokong sudah berada di dasar panggul sehingga sukar menurunkan kaki. Jari telunjuk tangan penolong yang searah bagian kecil janin dimasukkan ke dalam jalan lahir dan diletakkan di pelipatan paha depan. Dengan jari telunjuk ini pelipatan paha dikait dan ditarik curam kebawah, sehingga trokhanter tampak dibawah simpisis, maka jari telunjuk penolong yang lain segera mengait pelipatan paha ditarik curam kebawah sampai bokong lahir. Setelah bokong lahir, bokong dipegang secara femuro-pelviks kemudian janin dapat dilahirkan dengan cara manual aid.

 

Prosedur Persalinan Sungsang Perabdominam

Persalinan letak sungsang dengan seksio sesaria sudah tentu merupakan yang terbaik ditinjau dari janin. Banyak ahli melaporkan bahwa persalinan letak sungsang pervaginam memberi trauma yang sangat berarti bagi janin. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua letak sungsang harus dilahirkan perabdominam. Persalinan diakhiri dengan seksio sesaria bila:

  1. Persalinan pervaginam diperkirakan sukar dan berbahaya (disproporsi feto pelvic atau skor Zachtuchni Andros ≤ 3).

Skor Zachtuchni Andros

Parameter

Nilai

0

1

2

Paritas

Primi

multi

Pernah letak sungsang

Tidak

1 kali

2 kali

TBJ

> 3650 g

3649-3176 g

< 3176 g

Usia kehamilan

> 39 minggu

38 minggu

< 37 minggu

Station

< -3

-2

-1 atau >

Pembukaan serviks

2 cm

3 cm

4 cm

Arti nilai:

≤ 3 : persalinan perabdominam

4 : evaluasi kembali secara cermat, khususnya berat badan janin, bila nilai tetap dapat dilahirkan pervaginam.

>5 : dilahirkan pervaginam.

  1. Tali pusat menumbung pada primi/multigravida.
  2. Didapatkan distosia
  3. Umur kehamilan:

–          Prematur (EFBW=2000 gram)

–          Post date (umur kehamilan ≥ 42 minggu)

  1. Nilai anak (hanya sebagai pertimbangan)

Riwayat persalinan yang lalu: riwayat persalinan buruk, milai social janin tinggi.

  1. Komplikasi kehamilan dan persalinan:

–          Hipertensi dalam persalinan

–          Ketuban pecah dini

KOMPLIKASI

Komplikasi persalinan letak sungsang antara lain:

  1. Dari faktor ibu:

–          Perdarahan oleh karena trauma jalan lahir atonia uteri, sisa placenta.

–          Infeksi karena terjadi secara ascendens melalui trauma (endometritits)

–          Trauma persalinan seperti trauma jalan lahir, simfidiolisis.

  1. Dari faktor bayi:

–          Perdarahan seperti perdarahan intracranial, edema intracranial, perdarahan alat-alat vital intra-abdominal.

–          Infeksi karena manipulasi

–          Trauma persalinan seperti dislokasi/fraktur ektremitas, persendian leher, rupture alat-alat vital intraabdominal, kerusakan pleksus brachialis dan fasialis, kerusakan pusat vital di medulla oblongata, trauma langsung alat-alat vital (mata, telinga, mulut), asfiksisa sampai lahir mati (1,3,4).

PROGNOSIS

Angka kematian bayi pada persalinan letak sungsang lebih tinggi bila dibandingkan dengan letak kepala. Di RS Karjadi Semarang, RS Umum Dr. Pringadi Medan dan RS Hasan Sadikin Bandung didapatkan angka kematian perinatal masing-masing 38,5%, 29,4% dan 16,8%. Eastmen melaporkan angka-angka kematian perinatal antara 12-14%. Sebab kematian perinatal yang terpenting akibat terjepitnya tali pusat antara kepala dan panggul pada waktu kepala memasuki rongga panggul serta akibat retraksi uterus yang dapat menyebabkan lepasnya placenta sebelum kepala lahir. Kelahiran kepala janin yang lebih lama dari 8 menit umbilicus dilahirkan akan membahayakan kehidupan janin. Selain itu bila janin berbafas sebelum hidung dan mulut lahir dapat membahayakan karena mucus yang terhisap dapat menyumbat jalan nafas. Bahaya asfiksia janin juga terjadi akibat tali pusat menumbung, hal ini sering dijumpai pada presentasi bokong kaki sempurna atau bokong kaki tidak sempurna, tetapi jarang dijumpai pada presentasi bokong (1, 7).

RINGKASAN

Disebut letak sungsang apabila janin membujur dalam rahim dengan bokong/kaki pada bagian bawah. Tergantung dari bagian terendah dapat dibedakan menjadi: presentasi bokng murni, bokong kaki, kaki. Diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik yaitu palpasi Leopold I didapatkan kepala/Ballotement di fundus, Leopold II teraba punggung di satu sisi dan bagian kecil di sisi lain, Leopold III-IV bokong terba dibagian bawah rahim dan dilakukan pemeriksaan dalam. Pemeriksaan penunjang dengan ultrasonografi dan foto rontgen.

Penanggulangan letak sungsang yakni:

  1. Waktu hamil (antenatal) yaitu untuk kehamilan 28-30 minggu dilakukan untuk mencari kausa dengan USG. Jika tidak ada kelainan dapat dilakukan knee chest position atau dengan versi luar.
  2. Waktu persalinan yaitu dapat pervaginam dengan cara spontan Bracht, Manual Aid/Lovset-Mauriceau, total ekstraksi. Persalinan perabdominal (seksio sesaria) dipilih jika persalinan pervaginam sukar dan berbahaya (ZA skor ≤ 3), tali pusat menumbung pada primi/multigravida, distosia, premature/postmatur, riwayat obstetric buruk, nilai janin tinggi dan terdapat komplikasi kehamilan dan persalinan seperti hipertensi dalam kehamilan, ketuban pecah dini.

Rekomendasi untuk pelahiran perabdominam

Pemeriksaan yag cermat terhadap setiap komplikasi lain, baik yang sudah dipastikan maupun yang baru diperkirakan, yang dapat memebenarkan tindakan sectio caesaria telah menjadi salah satu filosofi dalam mengelola pelahiran sungsang. Sectio caesaria biasanya, namun tidak secara eksklusif, dilakukan pada keadaan- keadaan berikut ini:

1. Janin besar

2. Panggul sempit dalam derajat apapun serta bentukpanggul yang tidak memadai.

3. Kepala hiperekstensi

4. Belum in partu, tetapi ada indikasi maternal maupun fetal untuk pelahiran, misalnya hipertensi dalam kehamilan atau pecah ketuban sudah 12 jam atau lebih.

5. Disfungsi uterus

6. Presentasi kaki.

7. Janin yang tampak sehat tetapi preterm dengan usia gestasi 25 sampai 26 minggu atau lebih, dan ibu sudah dalam fase persalinan aktif atau bayiharus segera dilahirkan

8. Pertumbuhan janin terhambat berat

9. Riwayat kematian perinatal atau anak sebelumnya mengalami trauma lahir

10. Permintaan sterilisasi

III.2     Asma Dalam Kehamilan

III.2.1  Risiko dan Prevalensi

Asma adalah penyakit peradangan kronis saluran udara yang ditandai dengan meningkatnya respon pohon tracheobronchial untuk beberapa rangsangan. Ini adalah kondisi kronis yang paling umum pada kehamilan.

Penyakit ini episodik, yang ditandai dengan eksaserbasi akut bercampur dengan periode bebas gejala. Sebagian besar serangan asma terbukti berumur pendek, menit berlangsung sampai jam. Walaupun pasien tampaknya sembuh sepenuhnya klinis, bukti-bukti menunjukkan bahwa pasien dengan asma mengembangkan keterbatasan aliran udara kronis.

Prevalensi asma pada populasi umum adalah 4-5%. Pada kehamilan, prevalensi berkisar dari 1-4%.

Morbiditas Asma-terkait dan tingkat kematian pada wanita hamil sebanding dengan orang-orang di populasi umum. Angka kematian dari asma di Amerika Serikat adalah 2,1 orang per 100.000.

Hasil dan komplikasi asma pada kehamilan

Meskipun wanita dengan asma ringan tidak mungkin memiliki masalah, pasien dengan asma berat memiliki risiko lebih besar kerusakan. Risiko penurunan tertinggi di bagian terakhir dari kehamilan.

Hubungan, berat atau buruk serangan asma telah dikaitkan dengan berbagai kondisi perinatal buruk, termasuk hal- hal berikut:

Risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah atau prematur tampaknya kecil dan mungkin diperkecil dengan cara mengontrol asma yang baik. Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah lebih sering terjadi pada wanita dengan gejala harian atau aliran ekspirasi rendah dibandingkan pada wanita tanpa asma.

Asma juga dapat menyebabkan morbiditas pada wanita hamil:

  • Kegagalan pernapasan dan kebutuhan untuk ventilasi mekanis
  • Barotrauma
  • Komplikasi (parenteral) menggunakan steroid,
  • Kematian juga dapat terjadi.

III.2.2  Pathophysiologic Mekanisme

Kehamilan mempunyai dampak yang signifikan terhadap fisiologi pernapasan seorang wanita. Sementara laju pernapasan dan kapasitas vital tidak berubah selama kehamilan, volume tidal, ventilasi menit (40%), dan pengambilan oksigen permenit meningkat (20%), dengan penurunan resultan kapasitas sisa residu fungsional dan volume udara sebagai konsekuensi terjadi peninggikan diafragma. Selain itu, konduktansi jalan napas meningkat dan perlawanan total paru berkurang, mungkin sebagai akibat dari pengaruh progesteron.

Konsekuensi dari perubahan-perubahan fisiologis adalah gambar hyperventilatory sebagai keadaan normal urusan di setengah akhir kehamilan. Hal ini menghasilkan gambar seorang alkalosis pernapasan kronis selama kehamilan, dengan penurunan tekanan parsial karbon dioksida (PCO 2), penurunan bikarbonat, dan meningkatkan pH.

Sebuah PCO normal 2 pada pasien hamil mungkin sinyal kegagalan pernafasan yang akan datang. Ventilasi menit meningkat dan fungsi paru membaik pada kehamilan mempromosikan pertukaran gas lebih efisien dari paru-paru ibu ke darah. Oleh karena itu, perubahan status pernafasan terjadi lebih cepat pada pasien hamil dibandingkan pada pasien hamil.

Asma ditandai oleh radang saluran napas, dengan akumulasi abnormal eosinofil, limfosit, sel mast, makrofag, sel dendritik, dan myofibroblasts. Hal ini menyebabkan penurunan diameter saluran napas yang disebabkan oleh kontraksi otot polos, kongesti vaskular, edema dinding bronkus, dan sekresi kental.

 

III.2.3  Diferensial Previous Sebelumnya

Next Berikutnya

Asma

Masalah untuk mempertimbangkan yang dapat meniru asma pada pasien hamil adalah sebagai berikut:

  • Obstruksi jalan napas
  • Emboli cairan ketuban
  • Gagal jantung kongestif akut (CHF), sekunder untuk peripartum cardiomyopathy
  • Dyspnea fisiologis kehamilan

III.2.4  Previous Sebelumnya

Next Berikutnya

Temuan Pemeriksaan

Sejarah temuan pada pasien hamil dan tidak hamil mungkin termasuk yang berikut:

  • Batuk
  • Sesak napas
  • Dada sesak
  • Pernapasan hidung
  • Terbangun malam hari
  • Episode berulang kompleks gejala
  • Eksaserbasi mungkin dipicu oleh rangsangan spesifik
  • Pribadi atau keluarga riwayat penyakit atopik lain (misalnya, demam, eksim)

Temuan umum pemeriksaan fisik mungkin termasuk yang berikut:

  • Takipnea
  • Retraksi (m. sternomastoideus, perut, otot pectoralis)
  • Agitasi, biasanya merupakan tanda hipoksia atau gangguan pernapasan
  • Pulsus paradoxicus (> 20 mm Hg)

Temuan paru adalah sebagai berikut:

  • Diffuse wheezes – Panjang, suara bernada tinggi pada kadaluwarsa dan, kadang-kadang, pada inspirasi)
  • Diffuse rhonchi – Pendek, berderit tinggi atau rendah bernada atau gurgles pada inspirasi dan / atau kedaluwarsa
  • Suara bronchovesicular
  • Expiratory fase respirasi sama dengan atau lebih menonjol dari fase inspirasi

Tanda-tanda penangkapan kelelahan dan dekat-pernapasan adalah sebagai berikut:

  • Perubahan pada tingkat kesadaran, seperti kelesuan, yang merupakan tanda asidosis pernapasan dan kelelahan
  • Pernapasan perut
  • Ketidakmampuan untuk berbicara dalam kalimat lengkap

Tanda-tanda asma yang rumit adalah sebagai berikut:

  • Kesetaraan nafas suara: Periksa kesamaan bunyi nafas (pneumonia, sumbat lendir, barotrauma). Jumlah mengi tidak selalu berkorelasi dengan tingkat keparahan serangan. Sebuah dada diam pada seseorang dalam kesulitan yang lebih mengkhawatirkan.
  • Distensi vena leher dari tekanan intrathoracic meningkat (dari pneumotoraks yg hidup berdampingan)
  • Hipotensi dan takikardia (berpikir pneumothorax ketegangan)
  • Demam, tanda infeksi saluran pernapasan atas atau bawah

 

III.2.5  Previous Sebelumnya

Next Berikutnya

Faktor etiologi dalam Asma

Asma hasil dari interaksi yang kompleks dan kurang jelas dari predisposisi genetik dan stimulasi lingkungan. Mekanisme dasar untuk hyperresponsiveness bronkial spesifik tidak diketahui. Inflamasi jalan napas adalah hipotesis yang paling populer.

Rangsangan Implikasinya meliputi:

  • Alergen, termasuk serbuk sari, tungau debu rumah, antigen kecoa, bulu binatang, jamur, dan sengatan Hymenoptera
  • Irritants, termasuk asap rokok, asap kayu, polusi udara, bau yang menyengat, debu kerja, dan bahan kimia
  • Kondisi medis, termasuk virus infeksi saluran pernapasan atas, sinusitis, refluks esofagus, dan infestasi Ascaris
  • Obat-obatan dan bahan kimia, termasuk aspirin, obat anti-inflammatory drugs, beta blocker, media radiocontrast, dan sulfida
  • Latihan (lihat Latihan-Asma induced .)
  • Udara dingin
  • Menstruasi
  • Stres emosional

 

III.2.6  Previous Sebelumnya

Next Berikutnya

Blood Work

Hitung darah lengkap dengan diferensial

Hitung darah lengkap (CBC) dilakukan untuk menilai tingkat peradangan spesifik dan kemungkinan anemia komorbid atau trombositopenia. Leukositosis mungkin hasil dari respon fisiologis kehamilan, terapi steroid, infeksi saluran pernapasan bagian atas, atau stres karena serangan asma.

Arterial blood gas level

Analisis Arterial blood gas (ABG) menunjukkan tingkat oksigenasi dan kompensasi pernapasan. Tekanan parsial karbon dioksida dalam darah arteri (RAPP 2) umumnya rendah pada tahap awal dari sebuah eksaserbasi sebagai akibat dari hiperventilasi. Peningkatan PaCO 2 bisa menjadi tanda kegagalan pernapasan yang akan datang. Hasil ABG sering menunjukkan penurunan PaO 2. Perubahan fisiologis yang menyertai kehamilan dalam sistem paru sedikit merubah nilai ABG normal: pH = 7,4-7,45, pO2 = 95-105 mm Hg, PCO 2 = 28-32 mm Hg, dan bikarbonat = 18-31 mEq / L.

Kultur darah

Hal ini diperoleh pada pasien pneumonia yang ditemukan atau bila diperlukan.

 

III.2.7  Previous Sebelumnya

Next Berikutnya

Radiografi Dada

Sebuah rontgen dada yang normal pada akhir kehamilan biasanya memperlihatkan gambaran hati yang membesar dan beberapa tanda-tanda paru-paru terkemuka dari elevasi diafragma. Radiografi dada ditunjukkan ketika kondisi yg hidup bersama yang lain, seperti pneumonia, barotrauma, CHF, atau penyakit paru obstruktif kronik, mungkin. Radiografi dada (2 views) dengan perut ibu terlindung mengekspos janin sekitar 0,00005 rad.

Pergi ke Imaging in Asthma untuk melengkapi informasi lebih lanjut tentang topik ini.

 

III.2.8  Pengujian fungsi paru

Hand-held peak flow meters tersedia di bagian gawat darurat yang paling (Eds). Jika baseline pasien diketahui, dokter dapat menggunakan pengukuran untuk menilai tingkat keparahan serangan dan respon pasien terhadap obat.

Obstruksi aliran udara reversibel adalah pusat diagnosis dan penilaian asma.

Perubahan fungsi paru pada asma akut adalah sebagai berikut:

  • Penurunan laju aliran ekspirasi puncak (PEFR) dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV 1)
  • Ringan penurunan kapasitas vital paksa (FVC)
  • Volume residu meningkat (RV), kapasitas residu fungsional (FRC), dan kapasitas total paru (TLC)
  • Normal menyebarkan kapasitas

Pasien dengan asma biasanya menunjukkan dari 15% peningkatan lebih besar pada FEV 1, FVC, dan PEFR ketika diobati dengan bronkodilator.

 

III.2.9  Obat  Previous Sebelumnya

Next Berikutnya

Antiasthma

Hampir semua obat antiasthma ini aman digunakan dalam kehamilan dan selama menyusui. Bahkan, undertreatment pasien hamil adalah sering terjadi, karena pasien tersebut khawatir tentang efek obat pada janin.

Rawat Jalan manajemen asma juga sama dengan pasien hamil karena untuk pasien tidak hamil. Beta-adrenergik agonis tetap menjadi andalan mengobati eksaserbasi dan penanganan bentuk ringan asma.

Untuk asma sedang-terus-menerus, agonis beta-adrenergik dikombinasikan dengan agen anti-inflamasi kortikosteroid inhalasi atau dihirup dianjurkan untuk pengobatan. Pada asma berat, kortikosteroid oral dan agonis beta direkomendasikan.

Kortikosteroid dapat digunakan dalam pengaturan akut dan pasien rawat jalan dan telah terbukti relatif aman pada kehamilan. Persiapan intravena, intramuskular, dan oral dapat digunakan untuk eksaserbasi akut, sedangkan persiapan yang dihirup dicadangkan untuk terapi rawat jalan pemeliharaan.

Sebuah agonis beta2-adrenoreseptor lagi-akting (misalnya, salmeterol), efek bronkodilator yang terakhir setidaknya 12 jam, adalah pengobatan yang efektif untuk asma nokturnal.

Secara historis, methylxanthines dan beta agonis oral telah digunakan untuk mengobati asma. Keduanya telah terbukti aman pada kehamilan tetapi jatuh dari nikmat untuk obat-obatan yang lebih baru dan bentuk-bentuk inhalasi, masing-masing.

Magnesium sulfat merupakan obat yang aman untuk digunakan dalam kehamilan. Ia bekerja sebagai relaksan halus-otot jalan napas.

Epinefrin digunakan harus dihindari pada pasien hamil. Secara umum, epinefrin hanya digunakan dalam eksaserbasi asma paling parah. Dalam kehamilan, kerja obat dapat menyebabkan cacat bawaan mungkin, takikardi janin, dan vasokonstriksi sirkulasi uteroplasenter.

III.2.10 Perawatan  Previous Sebelumnya

Next Berikutnya

Rumah Sakit

Pengobatan asma Prehospital

Sebelum tiba di UGD, alamat status jalan napas pasien yang diperlukan. Menyediakan lembaga awal terapi hirup beta-agonis. Berikan oksigen tambahan.

Pengobatan di gawat darurat

Pasien hamil yang hadir dengan eksaserbasi ringan khas asma dapat diobati dengan cara yang sama bahwa pasien asma biasa dengan gejala yang sama akan, dengan terapi bronkodilator dan steroid.

Perhatian khusus harus diberikan kepada pasien hamil yang hadir dengan eksaserbasi asma berat, karena hipoksia ibu yang dihasilkan dapat memiliki konsekuensi parah pada janin. American College of Obstetricians dan Gynecologists telah menerbitkan pedoman praktek untuk pengelolaan asma selama kehamilan, Asma dalam Kehamilan .

Seperti biasa di UGD, alamat ABC. Pasien harus ditempatkan pada monitor jantung dan oksimetri pulsa. Ambang intubasi harus rendah untuk mencegah / membatasi episode hipoksia pada janin. Intubasi dan ventilasi mekanis pasien yang berada di atau dekat pernapasan dan pasien yang tidak merespon pengobatan yang dibuktikan dengan:

  • Hipoksemia meskipun oksigen tambahan
  • Meningkatkan retensi karbon dioksida
  • Persistent tingkat / memburuknya kesadaran
  • Ketidakstabilan hemodinamik

Kunci untuk mengobati asma pada pasien hamil adalah sering menilai pasien, tingkat keparahan serangan, dan respon terhadap pengobatan.

Hipoksia, asidosis, suara napas tidak sama, pneumotoraks, dan fitur atipikal berfungsi sebagai peringatan tanda-tanda eksaserbasi parah.

Inhalasi beta2-agonis adalah andalan pengobatan. The beta2-agonis, menghirup dan / atau subkutan, biasanya diberikan dalam 3 dosis selama 60-90 menit. Beta-adrenergic blocking agents harus dihindari karena efek bronchospastic.

Penggunaan steroid sistemik awal telah terbukti mengurangi lama tinggal di UGD dan tingkat pengakuan, pengaruh steroid terlihat dalam waktu 4-6 jam dari institusi terapi.

Supply oksigen tambahan untuk mempertahankan saturasi oksigen yang lebih tinggi dari 95%. Cairan intravena dapat membantu untuk melonggarkan dan sekresi jelas.

Pemantauan janin menjadi penting setelah 20 minggu kehamilan pada kasus berat.

Obat penenang dan obat penenang harus dihindari karena efek depresi pernapasan mereka. Antihistamin tidak berguna dalam pengobatan asma. Mucolytic agen bronkospasme meningkat.

Kurang dari 1% dari semua pasien asma membutuhkan ventilasi mekanis . Asthmatic pasien memiliki tingkat komplikasi yang lebih tinggi dari ventilasi mekanis. Peningkatan resistensi jalan napas dapat mengakibatkan tekanan puncak yang sangat tinggi saluran napas, barotraumas, dan gangguan hemodinamik. Penyumbatan lendir adalah umum, peningkatan resistensi jalan napas, atelektasis, dan kejadian pneumonia sekunder. Paradoxalitas meningkat di bronkospasme mungkin terjadi dari kejengkelan oleh tabung endotrakeal.

Pengaturan ventilator khas dapat menyebabkan napas ditumpuk dan tekanan udara meningkat. Penurunan rasio durasi inspirasi dengan durasi kedaluwarsa (I: E ratio), dan menetapkan tingkat pernapasan yang rendah untuk memungkinkan berakhirnya memadai.

Pergi ke Asthmaticus Status untuk informasi selengkapnya mengenai topik ini.

III.2.11 Previous Sebelumnya

Next Berikutnya

Penerimaan dan Pemberhentian

Kriteria untuk masuk ke rumah sakit adalah sebagai berikut:

  • Tidak memadai respon terhadap terapi UGD
  • pO 2 kurang dari 70 mm Hg
  • Tanda-tanda gawat janin (misalnya, penurunan gerakan, tocodynamometry cardio normal, kontraksi rahim)
  • Beberapa obat digunakan (misalnya, membutuhkan 3 atau lebih obat-obatan secara bersamaan)
  • Sebuah kursus berlarut-larut dengan respon yang buruk terhadap terapi rawat jalan sejauh melembagakan atau riwayat asma parah memerlukan intubasi atau masuk ICU
  • Kondisi rumah yang tidak memadai dan transportasi / akses ke perawatan UGD

Kriteria untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:

  • Mengubah tingkat kesadaran
  • Kekurangan aliran udara
  • Tanda-tanda kelelahan, kursus menuruni bukit, atau kebutuhan untuk ventilasi mekanis
  • PEFR / FEV 1 kurang dari 25% dari yang diperkirakan atau PCO 2 lebih besar dari 35 mm Hg

Kriteria untuk debit rumah adalah sebagai berikut:

  • Sangat ditingkatkan gejala dan temuan pemeriksaan fisik
  • Kemampuan pasien untuk keluar dari DE tanpa marabahaya jelas
  • PEFR/FEV 1 greater than 70% baseline PEFR / FEV lebih besar dari 70% awal 1
  • Tidak ada fetal distress
  • Follow-up yang baik dan akses ke UGD dalam kasus kambuh

Sebuah janji follow-up 2-4 hari setelah kunjungan UGD dianjurkan. Pertimbangkan rujukan ke spesialis asma. Glukokortikoid pada saat debit telah terbukti bermanfaat dan untuk mengurangi timbulnya kunjungan UGD.

III.2.12 Previous Sebelumnya

Next Berikutnya

Informasi Pasien

Sebagian besar komplikasi asma selama kehamilan dari undermedication, dengan demikian, tujuannya adalah untuk menekankan kepada pasien pentingnya dan keamanan terapi. Pendidikan Pasien harus mencakup aspek-aspek berikut asma dan kehamilan:

  • Tanda dan gejala asma
  • Pentingnya dan keamanan obat untuk janin dan ibu
  • Peringatan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pasien harus pergi ke UGD
  • Potensi membahayakan janin dan meningkatkan risiko pada pasien akibat penundaan undertreatment atau yang tidak perlu dalam mencari perawatan tambahan
  • Pencegahan dan menghindari dikenal pemicu
  • Penggunaan inhaler meteran-dosis dan peak flow meter
  • Efek obat merugikan
  • Penggunaan buku harian yang ditulis untuk merekam PEFR
  • Penggunaan pedoman tertulis untuk mengelola eksaserbasi dan bagi hati-hati menggunakan UGD

BAB IV

PENUTUP

 

IV.1    KESIMPULAN

  1. Pemeriksaan dan diagnosis kasus ini dapat diterima dan sesuai dengan literatur yang ada.
  2. Pada kasus ini pasien direncanakan untuk persalinan secara Sectio caesaria.
  3. Pada pasien ini di lakukan kordinasi konsulan dan rawat bersama dokter spesialis penyakit paru untuk penanganan asma bronkhial yang di derita pasien.

 

IV.2     SARAN

  1. Penjaringan kasus dengan risiko tinggi dan pengawasan antenatal yang teratur dan baik, sangat menentukan morbiditas dan mortalitas penderita kehamilan dengan letak sungsang dan sesak napas/ asma bronkhial.
  2. Segera merujuk penderita kehamilan dengan letak sungsang dan sesak napas/ asma bronkhial ke RSUD.
  3. Penanganan kasus penderita kehamilan dengan letak sungsang dan sesak napas/ asma bronkhial, harus dilakukan secara terpadu dan komprehensif, dan perawatan bersama dokter spesialis penyakit paru pada penanganan sesak napas.

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Cunningham FG et al. Premature Rupture of the Membrane. Williams Obstetric, 22st ed. Mc.Graw Hill Publishing Division, New York, 2005.
  2. Wiknjosastro H. Distosia Pada Kelainan Letak Serta Bentuk Janin. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 2005.
  3. Wiknjosastro H. Persalinan Sungsang. Ilmu Bedah Kebidanan, edisi ke-4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 2002.
  4. Wiknjosastro H. Patologi Persalinan dan Penanganannya. Ilmu Kebidanan, edisi ke-3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 2005.
  5. Fischer Richard et al, Breech Presentation, e medicine, January 2002.
  6. Schiara J, et al. Breech Presentation. Gynecology and Obstetric 6th edition, Lippincot-Raven Publisher, Chicago 1997.
  7. Setjalilakusuma L. Induksi Persalinan, dalam Ilmu Bedah Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta, 2000.
  8. Saifuddin A. B. Persalinan Sungsang. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, edisi ke-1. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta 2002.
  9. Mochtar R. Persalinan Sungsang. Sinopsis Obstetri, edisi ke-2. EGC, Jakarta 1998.
  10. Anonim. Presentasi Bokong. Diakses dari http://medlinux.blogspot.com/. November, 2007.
  11. Jenis A. Pregnancy, Breech delivery. Diakses dari http://www.emedicine.com/. December, 2006.
  12. Ballas S, et al. Deflexion of the fetal head in breech presentation. Incidence, Management, and Outcome. Obstetrics and Gynecology. Diakses dari http://www.greenjournal.org/. Januari, 2007.
  13. Caterini, et al. Fetal risk in hyperextension of the fetal head in breech presentation. Diakses dari http://www.greenjournal.org/. Januari, 2007.
  14. Westgren, et al. Hyperextension of the fetal head in breech presentation. A study with long-term follow-up. Diakses dari : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. Januari, 2007.

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1     LATAR BELAKANG

Letak lintang adalah suatu keadaaan dimana janin melintang (sumbu panjang janin kira-kira tegak lurus dengan sumbu panjang tubuh ibu) di dalam uterus dengan kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong berada pada sisi yang lain. Bila sumbu panjang tersebut membentuk sudut lancip, hasilnya adalah letak lintang oblik. Letak lintang oblik biasanya hanya terjadi sementara karena kemudian akan berubah menjadi posisi longitudinal atau letak lintang saat persalinan. Di Inggris letak lintang oblik dinyatakan sebagai letak lintang yang tidak stabil. Kelainan letak pada janin ini termasuk dalam macam-macam bentuk kelainan dalam persalinan (distosia). Angka kejadian letak lintang sebesar 1 dalam 300 persalinan. Hal ini dapat terjadi karena penegakan diagnosis letak lintang dapat dilihat pada kehamilan muda dengan menggunakan ultrasonografi. Letak lintang terjadi pada 1 dari 322 kelahiran tunggal (0,3 %) baik di Mayo Clinic maupun di University of Iowa Hospital, USA. Di Parklannd Hospital, dijumpai letak lintang pada 1 dari 335 janin tunggal yang lahir selama lebih dari 4 tahun.

Beberapa rumah sakit di Indonesia melaporkan angka kejadian letak lintang, antara lain: RSUD dr.Pirngadi, Medan 0,6%; RS Hasan Sadikin Bandung 1,9%; RSUP dr. Cipto Mangunkuskumo selama 5 tahun 0,1%; sedangkan Greenhill menyebut 0,3% dan Holland 0,5-0,6%. Insidens pada wanita dengan paritas tinggi mempunyai kemungkinanan 10 kali lebih besar dari nullipara. Dengan ditemukannya letak lintang pada pemeriksaan antenatal, sebaiknya diusahakan mengubah menjadi presentasi kepala dengan versi luar. Persalinan letak lintang memberikan prognosis yang jelek baik terhadap ibu maupun janinnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian janin pada letak lintang di samping kemungkinan terjadinya letak lintang kasep dan ruptur uteri, juga sering akibat adanya tali pusat menumbung serta trauma akibat versi ekstraksi untuk melahirkan janin, Berdasarkan uraian di atas maka kami perlu menguraikan permasalahan dan penatalaksanaan pada kehamilan dengan janin letak lintang.

I.2        RUMUSAN MASALAH

I.2.1 Bagaimana etiologi dan patofisiologi letak lintang pada kehamilan?

I.2.2 Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan letak lintang pada kehamilan?

I.3        TUJUAN

I.3.1 Mengetahui etiologi dan patofisiologi letak lintang pada kehamilan.

I.3.2 M            engetahui cara mendiagnosis dan penatalaksanaan letak lintang pada kehamilan.

I.4        MANFAAT

I.4.1     Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu kebidanan dan kandungan pada khususnya

I.4.2     Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu kebidanan dan kandungan

BAB II

STATUS PASIEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

 

II.1  IDENTITAS PASIEN

No. Reg : 239762

Identitas pribadi :

Nama penderita           : Ny. Y                                    Nama Suami    : Tn. S

Umur penderita           : 39 tahun                    Umur suami     : 39 tahun

Alamat                        : Turen

Pekerjaan penderita     : pedagang                   Pekerjaan suami : penjaga sekolah

Pendidikan penderita : STM                          Pendidikan suami : STM

II.2  ANAMNESIS

  1. Masuk rumah sakit tanggal     : 2-03-2011. jam 11.30
  2. Pasien dikirim oleh                  : Dokter ahli
  3. Keluhan utama                        : kenceng-kenceng
  4. Riwayat penyakit sekarang     : pasien datang ke poli karena sejak 2 hari yang lalu pasien merasa perutnya kenceng-kenceng, meskipun masih jarang-jarang. Perkiraan kelahiran tanggal 27-2-2011, dan sampai sekarang ibu belum melahirkan. Pasien ingin steril.
  5. Keluhan penyerta                    : –
  6. Riwayat kehamilan sekarang  : hamil anak ke-3, hiperemesis (-), sering kram saat tidur, dan saat hamil ini merasa detak jantungnya lebih lemah
  7. Riwayat menstruasi                 : menarche : usia 13 tahun

HPHT : 20-05-2010

Siklus menstruasi teratur, lamanya 3-4 hari

Jumlah perdarahan sedikit

  1. Riwayat pernikahan                : nikah 1x, lama 15 tahun.
  2. Riwayat persalinan sebelumnya : anak 1 lahir di bidan normal (sungsang)

anak 2 lahir di RSUD normal

  1. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi : sebelumnya memakai KB jenis suntik 3 bulanan, dan sudah setengah tahun sebelum hamil ini pasien tidak memakai KB
  2. Riwayat penyakit sistemik yang pernah dialami : penyakit jantung sejak kelas 5 SD (pasien tidak mengetahui penyakitnya)
  3. Riwayat penyakit keluarga : DM (+)
  4. Riwayat kebiasaan dan sosial : minum jamu (-), pijat oyok (-)
  5. Riwayat pengobatan yang telah dilakukan : vitamin (+), obat jantung berhenti sejak lulus STM
  6. Riwayat ANC : 4x ke dokter

II.3  STATUS GENERALIS

Pemeriksaan fisik :

  1. A.    Status present :

Keadaan umum           : compos mentis

Tekanan darah             : 90/70 mmHg             Nadi : 94 x/menit        Suhu : 36,5 °C

Jumlah pernapasan      : 20 x/menit.

  1. B.     Pemeriksaan umum :

Kulit                            : normal

Kepala                         :

Mata                : anemi (-/-)                  ikterik (-/-)       odem palpebra  (-/-)

Wajah              : simetris

Mulut              : kebersihan gigi geligi kurang            stomatitis (-)

hiperemi faring (-)                 pembesaran tonsil (-)

Leher                           : pembesaran kelenjar limfe di leher (-)

pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax                         :

Paru :

Inspeksi           : pergerakan pernapasan simetris

tipe pernapasan normal

retraksi costa -/-

Palpasi             : teraba massa abnormal -/-     pembesaran kelenjar axila -/-

Perkusi            : sonor +/+       hipersonor -/-               pekak -/-

Auskultasi       : vesikuler +/+             suara nafas menurun -/-

wheezing -/-              ronki -/-

Jantung :

Inspeksi           : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi             : thrill -/-

Perkusi            : batas jantung normal

Auskultasi       : denyut jantung reguler                      S1 +                 S2 +

Abdomen                    :

Inspeksi           : flat -/-, distensi -/-, gambaran pembuluh darah kolateral -/-

Palpasi             : pembesaran organ -/-             nyeri tekan -/-

teraba massa abnormal -/-

Perkusi            : timpani

Auskultasi       : suara bising usus +/+ metallic sound -/-

Ekstremitas                 : odem -/-

II.4      STATUS OBSTETRI :

Pemeriksaan Luar :

Leopold I        : TFU : 3 jari diatas pusat

Fundus uteri kosong

Leopold II       : sebelah kiri kesan keras, bundar dan melenting, sebelah kanan kesan lunak, kurang bundar dan kurang melenting

Leopold III     : teraba tahanan memanjang

Leopold IV     : teraba tahanan memanjang, belum masuk PAP

Bunyi jantung janin     : DJJ 136 x/menit, regular

Ukuran panggul luar (jika diperlukan) : (-)

Pemeriksaan Dalam :

Dilakukan oleh                        : bidan

Pengeluaran pervaginam         : (-)

Vulva/vagina                           : (-)

Pembukaan waktu his             : (-)

Penipisan portio                      : (-)

Inspekulo                                : (-)

Ketuban                                  : (-)                  warna: (-)

Bagian terdahulu                     : (-)

Bagian tersamping terdahulu  : (-)

Bagian terendah                      : (-)

Hodge                                     : (-)

Molase                                     : (-)

Ukuran panggul dalam (kalau diperlukan) : tidak dilakukan

II.5 RINGKASAN

Anamnesa                               :

  1. Pasien datang ke poli karena sejak 2 hari yang lalu pasien merasa perutnya kenceng-kenceng, meskipun masih jarang-jarang. Perkiraan kelahiran tanggal 27-2-2011, dan sampai sekarang ibu belum melahirkan. Pasien menginginkan steril.
  2. Pasien memiliki riwayat sakit jantung sejak kelas 5 SD, dan melakukan pengobatan rutin dari kecil hingga lulus STM kemudian menghentikan sendiri pengobatannya

Pemeriksaan fisik                    : anemis (-), ikterik (-). KU : compos mentis. TD : 90/70 mmHg, nadi : 94 x/menit (ireguler), RR : 20 x/menit, Suhu : 36,5 °C

Pemeriksaan obstetri luar        :

Leopold I        : TFU : 3 jari diatas pusat

Fundus uteri kosong

Leopold II       : sebelah kiri kesan keras, bundar dan melenting, sebelah kanan kesan lunak, kurang bundar dan kurang melenting

Leopold III     : teraba tahanan memanjang

Leopold IV     : teraba tahanan memanjang, belum masuk PAP

Pemeriksaan obstetri dalam    : Tidak ditemukan apa-apa

Diagnosa                                 : GIIIP2002Ab000, UK 40-41 minggu, Letak lintang dengan riwayat penyakit jantung

Rencana tindakan                  :

  1. Observasi
  2. Injeksi IV Ceftazidim 3×1
  3. Injeksi teranol 3×1
  4. Syntosinon drip
  5. SCTP

Lembar Follow Up

Nama pasien                : Ny. Y

Ruang kelas                 : IRNA B

Dignose                       : GIIIP2002Ab000 umur kehamilan 40-41 minggu dengan letak lintang dan riwayat penyakit jantung

Tanggal/jam Catatan Observasi Paraf/Nama terang
3 maret 2011 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4 maret 2011

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5 Maret 2011

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6 Maret 2011

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7 Maret 2011

 

 

S : SCTP dan MOWO : T : 90/70, N :82x/menit, s : 36,2°C

A :  GIIIP2002Ab000 umur kehamilan 40-41 minggu dengan letak lintang dan riwayat penyakit jantung

P : Injeksi ceftazidine 3×1

Injeksi teranol 3×1

Syntocinon drip

MOW

S : luka bekas jahitan masih nyeri, dibuat miring sakit, kentut (-), agak sedikit pusing, pada jantung tidak ada keluhan

O : T : 110/70, N : 82x/menit, S : 36°C

A :  GIIIP3003Ab000 dengan riwayat penyakit jantung

P : Injeksi ceftazidine 3×1

Injeksi teranol 3×1

Syntocinon drip

S : luka bekas jahitan masih terasa nyeri, dibuat miring masih sakit, kentut (+), pada jantung tidak ada keluhan

O : T : 120/80, N : 84x/menit, S : 36,5°C

A :  GIIIP3003Ab000 dengan riwayat penyakit jantung

P : Injeksi ceftazidine 3×1

Injeksi teranol 3×1

S : luka bekas jahitan masih terasa nyeri, dibuat miring masih sakit, pada jantung tidak ada keluhan

O : T : 120/70, N : 88x/menit, S : 36,7°C

A :  GIIIP3003Ab000 dengan riwayat penyakit jantung

P :  Injeksi ceftazidime 3×1

Injeksi teranol 3×1

S : pasien BLPL, nyeri di luka jahitan sudah berkurang, pasien sudah bisa duduk, tidak ada keluhan

O : T : 120/80, N : 84x/menit, S : 36,7°C

A :  GIIIP3003Ab000 dengan riwayat penyakit jantung

P :  Injeksi cefotaxime 2×1

Injeksi teranol 3×1

Lab :Hb 11,6

Leukosit 5560

Trombosit 150.000

PCV 36

BT 2’00”

CT 12’30’’

GDS 83

 

 

 

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

  1. A.       DEFINISI

Letak lintang adalah letak janin dengan posisi sumbu panjang tubuh janin memotong atau tegak lurus dengan sumbu panjang Ibu. Pada letak oblik biasanya hanya bersifat sementara, sebab hal ini merupakan perpindahan letak janin menjadi letak lintang atau memanjang pada persalinan. Pada letak lintang, bahu biasanya berada di atas pintu atas panggul sedangkan kepala terletak pada salah satu fosa iliaka dan bokong pada fosa iliaka yang lain kondisi seperti ini disebut sebagai presentasi bahu atau presentasi akromion. Posisi punggung dapat mengarah ke posterior, anterior, superior, atau inferior, sehingga letak ini dapat dibedakan menjadi letak lintang dorso anterior dan dorso posterior.

Gambar 1 letak lintang

  1. B.       ETIOLOGI

Penyebab letak lintang adalah :

  1. Dinding abdomen teregang secara berlebihan disebabkan oleh  kehamilan multiparitas pada ibu hamil dengan paritas 4 atau lebih terjadi insiden hampir sepuluh kali lipat dibanding ibu hamil nullipara. Relaksasi dinding abdomen pada perut yang menggantung akibat multipara dapat menyebabkan uterus berali kedepan. Hal ini mengakibatkan defleksi sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan lahir, sehingga terjadi posisi oblik atau melintang
  2. Janin prematur, pada janin prematur letak janin belum menetap, dan terjadi perputaran janin sehingga menyebabkan letak memanjang
  3. Placenta previa atau tumor pada jalan lahir. Dengan adanya placenta atau tumor dijalan lahir maka sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan lahir.
  4. Abnormalitas uterus, bentuk dari uterus yang tidak normal menyebabkan janin tidak dapat engagement sehingga sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan lahir
  5. Panggul sempit, bentuk panggul yang sempit mengakibatkan bagian presentasi tidak dapat masuk kedalam panggul (engagement) sehingga dapat mengakibatkan sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan lahir.
  6. C.           DIAGNOSIS
  7. Mudah ditegakkan bahkan dengan pemeriksaan inspeksi saja. Abdomen biasanya melebar kearah samping dan fundus uteri lebih rendah tidak sesuai dengan umur kehamilannya.
  8. Pemeriksaan abdomen dengan palpasi perasat leopold mendapatkan hasil :
    1.  Leopold 1 fundus uteri tidak ditemukan bagian janin

b. Leopold II teraba balotemen kepala pada salah satu fosa iliaka dan bokong pada fosa iliaka yang lain

  1.  Leopold III dan IV tidak ditemukan bagian janin, kecuali pada saat persalinan berlangsung dengan baik dapat teraba bahu didalam rongga panggul. Bila pada bagian depan perut ibu teraba suatu dataran kerasyang melintang maka berarti punggung anterior. Bila pada bagian perut ibu teraba bagian – bagian yang tidak beraturan atau bagian kecil janin berarti punggung posterior
  2. Pada pemeriksaan dalam teraba bagian yang bergerigi yaitu tulang rusuk pada dada janin diatas pintu atas panggul pada awal persalinan. Pada persalinan lebih lanjut teraba klavikula. Posisi aksilla menunjukkan kemana arah bahu janin menghadap tubuh ibu. Bila persalinan terus berlanjut bahu janin akan masuk rongga panggul dan salah satu lengan sering menumbung (lahir terlebih dahulu) kedalam vagina dan vulva

D.     PENATALAKSANAAN

a.       Pada kehamilan

Pada primigravida umur kehamilan kurang dari 28 minggu dianjurkan posisi knee chest, jika lebih dari 28 minggu dilakukan versi luar, kalau gagal dianjurkan posisi knee chest sampai persalinan. Pada multigravida umur kehamilan kurang dari 32 minggu posisi knee chest, jika lebih dari 32 minggu dilakukan versi luar, kalau gagal posisi knee chest sampai persalinan.

Gambar 2 versi luar pada letak lintang

Kontraindikasi versi luar:

  1. Ketuban sudah pecah
  2. Penderita mempunyai hipertensi
  3. Rahim pernah mengalami pembedahan: sectio sesaria, pengeluaran mioma uteri
  4. Penderita pernah mengalami perdarahan selama hamil
  5. Pernah mengalami tindakan operasi pervaginam
  6. Terdapat faktor resiko tinggi kehamilan : kasus infertilitas, sering mengalami keguguran, persalinan prematuritas atau kelahiran mati, tinggi badan kurang dari 150 cm, mempunyai deformitas pada tulang panggul atau belakang
  7. Pada kehamilan kembar

Syarat versi luar dapat berhasil dengan baik :

1.      Dilakukan pada usia kehamilan 34-36 minggu

2.       Pada inpartu dilakukan sebelum pembukaan 4 cm

3.       Bagian terendah belum masuk atau masih dapat dikeluarkan dari PAP

4.      Bayi dapat dilahirkan pervaginam

5.      Ketuban masih positif utuh

b.      Pada persalinan

Pada letak lintang belum kasep, ketuban masih ada, dan pembukaan kurang dari 4 cm, dicoba versi luar. Jika pembukaan lebih dari 4 cm pada primigravida dengan janin hidup dilakukan sectio caesaria, jika janin mati, tunggu pembukaan lengkap, kemudian dilakukan embriotomi. Pada multigravida dengan janin hidup dan riwayat obstetri baik dilakukan versi ekstraksi, jika riwayat obstetri jelek dilakukan SC. Pada letak lintang kasep janin hidup dilakukan SC, jika janin mati dilakukan embriotomi. Pada letak lintang dengan ukuran panggul normal dan janin cukup bulan, tidak dapat terjadi persalinan spontan. Bila persalinan dibiarkan tanpa pertolongan akan menyebabkan kematian janin dan ruptur uteri. Bahu masuk ke dalam panggul, sehingga rongga panggul seluruhnya terisi bahu dan bagian-bagian tubuh lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan terjepit dalam rongga panggul. Dalam usaha untuk mengeluarkan janin, segmen atas uterus terus berkontraksi dan beretraksi sedangkan segmen bawah uterus melebar serta menipis sehingga batas antara dua bagian itu makin lama makin tinggi dan terjadi lingkaran retraksi patologik. Keadaan demikian dinamakan letak lintang kasep. Kalau janin kecil, sudah mati dan menjadi lembek, kadang-kadang persalinan dapat berlangsung spontan. Janin lahir cara Denman atau Douglas.

  1. Cara Denman Bahu tertahan pada simfisis dan dengan fleksi kuat di bagian bawah tulang belakang, badan bagian bawah, bokong dan kaki turun di rongga panggul dan lahir. Kemudian disusul badan bagian atas dan kepala.
  2. Cara Douglas, bahu masuk ke dalam rongga panggul, kemudian dilewati oleh bokong dan kaki, sehingga bahu, bokong dan kaki lahir, selanjutnya disusun oleh lahirnya kepala.

Gambar 3 penatalaksanaan letak lintang

Persalinan letak lintang memberikan prognosis yang jelek, baik terhadap ibu maupun janinnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian janin pada letak lintang disamping kemungkinan terjadinya letak lintang kasep dan ruptura uteri, juga sering akibat adanya tali pusat menumbung serta trauma akibat versi ekstraksi untuk melahirkan janin.

E.      PROSES PERSALINAN

Pada letak lintang presisten (letak lintang yang menetap) dengan umur kehamilan aterm, persalinan tidak mungkin dapat terjadi secara normal pervaginam, kecuali badan dan kepala janin dapat masuk kedalam rongga panggul secara bersamaan. Apabila tidak dilakukan tindakan yang tepat, janin dan ibu dapat meninggal.

Pada saat ketuban sudah pecah, bila ibu tidak ditolong dengan tepat, maka bahu janin akan masuk kedalam panggul dan tangan yang sesuai akan menumbung. Kemudian terjadi penurunan panggul sebatas PAP. Sedangkan bokong dan kepala tedapat pada fosailiaka.

Kontraksi uterus semakin kuat dalam upayanya mengatasi halangan pada PAP. Namun usaha uterus dalam meningkatkan kontraksi tidak membuahkan hasil. Semakin meningkat kontraksi uterus maka lama kelamaan terbentuk cincin retraksi yang semakin lama semakin tinggi, akhirnya terjadi lingkaran bandl sebagai tanda akan terjadi ruptura uteri. Keadaan ini disebut letak lintang kasep. Apabila penanganan ini tidak mendapatkan penanganan gawat darurat semestinya maka akan terjadi ruptura uteri, ibu dan janin dapat meninggal.

Apabila panggul ibu cukup besar dan janin sangat kecil, meskipun kelainan letak lintang menetap, persalinan spontan dapat terjadi. Pada keadaan ini kepala terdorong keperut ibu dengan adanya tekanan pada janin. Tampak di vulva bagian dinding dada dibawah bahu menjadi bagian yang bergantung. Kepala dan dada secara bersamaan melewati rongga panggul. Dalam keadaan terlipat (conduplication corpore) janin dilahirkan.

F.      PROGNOSIS

Meskipun letak lintang dapat diubah menjadi presentasi kepala, tetapi kelainan– kelainan yang menyebabkan letak lintang, seperti misalnya panggul sempit, tumor panggul dan plasenta previa masih tetap dapat menimbulkan kesulitan pada persalinan. Persalinan letak lintang memberikan prognosis yang jelek, baik terhadap ibu maupun janinnya.

  1. Bagi ibu

Bahaya yang mengancam adalah ruptura uteri, baik spontan, atau sewaktu versi dan ekstraksi. Partus lama, ketuban pecah dini, dengan demikian mudah terjadi infeksi intrapartum.

2.      Bagi janin

Angka kematian tinggi (25 – 49 %), yang dapat disebabkan oleh :

a. Prolapsus funiculi

b. Trauma partus

c. Hipoksia karena kontraksi uterus terus menerus

e. Ketuban pecah dini

G.     PENYAKIT JANTUNG PADA KEHAMILAN

Wanita normal yang mengalami kehamilan akan mengalami perubahan fisiologik dan anatomic pada berbagai sistem organ yang berhubungan dengan kehamilan akibat terjadi perobahan hormonal didalam tubuhnya. Perubahan yang terjadi dapat mencakup sistem gastrointestinal, respirasi, kardiovaskuler, urogenital, muskuloskeletal dan saraf Perubahan yang terjadi pada satu sistem dapat saling memberi pengaruh pada sistem lainnya dan dalam menanggulangi kelainan yang terjadi harus mempertimbangkan perubahan yang terjadi pada masing-masing sistem, Perobahan ini terjadi akibat kebutuhan metabolik yang disebabkan kebutuhan janin, plasenta dan rahim. Adaptasi normal yang dialami seorang wanita yang mengalami kehamilan termasuk sistem kardiovaskuler akan memberikan gejala dan tanda yang sukar dibedakan dari gejala penyakit jantung. Keadaan ini yang menyebabkan beberapa kelainan yang tidak dapat ditoleransi pada saat kehamilan.

Pada wanita hamil akan terjadi probahan hemodinamik karena peningkatan volume darah sebesar 30-50% yang dimulai sejak trimester pertama dan mencapai puncaknya pada usia kehamilan 32-34 minggu dan menetap sampai aterm. Sebagian besar peningkatan volume darah ini menyebabkan meningkatnya kapasitas rahim, mammae, ginjal, otot polos dan system vascular kulit dan tidak memberi beban sirkulasi pada wanita hamil yang sehat. Peningkatan volume plasma (30-50%) relatif lebih besar dibanding peningkatan sel darah (20-30%) mengakibatkan terjadinya hemodilusi dan menurunya konsentrasi hemoglobin. Peningkatan volume darah ini mempunyai 2 tujuan yaitu pertama mempermudah pertukaran gas pernafasan, nutrien dan metabolit ibu dan janin dan kedua mengurangi akibat kehilangan darah yang banyak saat kelahiran.

Peningkatan volume darah ini mengakibatkan cardiac output saat istirahat akan meningkat sampai 40%. Peningkatan cardiac output yang terjadi mencapai puncaknya pada usia kehamilan 20 minggu. Pada pertengahan sampai akhir kehamilan cardiac output dipengaruhi oleh posisi tubuh. Sebagai akibat pembesaran uterus yang mengurangi venous return dari ekstremitas bawah. Posisi tubuh wanita hamil turut mempengaruhi cardiac output dimana bila dibandingkan dalam posisi lateral kiri, pada saat posisi supinasi maka cardiac output akan menurun 0,6 l/menit dan pada posisi tegak akan menurun sampai 1,2 l/menit. Umumnya perobahan ini hanya sedikit atau tidak memberigejala, dan pada beberapa wanita hamil lebih menyukai posisi supinasi. Tetapi pada posisi supinasi yang dipertahankan akan memberi gejala hipotensi yang disebut supine hypotensive syndrome of pregnancy. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan memperbaiki posisi wanita hamil miring pada salah satu sisi, Perobahan hemodinamik juga berhubungan dengan perobahan atau variasi dari cardiac output. Cardiac output adalah hasil denyut jantung dikali stroke volume. Pada tahap awal terjadi kenaikan stroke volume sampai kehamilan 20 minggu. Kemudian setelah kehamilan 20 minggu stroke volume mulai menurun secara perlahan karena obstruksi vena cava yang disebabkan pembesaran uterus dan dilatasi venous bed. Denyut jantung akan meningkat secara perlahan mulai dari awal kehamilan sampai akhir kehamilan dan mencapai puncaknya kira-kira 25 persen diatas tanpa kehamilan pada saat melahirkan.

Cardiac output juga berhubungan langsung dengan tekanan darah merata dan berhubungan terbalik dengan resistensi vascular sistemik. Pada awal kehamilan terjadi penurunan tekanan darah dan kembali naik secara perlahan mendekati tekanan darah tanpa kehamilan pada saat kehamilan aterm. Resistensi vascular sistemik akan menurun secara drastic mencapai 2/3 nilai tanpa kehamilan pada kehamilan sekitar 20 minggu. Dan secara perlahan mendekati nilai normal pada akhir kehamilan. Cardiac output sama dengan oxygen consumption dibagi perbedaan oksigen arteri-venous sistemik Oxygen consumption ibu hamil meningkat 20 persen dalam 20 minggu pertama kehamilan dan terus meningkat sekitar 30 persen diatas nilai tanpa kehamilan pada saat melahirkan. Peningkatan ini terjadi karena kebutuhan metabolisme janin dan kebutuhan ibu hamil yang meningkat.

Cardiac output juga akan meningkat pada saat awal proses melahirkan. Pada posisi supinasi meningkat sampai lebih dari 7 liter/menit. Setiap kontraksi uterus cardiac output akan meningkat 34 persen akibat peningkatan denyut jantung dan stroke volume, dan cardiac output dapat meltingkat sebesar 9 liter/menit. Pada saat melahirkan pemakaian anestesi epidural mengurangi cardiac output menjadi 8 liter/menit dan penggunaan anestesi umum juga mengurangi cardiac output. Setelah melahirkan cardiac output akan meningkat secara drastis mencapai 10 liter/menit (7-8 liter / menit dengan seksio sesaria) dan mendekati nilai normal saat sebelum hamil, setelah beberapa hari atau minggu setelah melahirkan. Kenaikan cardiac output pada wanita hamil kembar dua atau tiga sedikit lebih besar dibanding dengan wanita hamil tunggal. Adakalanya terjadi sedikit peningkatan cardiac output sepanjang proses laktasi.

Perubahan unsur darah juga terjadi dalam kehamilan. Sel darah merah akan meningkat 20-30% dan jumlah lekosit bervariasi selama kehamilan dan selalu berada dalam batas atas nilai normal. Kadar fibronogen, faktor VII, X dan XII meningkat, juga jumlah trombosit meningkat tetapi tidak melebihi nilai batas atas nilai normal. Kehamilan juga menyebabkan perubahan ukuran jantung dan perubahan posisi EKG. Ukuran jantung berubah karena dilatasi ruang jantung dan hipertrofi. Pembesaran pada katup tricuspid akan menimbulkan regurgitasi ringan dan menimbulkan bising sistolik normal grade 1 atau 2. Pembesaran rahim keatas rongga abdomen akan mendorong posisi diafragma naik keatas dan mengakibatkan posisi jantung berubah ke kiri dan ke anterior dan apeks jantung bergeser keluar dan ke atas. Perubahan ini menyebabkan perubahan EKG sehingga didapati deviasi aksis kekiri, sagging ST segment dan sering didapati gelombang T yang inversi atau mendatar pada lead III.

Keperluan janin akan oksigen dan zat-zat makanan bertambah dalam berlangsungnya kehamilan, yang harus dipenuhi melalui darah ibu. Untuk itu banyaknya darah yang beredar bertambah, sehingga jantung harus bekerja lebih berat. Karena itu dalam kehamilan selalu terjadi perubahan-perubahan dalam sistem kardiovaskular yang biasanya masih dalam batas-batas fisiologik. Perubahan-perubahan itu terutama disebabkan :

  1. Karena hidremia (hipervolemia) dalam kehamilan, yang sudah dimulai sejak umur kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya antara 32-36 minggu
  2. Karena uterus gravidus yang makin lama makin membesar sehingga mendorong diafragma ke atas, ke kiri dan ke depan, sehingga pembuluh-pembuluh darah besar dekat jantung mengalami lekukan dan putaran.

Pada kehamilan terjadi peningkatan volume plasma yang dimulai kira-kira pada akhir trisemester pertama dan mencapai puncaknya pada minggu 32-34, yang selanjutnya menetap selama trimester terakhir kehamilan, dimana volume plasma menetap bertambah sebesar 22%. Besar dan saat terjadinya peningkatan volume plasma berbeda dengan peningkatan volume sel darah merah, hal ini mengakibatkan terjadinya anemia dilusional (pencairan darah). Setelah 12-24 jam pascapersalinan terjadi peningkatan volume plasma karena proses inhibisi cairan dari ekstravaskuler ke dalam pembuluh darah yang kemudian akan diikuti oleh periode diuresis pascapersalinan yang mengakibatkan terjadinya penurunan volume plasma (adanya hemokonsentrasi).

Dua minggu pascapersalinan merupakan periode penyesuaian untuk kembali ke nilai volume plasma seperti sebelum hamil. Jantung yang normal dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut diatas, akan tetapi jantung yang sakit tidak. Karena hal-hal tersebut diatas maka dalam kehamilan frekuensi detik jantung agak meningkat dan nadi rata-rata mencapai 88 permenit dalam kehamilan 34-36 minggu. Dalam kehamilan lanjut prekordium mengalami penggeseran ke kiri dan dapat terdengar bising sistolik di daerah apeks dan katup pulmonal. Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa penyakit jantung menjadi lebih berat karena kehamilan, bahkan dapat terjadi dekompensasi kordis. Saat-saat berbahaya bagi penderita adalah:

  1. kehamilan 32-36 minggu apabila hipervolemia mencapai puncaknya
  2. partus kala II apabila wanita mengerahkan tenaga untuk meneran
  3. masa postpartum, karena dengan lahirnya plasenta anastomosis arteria-vena hilang dan darah yang seharusnya masuk ke dalam ruang intervilus sekarang masuk ke dalam sirkulasi besar.

Dalam ketiga hal tersebut diatas jantung harus bekerja lebih berat. Apabila tenaga cadangan jantung dilampaui, maka terjadilah dekompensasi kordis. Hampir semua kelainan kardiovaskular, baik yang bawaan maupun yang diperoleh, baik yang organik maupun yang fungsional, dapat dijumpai pada wanita hamil, hanya frekuensi masing-masing tidak sama. Frekuensi penyakit jantung dalam kehamilan kira-kira 1-4%, dan yang tersering adalah penyakit jantung akibat demam rheuma.

Diagnosis

Dari anamnesis sering sudah diketahui bahwa wanita itu penderita penyakit jantung, baik sejak masa sebelum ia hamil maupun dalam kehamilan-kehamilan yang terdahulu. Terutama penyakit demam rheuma mendapat perhatian khusus dalam anamnesis, walaupun bekas penderita demam rheuma tidak selalu menderita kelainan jantung. Burwell dan metcalfe mengajukan 4 kriteria, satu diantaranya sudah cukup untuk membuat diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan:

  1. Bising diastolik, presistolik, atau bising jantung terus menerus
  2. Pembesaran jantung yang jelas
  3. Bising jantung yang nyaring, terutama bila disertai thrill
  4. Aritmia yang berat

Wanita hamil yang tidak menunjukkan salah satu gejala tersebut diatas jarang menderita penyakit jantung. Bising diastolik atau presistolik yang disertai pembesaran jantung cukup khas bagi stenosis mitralis akibat demam rheuma.

Klasifikasi penyakit jantung dalam kehamilan

Klasifikasi penyakit jantung yang sifatnya fungsional dan berdasarkan keluhan-keluhan yang dahulu dan sekarang dialami oleh penderita berdasarkan New York Heart Association sebagai berikut :

  1. Kelas I : para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik, dan tanpa gejala-gejala penyakit jantung apabila mereka melakukan kegiatan biasa
  2. Kelas II : para penderita penyakit jantung dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik biasa menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung, seperti kelelahan, jantung berdebar-debar (palpitasi kordis), sesak napas atau angina pektoris
  3. Kelas III : pada penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti disebut dalam kelas II
  4. Kelas IV : pada penderita penyakit jantung yang tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat timbul gejala-gejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik walaupun yang sangat ringan

Penanganan

Penanganan wanita hamil dengan penyakit jantung, yang sebaiknya dilakukan dalam kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau kardiolog, banyak ditentukan juga oleh kemampuan fungsionil jantungnya. Kelainan penyerta sebagai faktor predisposisi yang dapat memperburuk fungsi jantung adalah : peningkatan usia penderita dengan penyakit jantung hipertensi dan superimposed preeklampsia atau eklampsia, aritmia jantung atau hipertrofi ventrikel kiri, riwayat dekompensasi kordis, anemia. Sebaliknya hipotensi juga tidak baik, terutama dengan wanita pada septum terbuka. Apabila hal-hal tersebut tidak dicegah, maka penderita masuk ke dalam kelas yang lebih tinggi. Pengobatan dan penatalaksanaan penyakit jantung dalam kehamilan tergantung pada derajat fungsionalnya :

  1. Kelas I : tidak ada pengobatan tambahan yang dibutuhkan
  2. Kelas II : umumnya penderita pada keadaan ini tidak membutuhkan pengobatan tambahan, tetapi mereka harus menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada kehamilan usia 28-32 minggu. Bila kondisi sosial tidak menguntungkan atau terdapat tanda-tanda perburukan dari jantung, maka penderita harus dirawat.
  3. Kelas III  : yang terbaik bagi penderita dalam keadaan seperti ini adalah dirawat di rumah sakit selama hamil, terutama pada usia kehamilan 28 minggu. Biasanya dibutuhkan pemberian diuretika.
  4. Kelas IV : penderita dalam keadaan ini mempunyai resiko yang besar dan harus dirawat di rumah sakit selama kehamilanya.

 

BAB III

PENUTUP

 

III.1  KESIMPULAN

Letak lintang adalah suatu keadaan di mana janin melintang di dalam uterus dengan kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong berada pada sisi yang lain. Pada umumnya bokong berada sedikit lebih tinggi daripada kepala janin, sedangkan bahu berada pada pintu atas panggul. Kelainan letak pada janin ini termasuk dalam macam-macam bentuk kelainan dalam persalinan (distosia). Distosia adalah kelambatan atau kesulitan persalinan. Dapat disebabkan kelainan tenaga (his), kelainan letak dan bentuk janin, serta kelainan jalan lahir.

Anamnesa : Pasien datang ke poli karena sejak 2 hari yang lalu pasien merasa perutnya kenceng-kenceng, meskipun masih jarang-jarang. Perkiraan kelahiran tanggal 27-2-2011, dan sampai sekarang ibu belum melahirkan. Pasien menginginkan steril. Pasien memiliki riwayat sakit jantung sejak kelas 5 SD, dan melakukan pengobatan ruti dari kecil hingga lulus STM kemudian menghentikan sendiri pengobatannya. Pemeriksaan fisik : anemis (-), ikterik (-). KU : compos mentis. TD : 90/70 mmHg, nadi : 94 x/menit (ireguler), RR : 20 x/menit, Suhu : 36,5 °C. Pemeriksaan obstetri luar : Leopold I TFU : 3 jari diatas pusat, Fundus uteri kosong, Leopold II : sebelah kiri kesan keras, bundar dan melenting, sebelah kanan kesan lunak, kurang bundar dan kurang melenting, Leopold III : teraba tahanan memanjang, Leopold IV : teraba tahanan memanjang, belum masuk PAP. Diagnosa : GIIIP2002Ab000,UK 40-41 minggu, Letak lintang dengan riwayat penyakit jantung

III.2  SARAN

  1. Dilakukan antenatal care yang teratur terutama pada ibu hamil multipara ataupun yang memiliki kelainan pada jalan lahir
  2. Diberikan pelatihan bagi tenaga medis untuk pertolongan persalinan letak lintang

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Bowes, W. 2006. Management of The Fetus in Transverse Lie. www. Uptodate.com
  2. Cunningham, FG et all. 2006. Obstetri Wiliams Edisi 21 volume 1 dan 2. penerbit buku kedokteran EGC
  3. Chan WS, Anand S, Ginsberg JS. Anticoagulant in pregnant women with mechanical heart valves. Arch. Intern Med 2000; 160: 191-96.
  4. Idmgarut. 2009. Case Report: Letak Lintang. http://idmgarut.wordpress.com. Diakses pada 12 maret 2010
  5. Anonim. 2008. Kehamilan Dengan Letak Lintang. Seputar Kedokteran Dan Linux
  6. Manuaba. 2007. Pengantar kuliah obstetric.Jakarta: EGC
  7. Prawirohardjo et all. 2007. ilmu kebidan.Jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo
  8. PrasadAK, Ventura HO. Valvular heart disease and pregnancy. A high index of susupicion is important to reduce risk. Postgraduate Medicine. 2001; 110; 69-76.
  9. ReiltorldSC, Rutherford JD. Valvular heart disease in pregnancy. N.Engl J Med 2003; 349: 52-9.
  10. Sastrawinata, Sulaiman dkk., Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi edisi 2 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Penerbit Buku Kedokteran EGC,Jakarta, 2005
  11. Siu SC, Sermer M, Colman JM, Alvarez N, and Mercier LA, et al. Prospective multicentre study of pregnancy outcomes in women with heart disease. Circulation. 2001; 104: 515-21.
  12. Wiknjosastro, H. (Ed.). (2007). Ilmu Kebidanan (kesembilan ed.).Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

BAB I

CASE

 

Laporan Kasus Pasien

1.1  Identitas Pasien :

  • Nama               : Ny. M
  • Umur               : 54 tahun
  • Alamat            : Pagelaran kepanjen
  • Kelamin          : Perempuan
  • Pekerjaan        : IRT
  • Status               : M
  • Pendidikan      : SD

 

1.1.1        ANAMNESA

1. Masuk rumah sakit tanggal             : 28 Februari 2011

2. Datang dikirim oleh                        : Poli OBG

3. Keluhan utama                                : Perut membesar

4. Keluhan penyerta                            :

Pasien datang dengan keluhan perut membesar sejak ±5 tahun yang lalu, awalnya terasa terdapat benjolan kecil dalam perut dan semakin membesar disertai nyeri perut yang hilang timbul seperti ditusuk tusuk. 5 bulan terakhir keluarnya darah menstruasi lebih banyak dan disertai rasa nyeri. Perut terasa penuh, mual (-), muntah (-), flek-flek perdarahan (+). Pasien juga mengeluh nyeri pinggang.

5. Riwayat menstruasi                         :

  • Menarche        = usia 12 tahun
  • HPHT              = 21 februari 2011

6. Riwayat perkawinan                       : Menikah 1x, usia 25 tahun, lama 34 tahun

7. Riwayat persalinan sebelumnya      : Anak 1 =perempuan, persalinan normal, di dukun

Anak 2 = perempuan, persalinan normal, di dukun

Anak 3 = laki-laki, persalinan normal, di dukun

8. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi         : pil KB, lama 3 tahun

IUD, lama 2 tahun

9. Riwayat penyakit sistemik yang pernah dialami     : solid ovarian mass 2010 MRS di RSUD

10. Riwayat penyakit keluarga           : –

11. Riwayat kebiasaan                        : –

12. Riwayat pengobatan                     : –

 

1.1.2        PEMERIKSAAN FISIK

  1. a.      Status present

Keadaan umum           : cukup

Tekanan darah             : 130/80 mmHg, nadi : 62 x/mnt, suhu : 36,5˚C

RR                               : 20 x/mnt

  1. b.      Pemeriksaan umum

Kulit                            : cianosis (-), ikterik (-), turgor menurun (-)

Kepala                         :

Mata                : anemi +/+, ikterik -/-, edema palpebra -/-

Wajah              : simetris

Mulut              : stomatitis (-), hiperemi pharing (-), pembesaran tonsil (-)

Leher                           : pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tonsil (-)

Thorax                         :

Paru                 : Inspeksi : pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan normal, retraksi costae -/-

Palpasi : teraba massa abnormal -/-, pembesaran kel. Axilla -/-

Perkusi : sonor +/+, hipersonor -/-, pekak -/-

Auskultasi : vesikuler +/+, suara nafas menurun -/-, Wh -/-, Rh -/-

Jantung            : inspeksi : iktus cordis tak teraba

Palpasi : thrill -/-

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : denyut jantung regular

Abdomen                    : inspeksi : flat -, distensi -, gambaran pembuluh darah collateral –

Palpasi pembesaran uterus +, TFU setinggi pusat, teraba massa solid keras, nyeri tekan +, mobile, ukuran besar massa seperti usia kehamilan 18-20 mgg

Perkusi : pekak pada bagian massa

Auskultasi : bising usus + normal

Ekstremitas                 : edema -/-

  1. c.       Status obstetri           

Pemeriksaan luar

TFU setinggi pusat, teraba massa solid keras, nyeri tekan +, mobile, ukuran besar massa seperti usia kehamilan 18-20 mgg

Pemeriksaan dalam

Pengeluaran pervaginam         : flek-flek perdarahan

Fluxus                                                 : –

Fluor                                        : –

Corpus uteri                            : teraba massa solid keras

OUE                                        : menutup

Adnexa parametrium              : teraba massa solid keras

Ukuran massa                          : sulit menentukan ukuran besarnya massa

Cavum douglass                      : penonjolan (-)

1.2 RINGKASAN

Anamnesa      : Pasien datang dengan keluhan perut membesar sejak ±5 tahun yang lalu, awalnya terasa terdapat benjolan kecil dalam perut dan semakin membesar disertai nyeri perut yang hilang timbul seperti ditusuk tusuk. 5 bulan terakhir keluarnya darah menstruasi lebih banyak dan disertai rasa nyeri. Perut terasa penuh, mual (-), muntah (-), perdarahan dari jalan lahir (+), Pasien juga mengeluh nyeri pinggang

Pemeriksaan fisik      : Abdomen : Palpasi pembesaran uterus +, TFU setinggi pusat, teraba massa solid keras, nyeri tekan +, mobile, ukuran besar massa seperti usia kehamilan 18-20 mgg

Perkusi : redup di abdomen kuadran bawah

Pemeriksaan obstetric luar   : TFU setinggi pusat, teraba massa solid keras, nyeri tekan +, mobile, Ukuran massa            ukuran besar massa seperti usia kehamilan 18-20 mgg

Pemeriksaan obstetric dalam : Corpus uteri dan adnexa parametrium teraba massa solid keras

Hasil USG tgl 29/11/2010

Uterus : Terdesak massa,ukuran dan bentuk dalam batas normal

Tak tampak massa/GS

Endometrium baik.

Tampak massa solid inhomogen, batas tegas ukuran > 13,2 x 11, 7 x 13 cm.

Kesimpulan     : Solid Ovarial Mass

Hasil lab. Tgl 22 februari 2011

Hb                   7,8 gr/dL

Leukosit          6500 /ul

Trombosit        200.000/ul

Masa perdarahn 2’00”

Masa pembekuan 11’00”

GD                  117 mg/dL

DIAGNOSIS

Tumor Ovarium

 

1.3 RENCANA TINDAKAN

Infuse

Transfusi PRC

Antibiotic

Operasi

Follow up tgl 28 Feb. 2011

S          = nyeri perut (+)

O         = vital sign : T = 140/80 mmHg, N = 82,  S = 36˚C

Status obstetric : palpasi = TFU setinggi pusat, VT pembukaan (-),Corpus uteri dan adnexa parametrium teraba massa solid keras, PPV (+)

Lab. Hb 7,3 gr/dL

A         = tumor ovarium

P          = R/ Infus RL fl No. II

Simm

R/ transfuse PRC

Simm

R/ inj. ceftazidim fl No. II

Simm

Follow up tgl 01 Maret 2011

S          = perut terasa nyeri

O         = vital sign : T = 140/80 mmHg, N = 88,  S = 36˚C

Status obstetric : palpasi TFU setinggi pusat, Corpus uteri dan adnexa parametrium   teraba massa solid keras, PPV (+)

Lab. Cek Hb

A         = tumor ovarium

P          = R/ transfuse PRC

Simm

R/ inj. Ceftazidim fl No. II

Simm

Follow up tgl 02 Maret 2011

S          =  perut nyeri (+)

O         = vital sign : T = 140/90 mmHg, N = 82,  S = 36˚C

Status obstetric : palpasi TFU setinggi pusat, Corpus uteri dan adnexa parametrium teraba massa solid keras,  PPV (+)

Lab. Hb 10,6 gr/dL

A         = tumor ovarium

P          = R/ infuse RL fl No. II

Simm

Follow up tgl 03 Maret 2011

S          = operasi

O         = vital sign : T = 160/80 mmHg, N = 86,  S = 36˚C

Status obstetric : palpasi TFU setinggi pusat, eksplorasi uterus uk massa 25x23x20 cm, konsistensi keras padat, mobile, adnexa parametrium massa (-).

A         = uterus myomatosus

P          = R/ infuse RL fl No. II

Simm

Follow up tgl 04 maret 2011

S          = nyeri post operasi total abdominal hysterectomy + bisalpingooforokistektomi (uterine and adnexal procedure)

O         = vital sign : T = 150/90 mmHg, N = 78,  S = 36˚C

Status obstetric : palpasi TFU (-), massa konsistensi keras padat(-), PPV (-)

Lab. Cek Hb

A         = uterus myomatosus (post TAH+BSO)

P          = R/ Inj. Ceftazidim Fl No. III

Simm

R/ Inj. Kalnex fl No. III

Simm

R/ Inj. Teranol fl No. III

Simm

R/ Transfusi WB 2 labu

Simm

Follow up tgl 05 maret 2011

S          = nyeri post operasi

O         = vital sign : T = 140/80 mmHg, N = 78,  S = 36˚C

Status obstetric : palpasi TFU (-), massa konsistensi keras padat(-), PPV (-)

Lab. Hb 11 gr/dL

A         = uterus myomatosus (post TAH+BSO)

P          = R/ Inj. Ceftazidim Fl No. III

Simm

R/ Inj. Kalnex fl No. III

Simm

R/ Inj. Teranol fl No. III

Simm

 

1.4 LAPORAN KELUAR RUMAH SAKIT

KRS tanggal                           : 07 Maret 2011

Keadaan pasien waktu pulang            : keadaan umum cukup,  T = 150/90 mmHg, N = 78,  S = 36˚C

  • Hb                               : 11 gr/dL
  • Fundus uteri                : TFU (-)
  • PPV                             : –
  • Massakonsistensi keras padat : –
  • Diagnose saat pulang  : uterus myomatosus (post TAH-BSO)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1 DEFINISI

Uterus myomatosus adalah tumor jinak otot polos uterus yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos , jaringan fibroid dan kolagen. Beberapa istilah untuk uterus myomatosus adalah  leiomioma, fibroid dan fibromioma.

 

2.2 PATOGENESIS

Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Mioma uteri banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada usia menopause, dan belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche. Diduga penyebab timbulnya mioma uteri paling banyak oleh stimulasi hormon estrogen.

Pukka menemukan bahwa reseptor estrogen pada mioma uteri lebih banyak didapatkan dibandingkan dengan miometrium normal. Meyer dan De Snoo mengemukakan patogenesis mioma uteri dengan teori cell nest dan genitoblast.

Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri, atau memakai mediator masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah ditemukan banyak sekali mediator didalam mioma uteri, seperti estrogen growth factor, insulin growth factor – 1 (IGF – 1), connexsin – 43 – Gap junction protein dan marker proliferasi.

Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakupi rentetan perubahan pada kromosom, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23-50% dari mioma uteri yang diperiksa, dan yang terbanyak (36,6%) ditemukan pada kromosom 7 (del 7) (q 21)/ q 21 q 32). Keberhasilan pengobatan medikamentosa mioma uteri sangat tergantung apakah telah terjadi perubahan pada kromosom atau tidak.

2.3 PATOLOGI ANATOMI

Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri ( 1-3% ) dan selebihnya adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain :

1. Mioma submukosa

2. Mioma intramural

3. Mioma subserosa

4. Mioma intraligamenter

Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa (48,2%), submukosa (6,1%.) dan jenis intraligamenter (4,4%).

1. Mioma submukosa

Berada dibawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini di jumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma . Jenis ini sering memberikan keluhan gangguan perdarahan.

Mioma uteri jenis lain meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan.

Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, di kenal sebagai “ Currete bump” dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina,dikenal dengan nama “mioma geburt” atau mioma yang di lahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan infark. Pada beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas.

2. Mioma intramural

Terdapat didinding uterus diantara serabut miometrium. Karena pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuklah semacam simpai yang mengelilingi tumor. Bila didalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih keatas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.

3. Mioma subserosa

Apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.

4. Mioma intraligamenter

Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga disebut “wondering / parasisic fibroid”. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam satu saluran serviks sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit.

Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan ( whorle like pattern ) dengan psoudo kapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini.

Gambar 1. Jenis-jenis mioma uteri

2.4 GAMBARAN MIKROSKOPIK

Pada pembelahan jaringan mioma tampak lebih putih dari jaringan sekitarnya. Pada pemeriksaan secara mikroskopik dijumpai se-sel otot polos panjang, yang membentuk bangunan yang khas sebagai kumparan ( whorle like pattern). Inti sel juga panjang dan bercampur dengan jaringan ikat. Pada pemotongan tranversal, sel berbentuk polihedral dengan sitoplasma yang banyak mengelilinginya. Pada pemotongan longitudinal inti sel memanjang, dan ditemukan adanya “mast cells” diantara serabut miometrium sering diinterprestasi sebagai sel tumor atau sel raksasa ( giant cells ).

2.5 PERUBAHAN SEKUNDER

a. Atrofi sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan berakhir mioma uteri menjadi kecil.

b. Degenerasi hialin, perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita usia lanjut. Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen.Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil dari padanya seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.

c. Degenerasi kistik, dapat meliputi daerah kecil maupun luas, sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi seperti agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan konsistansi yang lunak tumor ini sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan.

d. Degenerasi membatu ( calcireous degeneration ), terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto rontgen.

e. Degenerasi merah ( carneous degeneration ), perubahan ini biasanya terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis diperkirakan karena suatu nekrosis subakut akibat gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat terlihat sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan oleh pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda yang disertai emesis dan haus, sedikit demam dan kesakitan, tumor dan uterus membesar dan nyeri pada perabaan.Penampilan klinik seperti ini menyerupai tumor ovarium terpuntir atau mioma bertangkai.

f. Degenerasi lemak, keadaan ini jarang dijumpai, tetapi dapat terjadi pada degenerasi hialin yang lanjut, dikenal dengan sebutan fibrolipoma.

2.7 KOMPLIKASI

1. Degenerasi ganas

Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0.32 – 0.6 % dari seluruh mioma serta merupakan 50 – 75 % dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.

2. Torsi ( putaran tangkai )

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Keadaan ini dapat terjadi pada semua bentuk mioma tetapi yang paling sering adalah jenis mioma submukosa pendinkulata.

 

2.8 GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS

1. Gejala klinis

Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung pada lokasi, arah pertumbuhan, jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 20 – 50 % saja mioma uteri menimbulkan keluhan, sedangkan sisanya tidak mengeluh apapun.

Hipermenoroe, menometroragia adalah merupakan gejala klasik dari gejala mioma uteri.

Dari penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 pasien ditemukan 44% gejala perdarahan, yang paling sering adalah jenis mioma submukosa, sekitar 65 % wanita dengan mioma mengeluh dismeneroe, nyeri perut bagian bawah, serta nyeri pinggang. Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung kemih, ureter dan usus dapat terganggu, dimana peneliti melaporkan keluhan disuri ( 14 % ), keluhan obstipasi (13 % ). Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya dijumpai pada 2 – 10 % kasus. Infertilitas terjadi sebagai akibat obstruksi mekanis dari tuba fallopi. Abortus spontan dapat terjadi bila mioma menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus yang abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus didalam panggul.

Mekanisme perdarahan abnormal pada myoma uteri :

  1. peningkatan ukuran permukaan endometrium
  2. peningkatan vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus
  3. gangguan kontraktilitas uterus
  4. ulserasi endometrium pada myoma submukosa

5.   kompresi pada plexus venosus di dalam myometrium

2. Pemeriksaan fisik

Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus.

3. Temuan laboratorium

Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin ginjal.

4. Pemeriksaan penunjang

a. Ultrasonografi

Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus atau massa yang paling besar paling baik diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi ditandai oleh fokus-fokus hiperekoik dengan bayangan akustik. Degenerasi kistik ditandai adanya daerah yang hipoekoik

4. Histeroskopi

Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa, jika tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat diangkat.

5. MRI ( Magnetic Resonance Imaging )

MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah,ukuran dan lokasi mioma, tetapi jarang diperlukan.

Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium yang normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma submukosa. MRI dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus -kasus yang tidak dapat disimpulkan.

2.9 PENATALAKSANAAN

Secara umum penatalaksaaan myoma uteri dibagi atas  2 metode :

  1. Terapi medisinal (hormonal)

saat ini pemakaian Gonadotropin releasing hormone (GnRH) agonis memberikan hasil untuk memperbaiki gejala-gejala klinis yang ditimbulkan oleh myoma uteri. Pemberian GnRH agonis bertujuan untuk mengurangi ukuran myoma dengan jalan mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Dari suatu penelitian didapati data pada pemberian GnRH agonis selama 6 bulan pada pasien dengan myoma uteri didapati adanya pengurangan volume myoma sebesar 44%. Efek maksimal pemberian GnRH agonis baru terlihat setelah 3 bulan.

Pemberian GnRH agonis sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi hormona lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesterone akan mengurangi gejala perdarahan uterus yang abnormal namun tidak dapat mengurangi ukuran dari myoma.

  1. Terapi pembedahan

Terapi pembedahan pada myoma uteri dilakukan terhadap myoma yang menimbulkan gejala.MenurutAmericanCollegeof Obstetricians and gynecologist (ACOG) dan American society for Reproductive Medicine (ASMR) indikasi pembedahan pada pasien dengan myoma uteri adalah :

  1. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif
  2. Sangkaan adanya keganasan
  3. Pertumbuhan myoma pada masa menopause
  4. Infertilitas karena gangguan pada cavum uteri maupun karena oklusi tuba
  5. Nyeri dan nyeri tekan yang sangat mengganggu
  6. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius
  7. Anemia akibat perdarahan

Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi maupun histerektomi

  1. Miomektomi

Miomektomi sering dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi. Dewasa ini ada beberapa pilihan tindakan untuk melakukan miomektomi, berdasarkan ukuran dan lokasi dari myoma. Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi histeroskopi maupun dengan laparoskopi.

Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk mengangkat myoma dari uterus.

Keunggulan melakukan miomektomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi secara laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi factor fertilitas pada pasien. Disamping itu masa penyembuhan paska operasi juga lebih lama, sekitar 4-6 minggu.

Pada miomektomi secara histeroskopi, dilakukan terhadap myoma submukosa yang terletak pada cavum uteri. Pada prosedur pembedahan ini ahli bedah memasukkan alat histeroskop melalui serviks dan mengisi cavum uteri dengan cairan untuk memperluas dinding uterus.

Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi. Mioma yang bertangkai diluar cavum uteri dapat diangkat dengan mudah secara laparoskopi. Myoma subserosum yang terletak didaerah permukaan uterus juga dapat diangkat secara laparoskopi. Resiko yang terjadi pada pembedahan laparoskopi termasuk perlengketan, trauma terhadaporgan sekitar seperti usus, ovarium, rectum serta perdarahan. Sampai saat ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan standart bagi wanita dengan myoma uteri yang masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya.

  1. Histerektomi

Tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus dapat dilakukan dnegan 3 cara yaitu : dengan pendekatan abdominal (laparotomi), vaginal dan beberapa kasus dengan laparoskopi. Tindakan histerektomi pada pasien dengan myoma uteri merupakan indikasi bila didapati keluhan menorrhagia, metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12-14 minggu.

Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal histerektomi (TAH) dan subtotal abdominal histerektomi (STAH). Subtotal abdominal histerektomi (STAH) dilakukan untuk mneghindari resiko operasi yang lebih besar seperti perdarahan yang lebih banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih dan rectum. Namun dengan melakukan STAH, kita meninggalkan serviks, dimana kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat trejadi.

Pada TAH, jaringan granulasi yang timbul pada tungkul vagina dapat menjadi sumber timbulnya secret vagina dan perdarahan paska operasi dimana keadaan ini tidak terjadi pada pasien yang menjalani STAH.

BAB III

PENUTUP

 

3.1 Kesimpulan

Pasien Ny. M, usia 54 th, datang dengan keluhan perut membesar sejak ±5 tahun yang lalu, awalnya terasa terdapat benjolan kecil dalam perut dan semakin membesar disertai nyeri perut yang hilang timbul seperti ditusuk tusuk. 5 bulan terakhir keluarnya darah menstruasi lebih banyak dan disertai rasa nyeri. Perut terasa penuh, mual (+), muntah (-). Pasien juga mengeluh nyeri pinggang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Palpasi pembesaran organ (+), nyeri tekan (+), teraba massa abnormal (+), Perkusi : pekak didaerah yang terdapat massa. Pemeriksaan obstetric luar : TFU setinggi pusat, teraba keras, mobile, besar massa nampak seperti usia kehamilan 18-20 mgg Pemeriksaan obstetric dalam : Corpus uteri dan Adnexa parametrium : teraba massa solid keras. Dengan diagnose sementara tumor ovarium.

Post pembedahan TAH-BSO ditemukan massa setinggi pusat, uk 25x23x20 cm, konsistensi keras padat, mobile. Diagnose post pembedahan Uterus Myomatosus.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Agdi M., and Tulandi T.” Endoscopic management of  uterine fibroids”. Best Practice & Research Clinical Obstetrics & Gynaecology, 2008
  2. Baziad A. Pengobatan medikamentosa mioma uteri dengan analog GnRH. Dalam : Endokrinologi ginekologi edisi kedua.Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2006:; 151 – 156
  3. Benda JA. Pathology of Smooth Muscle tumors of the uterine corpus. Clin Obstet & Gynecol 2008;44:350-63
  4. HurstBS, Matthews ML, Marshburn PB. Laparoscopic myomectomy for symptomatic uterine myomas. Fertile sterile 2005: (83)1: 1-22
  5. Memarzadeh S, Broder MS,WexlerAS, Pernol ML. Leimyoma of the uterus. In : Current Obstetric & Gynecologic diagnostic & treatmen, Decherney AH, Nathan L, editors Ninth edition. Lange Medical Book,New York, 2007, p: 693-701
  6. Nierth-Simpson, E.; Martin, M.; Chiang, T.; Melnik, L.; Rhodes, L.; Muir, S.; Burow, M.; McLachlan, J. “Human uterine smooth muscle and leiomyoma cells differ in their rapid 17beta-estradiol signaling: implications for proliferation”. Endocrinology, 2009. 150 (5): 2436–2445.
  7. Okolo, S. “Incidence, aetiology and epidemiology of uterine fibroids”. Best practice & research. Clinical obstetrics & gynaecology, 2008. 22 (4): 571–588
  8. Polena, V., et al. “Long-term results of hysteroscopic myomectomy in 235 patients.” European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 130 (2007): 232–237.
  9. Sankaran, S.; Manyonda, I.”Medical management of fibroids”. Best Practice & Research Clinical Obstetrics & Gynaecology, 2008. 22 (4): 655.
  10. Stewart, E.A., et al., Clinical outcomes of focused ultrasound surgery for the treatment of uterine fibroids. Fertil Steril, 2006. 85(1): p. 22-9.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG

Kelopak mata adalah bagian mata yang sangat penting. Kelopak mata melindungi kornea dan berfungsi dalam pendisribusian dan eliminasi air mata. Penutupan kelopak mata berguna untuk menyalurkan air mata ke seluruh permukaan mata dan memompa air mata melalui punctum lakrimalis.

Kelainan yang didapat pada kelopak mata bermacam-macam, mulai dari yang jinak sampai keganasan, proses inflamasi, infeksi mau pun masalah struktur seperti ektropion, entropion dan blepharoptosis. Untungnya, kebanyakan dari kelainan kelopak mata tidak mengancam jiwa atau pun mengancam penglihatan.

Kalazion merupakan peradangan granulomatosa kelenjar Meibom yang tersumbat. Pada kalazion terjadi penyumbatan kelenjar Meibom dengan infeksi ringan yang mengakibatkan peradangan kronis tersebut. Biasanya kelainan ini dimulai penyumbatan kelenjar oleh infeksi dan jaringan parut lainnya.

1.2              BATASAN MASALAH

Laporan Kasus ini berisi tentang Anamnesa, pemeriksaan fisik, gejala pasien, serta penatalaksanaan kalazion. Laporan ini juga membahas sedikit mengenai kalazion secara umum.

1.3              TUJUAN PENULISAN

Penulisan Laporan Kasus ini bertujuan untuk:

–          Melaporkan pasien dengan diagnosa kalaziom.

–          Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

–          Memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang.

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1       IDENTITAS

Nama               : Nn Masudah

Umur               : 17 tahun

Jenis kelamin   : Perempuan

Alamat            : Ganjaran, Kab. Malang

Pekerjaan         : Pelajar

Pendidikan      : SMA

Agama             : Islam

St.Perkawinan : Belum menikah

Suku                : Jawa

Tgl. Berobat    : 14 Juni 2011

No. Register    : 256842

2.2              ANAMNESA

Keluhan Utama:

Benjolan kecil di kelopak mata kanan dan kiri sejak 2 bulan lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke poli mata  RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan keluhan benjolan di kelopak mata kanan dan kirinya sejak ± 2 bulan lalu, benjolan awalnya muncul pada kelopak mata kanan dengan jumlah satu namun selanjutnya bertambah lg menjadi dua pada kelopak mata kanan yang diikuti munculnya pada kelopak mata bagian kiri, pasien mengatakan setelh ada benjolan ini sering nerocos (keluar air mata) namun tidak ada kotorannya, pasien mengatakan benjolan ini terasa nyeri namun ringan, pasien juga mengelak saat ditanyakan pernah menderita mata merah akhir-akhir ini, pasien juga mengelak saat ditanyakan adakah penglihatan kabur dan penurunan daya penglihatan.

Riwayat penyakit dahulu

–          Sakit serupa           : (+), 1 th lalu pasien pernah mengalami sakit serupa namun hilang dengan sendirinya.

–          Alergi                    : Pasien mengatakan gatal-gatal saat makan mie dan telor.

Riwayat penyakit keluarga

–          Riwayat sakit dengan gejala serupa          : (-)

–          Alergi                                                        : Tidak diketahui

Riwayat kebiasaan

–          Rokok                               : (-)

–          Alkohol                             : (-)

–          Mengucek-ngucek mata    : (-)

2.3              PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Cukup, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6), status gizi kesan cukup.

Tanda Vital

Tensi                : 120/90 mmHg

Nadi                : 80 x/menit, isi cukup

Pernafasan       : 22x/menit, regular, Kusmaull (-), Cheyne-Stokes (-)

Suhu                : 36,7o C

Status Ophtalmologis

OD

OS

55

Tanpa koreksi

5/5

N/palpasi

TIO

N/palpasi

Orthophoria

Kedudukan

Orthophoria

Pergerakan

Edema (-), hiperemi (+), benjolan (+), ptosis (+/ pseudo), entropion (-),   ekstropion (-), sikatrik (-), spasme (-), lagoftalmus (-), pseudopyosis (-), trikiasis  (-), xantelasma(-)

Palpebra

Edema (-), hiperemi (+), benjolan (+), ptosis (+/ pseudo), entropion (-), ekstropion (-), sikatrik (-), spasme (-), lagoftalmus (-), pseudopyosis (-), trikiasis (-), xantelasma (-)

Bleeding (-), injeksi (-), secret (-), pteregium (-), simblefaron (-)

Konjunctiva

Bleeding (-), injeksi (-), secret (-), pteregium (-), simblefaron (-)

Jernih (+), abrasi (-), sikatrik (-), keratik presipitat (-), infiltrate (+), ulkus (-), arkus senilis (-)

Kornea

Jernih (+), abrasi (-), sikatrik (-), keratik presipitat (-), infiltrate (-), ulkus (-), arkus senilis (-)

Kesan normal, hifema, hipopion, kedangkalan (N)

Bilik Mata depan

Kesan normal, hifema, hipopion, kedangkalan (N)
Nodul iris, pigmen iris coklat kehitaman, sinekia (-), atropi (-)

Iris

Nodul iris, pigmen iris coklat kehitaman, sinekia (-), atropi (-)
Isokor, reflex pupil (+)

Pupil

Isokor, reflex pupil (+)
Jernih (+), dislokasi (-),

Lensa

Jernih (+), dislokasi (-),

2.4              DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja

Kalazion

Diagnosis Banding

–          Hordeolum

2.5              Rencana

2.5.1        Rencana diagnosis     : (-)

2.5.2        Rencana penatalaksanaan

Bedah                         : Pro ekskokleasi dan kuretase

Medikamentosa         :

–          Kausatif                : – antibiotik salep

– antiinflamasi oral

–          Bebat mata

 

BAB III

TELAAH KASUS

3.1              ANATOMI

Kelopak mata atau palpebra di bagian depan memiliki lapisan kulit yang tipis, sedang di bagian belakang terdapat selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal. Pada kelopak terdapat bagian-bagian berupa kelenjar-kelenjar dan otot. Kelenjar yang terdapat pada kelopak mata di antaranya adalah kelenjar Moll atau kelenjar keringat, kelenjar Zeiss pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus yang bermuara pada margo palpebra.

Sedangkan otot yang terdapat pada kelopak adalah M. Orbikularis Okuli dan M. Levator Palpebra. Palpebra diperdarahi oleh Arteri Palpebra. Persarafan sensorik kelopak mata atas berasal dari ramus frontal n. V, sedangkan kelopak mata bawah dipersarafi oleh cabang ke II n. V.

Pada kelopak terdapat bagian-bagian:

 

  1. 1.      Kelenjar :
    1. Kelenjar Sebasea
    2. Kelenjar Moll atau Kelenjar Keringat
    3. Kelenjar Zeis pada pangkal rambut, berhubungan dengan folikel rambut dan juga menghasilkan sebum
    4. Kelenjar Meibom (Kelenjar Tarsalis) terdapat di dalam tarsus. Kelenjar ini menghasilkan sebum (minyak).

  1. 2.      Otot-otot Palpebra:
    1. M. Orbikularis Okuli

Berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebra terdapat otot orbikularis okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M. Orbikularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi N. Fasialis.

  1. M. Levator Palpebra

Bererigo pada Anulus Foramen Orbita dan berinsersi pada Tarsus Atas dengan sebagian menembus M. Orbikularis Okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Otot ini dipersarafi oleh N. III yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata.

 

  1. 3.      Di dalam kelopak mata terdapat :
  2. Tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar di dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo palpebra
  3. Septum Orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita merupakan pembatas isi orbita dengan kelopak depan
  4. Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada seluruh lingkaran pembukaan rongga orbita. Tarsus (tediri atas jaringan ikat yang merupakan jaringan penyokong kelopak dengan kelenjar Meibom (40 buah di kelopak mata atas dan 20 buah di kelopak bawah)
  5. Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah A. Palpebrae
  6. Persarafan sensorik kelopak mata atas dapat dibedakan dari remus frontal N. V, sedang kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V (N. V2).

Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat dengan melakukan eversi kelopak.Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus okuli. Konjungtiva merupakan membrane mukosa yang mempunyai sel goblet yang menghasilkan musin.

Gerakan palpebra :

  1. Menutup à Kontraksi M. Orbikularis Okuli (N.VII) dan relaksasi M. Levator Palpebra superior. M. Riolani menahan bgn belakang palpebra terhadap dorongan bola mata.
  2. Membuka à Kontraksi M. Levator Palpebra Superior (N.III). M. Muller mempertahankan mata agar tetap terbuka.
  3. Proses Berkedip (Blink): Refleks (didahului oleh stimuli) dan Spontan (tidak didahului oleh stimuli) à Kontraksi M. Orbikularis Okuli Pars Palpebra.

3.2            DEFINISI

Kalazion merupakan peradangan granulomatosa kelenjar Meibom yang tersumbat. Pada kalazion terjadi penyumbatan kelenjar Meibom dengan infeksi ringan yang mengakibatkan peradangan kronis tersebut. Biasanya kelainan ini dimulai penyumbatan kelenjar oleh infeksi dan jaringan parut lainnya.

 

3.3            ETIOLOGI

Kalazion juga disebabkan sebagai lipogranulomatosa kelenjar Meibom.Kalazionmungkin timbul spontan disebabkan oleh sumbatan pada saluran kelenjar atau sekunder dari hordeolum internum. Kalazion dihubungkan dengan seborrhea, chronic blepharitis, dan acne rosacea.

 

3.4            EPIDEMIOLOGI

Kalazion terjadi pada semua umur; sementara pada umur yang ekstrim sangat jarang, kasus pediatrik mungkin dapat dijumpai. Pengaruh hormonal terhadap sekresi sabaseous dan viskositas mungkin menjelaskan terjadinya penumpukan pada masa pubertas dan selama kehamilan.

 

3.5            PATOFISIOLOGI

Kalazion merupakan radang granulomatosa kelenjar Meibom. Nodul terlihat atas sel imun yang responsif terhadap steroid termasuk jaringan ikat makrofag seperti histiosit, sel raksasa multinucleate plasma, sepolimorfonuklear leukosit dan eosinofil.

Kalazion akan memberi gejala adanya benjolan pada kelopak, tidak hiperemik, tidak ada nyeri tekan, dan adanya pseudoptosis. Kelenjar preaurikuler tidak membesar. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata tersebut.

Kerusakan lipid yang mengakibatkan tertahannya sekresi kelenjar, kemungkinan karena enzim dari bakteri, membentuk jaringan granulasi dan mengakibatkan inflamasi. Proses granulomatous ini yang membedakan antara kalazion dengan hordeolum internal atau eksternal (terutama proses piogenik yang menimbulkan pustul), walaupun kalazion dapat menyebabkan hordeolum, begitupun sebaliknya. Secara klinik, nodul tunggal (jarang multipel) yang agak keras berlokasi jauh di dalam palpebra atau pada tarsal. Eversi palpebra mungkin menampakkan kelenjar meibom yang berdilatasi.

3.6             MANIFESTASI KLINIS

  1. Benjolan pada kelopaka mata, tidak hiperemis dan tidak ada nyeri tekan.
  2. Pseudoptosis
  3. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata tersebut.
  4. Pada anak muda dapat diabsobsi spontan.

3.7            DIAGNOSIS BANDING

  1. Hordeoulum.

  1. Dermoid Cyst.

  1. Tear Gland Adenoma.

3.8            DIAGNOSA

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan kelopak mata. Kadang saluran kelenjar Meibom bisa tersumbat oleh suatu kanker kulit, untuk memastikan hal ini maka perlu dilakukan pemeriksaan biopsi.

 

3.9            PENATALAKSANAAN

Kadang-kadang kalazion sembuh atau hilang dengan sendirinya akibat diabsorbsi (diserap) setelah beberapa bulan atau beberapa tahun.

  1. Kompres hangat 10-20 menit 4kali sehari.
  2. Antibiotika topikal dan steroid disertai kompres panas dan bila tidak berhasil dalam waktu 2 minggu maka dilakukan pembedahan.
  3. Bila kecil dapat disuntik steroid dan yang besar dapat dilakukan pengeluaran isinya.
  4. Bila terdapat sisa bisa dilakukan kompres panas.

            Untuk mengurangi gejala :

  1. Dilakukan ekskokleasi isi abses dari dalamnya atau dilakukan ekstirpasi kalazion tersebut. Insisi dilakukan seperti insisi pada hordeolum internum.
  2. Bila terjadi kalazion yang berulang beberapa kali sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologik untuk menghindarkan kesalahan diagnosis dengan kemungkinan adanya suatu keganasan.

 

 

Ekskokleasi Kalazion

Terlebih dahulu mata ditetesi dengan anastesi topikal pentokain.Obat anestesia infiltratif disuntikan dibawah kulit didepan kalazion. Kalazion dijepit dengan klem kalazion kemudian klem dibalik sehingga konjungtiva tarsal dan kalazion terlihat. Dilakukan insisi tegak lurus margo palpebra dan kemudian isi kalazion dikuret sampai bersih. Klem kalazion dilepas dan diberi salem mata.

Pada abses palpebra pengobatan dilakukan dengan insisi dan pemasangan drain kalau perlu diberi antibiotik, lokal dan sistemik. Analgetika dan sedatif diberikan bila sangant diperlukan untuk rasa sakit.

Catatan :

–          Dalam menangani hordeolum dan kalazion, kemudian keganasan jangan dilupakan.

–          Apabila peradangan tidak mereda perlu dilakukan pemeriksaan uji resistensi dan dicari underlying cause.

 Penyulit :

Kalazion besar dapat mengakibatkan astigmat

Hati-hati kemungkinan karsinoma sel sebasea.

3.10        PROGNOSIS

Pasien yang memperoleh perawatan biasanya memperoleh hasil yang baik. Seringkali timbul lesi baru, dan rekuren dapat terjadi pada lokasi yang sama akibat drainase yang kurang baik. Kalazion yang tidak memperoleh perawatan dapat mengering dengan sendirinya, namun sering terjadi peradangan akut intermiten.

 

3.11       KOMPLIKASI

Rusaknya sistem drainase pada kalazion dapat menyebabkan trichiasis, dan kehilangan bulu mata. Kalazion yang rekuren atau tampat atipik perlu dibiopsi untuk menyingkirkan adanya keganasan. Astigmatisma dapat terjadi jika massa pada palpebra sudah mengubah kontur kornea. Kalazion yang drainasenya hanya sebagian dapat menyebabkan massa jaringan granulasi prolapsus diatas konjungtiva atau kulit.

BAB IV

PENUTUP

 

4.1       KESIMPULAN

Nn.Masuda perempuan 17 tahun datang ke poli mata dengan keluhan ada benjolan pada kelopak mata kanan dan kiri sejak ± 2 bulan dengan, nyeri tekan (-), fotofobia (-), epifora (+), sekret (-), gatal (-), lengket (-).

Status ophtalmologis didapatkan ODS: visus: 5/5,  TIO: N/palpasi; kedudukan: orthopgoria; pergerakan: dalam batas normal/tidak ada hambatan; palpebra: ada benjolan hiperemi tanpa nyeri tekan; konjunctiva: injeksi (-); kornea: jernih (+), infiltrate (-); bilik mata depan: kesan dalam batas normal; iris: coklat kehitaman, dalam batas normal; pupil: isokor, reflek (+). Berdasarkan anamnesa dan temuan klinis diatas maka pasien didiganosa konjungtivitis.

 4.2      SARAN

Berdasarkan kasus tersebut penulis menyarankan pasien tersebut:

  1. Mengoleskan salep sesuai anjuran dokter
  2. Mengompres air hangat pada kelopak mata kanan dan kirinya


DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Ilyas, S. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FK UI, Jakarta;2005.
  2. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika, 2000.
  3. Mansjoer, Arif. Dkk., 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Media Aesculapius, Jakarta


BAB I

PENDAHULUAN

I.1     LATAR BELAKANG

Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar. Jaringan ini padat dan berwarna putih serta bersambungan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus optikus di belakang. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis dari jaringan elastik halus, episklera yang mengandung banyak pembuluh darah yang memasuk sklera .

Episkleritis adalah suatu peradangan pada episklera. Sklera terdiri dari serat-serat jaringan ikat yang membentuk dinding putih mata yang kuat. Sklera dibungkus oleh episklera yang merupakan jaringan tipis yang banyak mengandung pembuluh darah untuk memberi makan sklera. Di bagian depan mata, episklera terbungkus oleh konjungtiva.

I.2        RUMUSAN MASALAH

I.2.1     Bagaimana etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Episkleritis noduler?

I.3        TUJUAN

I.3.1     Mengetahui secara umum mengenai anatomi episklera.

I.3.2     Mengetahui defenisi dan klasifikasi Episkleritis noduler.

I.3.3     Mengetahui definisi, gambaran klinis, diagnosis dan pengobatan Episkleritis.

I.3.4     Memenuhi tugas Laporan kasus pendek Kepaniteraan Klinik Ilmu penyakit Mata di RSUD Kanjuruhan – Kepanjen.

I.4        MANFAAT

I.4.1     Menambah wawasan mengenai penyakit mata khususnya Episkleritis noduler.

I.4.2     Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit mata

 

BAB II

STATUS PASIEN

 

II.1      IDENTITAS PASIEN

Nama                           : Ny. S

Jenis Kelamin              : Perempuan

Umur                           : 39 tahun

Alamat                        : Panggung- Kepanjen

Pendidikan                  : SD – Tamat

Pekerjaan                     : Penjual jajan (Penjual gorengan)

Status                          : Nikah

Suku Bangsa               : Jawa

Tanggal Periksa           : 22 Juni 2011

No. RM                       : –

II.2      ANAMNESIS

  1. Keluhan Utama :

Mata merah dan mengganjal pada mata sebelah kiri.

  1. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan mata merah dan mengganjal pada mata sebelah kiri. Dirasakan sejak ± 4 hari yang lalu, agak cekot- cekot (+), kering (+), agak sedikit silau jika terkena cahaya langsung (+), gatal (-), perih (-), ngerocoh (-), kotoran/ belekan (-). Pasin menyangkal adanya penurunan/ gangguan kemampuan melihat jauh dan dekat. Pasien lalu membeli obat tetes mata di apotek, dan disarankan memakai “Tobroson” oleh petugas apotek, tapi hingga 4 hari ini belum ada perbaikan, sehingga pasien memeriksakan matanya ke poli mata.

  1. Riwayat Penyakit Dahulu            :

Reumatoid artritis (disangkal), Lupus (disangkal), (disangkal), colitis (disangkal).

  1. Riwayat Penyakit Keluarga         :

Penyakit serupa (-), DM (-), HT (-).

  1. Riwayat Pengobatan                    :

Sudah pakai obat tetes mata “Tobroson” beli di Apotek, tapi masih belum ada perbaikan.

  1. Riwayat Kebiasaan                      :

Sering kucek- kucek mata (+).

II.3      STATUS GENERALIS

            Kesadaran : compos mentis (GCS 456)

Vital sign :

Tensi              : 120/80 mmHg                   Nadi    : 80 x/ menit

Pernafasan     : 18 x/ menit                        Suhu    : 36,4 0C

II.4      STATUS OFTALMOLOGIS

Pemeriksaan

OD

OS

AV

6/6

6/7,5

TIO

N/ Palpasi

N/ Palpasi

Kedudukan

Ortophoria

Ortophoria

Pergerakan 

 

 

 

Normal

Normal

Palpebra-         edema

–         hiperemi

–         trikiasis

Konjungtiva-         injeksi konjungtiva

–         injeksi silier

–         Injeksi episklera

+

Nodul (+), batas tegas, Diameter ± 1,5 mm, warna merah keunguan

Kornea-         warna

–         permukaan

–         infiltrate

Jernih

Cembung

Jernih

Cembung

Bilik mata depan-         kedalaman

–         hifema

–         hipopion

Cukup

Cukup

Iris / pupil-         Warna iris

–         Bentuk pupil

–         Reflek cahaya langsung

–         Reflek cahaya tidak langsung

Coklat

Regular

+

+

Coklat

Regular

+

+

Lensa-         warna

–         Iris shadow

Jernih

Jernih

Vitreus

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Retina

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

 

II.5      DIAGNOSIS

Working diagnosis                  :  OS Episkleritis noduler

Differential Diagnosis             :  –

II.6      PENATALAKSANAAN

Planning Diagnosis                 :

Planning Therapy                    :

  • OS tetes mata kortikosteroid.
  •  A non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID), seperti flurbiprofen.
  • Steroid eye drops, seperti dexamethasone.
  • Bila curiga adanya penyakit yang mendasari episkleritis maka sebaiknya di konsultasikan ke bagian masing- masing.

II.7      PROGNOSIS

Ad vitam                                 : dubia ad bonam

Ad Functionam                       : dubia ad bonam

Ad Sanationam                       : dubia ad bonam

  

BAB III

TELAAH KASUS

III.1     GAMBARAN KLINIS

Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar. Jaringan ini padat dan berwarna putih serta bersambungan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus optikus di belakang. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis dari jaringan elastik halus, episklera yang mengandung banyak pembuluh darah yang memasuk sklera .

Episkleritis adalah suatu peradangan pada episklera. Sklera terdiri dari serat-serat jaringan ikat yang membentuk dinding putih mata yang kuat. Sklera dibungkus oleh episklera yang merupakan jaringan tipis yang banyak mengandung pembuluh darah untuk memberi makan sklera. Di bagian depan mata, episklera terbungkus oleh konjungtiva.

 

III.2     DEFINISI DAN KLASIFIKASI EPISKLERITIS

Episkleritis adalah suatu kondisi yang relatif umum yang dapat mempengaruhi pada satu atau kedua mata. Episcleritis terjadi pada perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan paling sering terjadi antara usia 40 dan 50 tahun.

Ada dua jenis episkleritis.

  • Episcleritis simple. Ini adalah jenis yang paling umum dari episkleritis. Peradangan biasanya ringan dan terjadi dengan cepat. Hanya berlangsung selama sekitar tujuh sampai 10 hari dan akan hilang sepenuhnya setelah dua sampai tiga minggu. Pasien dapat mengalami serangan dari kondisi tersebut, biasanya setiap satu sampai tiga bulan. Penyebabnya seringkali tidak diketahui.
  • Episkleritis nodular. Hal ini sering lebih menyakitkan daripada episkleritis simple dan berlangsung lebih lama. Peradangan biasanya terbatas pada satu bagian mata saja dan mungkin terdapat suatu daerah penonjolan atau benjolan pada permukaan mata. Ini sering berkaitan dengan kondisi kesehatan, seperti rheumatoid arthritis, colitis dan lupus.

 

III.3     GEJALA

Gejala episkleritis meliputi:

  • sakit mata (s) dengan rasa nyeri atau sensasi terbakar
  • Mata merah pada bagian putih mata
  • Kepekaan terhadap cahaya
  • Tidak mempengaruhi visus

Jika pasien mengalami episkleritis nodular, pasien mungkin memiliki satu atau lebih benjolan kecil atau benjolan pada daerah putih mata. Pasien mungkin merasakan bahwa benjolan tersebut dapat bergerak di permukaan bola mata.

 

III.4     PENYEBAB

Hingga sekarang para dokter masih belum dapat mengetahui penyebab pasti dari episkleritis. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang selalu berhubungan dengan terjadinya episkleritis. Kondisi- kondisi tersebut adalah penyakit yang mempengaruhi tulang, tulang rawan, tendon atau jaringan ikat lain dari tubuh, seperti:

  • rheumatoid arthritis
  • ankylosing spondylitis
  • lupus (systemic lupus erythematosus)
  • inflammatory bowel diseases seperti Crohn’s disease and ulcerative colitis
  • gout
  • bacterial atau viral infection seperti Lyme disease, syphilis atau herpes zoster
  • beberapa penyakit lain yang kurang umum, penyebab episkleritis termasuk jenis kanker tertentu, penyakit kulit, gangguan defisiensi imun dan, yang pasling jarang berhubungan adalah gigitan serangga.

 

III.5     PATOFISIOLOGI

Sebuah kondisi peradangan jinak mata eksternal, episkleritis paling sering terjadi pada orang dewasa muda. Perempuan tampaknya akan terpengaruh sedikit lebih sering dibandingkan pria. Kelainan ini idiopatik pada sebagian besar kasus, namun dalam kasus tertentu mungkin ada hubungan dengan beberapa penyakit sistemik yang mendasari seperti rheumatoid arthritis, poliarteritis nodosa, lupus eritematosus sistemik, penyakit radang usus, sarkoidosis, granulomatosis Wegener, asam urat, herpes zoster atau sifilis.

 

III.6     DIAGNOSIS

Dokter umum atau dokter spesialis mata akan menanyakan beberapa gejala-gejala  yang dialami pasien dan akan melakukan pemeriksaan pada mata pasien. Dokter juga mungkin akan mempertanyakan mengenai riwayat kesehatan pasien.

Para dokter juga dapat melakukan beberapa tes lebih lanjut, seperti tes darah, untuk mengetahui apakah episkleritis terkait dengan kondisi kesehatan yang mendasarinya.

Jika kondisi pasien sangat parah atau tidak berespon dengan pengobatan, seorang dokter umum mungkin akan merujuk pasien ke dokter spesialis mata.

 

III.7     PROGNOSIS

Prognosis akhirnya baik karena biasanya akan sembuh dengan sendirinya dalam 1-2 minggu, dan tidak akan mempengaruhi visus.

III.8     TERAPI

Episkleritis biasanya akan hilang sendiri dalam waktu sekitar 10 hari dan biasanya tidak memerlukan pengobatan apapun.

Air mata buatan (misalnya hypromellose) dapat berguna dalam menghilangkan gejala mata kering.

Obat-obat

Jika gejala semakin parah atau bertahan lama, dokter mungkin akan meresepkan beberapa obat berikut:

  • A non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID), seperti flurbiprofen. Obat ini akan membantu meredakan nyeri dan bengkak dan mengurangi peradangan.
  • Steroid eye drops, seperti dexamethasone. Obat ini akan membantu untuk mengurangi peradangan dan mempercepat pemulihan pasien. Namun, ada beberapa risiko terkait dengan penggunaan tetes mata steroid, sehingga pasien perlu dipantau ketat oleh dokter.

Setiap penemuan kondisi kesehatan yang mendasari terjadinya episkleritis juga memerlukan pengobatan. Pasien mungkin akan dirujuk ke spesialis lain seperti rheumatologist (seorang dokter yang mengkhususkan diri dalam mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mempengaruhi sistem muskuloskeletal, terutama sendi dan jaringan sekitarnya) untuk pengobatan.

 

III.8     KOMPLIKASI

Sebuah komplikasi episkleritis yang mungkin terjadi adalah iritis. Sekitar satu dari 10 orang dengan episkleritis akan berkembang ke arah iritis ringan.

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

IV.1 KESIMPULAN          

Episkleritis adalah suatu peradangan pada episklera. Sklera terdiri dari serat-serat jaringan ikat yang membentuk dinding putih mata yang kuat. Sklera dibungkus oleh episklera yang merupakan jaringan tipis yang banyak mengandung pembuluh darah untuk memberi makan sklera. Di bagian depan mata, episklera terbungkus oleh konjungtiva.

Kelainan ini idiopatik pada sebagian besar kasus, namun dalam kasus tertentu mungkin ada hubungan dengan beberapa penyakit sistemik yang mendasari seperti rheumatoid arthritis, poliarteritis nodosa, lupus eritematosus sistemik, penyakit radang usus, sarkoidosis, granulomatosis Wegener, asam urat, herpes zoster atau sifilis.

Prognosis akhirnya baik karena biasanya akan sembuh dengan sendirinya dalam 1-2 minggu, dan tidak akan mempengaruhi visus.

IV.2 SARAN

Pemberian KIE kepada masyarakat awam mengenai episkleritis dan  penanganannya perlu dilakukan untuk menghindarkan terjadinya komplikasi yang tidak dininginkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Ilyas S., 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
  2. Ilyas S., 2008. Ilmu Penyakit Mata. 3rd edisi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
  3. PERDAMI. 2006. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum & Mahasiswa Kedokteran, PERDAMI.
  4. Doctorologi.net (http://doctorology.net/?p=340)
  5. Abu Abdillah Hasyim bin Akbar, STRUKTUR BOLA MATA – EPISKLERA.

(http://duniamata.blogspot.com/2010/05/struktur-bola-mata-episklera.html)

  1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and episklera, San Fransisco 2006-2007 : 8-12, 157-60.
  2. Vaugan Daniel G, Asbury Taylor, Riordan Paul-Eva. Oftalmologi umum edisi 14 : Kornea. Widya Medika Jakarta 1995 : 136-38
  3. Ilyas, Sidarta. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2000 :52.
  4. Ilyas, Sidarta . Ilmu penyakit mata PERDAMI. Edisi kedua. CV sagung seto jakarta, 2002 114 -5,120 -31

10. Ilyas, Sidarta Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI Jakarta, 2005 : 147-58. http://en.wikipedia.org/wiki/Cornea#Structure

11. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal: 56

12. Ilyas, Sidarta. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2003.

13. http://www.medscape.com/ Episkleritis article

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1   LATAR BELAKANG

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan transparan. Tebal sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Dibelakang iris lensa digantung oleh zonula ( zonula Zinnii) yang menghubungkannya dengan korpus siliare. Di sebelah anterior lensa terdapat humor aquaeus dan disebelah posterior terdapat viterus. Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang dapat dilewati air dan elektrolit. Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi kurang elastik.

Lensa terdiri dari enam puluh lima persen air, 35% protein, dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau pun saraf di lensa.

Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina. Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina. Untuk melihat objek yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata akan menipis. Sedangkan untuk melihat objek yang dekat (cahaya datang dari dekat), lensa mata akan menebal.

Dislokasi lensa adalah keadaan dimana lensa kristalina bergeser atau berubah posisinya dari kedudukan normalnya akibat rupturnya zonula zinii sebagai pemegangnya

 

I.2        RUMUSAN MASALAH

I.2.1 Bagaimana etiologi dan patofisiologi dislokasi lensa?

I.2.2 Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan dislokasi lensa?

I.3        TUJUAN

I.3.1 Mengetahui etiologi dan patofisiologi dislokasi lensa.

I.3.2 M            engetahui cara mendiagnosis dan penatalaksanaan dislokasi lensa.

I.4        MANFAAT

I.4.1     Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu penyakit mata pada khususnya.

I.4.2     Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit mata.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

II.1      ANATOMI LENSA

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan transparan. Tebal sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Dibelakang iris lensa digantung oleh zonula ( zonula Zinnii) yang menghubungkannya dengan korpus siliare. Di sebelah anterior lensa terdapat humor aquaeus dan disebelah posterior terdapat viterus. Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang dapat dilewati air dan elektrolit. Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi kurang elastik.

Lensa terdiri dari enam puluh lima persen air, 35% protein, dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau pun saraf di lensa.

Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina. Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina. Untuk melihat objek yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata akan menipis. Sedangkan untuk melihat objek yang dekat (cahaya datang dari dekat), lensa mata akan menebal.

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi, menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa sampai ukurannya yang terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel atau terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologik tersebut antara korpus siliaris, zonula, dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi. Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa perlahan-lahan berkurang. Selain itu juga terdapat fungsi refraksi, yang mana sebagai bagian optik bola mata untuk memfokuskan sinar ke bintik kuning, lensa menyumbang +18.0- Dioptri.

 

II.2      DISLOKASI LENSA

II.2.1   Pengertian dan Prevalensi

Dislokasi lensa adalah keadaan dimana lensa kristalina bergeser atau berubah posisinya dari kedudukan normalnya akibat rupturnya zonula zinii sebagai pemegangnya.1 Dislokasi lensa dapat terjadi total (luksasi) ataupun sebagian (subluksasi) yang terjadi akibat proses trauma pada mata, herediter (sindrom marfan, homosistinuria), ataupun komplikasi dari penyakit lain. Kejadian dislokasi lensa sangat jarang ditemukan. Sejauh ini data mengenai  insidensi dislokasi lensa pada populasi umum belum diketahui dengan jelas.1 Penyebab tersering dari dislokasi lensa adalah trauma pada mata, yakni hampir sebagian dari kasus.1 Namun  untuk  kejadian dislokasi lensa total (luksasi) akibat trauma ini insidensinya lebih sedikit, sedang untuk dislokasi lensa sebagian (subluksasi) post trauma insidensnya lebih sering.2 Untuk penyebab herediter, Sindrom Marfan merupakan penyebab tersering dimana prevalensinya diperkirakan 5 dari 100.000 anak.1 Dislokasi lensa terjadi pada 75% penderita Sindrom Marfan dan biasanya bilateral.1 Sedang untuk penderita dengan  homosistinuria, hampir 90% dari penderita mengalami dislokasi lensa (luksasi) pada kedua lensanya.1

II.2.2   Klasifikasi

Dislokasi lensa dapat terjadi ke bilik depan, ke vitreus, subskleral, ruang interretina, konjungtiva, dan ke subtenon. Dislokasi ke bilik depan sering menyebabkan glaukoma akut yang hebat, sehingga harus segera diekstraksi. Dislokasi ke posterior biasanya lebih tenang dan sering tidak menimbulkan keluhan, tetapi dapat menyebabkan vitreus menonjol ke bilik depan dan menyebabkan blok pupil dan peninggian TIO.10

II.2.3   Etiologi / Faktor- Faktor Penyebab

Dislokasi lensa dapat terjadi oleh karena herediter, komplikasi penyakit mata lainnya ataupun akibat proses trauma yang terjadi pada mata. Dari faktor herediter dapat terjadi pada keadaan Sindrom Marfan ataupunpada homosistinuria, dimana zonulazinii sebagai pemegang lensa menjadi inkompeten.2

Sedangkan untuk faktor trauma, terjadi lebih sering pada kasus trauma tumpul, dimana terjadi ekspansi dan kompresi pada bola mata yang pada akhirnya dapat mengakibatkan dislokasi lensa.3 Penyakit lain pada mata yang dapat menyebabkan komplikasi ke arah dislokasi lensa diantaranya katarak hipermatur dan high myopia.1

Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya dislokasi lensa ditinjau dari teori Blum yang dibagi menjadi empat faktor, antara lain faktor biologi, faktor perilaku, faktor lingkungan, dan faktor pelayanan kesehatan.

Faktor Biologi –    Herediter-   Mutasi pada gen fibrilin pada kromosom 15 (Sindrom Marfan)

–   Kelainan bawaan yang bersifat autosomal resesif, dimana terjadi Defisiensi sintetis enzim Cystathione (Homocystinuria)

–   Kelainan bawaan autosomal dominan atau resesif (Weill-Marchesani Syndrome)

–    Usia (dapat terjadi pada semua umur). Unutk dislokasi lensa karena faktor herediter manifestasi sudah muncul sejak usia anak- anak.

–    Jenis kelamin, tidak ada perbedaan insidens dislokasi lensa antara laki-laki dan perempuan.

Faktor Lingkungan –    Lingkungan dengan keadaan yang kurang baik, (misal: Pencahayaan kurang)
Faktor Perilaku –    Kurangnya kesadaran pasien untuk segera berobat-    Kurangnya kesadaran pasien untuk melakukan pemeriksaan rutin (kontrol)
Faktor Pelayanan Kesehatan –    Komplikasi dari operasi katarak-    Keterlambatan dalam diagnosis dini dan terapi terutama pada kasus dislokasi lensa yang merupakan komplikasi dari penyakit lain seperti katarak hipermatur, sehingga kejadian penyakit tidak dapat dicegah atau diminimalisir dan seringkali tidak terdeteksi.

–    Kekeliruan dalam diagnosis dan terapi

–    Tidak adanya program yang adekuat untuk proses skrining awal penyakit terutama untuk dislokasi lensa yang terjadi karena faktor herediter.

 

Faktor yang Paling Berperan

Faktor  yang paling berperan mempengaruhi terjadinya dislokasi lensaadalah faktor pelayanan kesehatan.

Akar-Akar Permasalahan

Minimnya pengetahuan petugas akan informasi tentang dislokasi lensa,mendeteksi dini, menegakkan diagnosis dan memberikan penanganan secara tepat.

 

Akar Masalah Utama

Faktor pelayanan kesehatan yang menjadi masalah utama dalam kasusdislokasi lensa adalah ketidakmampuan untuk mendeteksi penyakit secara dini,terlambat mendiagnosis, sehingga terlambat pula dalam pemberian penanganan secara tepat. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petugas kesehatanakan kasus ini karena kasus ini merupakan kasus yang sangat jarang ditemukandi lapangan. Oleh karena itu, perlu direncanakan pelaksanaan kegiatan yang dapat  menyelesaikan  akar  masalah  tersebut  dengan  jalan  meningkatkan pengetahuan petugas mengenai dislokasi lensa.

 

II.2.4   Patofisiologi

Homocystinuria merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya kadar darah pada konsentrasi homosistein urin – asam amino yang mengandung sulfur.

Patofisiologi

Adanya kecacatan dalam metabolisme asam amino akan menghasilkan zonules yang rapuh dan mudah pecah, hal ini akan memungkinkan lensa untuk menggantikan inferonasally atau bahkan masuk kedalam bilik anterior

 

Syndrome Marfan

Dislokasi Lensa. Pada anak-anak muda, dislokasi lensa dapat diobati efektif dengan kacamata atau lensa kontak yang membiaskan sekitar atau melalui lensa. Untuk remaja yang tidak menyukai penggunaan kacamata atau mengalami gangguan lapang pandang yang terbatas mungkin menjadi indikasi untuk jenis pemasangan implan lensa intraokuler.

Perbedaan Syndrome Marfan dan Homocytinuria

Syndrome Marfan

Homocytinuria

Autosomal dominanInkompetensi Aorta

Dislokasi lensa ke atas

Mentalitas normal

Scoliosis

Flat kaki

Hernia

Autosomal resesifOrgan jantung jarang terkena

Dislokasi lensa ke bawah

Keterbelakangan mental

Trombosis rekuren

Osteoporosis

II.2.5   Gejala Klinis

Gejala-gejala dislokasi lensa tergantung pada keparahan dan dapat bervariasi dari ringan sampai miopia berat, Silindris dan fluktuasi visus. Selain itu, visus dapat sangat kabur. Dislokasi lensa hanya dapat dikonfirmasikan oleh dokter yang menggunakan pemeriksaan mata menggunakan slit lamp setelah dilakukan dilatasi pupil secara sepenuhnya (midriasis).

 

II.2.6   Pengobatan

Ekstraksi dislokasi lensa bisa sulit, sehingga subluxated lensa sendiri bukan merupakan alasan yang cukup untuk dilakukan operasi. Dengan tidak adanya glaucoma sudut tertutup, dekompensasi kornea, peradangan atau kecacatan visual, membiarkan subluxated lensa mendukung pilihan non-bedah. Untuk penstabilan kesalahan, koreksi visual dengan kacamata atau lensa kontak dapat menjadi pilihan.

Jika luxates lensa ke dalam ruang posterior tetapi tidak terjadi peradangan, hanya dilakukan memantau kondisi. Namun, jika peradangan tidak terjadi dan ada ancaman kerusakan retina, perlu dilakukan vitrectomy dan ekstraksi lensa.

Jika lensa telah secara spontan terjadi dislokasi ke ruang anterior, atau di mana pasien mengalami dislokasi anterior, ikuti protokol ini: pasien diposisikan berbaring, kemudian hati-hati memanipulasi kepala sampai lensa jatuh kembali ke tempat di fosa. Terapkan solusi pilocarpine dan mendapatkan konsultasi bedah.

Jika terjadi blok pupil, berlanjut menjaid glaukoma sudut tertutup, laser iridotomy perifer diindikasikan sesegera mungkin. Namun, tingkat keberhasilannya rendah. Dengan demikian, pasien kemudian harus menjalani ekstraksi lensa dengan implantasi lensa intraokular. Sementara beberapa ahli bedah mata telah sukses dengan implan ruang posterior, lensa bilik anterior biasanya menjadi modalitas pilihan.

 

II.2.7   Komplikasi dan Prognosis

–        Dalam setiap kasus dislokasi lensa, kemungkinan kuat akan terjadi blok pupil dan sekunder glaukoma sudut tertutup.

–        Delapan puluh % pasien dengan sindrom Marfan akan mengalami subluksasi lensa.

–        Kenyataan bahwa subluksasi lensa bukan alasan yang kuat untuk dilakukan pembedahan pengeluaran lensa.

–        Gejala subluksasi dapat dikelola secara efektif dengan lensa kontak buram atau terapi jangka panjang pilocarpine.

BAB III

PENUTUP

 

III.1     KESIMPULAN

Dislokasi lensa adalah keadaan dimana lensa kristalina bergeser atau berubah posisinya dari kedudukan normalnya akibat rupturnya zonula zinii sebagai pemegangnya.1 Dislokasi lensa dapat terjadi total (luksasi) ataupun sebagian (subluksasi) yang terjadi akibat proses trauma pada mata, herediter (sindrom marfan, homosistinuria), ataupun komplikasi dari penyakit lain. Kejadian dislokasi lensa sangat jarang ditemukan.

III.2     SARAN

Mahasiswa diharapkan lebih mengenalkan kepada masyarakat tentang penyakit dislokasi lensa.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Eifrig, C. W. Ectopia Lentis. 2009. Emedicine
  2. Crick, R. P, and Khaw, P. T. A Textbook Of Clinical Ophthalmology 3rd Edition. 2003. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
  3. Azar. D. T, and Napoli. J. J. The Crystalline Lens and Cataract in Manualof Ocular Diagnosis and Therapy, 6th Edition. 2008. Lippincott Williams& Wilkins
  4. Vaughan. D. G., Asbury. T., dan Eva. P. R. Oftalmologi Umum. 2000.Widya Medika: Jakarta.
  5. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology A Synopsis. Butterworth-Heinemann, Boston, 2009.
  6. Grayson CE. What Is a Stye. Taken from : www.webmd.com. 2010.
  7. Ilyas S. Penuntun Umum Penyakit Mata. Cet. IV. Jakarta : Penerbit FKUI. 1996. h. 28-9.
  8. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Cet.II. Jakarta: Penerbit FKUI. 1998. h. 92-4.
  1. Lang G. Ophthalmology – A Short Textbook. Thieme. Stuttgart · New York. 2000.
  2. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. Injury to the eye. Br Med J 2004;328:36-8

BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1   LATAR BELAKANG

Palpebra adalah lipatan tipis kulit, otot, dan jaringan fibrosa yang berfungsi melindungi struktur-struktur jaringan mata yang rentan. Palpebra sangat mudah digerakkan karena kulit di sini paling tipis di antara kulit di bagian tubuh lain. Di palpebra terdapat rambut halus, yang hanya tampak dengan pembesaran. Di bawah kulit terdapat jaringan areolar longgar yang dapat meluas pada edema masif. Muskulus orbikularis oculi melekat pada kulit. Permukaan dalamnya dipersarafi nervus fascialis (VII), dan fungsinya adalah untuk menutup palpebra.4 Kalazion umumnya nodul yang berkembang perlahan dan tidak nyeri pada palpebra yang disebabkan oleh inflamasi kelenjar meibom (kalazion dalam) atau kelenjar sebaseus zeis (kalazion superfisial) kalazion sering kronik, tanpa tanda-tanda peradangan akut seperti yang ditemukan pada hordeolum. Hordeolum biasanya nyeri, melibatkan kelenjar pilosebaceus palpebra, dan infeksinya karena staphilococci, streptococci, atau flora kulit lainnya.7

Hordeolum adalah infeksi lokal atau inflamasi tepi kelopak mata yang melibatkan folikel rambut bulu mata (hordeolum eksterna) atau glandula meibom (hordeolum internal). Sedangkan kalazion adalah granuloma yang tidak nyeri pada kelenjar meibom.2

 

I.2        RUMUSAN MASALAH

I.2.1 Bagaimana etiologi dan patofisiologi hordeolum dan kalazion?

I.2.2 Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan hordeolum dan kalazion?

I.3        TUJUAN

I.3.1 Mengetahui etiologi dan patofisiologi hordeolum dan kalazion.

I.3.2 M            engetahui cara mendiagnosis dan penatalaksanaan hordeolum dan kalazion.

I.4        MANFAAT

I.4.1     Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu penyakit mata pada khususnya.

I.4.2     Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit mata.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

II.1      ANATOMI PALPEBRA

Palpebra superior dan inferior adalah modifikasi lipatan kulit yang dapat menutup dan melindungi bola mata bagian anterior. Berkedip melindungi kornea dan konjungtiva dari dehidrasi. Palpebra superior berakhir pada alis mata; palpebra inferior menyatu dengan pipi.

Palpebra terdiri atas lima bidang jaringan utama. Dari superfisial ke dalam terdapat lapis kulit, lapis otot rangka (orbikularis okuli), jaringan areolar, jaringan fibrosa (tarsus), dan lapis membran mukosa (konjungtiva pelpebrae).5

Gambar anatomi palpebra10

1. Kulit

Kulit pada palpebra berbeda dari kulit bagian lain tubuh karena tipis, longgar, dan elastis, dengan sedikit folikel rambut, tanpa lemak subkutan.

2. Muskulus Orbikularis okuli

Fungsi otot ini adalah untuk munutup palpebra. Serat ototnya mengelilingi fissura palpebra secara konsentris dan meluas sedikit melewati tepian orbita. Sebagian serat berjalan ke pipi dan dahi. Bagian otot yang terdapat di dalam palpebra dikenal sebagai bagian pratarsal; bagian diatas septum orbitae adalah bagian praseptal. Segmen luar palpebra disebut bagian orbita. Orbikularis okuli dipersarafi oleh nervus facialis.

3. Jaringan Areolar

Terdapat di bawah muskulus orbikularis okuli, berhubungan degan lapis

subaponeurotik dari kujlit kepala.

4. Tarsus

Struktur penyokong utama dari palpebra adalah lapis jaringan fibrosa padat yang disebut tarsus superior dan inferior. Tarsus terdiri atas jaringan penyokong kelopak mata dengan kelenjar Meibom (40 buah di kelopak atas dan 20 buah di kelopak bawah).

5. Konjungtiva Palpebrae

Bagian posterior palpebrae dilapisi selapis membran mukosa, konjungtiva palpebra, yang melekat erat pada tarsus. Tepian palpebra dipisahkan oleh garis kelabu (batas mukokutan) menjadi tepian anterior dan posterior. Tepian anterior terdiri dari bulu mata, glandula Zeiss dan Moll. Glandula Zeiss adalah modifikasi kelenjar sebasea kecil yang bermuara dalam folikel rambut pada dasar bulu mata. Glandula Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang bermuara ke dalam satu baris dekat bulu mata. Tepian posterior berkontak dengan bola mata, dan sepanjang tepian ini terdapat muara-muara kecil dari kelenjar sebasesa yang telah dimodifikasi (glandula Meibom atau tarsal).

Punktum lakrimalis terletak pada ujung medial dari tepian posterior palpebra. Punktum ini berfungsi menghantarkan air mata ke bawah melalui kanalikulus terkait ke sakus lakrimalis.

Fisura palpebrae adalah ruang elips di antara kedua palpebra yang dibuka. Fisura ini berakhir di kanthus medialis dan lateralis. Kanthus lateralis kira-kira 0,5 cm dari tepian lateral orbita dan membentuk sudut tajam.

Septum orbitale adalah fascia di belakang bagian muskularis orbikularis yang terletak di antara tepian orbita dan tarsus dan berfungsi sebagai sawar antara palpebra orbita. Septum orbitale superius menyatu dengan tendo dari levator palpebra superior dan tarsus superior; septum orbitale inferius menyatu dengan tarsus inferior.5

Retraktor palpebrae berfungsi membuka palpebra. Di palpebra superior, bagian otot rangka adalah levator palpebra superioris, yang berasal dari apeks orbita dan berjalan ke depan dan bercabang menjadi sebuah aponeurosis dan bagian yang lebih dalam yang mengandung serat-serat otot polos dari muskulus Muller (tarsalis superior). Di palpebra inferior, retraktor utama adalah muskulus rektus inferior, yang menjulurkan jaringan fibrosa untuk membungkus meuskulus obliqus inferior dan berinsersio ke dalam batas bawah tarsus inferior dan orbikularis okuli. Otot polos dari retraktor palpebrae disarafi oleh nervus simpatis. Levator dan muskulus rektus inferior dipasok oleh nervus okulomotoris.

Pembuluh darah yang memperdarahi palpebrae adalah a. Palpebra. Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal nervus V, sedang kelopak mata bawah oleh cabang kedua nervus V.6

 

II.2      HORDEOLUM

II.2.1   Pengertian

Hordeolum merupakan peradangan supuratif kelenjar kelopak mata. Hordeolum biasanya merupakan infeksi staphylococcus pada kelenjar sabasea kelopak mata. Biasanya sembuh sendiri dan dapat diberi hanya kompres hangat. Hordeolum secara histopatologik gambarannya seperti abses.2,4

II.2.2   Klasifikasi

Hordeolum dikenal dalam bentuk :

  • Hordeolum internum atau radang kelenjar meibom, dengan penonjolan terutama ke daerah konjungtiva tarsal.
  • Hordeolum eksternum atau radang kelenjar zeis atau moll, dengan penonjolan terutama ke daerah kulit kelopak. 4

II.2.3   Etiologi

Staphylococcus aureus adalah agent infeksi pada 90-95% kasus hordeolum.1,3

II.2.4   Patofisiologi

Hordeolum externum timbul dari blokade dan infeksi dari kelenjar Zeiss atau Moll. Hordeolum internum timbul dari infeksi pada kelenjar Meibom yang terletak di dalam tarsus. Obstruksi dari kelenjar-kelenjar ini memberikan reaksi pada tarsus dan jaringan sekitarnya. Kedua tipe hordeolum dapat timbul dari komplikasi blefaritis.1,2, 3

II.2.5   Gejala Klinis

Hordeolum memberikan gejala radang pada kelopak mata seperti bengkak, mengganjal dengan rasa sakit, merah, dan nyeri bila ditekan. Hordeolum internum biasanya berukuran lebih besar dibanding hordeolum eksternum. Adanya pseudoptosis atau ptosis terjadi akibat bertambah beratnya kelopak sehingga sukar diangkat. Pada pasien dengan hordeolum, kelenjar preaurikel biasanya turut membesar. Sering hordeolum ini membentuk abses dan pecah dengan sendirinya. 4

Gejala :2,3

– Pembengkakan

– Rasa nyeri pada kelopak mata
– Perasaan tidak nyaman dan sensasi terbakar pada kelopak mata
– Riwayat penyakit yang sama

Tanda :7

– Eritema

– Edema

– Nyeri bila ditekan di dekat pangkal bulu mata

– Seperti gambaran absces kecil

II.2.6   Pengobatan

Untuk mempercepat peradangan kelenjar dapat dapat diberikan kompres hangat, 3 kali sehari selama 10 menit sampai nanah keluar. Pengangkatan bulu mata dapat memberikan jalan untuk drainase nanah. Diberi antibiotik lokal terutama bila berbakat rekuren atau terjadinya pembesaran kelenjar aurikel.

Antibiotik sistemik yang diberikan eritromisin 250 mg atau 125-250 mg diklosasilin 4 kali sehari, dapat juga diberi tetrasiklin. Bila terdapat infeksi stafilokokus di bagian tubuh lain maka sebaiknya diobati juga bersama-sama. Pada nanah dan kantong nanah tidak dapat keluar dilakukan insisi.5

Pada insisi hordeolum terlebih dahulu diberikan anestesia topikal dengan pentokain tetes mata. Dilakukan anestesi infiltrasi dengan prokain atau lidokain di daerah hordeolum dan dilakukan insisi yang bila :

  • Hordeolum internum dibuat insisi pada daerah fluktuasi pus, tegak lurus pada margo palpebra.
  • Hordeolum eksternum dibuat insisi sejajar dengan margo palpebra.

Setelah dilakukan insisi dilakukan ekskohleasi atau kuretase seluruh isi jaringan meradang di dalam kantongnya dan kemudian diberi salep antibiotik.5

II.2.7   Komplikasi
Penyulit hordeolum adalah selulitis palpebra, yang merupakan radang jaringan ikat jarang palpebra di depan septum orbita dan abses palpebra.

II.2.8   Prognosis

Hordeola biasanya sembuh spontan dalam waktu 1-2 minggu. Resolusi lebih cepat dengan penggunaan kompres hangat dan ditutup yang bersih. Hordeola Internal terkadang berkembang menjadi chalazia, yang mungkin memerlukan steroid topikal atau intralesi atau bahkan insisi dan kuretase. 9]

 

II.3      KALAZION

II.3.1   Pengertian

Kalazion merupakan peradangan granulomatosa kelenjar meibom yang tersumbat. Pada kalazion terjadi penyumbatan kelenjar meibom dengan infeksi ringan yang mengakibatkan peradangan kronis kelenjar tersebut.5

Awalnya dapat berupa radang ringan dan nyeri tekan mirip hordeolum-dibedakan dari hordeolum karena tidak ada tanda-tanda radang akut.8

Gambar Kalazion10

II.3.2   Patofisiologi

Kalazion akan memberi gejala adanya benjolan pada kelopak, tidak hiperemik, tidak ada nyeri tekan, dan adanya pseudoptosis. Kelenjar preaurikuler tidak membesar. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata tersebut.4

Kerusakan lipid yang mengakibatkan tertahannya sekresi kelenjar, kemungkinan karena enzim dari bakteri, membentuk jaringan granulasi dan mengakibatkan inflamasi. Proses granulomatous ini yang membedakan antara kalazion dengan hordeolum internal atau eksternal (terutama proses piogenik yang menimbulkan pustul), walaupun kalazion dapat menyebabkan hordeolum, begitupun sebaliknya. Secara klinik, nodul tunggal (jarang multipel) yang agak keras berlokasi jauh di dalam palpebra atau pada tarsal. Eversi palpebra mungkin menampakkan kelenjar meibom yang berdilatasi.9

Kalazion terjadi pada semua umur; sementara pada umur yang ekstrim sangat jarang, kasus pediatrik mungkin dapat dijumpai. Pengaruh hormonal terhadap sekresi sabaseous dan viskositas mungkin menjelaskan terjadinya penumpukan pada masa pubertas dan selama kehamilan.9

II.3.3   Etiologi

Kalazion mungkin timbul spontan disebabkan oleh sumbatan pada saluran kelenjar atau sekunder dari hordeolum internum. Kalazion dihubungkan dengan seborrhea, chronic blepharitis, dan acne rosacea. 9, 11

II.3.4   Gejala Klinis

Pasien biasanya datang dengan riwayat singkat adanya keluhan pada palpebra baru-baru ini, diikuti dengan peradangan akut (misalnya merah, pembengkakan, perlunakan). Seringkali terdapat riwayat keluhan yang sama pada waktu yang lampau, karena kalazion memiliki kecenderungan kambuh pada individu-individu tertentu.

Kalazion lebih sering timbul pada palpebra superior, di mana jumlah kelenjar Meibom terdapat lebih banyak daripada palpebra inferior. Penebalan dari saluran kelenjar Meibom juga dapat menimbulkan disfungsi dari kelenjar Meibom. Kondisi ini tampak dengan penekanan pada kelopak mata yang akan menyebabkan keluarnya cairan putih seperti pasta gigi, yang seharusnya hanya sejumlah kecil cairan jernih berminyak.

Kalazion dihubungkan dengan disfungsi kelenjar sebasea dan obstruksi di kulit (seperti komedo, wajah berminyak). Juga mungkin terdapat akne rosasea berupa kemerahan pada wajah (facial erythema), teleangiektasis dan spider nevi pada pipi, hidung, dan kulit palpebra. 11

II.3.5   Pengobatan
Pengobatan kalazion antara lain adalah

  • Menggunakan kompres hangat selama kira-kira 15 menit, 2 – 4 kali sehari
  • Injeksi steroid untuk mengurangi inflamasi
  • Tindakan bedah jika gumpalan tersebut tidak dapat hilang.1

II.3.6   Penatalaksanaan

  • Penanganan konservatif kalazion adalah dengan kompres air hangat 15 menit (4 kali sehari). Lebih dari 50% kalazion sembuh dengan pengobatan konservatif.
  • Obat tetes mata atau salep mata jika infeksi diperkirakan sebagai penyebabnya.
  • Injeksi steroid ke dalam kalazion untuk mengurangi inflamasi, jika tidak ada bukti infeksi
  • Steroid menghentikan inflamasi dan sering menyebabkan regresi dari kalazion dalam beberapa minggu kemudian.
  • Injeksi 0,2 – 2 ml triamsinolon 5 mg/ml secara langsung ke pusat kalazion, injeksi kedua mungkin diperlukan.
  • Komplikasi dari penyuntikan steroid meliputi hipopigmentasion, atropi, dan potensial infeksi.5,7,8

Eksisi kalazion

  • Jika perlu, buatlah insisi vertikal pada permukaan konjungtiva palpebra.
  • Untuk kalazion yang kecil, lakukan kuretase pada granuloma inflamasi pada kelopak mata.
  • Untuk kalazion yang besar, iris granuloma untuk dibuang seluruhnya
  • Cauter atau pembuangan kelenjar meibom (yang biasa dilakukan)
  • Untuk kalazion yang menonjol ke kulit, insisi permukaan kulit secara horisontal lebih sering dilakukan daripada lewat konjungtiva untuk pembuangan seluruh jaringan yang mengalami inflamasi.7

Eskokleasi Kalazion

Terlebih dahulu mata ditetes dengan anestesi topikal pentokain. Obat anestesia infiltratif disuntikkan di bawah kulit di depan kalazion. Kalazion dijepit dengan kelem kalazion dan kemudian klem dibalik sehingga konjungitva tarsal dan kalazion terlihat. Dilakukan insisi tegak lurus margo palpebra dan kemudian isi kalazion dikuret sampai bersih. Klem kalazion dilepas dan diberi salep mata.5

II.3.7   Komplikasi

Rusaknya sistem drainase pada kalazion dapat menyebabkan trichiasis, dan kehilangan bulu mata. Kalazion yang rekuren atau tampat atipik perlu dibiopsi untuk menyingkirkan adanya keganasan. Astigmatisma dapat terjadi jika massa pada palpebra sudah mengubah kontur kornea. Kalazion yang drainasenya hanya sebagian dapat menyebabkan massa jaringan granulasi prolapsus diatas konjungtiva atau kulit.9

II.3.8   Prognosis

Terapi bisanya berhasil dengan baik. Jika lesi baru sering terjadi, drainage yang kurang adekuat mungkin mengikatkan lokal rekurensi ini. Kalazion yang tidak diobati kadang-kadang terdrainase secara spontan, namun biasanya lebih sering persisten menjadi inflamasi akut intermitten.9

Bila terjadi kalazion berulang beberapa kali sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologik untuk menghindari kesalahan diagnosis dengan kemungkinan keganasan.4

 

BAB III

PENUTUP

 

III.1     KESIMPULAN

Palpebra superior dan inferior adalah modifikasi lipatan kulit yang dapat menutup dan melindungi bola mata bagian anterior. Berkedip melindungi kornea dan konjungtiva dari dehidrasi. Palpebra superior berakhir pada alis mata; palpebra inferior menyatu dengan pipi.

Hordeolum merupakan peradangan supuratif kelenjar kelopak mata. Hordeolum biasanya merupakan infeksi staphylococcus pada kelenjar sabasea kelopak mata. Biasanya sembuh sendiri dan dapat diberi hanya kompres hangat. Hordeolum secara histopatologik gambarannya seperti abses.

Kalazion merupakan peradangan granulomatosa kelenjar meibom yang tersumbat. Pada kalazion terjadi penyumbatan kelenjar meibom dengan infeksi ringan yang mengakibatkan peradangan kronis kelenjar tersebut.

Kalazion mungkin timbul spontan disebabkan oleh sumbatan pada saluran kelenjar atau sekunder dari hordeolum internum. Kalazion dihubungkan dengan seborrhea, chronic blepharitis, dan acne rosacea. Penanganan konservatif kalazion adalah dengan kompres air hangat. Rusaknya sistem drainase pada kalazion dapat menyebabkan trichiasis, dan kehilangan bulu mata. Kalazion yang rekuren atau tampat atipik perlu dibiopsi untuk menyingkirkan adanya keganasan.

III.2     SARAN

Mahasiswa diharapkan lebih mengenalkan kepada masyarakat tentang penyakit hordeolum dan kalazion.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology A Synopsis. Butterworth-Heinemann, Boston, 2009.
  2. Bessette M. Hordeolum and Stye. Taken from : www.emedicine.com. 2010.
  3. Grayson CE. What Is a Stye. Taken from : www.webmd.com. 2010.
  4. Ilyas S. Penuntun Umum Penyakit Mata. Cet. IV. Jakarta : Penerbit FKUI. 1996. h. 28-9.
  5. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Cet. II. Jakarta : Penerbit FKUI. 1998. h. 92 – 4.
  6. McKinley Health Center. Sty (Hordeolum). Taken from : www.mckinley.uic.edu. 2007.
  7. Santen S. Chalazion. Taken from : www.emedicine.com. 2010.
  8. Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum. Editor : Y. Joko Suyono. Edisi 14. Jakarta : Widya Medika. 1996. h. 81 – 2.
  9. Wessels IF. Chalazion. Taken from : www.emedicine.com. 2010.
  10. Lang G. Ophthalmology – A Short Textbook. Thieme. Stuttgart · New York. 2000.
  11. American Academy of Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course, External Disease and Cornea, Section 8, 2006-2007.
  12. Belden MD. Chalazion. Taken from : www.emedicine.com. 2010

BAB I

PENDAHULUAN

I.    LATAR BELAKANG

            Sistem lakrimasi mencakup struktur-struktur yang terlibat dalam produksi dandrainase air mata. Glandula lakrimal terbentuk dari ektodermal yang banyak terdapatdi bagian anterior supero-lateral orbita. Bagian ini bercabang dan mempunyai kanalmembentuk duktus alveoli. Glandula lakrimal ini sangat kecil dan tidak berfungsisempurna hingga 6 minggu setelah kelahiran. Ini menjelaskan mengapa pada bayibaru lahir tidak memproduksi air mata walaupun menangis.(1,2)

Pada penghujung minggu kelima dari kehamilan, jalur nasolakrimalismembentuk alur yang terletak diantara nasal dan bagian penonjolan maxilla. Padabagian dasar dari alur, duktus nasolakrimalis ini terbentuk dari bagian ektodermlinear yang tebal. Terdapat bagian solid yang terpisah dari bagian ektoderm danterbentuk dalam mesenkim. Bagian ini berkanalisasi membentuk duktusnasolakrimalis dan sakkus nasolakrimal pada bagian ujung kranialnya.(1)

Kelainan sistem lakrimal sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala kronisdengan morbiditas bermakna. Kelenjar lakrimal normalnya menghasilkan sekitar1,2µl air mata per menit. Sebagian hilang melalui evaporasi. Sisanya dialirkanmelalui sistem nasolakrimal. Bila produksi air mata melebihi kapasitas sistemdrainase, air mata yang berlebih akan mengalir ke pipi. Ini dapat disebabkan oleh:

–          Iritasi permukaan mata, misalnya karena benda asing pada kornea, infeksi, ataublefaritis.

–          Oklusi pada bagian manapun di sistem drainaseKeluhan yang sering ditemukan pada penderita dengan kelainan sistem lakrimal ialahmata kering, lakrimasi dan epifora.(2,3)

Lakrimasi ialah kelebihan produksi air mata yang disebabkan oleh rangsangankelenjar lakrimal. Mata kering disebabkan oleh kurangnya produksi air mata.Keadaan ini dapat disebabkan oleh sikatris yang terdapar pada konjungtiva, oleh karena trakoma, trauma kimia, erythema multiforme yang menyumbat kelenjarlakrimal dan sindrom Sjorgen. Epifora ialah keadaan dimana terjadi gangguan sistemekskresi air mata. Gangguan ini dapat disebabkan oleh kelainan posisi pungtumlakrimal, jaringan sikatriks pada pungtum, paresis atau paralisis otot orbikularis okuliyang menyebabkan berkurangnya efek penghisapan dari kanalikuli lakrimal, bendaasing dalam kanalikuli, obstruksi duktus nasolakrimal dan sakus lakrimal.(4)

Dakriosistitis merupakan peradangan sakus lakrimal. Biasanya peradangan inidimulai oleh terdapatnya obstruksi duktus nasolakrimalis.  Obstruksi ini pada anak-anak biasanya akibat tidak terbukanya membran nasolakrimal sedang pada orangdewasa akibat tertekan salurannya.

(5)

II.   ANATOMI SISTEM LAKRIMAL

Sistem lakrimal terdiri atas dua jaringan utama yaitu sistem sekresi lakrimal atau kelenjar lakrimal dan sistem ekskresi lakrimal.

Sistem sekresi lakrimalis

Bagian utama dari glandula lakrimal sebenarnya merupakan glandula eksokrinyang terletak pada kuadran superolateral dari orbita dan fossa glandula lakrimal.Pembentukan embriologi levator aponeurosis glandula lakrimalis dibagi yakni bagiananterior pada orbita dan lobus palpebra. Bagian superior transversus ligamentummenembus pada dua lobus ini dengan sedikit serat dan juga memproyeksi ke lateraltuberkel orbita.Pada 8 dari 12 duktus lakrimalis mayor yang kosong di bagian superior rata-rata 5mm terletak di atas lateral tarsal setelah bagian posterior dari aponeurosismelalui otot muller dan seterusnya melalui konjungtiva. Duktus dari bagian orbitaljuga akan bergabung dengan duktus pada bagian lobus palpebra. Karena itu,membuang atau kerusakan pada bagian porsi palpebra dari glandula akanmenyebabkan penurunan sekresi dari keseluruhan glandula tersebut. Ini penyebabmengapa pada biopsi glandula lakrimal dilakukan pada bagian lobus orbital.

Iritasi pada bagian okular mengaktifkan produksi air mata dari glandulalakrimal. Refleks pengeluaran air mata ini dikendalikan oleh nervus trigeminus untuk sensorik. Bagian efferen lebih komplit. Serat parasimpatetik berasal dari nukleussalivatorius superior yang berasal dari pons, keluar dari batang otak melalui nervusfasialis. Serat lakrimalis ini kemudian meninggalkan N.VII ini sebagai nervuspetrosal superficial yang lebih besar dan keluar ke ganglion sphenopalatina. Darisana, semua yang diatas masuk ke glandula lakrimal melalui cabang superior darinervus zygomaticus melalui anastomose diantara nervus zygomaticotemporal dannervus lakrimalis. Namun bagaimana karakteristik kerja dari sistem nervus simpatetik untuk penghasilan air mata masih belum diketahui.  Glandula eksokrin aksessoriusdari Krause dan wolfring terletak di bagian dalam dari forniks superior dan di atastarsal superior.(1)

 

Sistem ekskresi lakrimalis

Merupakan bagian dari sistem drainase lakrimal melalui puncta yang terletak medial dari bagian atas dan bawah kelopak mata. Bagian bawah puncta terletak lebihlateral dibanding puncta atas. Secara normal, puncta agak inversi. Setiap punctumdikelilingi oleh ampulla.Setiap punctum mengarah ke kanalikuli. Kanalikuli merupakan struktur non-keratinasi, epitel squamous non mucin. Berjalan 2mm vertikal dan berputar 90odan berjalan 8-10mm medial berhubungan dengan sakus lakrimalis. Pada 90% pasien,kanalikuli ini berkombinasi membentuk kanalikuli tunggal sebelum masuk ke bagiandinding lateral dari sakus lakrimalis.Valva Rosenmuller dideskripsikan sebagai struktur yang mencegah refluks airmata dari sakus kembali ke kanalikuli. Terdapat beberapa studi yang menyatakanbahwa kanalukuli membelok dari posterior ke bagian anterior di belakang dari tendokantus medial sebelum memasuki sakus lakrimal. Belokan ini pada konjungtivaberperan untuk memblokir refluks.

Terletak pada anterior medial orbital, sakus lakrimalis terletak dalamcekungan tulang yang dibatasi oleh lakrimal anterior dan posterior, dimana tendokantus medial melekat. Pada tendo kantus medial merupakan struktur kompleksberkomposisi krura anterior dan posterior. Dari medial ke lamina papyraceamerupakan bagian tengah dari meatus hidung, kadang juga terdapat sel ethmiod.Bagian kubah dari sakus memanjang beberapa mm di atas tendo kantus medial. Padabagian superior, sakus ini dilapisi dengan jaringan fibrosa. Ini menjelaskan mengapapada kebanyakan kasus, distensi sakus lakrimalis memanjang dari inferior ke tendokantus medial. Pada bagian lateral, sakus lakrimal ini bersambung pula dengan duktus nasolakrimalis.Duktus nasolakrimalis berukuran 12mm atau lebih panjang. Berjalan melaluitulang dalam kanalis nasolakrimalis yang melengkung inferior dan sedikit lateral danposterior. Duktus nasolakrimalis ini membuka ke dalam hidung melalui ostium, yangbiasanya sebagian dilapisi oleh lipatan mukosa (valva hasner). Kegagalan pembentukan ostium ini pada kebanyakan kasus adalah disebabkan oleh obstruksiduktus nasolakrimalis kongenital.(1)

Topografi sistem lakrimal

Suplai darah dari sakus lakrimalis berasal dari cabang palpebra superior daninferior dari arteri oftalmica. arteri angularis, arteri infraorbitalis cabang dari arterisphenopalatina dan mengalir ke vena angularis, vena infraorbitalis dan vena-vena dihidung. Saluran getah bening masuk ke dalam glandula submandibular dan glandulacervical dalam. Persarafan berasal dari cabang nervus infratrochlearis dari nervusnasociliaris dan antero-superior nervus alveolar.(7)

III.   FISIOLOGI SISTEM LAKRIMAL

Sistem lakrimal terdiri atas dua jaringan utama yaitu sistem sekresi lakrimalatau kelenjar lakrimal dan sistem ekskresi lakrimal. Komponen sekresi terdiri ataskelenjar yang menghasilkan berbagai unsur pembentuk cairan air mata. Duktusnasolakrimalis merupakan unsur ekskresi sistem ini yang mencurahkan sekret kedalam hidung. Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar air mata utama yangterletak di fossa lakrimalis di kuadran temporal atas orbita. Kelenjar yang berbentuk kenari ini dibagi oleh kornu lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita yanglebih besar dan lobus palpebra yang lebih kecil, masing-masing dengan sistemsaluran pembuangannya tersendiri ke dalam forniks temporal superior. Lobuspalpebra kadang-kadang dapat dilihat dengan membalikkan palpebra superior.Sekresi dari kelenjar lakrimal utama dipicu oleh emosi atau iritasi fisik danmenyebabkan air mata mengalir berlimpah melewati tepian palpebra. Persarafankelenjar utama datang dari nucleus lakrimalis pons melalui nervus intermedius danmenempuh jalur rumit dari cabang maxillaris nervus trigeminus.(2,5)

Kelenjar lakrimal tambahan, meskipun hanya sepersepuluh dari massa utamamempunyai peran penting. Kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan kelenjarutama namun tidak memiliki sistem saluran. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama di fornix superior. Sel goblet uniseluler, yang juga tersebar dikonjungtiva menghasilkan glikoprotein dalam bentuk musin.Sistem ekskresi terdiri atas puncta, kanalis, sakus lakrimalis dan duktusnasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup menyebarkan air mata secaramerata di atas kornea dan menyalurkan kedalam system ekskresi pada aspek medialpalpebra. Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan dengan kecepatan sesuaidengan jumlah yang diuapkan dan itulah sebabnya hanya sedikit yang sampai kesistem ekskresi. Bila memenuhi sakus konjungtiva, air mata akan memasuki punctasebagian karena sedotan kapiler.(2)

Dengan menutup mata, bagian khusus orbikularis pra-tarsal yang mengelilingiampula mengencang untuk mencegahnya keluar. Bersamaan waktu, palpebra ditarik kearah Krista lakrimalis posterior dan traksi fascia mengelilingi sakus lakrimalisberakibat memendeknya kanalikulus dan menimbulkan tekanan negative di dalamsakus. Kerja pompa dinamik ini menarik air mata ke dalam sakus yang kemudianberjalan melalui duktus nasolakrimalis karena pengaruh gaya berat dan elastisitasjaringan ke dalam meatus inferior hidung.(2)

IV. INSIDEN DAN PREVALENSI

Infeksi dari sakkus lakrimalis adalah penyakit umum yang biasanya terdapatpada bayi atau wanita pasca menopause. Peradangan dan infeksi dari sakus lakrimalpaling sering terjadi pada dua kelompok umur, yaitu anak-anak dan dewasa 40 tahun ke atas. Frekuensi penderita lebih banyak ditemukan pada usia 50-60 tahun.Dakriosistitis jarang terdapat pada golongan usia pertengahan kecuali sesudahtrauma. Pada anak-anak khususnya yang baru lahir paling sering terjadi kongenitaldakriosistitis. Pada dakriosistitis infantile, tempat stenosis biasanya pada valvulahasner. Tiadanya kanalisasi adalah kejadian umum (4-7% dari neonatus), namunbiasanya duktus itu membuka secara spontan dalam bulan pertama. Hasil studi jugamenunjukkan bahwa angka 70-83% kasus didapatkan pada wanita.(2,6,8)

V. PATOGENESIS 

Dakriosistitis merupakan peradangan sakus lakrimal. Biasanya peradangan inidimulai oleh terdapatnya obstruksi duktus nasolakrimalis. Obstruksi ini pada anak-anak biasanya akibat tidak terbukanya membran nasolakrimalis. Sistemnasolakrimalis berkembang sebagai tabung solid yang kemudian mengalamikanalisasi dan menjadi paten tepat sebelum cukup bulan. Jika kanalikuli mengalamiobstruksi, sebagian kumpulan air mata yang tidak mengalir dalam sakus dapatterinfeksi dan berakumulasi sebagai mukokel atau menyebabkan dakriosistitis.Obstruksi sistem drainase merupakan predisposisi infeksi sakus lakrimalis. Pasiendatang dengan pembengkakan nyeri pada medial orbita, yang merupakan sakus yangmembesar dan terinfeksi.

(3)

VI. ETIOLOGI 

Penyebab dakriosostitis pada umumnya adalah stenosis sakus lakrimalis. Padabayi, infeksi menahun menyertai obstruksi duktus nasolakrimalis, namundakriosistitis akut jarang terjadi. Dakriosistitis akut pada anak-anak seringkali adalah akibat infeksi Haemophilus influenza, Dakriosistitis akut pada orang dewasabiasanya disebabkan Staphylococcus aureus

atau kadang-kadang Streptococcus β hemolyticus. Agen infeksi dapat ditemukan secara mikroskopik dengan memulashapus konjungtiva yang diambil setelah memeras sakus lakrimalis.(2,6)

VII. GEJALA KLINIS

Gejala utama dakriosistitis adalah berair mata dan belekan (bertahi mata).Peradangan berupa pembengkakan, merah dan nyeri, biasanya disertai denganpembengkakan kelenjar pre-aurikuler, submandibular serta demam ringan. Kadang-kadang kelopak mata dan daerah sisi hidung membengkak. Gejala dakriosistitis akutialah epifora dan regurgitasi pada penekanan daerah sakus lakrimal. Pada stadiumlanjut dapat dapat terjadi komplikasi berupa fistula. Apabila terdapat erosi korneamisalnya karena trauma, maka erosi akan berkembang menjadi ulkus kornea.(2)

VIII.  PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah:

–          Dakriosistografi, cara ini relatif mahal dan memerlukan keterampilan ahliradiologi untuk mendapatkan foto yang baik.

–          Sondase horizontal, uji penting  dilakukan hanya pada arah horizontal. Hasilpengujian akan membedakan letak sumbatan pada daerah pra-sakus atau pascasakus.(10)

IX.  DIAGNOSIS BANDING

–          Selulitis orbita

–          Sinusitis ethmoidal

–          Sinusitis frontalis (5)

X. PENATALAKSANAAN

Pengobatan dakriosistitis adalah dengan melakukan pengurutan daerah sakussehingga nanah bersih dari dalam kantung dan kemudian diberi antibiotik local dansistemik. Bila terlihat fluktuasi dengan abses pada sakus lakrimal maka dilakukaninsisi. Bila kantung lakrimal telah tenang dan bersih maka dilakukan pemasokanpelebaran duktus nasolakrimalis. Bila sakus tetap meradang dengan adanya obsruksiduktus nasolakrimal maka dilakukan tindakan pembedahan dakriosistorinostomi atauoperasi toti.Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonates) adalah dengan melakukanpengurutan kantong air mata kearah pangkal hidung. Dapat diberikan antibiotik atautetes mata, sulfonamide 4-5 kali sehari. Bila perlu dapat dilakukan probing ulangan.Pengobatan dakriosititis akut dewasa adalah dengan kompres hangat padadaerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang cukup sering. Antibiotik yangsesuai, baik sistemik maupun lokal. Bila terjadi abses dapat dilakukan insisi dandrainase.(5)

XI.  PROGNOSIS

Pengobatan dakriosistitis dengan antibiotik biasanya dapat memberikankesembuhan pada infeksi akut. Jika stenosis menetap lebih dari 6 bulan makadiindikasikan pelebaran duktus dengan probe. Satu kali tindakan efektif pada 75%kasus.(11)

DAFTAR PUSTAKA

1. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Structure and Function of the External Eye andCornea. In: Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Development, Anatomy andPhysiologi of the Lacrimal Secretory and Drainage System. Singapore:American Academy of Ophthalmology; 2007. p.259-264.

2. Vaughan Daniel. Oftalmologi umum (General Ophthalmology). Widya Medika.Jakarta. 20003.

3. James Bruce. Oftalmologi. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2006

4. Ilyas Sidarta,Prof. Ilmu Penyakit Mata untuk dokter umum dan mahasiswakedokteran, edisi ke-2. Sagung Seto. Jakarta.2002

5. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3. Fakultas kedokteran UniversitasIndonesia. Jakarta.2005

6. Lang Gerhard. Ophtalmology, A Pocket Textbook atlas, second edition.Stuttgart, New York.2006

7. Pitts R Crick, Tee P Khaw. A Textbook of Clicical Ophthalmology, 3rd edition.World Scientifis Publishing. Singapore;2003.p.27-29

8. Gilliland Grand. Dacryocystitis. Available from: URL: HYPERLINKhttp://www.emedicine.com 

9. StLukesEye. Dacrycystitis. St.Luke’s Cataract & Laser Institute. Available From: www.StLukesEye.com 

10. Sastrosatomo Hadisudjono. Penanganan gangguan system ekskresi lakrimal.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.1993

11. Robert Altha. Dacryocystitis. Available from: www.HealthAtoz.com