Perawatan Wajah dan Kecantikan Kulit

Monthly Archives: Agustus 2011

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Obat-obatan yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine disebut diuretik. Obat-obat ini merupakan penghambat transpor ion yang menurunkan reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti Cl+  memasuki urine dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dalam keadaan normal bersama air, yang mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotic. Perubahan osmotik dimana dalam tubulus menjadi meningkat karena natrium lebih banyak dalam urine, dan mengikat air lebih banyak didalam tubulus ginjal. Dan produksi urine menjadi lebih banyak. Dengan demikian diuretic meningkatkan volume urine dan sering mengubah PH-nya serta komposisi ion didalam urine dan darah.

Pada gangguan neurologis, diuretic osmotik (Manitol) merupakan jenis diuretik yang paling banyak digunakan untuk terapi oedema otak. Manitol adalah suatu hiperosmotik agent yang digunakan dengan segera meningkat volume plasma untuk meningkatkan aliran darah otak dan menghantarkan oksigen. Ini merupakan salah satu alasan manitol sampai saat ini masih digunakan untuk menurunkan peningkatan tekanan intra cranial.

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

2.1 DEFINISI

Manitol merupakan 6-karbon alkohol, yang tergolong sebagai obat diuretic osmotik. Istilah diuretik osmotik terdiri dari dua kata yaitu diuretik dan osmotik. Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urine dengan adanya natriuresis (peningkatan pengeluaran natrium) dan diuresis (peningkatan pengeluaran H2O). Diuretik Osmotik (manitol) adalah diuretik yang mempunyai efek meningkatkan produksi urin, dengan  cara mencegah tubulus mereabsorbsi air dan meningkatkan tekanan osmotic di filtrasi glomerulus dan tubulus.

Istilah diuretic osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretic osmotic apabila memenuhi 4 syarat: (1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus; (2) tidak atau hanya sedikit direbasorbsi sel tubulus ginjal; (3) secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan  (4) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolic.

 

2.2 FARMAKODINAMIK

Tempat kerja utama manitol adalah: (1) Tubuli proksimal, yaitu dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya; (2) Ansa henle, yaitu dengan penghambatan reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula menurun; (3) Duktus koligentes, yaitu dengan penghambatan reabsorbsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out, kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.

Diuresis osmotic digunakan untuk mengatasi kelebihan cairan di jaringan (intrasel) otak. Diuretic osmotic yang tetap berada dalam kompartemen intravaskuler efektif dalam mengurangi pembengkakan otak. Manitol adalah larutan hiperosmolar yang digunakan untuk terapi meningkatkan osmolalitas serum. Dengan alasan fisiologis ini, Cara kerja Diuretic Osmotik (Manitol) ialah meningkatkan osmolalitas plasma dan menarik cairan normal dari dalam sel otak  yang osmolarnya rendah ke intravaskuler yang osmolar tinggi, untuk menurunkan oedema otak. Pada  sistem ginjal bekerja membatasi reabsobsi air terutama pada segmen dimana nefron sangat permeable terhadap air, yaitu tubulus proksimal dan ansa henle desenden. Adanya bahan yang tidak dapat direabsobsi air normal dengan masukkan tekanan osmotic yang melawan keseimbangan. Akibatnya, volume urine meningkat bersamaan dengan ekskresi manitol. Peningkatan dalam laju aliran urin menurunkan waktu kontak antara cairan dan epitel tubulus sehingga menurunkan reabsobsi Na+. Namun demikian, natriureis yang terjadi kurang berarti dibandingkan dengan diureisi air, yang mungkin menyebabkan Hipernatremia. Karena diuretic Osmotik untuk meningkatkan ekskresi air dari pada ekskresi natrium, maka obat ini tidak digunakan untuk mengobati Retensi Na+. Manitol mempuyai efek meningkatkan ekskresi sodium, air, potassium dan chloride, dan juga elekterolit lainnya.

2.3 FARMAKOKINETIK

Manitol merupakan diuretik osmotik yang spesifik karena tidak diabsorpsi dalam traktus gastrointestinal. Manitol sangat sedikit dimetabolisme oleh tubuh, lebih kurang 7% dimetabolisme di hati dan hanya 7% diabsorpsi. Sebagian besar manitol (>90%) dikeluarkan oleh ginjal dalam bentuk utuh pada urin. Manitol diekresikan melalui filtrasi glomerulus dalam waktu 30 – 60 menit setelah pemberian. Diuretic osmotic absobsinya buruk bila diberikan peroral, sehingga obat ini harus diberikan secara parenteral (intravena) dalam jumlah besar.

Berdasarkan farmakokinetik dan farmakodimik diketahui beberapa mekanisme aksi dari kerja Manitol sekarang ini adalah sebagai berikut:

1)      Menurunkan Viskositas darah dengan mengurangi haematokrit, yang penting untuk mengurangi tahanan pada pembuluh darah otak dan meningkatkan aliran darah ke otak, yang diikuti dengan cepat vasokontriksi dari pembuluh darah arteriola dan menurunkan volume darah otak. Efek ini terjadi dengan cepat (menit).

2)      Manitol tidak terbukti bekerja menurunkan kandungan air dalam jaringan otak yang mengalami injuri, manitol menurunkan kandungan air pada bagian otak yang yang tidak mengalami injuri, yang mana bisa memberikan ruangan lebih untuk bagian otak yang injuri untuk pembengkakan (membesar).

3)      Cepatnya pemberian dengan bolus intravena lebih efektif dari pada infuse lambat dalam menurunkan peningkatan tekanan intra cranial.

4)      Terlalu sering pemberian manitol dosis tinggi bisa menimbulkan gagal ginjal. ini dikarenakan efek osmolalitas yang segera merangsang aktivitas tubulus dalam mensekresi urine dan dapat menurunkan sirkulasi ginjal.

5)      Pemberian manitol bersama lasik (Furosemid) mengalami efek yang sinergis dalam menurunkan PTIK. Respon paling baik akan terjadi jika Manitol diberikan 15 menit sebelum Lasik diberikan.

2.4 INDIKASI dan DOSIS

Manitol dapat digunakan misalnya untuk profilaksis gagal ginjal akut, suatu keadaan yang dapat timbul akibat operasi jantung, luka traumatik berat, dan menderita ikterus berat. Manitol juga banyak digunakan untuk menurunkan tekanan serebrospinal dan tekanan intraokuler, serta pada pengelolaan terhadap reaksi hemolitik transfusi.

Terapi penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan tekanan intra cranial dimulai bila mana tekanan Intra cranial 20-25 mmHg. Managemen Penatalaksanaan Peningkatan tekanan Intra cranial salah satunya adalah pemberian obat diuretik osmotik (Manitol), khususnya pada keadaan patologis Oedema Otak.

Manitol tersedia dalam berbagai kemasan dan konsentrasi, yaitu: manitol 10% dalam kemasan plabottle 250 ml (25 gr) dan 500 ml (50 gr). Manitol 20% dalam kemasan plabottle 250 ml (50 gr) dan 500 ml (100 gr). Sebelum digunakan manitol dihangatkan terlebih dahulu untuk melarutkan kristal-kristalnya. Untuk menurunkan tekanan Intra cranial, dosis Manitol 0.25 – 1 gram/kgBB diberikan bolus intra vena atau dosis tersebut diberikan selama lebih dari 10 – 15 menit. Manitol dapat juga diberikan/dicampur dalam larutan Infus 1.5 – 2 gram/KgBB sebagai larutan 15-20% yang diberikan selama 30-60 menit. Manitol diberikan untuk menghasilkan nilai serum osmolalitas 310 – 320 mOsm/L dan seringkali dipertahankan antara 290 – 310 mOsm. Tekanan Intra cranial harus dimonitor, harus turun dalam waktu 60 – 90 menit, karena efek manitol dimulai setelah 0.5 – 1 jam pemberian. Fungsi ginjal, elektrolit, osmolalitas serum juga dimonitor selama mendapatkan terapi manitol. Diperlukan perhatian dalam pemberian manitol bila osmolalitas lebih dari 320 mOsm/L. Karena Diureis, Hipotensi dan dehidrasi dapat terjadi dengan pemberian manitol dalam jumlah dosis yang banyak.

2.5 KONTRA INDIKASI

Pada penderita payah jantung pemberian manitol berbahaya, karena volume darah yang beredar meningkat sehingga memperberat kerja jantung yang telah gagal. Pemberian manitol juga dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria, kongesti atau udem paru yang berat, dehidrasi hebat, dan perdarahan intra kranial, kecuali bila akan dilakukan kraniotomi, serta pada pasien yang hipersensitivitas terhadap manitol.

 

2.6 TOKSISITAS

1)      Ekspansi Cairan Ekstraseluler.

Manitol secara cepat didistribusikan ke ruangan ekstraseluler dan mengeluarkan air dari ruang intraseluler. Awalnya, hal ini akan menyebabkan ekspansi cairan ektraseluler dan hiponatremia. Efek ini dapat menimbulkan komplikasi gagal jantung kongestif dan akan menimbulkan edema paru. Sakit kepala, mual, dan muntah ditemukan pada penderita yang mendapatkan diuretic ini.

2)      Dehidrasi Dan Hipernatremia.

Penggunaan Manitol berlebihan tanpa disertai pergantian air yang cukup dapat menimbulkan dehidrasi berat, kehilangan air dan hipernatremia. Komplikasi ini dapat dihindari dengan memperhatikan ion serum dan keseimbangan cairan.

3)      Hiperkalemia

Hiperkalemia juga dapat timbul, dimana kadar potasium meningkat dalam darah. Pasien harus segera diobservasi untuk tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit dan cairan ini dengan pemeriksaan elektrolit darah.

4)      Reaksi anafilaksis atau alergi

Reaksi anafilaksis atau alergi bisa terjadi yang menyebabkan kardiak output dan tekanan arterial gagal drastis. Destruksi eritrosit yang ireversibel juga dapat terjadi pada pemberian manitol.

BAB III

KESIMPULAN

Manitol merupakan diuretik osmotik yang bekerja dengan cara meningkatkan tekanan osmotik cairan intravaskuler sehingga diharapkan cairan tertarik ke dalam vaskuler dan efek pada ginjal dapat meningkatkan aliran plasma, dan menghambat reabsorpsi air dan elektrolit di tubulus proksimal, ansa henle, dan duktus koligentes. Sehingga manitol dapat digunakan dalam penatalaksanaan pencegahan gagal ginjal akut pada tindakan operasi dan luka traumatik berat, juga dapat digunakan dalam menurunkan tekanan intrakranial dan intraokuler pada penderita glaukoma serta dapat digunakan sebagai anti oedem. Lebih spesifik lagi manitol sering digunakan sebagai anti oedem otak.

Selain hal-hal yang memberikan manfaat, manitol juga dapat memberikan efek yang tidak diharapkan seperti pada pasien-pasien dengan payah jantung dan kongestif atau udem paru yang merupakan kontra indikasi. Reaksi hipersensitifitas juga dapat timbul pada pemberian manitol. Pengawasan pasien selama pemberian manitol harus dilakukan terutama terhadap tanda-tanda adanya payah jantung, kongesti atau oedem paru serta adanya tanda-tanda ketidak seimbangan elektrolit terutama kalium.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

  1. Sunaryo R. Obat yang Mempengaruhi Air dan Elektrolit. Dalam: Ganiswara SG, Setiabudy Rp, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, Ed. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Jakarta. Gaya Baru. 1997; 380-399.
  2. Kohler C & PPE. Intramed Mannitol 20% m/v Infusion. 12-214/8-94. 1979 January. Available from: URL: http://www.home.intekom.com/pharm/intramed/ manitl20.html.
  3. Guyton AC. Fisiologi Manusia & Mekanisme Penyakit. Edisi ke-3. Jakarta. EGC. 1995; 310-320.
  4. Mannitol (Diuretico Osmotico). Available from: URL: http://www.thejog.com/ urgencies/64.html#indica0.
  5. Saanin Syaiful. Ilmu Bedah Saraf. Lab. Bedah Saraf RS. M. Jamil, FK UNAND Padang. Available from: URL: http://www.agelfire.com/nc/neurosurgery/PIS. html.
  6. Winotopradjoko M, Patra K, Ritiasa K, et al. ISO Indonesia. Edisi Farmakoterapi. Vol XXXV. Jakarta. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2000; 243.
  7. PT Otsuka Indonesia. Pedoman Cairan Infus. Edisi ke-7. PT Otsuka Indosesia. 2000; 11.


BAB I

PENDAHULUAN

I.1     LATAR BELAKANG

Clavikula (tulang selangka) adalah tulang menonjol di kedua sisi di bagian depan bahu dan atas dada. Dalam anatomi manusia, tulang selangka atau clavicula adalah tulang yang membentuk bahu dan menghubungkan lengan atas pada batang tubuh. serta memberikan perlindungan kepada penting yang mendasari pembuluh darah dan saraf.

Fraktur clavicula merupakan 5% dari semua fraktur sehingga tidak jarang terjadi. Fraktur clavicula juga merupakan cedera umum di bidang olahraga seperti seni bela diri, menunggang kuda dan balap motor melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung.

I.2        RUMUSAN MASALAH

I.2.1 Bagaimana etiologi, patogenesis, pemeriksaan fisik, diagnosis dan penatalaksanaan fraktur clavicula?

I.3        TUJUAN

I.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, pemeriksaan fisik, diagnosis dan penatalaksanaan fraktur clavicula.

I.4        MANFAAT

I.4.1     Menambah wawasan mengenai penyakit bedah khususnya fraktur clavicula.

I.4.2     Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah orthopedi.

BAB I

STATUS PENDERITA

  1. A.    IDENTITAS PENDERITA

Nama                     : Sdr. A

Umur                     : 21 tahun

Jenis kelamin         : Laki-laki

Pekerjaan               : swasta

Agama                   : Islam

Alamat                  : panggung rejo kepanjen

Status perkawinan : Belum Menikah

Suku                      : Jawa

Tanggal MRS        : jumat, 8 april 2011

Tanggal periksa     : jumat, 15 april 2011

No. Reg                 : 151573

  1. B.     ANAMNESA
  2. Keluhan utama            : bahu sebelah kiri terasa nyeri
  1. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke UDG RSUD kanjuruhan kepanjen diantar polisi dalam keadaan pingsan setelah jatuh dari sepeda ontel ±1 jam sebelum MRS. Setelah sadar pasien bercerita bahwa bahu kirinya terasa nyeri sesaat setelah kejadian.

Pasien mampu menceritakan kronologis kejadian yaitu saat kejadian pasien sedang dalam perjalanan kerumah temannya. Pasien jatuh dari sepeda ontel yang ditarik menggunakan tali oleh temannya yang mengendarai sepeda motor. Awalnya pasien masih bisa mengimbangi, namun saat kecepatan sepeda motor yang mengikatnya mulai bertambah kira-kira 60 km/jam, maka pasien oleng dan terjatuh ke tanah dengan posisi kepala terlebih dahulu disusul oleh bahu kiri.

Saat kejadian pasien tidak mengalami mual ataupun muntah, tapi pasien mengaku kepalanya pusing. Pasien tidak mengalami gangguan BAK ataupun gangguan BAB.

  1. Riwayat penyakit dahulu

­   Riwayat trauma sebelumnya tidak ditemukan

­   Pasien tidak pernah mengalami sakit yang sama sebelumnya

  1. riwayat pengobatan

–        mengkonsumsi obat-obatan untuk DM tidak ditemukan

–        mengkonsumsi obat-obatan untuk hipertensi tidak ditemukan

–        penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama tidak ditemukan

  1. PRIMARY SURVEY
  • Airway : tidak ada gangguan jalan nafas
  • Breathing : Pernafasan 24x/mnt
  • Circulation : tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi; 87x/mnt
  • Disability : GCS E4 V5 M6
  • Exposure : Suhu 36,8 oC

  1. D.    SECONDARY SURVEY

Status Lokalis : Regio clavicula sinistra

  • Look             :  Tak tampak luka, tidak terdapat penonjolan abnormal,  oedem (+), deformitas (+) , tampak pemendekan dibandingkan dengan clavicula dekstra, angulasi (+), tak tampak sianosis pada bagian distal lesi
  • Feel               :  Nyeri tekan setempat (+), krepitasi (+), cekungan pada 1/3 mid clavicula (+), sensibilitas (+), suhu rabaan hangat, NVD (neurovaskuler disturbance) (-): kapiler refil (+), arteri brachialis teraba (+)
  • Move       :  Gerakan aktif dan pasif terhambat, Gerakan abduksi lengan kiri terhambat, gerakan adduksi lengan kiri tidak terhambat, gerakan rotasi sendi bahu terhambat,  sakit bila digerakkan, gangguan persarafan tidak ada, tampak gerakan terbatas (+), sendi-sendi pada pada bagian distal dapat digerakkan

  1. RESUME

laki-laki umur 21 tahun datang dengan keluhan nyeri pada bahu kiri setelah jatuh dari sepeda ontel sejak ±1jam sebelum MRS, pingsan (+), muntah(-), kepala pusing (+).

Primary survey tidak didapatkan kelainan. Secondary survey region clavicula sinistra didapatkan oedem (+), deformitas (+) , tampak pemendekan dibandingkan dengan clavicula dekstra, angulasi (+), nyeri tekan setempat (+), krepitasi (+),gerakan aktif dan pasif terhambat, Gerakan abduksi lengan kiri terhambat, gerakan rotasi sendi bahu terhambat,  sakit bila digerakkan tampak gerakan terbatas (+).

F. DIAGNOSA KERJA

close fracture clavicula sinistra

  1. G.    PLANNING DIAGNOSA
  • Planning pemeriksaan

–     Foto rontgen regio clavicula sinistra AP, rontgen Thorax + Rontgen cervical AP – Lateral

–     Lab : DL, CT, BT, HbSAg

  • Planning Terapi
  1. Non operatif
    1. Medikamentosa
  • Analgetik
  1. Non medikamentosa
  • Pemasangan mitela atau ransel verband
  1. Operatif

Reposisi terbuka dan fiksasi interna : ORIF

BAB III

PEMBAHASAN PENYAKIT

  1. DEFINISI FRAKTUR

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.

  1. B.     MEKANISME PENYEBAB FRAKTUR

Trauma penyebab fraktur dapat bersifat:

  1. Trauma langsung
  • Frakur terjadi di daerah yang mengalami tekanan langsung
  • Biasanya kopmunitif
  • Jaringan lunak mengalami kerusakan
  • Trauma dihantarkan dari daerah yang lebih jauh dari fraktur
  • Jaringan lunak utuh
  1. Trauma tidak langsung

  1. C.    ANATOMI CLAVICULA

Dalam anatomi manusia, tulang selangka atau clavicula adalah tulang yang membentuk bahu dan menghubungkan lengan atas pada batang tubuh.

Clavicula berbentuk kurva-ganda dan memanjang. Ini adalah satu-satunya tulang yang memanjang horizontal dalam tubuh. Terletak di atas tulang rusuk pertama. Pada ujung medial, clavicula bersendi pada manubrium dari sternum (tulang dada) pada sendi sternoclavicularis. Pada bagian ujung lateral bersendi dengan acromion dari scapula (tulang belikat) dengan sendi acromioclavicularis.

Pada wanita, clavicula lebih pendek, tipis, kurang melengkung, dan permukaannya lebih halus.

Fungsi clavicula berguna untuk:

  • Sebagai pengganjal untuk menjauhkan anggota gerak atas dari bagian dada supaya lengan dapat bergerak leluasa.
  • Meneruskan goncangan dari anggota gerak atas ke kerangka tubuh (aksial).

Walaupun dikelompokkan dalam tulang panjang, clavicula adalah tulang satu-satunya yang tidak memiliki rongga sumsum tulang seperti pada tulang panjang lainnya. Clavicula tersusun dari tulang spons.

Perlekatan

Otot-otot dan ligamentum yang berlekatan pada clavicula:

Permukaan superior:

  • Otot deltoideus pada bagian tuberculum deltoideus
  • Otot trapezius

Permukaan inferior

  • Otot subclavius pada sulcus musculi subclavii
  • Ligamentum conoideum (bagian medial dari ligamentum coracoclaviculare) pada tuberculum conoideum
  • Ligamentum trapzoideum (bagian lateral dari ligamentum coracoclaviculare pada linea trapezoidea

Batas anterior:

  • Otot pectoralis mayor
  • Otot deltoideus
  • Otot sternocleidomastoid
  • Otot sternohyoideus
  • Otot trapezius

Perkembangan

Clavicula adalah tulang pertama yang mengalami proses pengerasan osifikasi selama perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6. Clavicula juga yang merupakan tulang terakhir yang menyelesaikan proses pengerasan yakni pada usia 21 tahun.

  1. D.    FRAKTUR CLAVICULA
  • Cukup sering sering ditemukan (isolated, atau disertai trauma toraks, atau disertai trauma pada sendi bahu ).
  • Lokasi fraktur klavikula umumnya pada bagian tengah (1/3 tengah)
  • Deformitas, nyeri pada lokasi taruma.
  • Foto Rontgen tampak fraktur klavikula

  1. E.     KLASIFIKASI FRAKTUR KLAVIKULA
  1. Fraktur mid klavikula ( Fraktur 1/3 tengah klavikula)
  • paling banyak ditemui
  • terjadi medial ligament korako-klavikula ( antara medial dan 1/3 lateral)
  • mekanisme trauma berupa trauma langsung atau tak langsung ( dari lateral bahu)
  1. Fraktur 1/3 lateral klavikula

fraktur klavikula lateral dan ligament korako-kiavikula, yang dapat dibagi:

  • type 1: undisplaced jika ligament intak
  • type 2 displaced jika ligamen korako-kiavikula rupture.
  • type 3 : fraktur yang mengenai sendi akromioklavikularis.

Mekanisme trauma pada type 3 biasanya karena kompresi dari bahu.

  1. Fraktur 1/3 medial klavikula

Insiden jarang, hanya 5% dan seluruh fraktur klavikula. Mekanisme trauma dapat berupa trauma langsung dan trauma tak langsung pada bagian lateral bahu yang dapat menekan klavikula ke sternum . Jatuh dengan tangan terkadang dalam posisi abduksi.

  1. F.     PATOFISIOLOGI

Pada fraktur sepertiga tengah klavikula otot stemokleidomastoideus akan menarik fragmen medial keatas sedangkan beban lengannya akan menarik fragmen lateral ke bawah. Jika fraktur terdapat pada ligament korako-klavikula maka ujung medial klavikula sedikit bergeser karena ditahan ligament ini.

Fraktur yang terjadi kearah medial terhadap fragment maka ujung luar mungkin tampak bergeser kearah belakang dan atas, sehingga membentuk benjolan dibawah kulit.

  1. G.    PEMERIKSAAN KLINIS

Fraktur klavikula sering terjadi pada anak-anak. Biasanya penderita datang dengan keluhan jatuh dan tempat tidur atau trauma lain dan menangis saat menggerakkan lengan. Kadangkala penderita datang dengan pembengkakan pada daerah klavikula yang terjadi beberapa hari setelah trauma dan kadang-kadang fragmen yang tajam mengancam kulit. Ditemukan adanya nyeri tekan pada daerah klavikula.

  1. H.    PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Pemeriksaan rontgen anteroposterior dan klavikula biasanya dapat membantu menegakkan diagnosis dan fraktur. Fraktur biasanya terjadi pada 1/3 tengah dan fragmen luar terletak dibawah fragmen dalam. Fraktur pada 1/3 lateral klavikula dapat terlewat atau tingkat pergeseran salah dikira kecil, kecuali kalau diperoleh foto tambahan pada bahu.

  1. I.       INDIKASI OPERASI
  • Fraktur terbuka.
  • Fraktur dengan gangguan vaskularisasi
  • Fraktur dengan “scapulothorcic dissociation” (floating shoulder)
  • Fraktur dengan displaced glenoid neck fraktur
  • Brachial plexus injury
  • Ruptur ligamentum korakoklavikulare
  • Delayed/ non union
  • penderita aktif yang segera akan kembali pada pekerjaan semula.
  • Kosmetik

  1. J.      TEKNIK PENANGANAN TERAPI KONSERVATIF DAN OPERASI

Penatalaksanaan Fraktur Klavikula:

  1. Fraktur 1/3 tengah

Undisplaced fraktur dan minimal displaced fraktur diterapi dengan menggunakan sling, yang dapat mengurangi nyeri.

Displaced fraktur fraktur dengan gangguan kosmetik diterapi dengan menggunakan commersial strap yang berbentuk angka 8 (“Verband figure of eight”) sekitar sendi bahu, untuk menarik bahu sehingga dapat mempertahankan alignment dan fraktur. Strap harus dijaga supaya tidak terlalu ketat karena dapat mengganggu sirkulasi dan persyarafan. Suatu bantal dapat diletakkan di antara scapula untuk menjaga tarikan dan kenyamanan. Jika commersial strap tidak dapat digunakan balutan dapat dibuat dari “tubular stockinet”, ini biasanya digunakan untuk anak yang berusia <10 tahun.

Pemakaian strap yang baik:

  1. menarik kedua bahu, melawan tekanan dipusat, dan daerah interscapula selama penarikan fraktur.
  2. tidak menutupi aksila, untuk kenyamanan dan hygiene.
  3. menggunakan bantalan yang bagus.
  4. tidak mengganggu sirkulasi dan persyarafan kedua lengan.

Plating Clavikula

Gunakan insisi sesuai garis Langer untuk mengekspos permukaan superior clavikula. Hindari flap kulit undermining dan kerusakan saraf supraklavikula. Hindari juga diseksi subperiosteal pada fracture site.

Lakukan reduksi fragmen fraktur jika memungkinkan pasang lag screw melintasi fraktur. Plate diletakkan di sisi superior clavikula dengan 3 screw pada masing-masing sisi fraktur untuk mencapai fiksasi yang solid.

Jika diperlukan diletakan subkutaneus drain, luka operasi ditutup dengan jahitan subcuticular.

  1. Fraktur lateral

Undisplaced fraktur dapat diterapi dengan sling. Displaced fraktur dapat diterapi dengan sling atau dengan open reduction dan internal fiksasi.

Jika pergeseran lebih dari setengah diameter klavikula harus direduksi dan internal fiksasi. Bila dibiarkan tanpa terapi akan terjadi deformitas dan dalam beberapa kasus rasa tidak enak dan kelemahan pada bahu karena itu terapi diindikasikan melalui insisi supraklavikular, fragmen diaposisi dan dipertahankan dengan pen yang halus, yang menembus kearah lateral melalui fragmen sebelah luar dan akromion dan kemudian kembali ke batang klavikula. Lengan ditahan dengan kain gendongan selama 6 minggu dan sesudah itu dianjurkan melakukan pergerakan penuh.

  1. K.    KOMPLIKASI OPERASI
  1. Komplikasi dini

kerusakan pada pembuluh darah atau saraf ( jarang terjadi)

  1. Komplikasi lanjut
  • non-union : jarang terjadi dapat diterapi dengan fiksasi interna dan pencangkokan tulang yang aman.
  • mal-union :
  1. meninggalkan suatu benjolan, yang biasanya hilang pada waktunya.
  2. untuk memperoleh basil kosmetik yang baik dan cepat dapat menjalani terapi yang lebih drastis yaitu fraktur direduksi dibawah anastesi dan dipertahankan reduksinya dengan menggunakan gips yang mengelilingi dada ( wirass)
  • kekakuan bahu sering ditemukan, hanya sementara, akibat rasa takut untuk menggerakkan fraktur. Jari juga akan kaku dan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk memperoleh kembali gerakan, kecuali kalau dilatih.

  1. L.     PERAWATAN PASCABEDAH

Rehabilitasi

Commersial strap yang berbentuk angka 8, harus di follow up apakah sudah cukup kencang. Strap ini harus dikencangkan secara teratur. Anak anak <10 tahun menggunakan strap atau splint selama 3-4 minggu sampai bebas nyeri, sedangkan orang dewasa biasanya membutuhkan waktu 4-6 minggu. Pasien dianjurkan untuk melakukan pergerakan seperti biasa begitu nyeri berkurang (strap/splint/sling sudah dilepas).

 BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesa didapatkan Sdr. A laki-laki umur 21 tahun dibawa ke UGD RSUD kanjuruhan kepanjen dengan nyeri pada bahu kiri setelah jatuh dari sepeda ontel sejak ±1jam lalu, pingsan (+), muntah (-), kepala pusing (+).

Primary survey didapatkan circulation : tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi; 102x/mnt, disability : GCS E3 V5 M6.

Secondary survey didapatkan, Look: oedem (+), terdapat deformitas (+) pada sepertiga mid clavicula, angulasi (+). Feel: nyeri tekan setempat (+), krepitasi (+), cekungan pada 1/3 mid clavicula (+), sensibilitas (+), suhu rabaan hangat, kapiler refil (+). Move: Gerakan aktif dan pasif terhambat, Gerakan abduksi lengan kiri terhambat, gerakan rotasi sendi bahu terhambat,  sakit bila digerakkan tampak gerakan terbatas (+).

Berdasarkan anamnesa, primary survey dan secondary survey didapatkan diagnose close fracture mid 1/3 clavicula sinistra.

DAFTAR PUSTAKA

Penanganan konservatif dan operatif fraktur clavicula 1/3 Tengah. Available http://bedahumum.wordpress.com/?s=fraktur+clavicula. Diakses tanggal 19 april 2011.

Indah Kusuma Dewi. 2010. presentasi kasus Fraktur Clavicula dan Fraktur Costae.available at http//:Scribs.com. diakses tanggal 19 april 2011.

Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “fraktur clavicula”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm. 858.

Harri Prawira Ezzedin. 2009. Fraktur. Faculty of Medicine – University of Riau Pekanbaru, Riau. available at (http://www.Belibis17.tk. Di akses tanggal 6 april 2011.

M, Kevin. Fraktur klavikula. Klinik Olahraga dan Orthopedi Singapura. Available at http://indonesian.orthopaedicclinic.com.sg/?p=940. Diakses tanggal 19 april 2011.


BAB I

PENDAHULUAN

I.1     LATAR BELAKANG

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali menimbulkan masalah kesehatan.2

Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisits. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.2

Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.

I.2        RUMUSAN MASALAH

I.2.1 Bagaimana etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan apendisitis?

I.3        TUJUAN

I.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan apendisitis.

I.4        MANFAAT

I.4.1     Menambah wawasan mengenai penyakit bedah khususnya apendisitis.

I.4.2     Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah.

BAB I

STATUS PENDERITA

  1. A.    IDENTITAS PENDERITA

Nama                     : Sdr. H

Umur                     : 18 tahun

Jenis kelamin         : Laki-laki

Pekerjaan               : pelajar

Agama                   : Islam

Alamat                  : kepanjen

Status perkawinan : Belum Menikah

Suku                      : Jawa

Tanggal periksa     : senin, 28 maret 2011

No. Reg                 : 249795

  1. B.     ANAMNESA
  2. Keluhan utama            : sakit perut sebelah kanan
  1. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut sebelah kanan bawah sejak ± 2 tahun. Sakit atau nyeri yang dirasa seperti dipukul-dipukul. Keluhan dirasa hilang timbul dan saat sakit sedang kumat maka akan terasa menjalar sampai ke kaki. Sebelum sakit 2 tahun tang lalu pasien sempat mengalami demam. Kadang-kadang pasien merasa mual, dan perut terasa sakit saat dibuat berjalan ataupun batuk. BAB dan BAK pasien dirasa lancer dan tidak ada keluhan.

  1. Riwayat penyakit dahulu

­   Pasien tidak pernah mengalami sakit yang sama sebelumnya

­   Riwayat hipertensi (-), DM (-), alergi (-)

  1. Riwayat penyakit keluarga

­   riwayat keluarga dengan penyakit serupa (-)

­   hipertensi (-), DM (-, alergi (-)

  1. Riwayat kebiasaan

­   Pasien suka sekali dengan makanan pedas

  1. riwayat pengobatan

–        selama sakit ini pasien tidak pernah berobat kedokter, hanya minum obat-obatan yang dibeli sendiri di warung.

C. PEMERIKSAAN FISIK

  1. keadaan umum : tampak lemah sedikit kesakitan dengan berjalan sedikit bungkuk dan memegang perutnya yang sakit.
  2. 2.      vital sign

tensi     : 120/80 mmHg

nadi     : 80x/mnt

RR       : 18x/mnt

suhu     : 370

  1. 3.      status lokalis

Abdomen

Inspeksi           : jaringan parut (-), umbilicus hernia (-), tumor (-), gelombang peristaltic (-), pulsasi (-)

Auskultasi       : bising usus (+) normal, bruit (-)

Palpasi             : defans muskuler (+), nyeri tekan titik Mc Burney (+), nyeri lepas titik Mc Burney (+), rovsing sign (+), Blumberg sign (+)

Perkusi            : timpani di area umbilical

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

–        USG abdomen

–        Usulan pemeriksaan jumlah leukosit

  1. F.     DIAGNOSA

Suspect apendisitis kronis eksaserbasi akut

  1. G.    DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

­   Gastroenteritis

­   Urolitiasis pyelum/ureter kanan

  1. H.    PENATALAKSANAAN

–        Apendiktomi

–        Amoxicillin 3×500 mg No.X

–        Asam mefenamat 3x500mg No.X

 BAB III

PEMBAHASAN PENYAKIT

  1. A.    Anatomi

Appendix merupakan organ berbentuk cacing, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendix berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kea rah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.

Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, dibelakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. oleh karena itu,  nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.

Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.

  1. B.     FISIOLOGI

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir kedalam sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.

Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

  1. C.    EPIDEMIOLOGI

Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya turun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.

Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insiden lelaki lebih tinggi.

  1. D.    ETIOLOGI

Apendisitis akut merupakan infeksi bacteria. Berbagai hal berperan sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan factor yang diajukan sebagai factor pencetus disamping hyperplasia jaringan limf, fekalit (feses keras), tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosaapendiks karena parasit seperti E. hystolitica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.

  1. E.     PATOFISIOLOGI

Patologi apendisitis dapat dimulai dimukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk masa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Didalamnya dapat terjadi proses nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang akan menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.

  1. F.     GAMBARAN KLINIS

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas  letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.2,3,4

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.2,4

  1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
  2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
  • Bila apendiks terletak di dekat  atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
  • Bila apendiks  terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.2,3

  1. Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah-  muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini,  sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

  1. Pada orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

  1. Pada wanita

Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih  ke regio lumbal kanan.

Gambaran klinis apendisitis akut
–        Tanda awal à nyeri mulai di epigastrium atau region umbilikalis disertai mual dan anoreksia-        Nyeri pindah ke kanan bawah menunjukkan tanda rangsangan peritoneum local dititik McBurney
  • Nyeri tekan
  • Nyeri lepas
  • Defans muskuler

–        Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung

  • Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (rovsing sign)
  • Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg sign)
  • Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti bernafas dalam, berjalan, batuk, mengedan

  1. G.    PEMERIKSAAN

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,50C. bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksiler dan rectal sampai 10C. pada inspeksi perut tidak didapatkan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler.

Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada region iliakan dekstra, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri diperut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.

Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolatodorsal oleh uterus, keluhan nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trisemester II dan III akan bergeser ke kanan sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trisemester I tidak berbeda pada orang dengan tidak hamil Karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri berasal dari uterus atau dari apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari apendiks.

Peristaltic usus sering normal; peristaltic dapat hilang akibat ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforate.

Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.

Pada apendisitis pelvika tanda perut sering mmeragukan maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan coloh dubur. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas mayor, tindakan tersebut akan menyebabkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endotorsi endi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendiksitis pelvika.

  1. H.    DIAGNOSIS

Meskipun pemmeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti diagnosis klinis apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diasgnosis lebih sering pada perempuan dibanding lelaki. Hal ini dapat disadari mengingat perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologikk lainnya.

Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitiis akut bila diagnosis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita dirumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam.

Foto barium kurang dapat dipercaya. USG bisa menigkatkan akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan.

  1. I.       PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi.

Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada  pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang  terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.3,5

  1. J.      DIAGNOSIS BANDING
  • Gastroenteritis à mual, muntah dan diare mendahuluii rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.
  • Demam dengue à dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Disini didapatkan hasil tes positif untuk rumple leed, trombositopenis dan hematokrit yang meningkat.
  • Limfadenitis mesenterika à biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan mual, nyeri tekan perut samar terutama kanan.
  • Kelainan ovulasi à folikel ovarium yang pecah mungki memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selam 2 hari.
  • Infeksi panggul à salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
  • Kehamilan di luarr kandungan à hamper selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada rupture tuba atau abortus kehamilan diluar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus  di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.
  • Kista ovarium terpuntir à timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba masa dalam rongga pelvis pada pemmeriksaan perut, colok vaginal atau colok rectal. Tidak ada demam. USG untuk diagnosis.
  • Endometriosis eksterna à nyeri ditempat endometrium berada.
  • Urolitiasis pielum/ ureter kanan à batu ureter atau batu ginjal kanan. Riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan dan piuria.
  • Penyakit saluran cerna lainnya.

  1. K.    PENATALAKSANAAN

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Penundaan tindak bedah sambil pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Apendiktomi bisa dilakukan secara terbuka atau pun dengan cara laporoskopi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata.

Apendiktomi dapat dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi. Bila apendiktomi terbuka, incise McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah.

TEKNIK APENDIKTOMI McBurney

  1. Pasien berbaring terlentang dalam anastesi umum ataupun regional. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah.
  2. Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm (gambar 40.1.a) dan otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya, berturut-turut m. oblikus abdominis eksternus, m. abdominis internus, m. transverses abdominis, sampai akhirnya tampak peritoneum (gambar 40.1.b).
  1. Peritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi (gambar 40.2.a)
  2. Sekum beserta apendiks diluksasi keluar (gambar 40.2.b)
  1. Mesoapendiks dibebaskan dann dipotong dari apendiks secara biasa, dari puncak kea rah basis (gambar 40.3.a dan 40.3.b)
  2. Semua perdarahan dirawat.
  1. Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra, basis apendiks kemudian dijahit dengan catgut (gambar 40.4.a)
  2. Dilakukan pemotongan apendiks apical dari jahitan tersebut (gambar 40.4.b)
  1. Puntung apendiks diolesi betadine
  2. Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul tersebut. Mesoapendiks diikat dengan sutra (gambar 40.5.a dan 40.5.b)
  3. Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat didalamnya, semua perdarahan dirawat.
  4. Sekum dikembalikan ke abdomen.

  1. Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan didekatkan untuk memudahkan penutupannya. Peritoneum ini dijahit jelujur dengan chromic catgut dan otot-otot dikembalikan (gambar 40.6)

 L.     KOMPLIKASI

Beberpa komplikasi yang dapat terjadi :

  1. Perforasi

Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik.

  1. Peritonitis

Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).

  1. Massa Periapendikuler

Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal.

  1. M.   PROGNOSIS

Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendix perforasi atau apendix gangrenosa.

  1. N.    PENCEGAHAN

Sering makan makanan berserat dan menjaga kebersihan.

BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesa didapatkan pasien nyeri perut kanan bawah sejak ±2 tahun, nyeri tumpul dan menjalar. Dari pemeriksaan abdomen didapatkan defans muskuler (+), nyeri tekan titik Mc Burney (+), nyeri lepas titik Mc Burney (+), rovsing sign (+), Blumberg sign (+), maka didapatkan diagnose Suspect apendisitis kronis eksaserbasi akut. Diusulkan pemeriksaan leukosit dan USG abdomen. Penatalaksanaan apendiktomi, antibiotic dan analgesic.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah Digestif”, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima. Media Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.

[2] Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.

[3] Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., “Acute Appendicitis in Children”, JAMA, http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 15 Juli 2007, 298(4): 482.

[4] Simpson, J., Humes, D. J., “Acute Appendicitis”, BMJ, http://www.bmj.com/cgi/content/full/333/7567/530, 9 September 2006, 333: 530-536.

[5] Mittal, V.K., Goliath, J., Sabir, M., Patel, R., Richards, B.F., Alkalay, I., ReMine, S., Edwards,M., “Advantages of Focused Helical Computed Tomographic Scanning With Rectal Contrast Only vs Triple Contrast in the Diagnosis of Clinically Uncertain Acute Appendicitis”, Archives of Surgery, http://archsurg.ama-assn.org/cgi/content/full/139/5/495, Mei 2004, 139(5): 495-500

[6] Grace, Pierce. A., Neil R. Borley., At a Glance, Edisi 3. Erlangga, Jakarta, 2007, hlm.106-107.

[7]Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-6. Jakarta: EGC.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG

Hemorrhoid atau wasir adalah dilatasi varikosus vena dari pleksus hemorrhoidal inferior atau superior, akibat dari peningkatan tekanan vena yang persisten. Survey di negara barat menyebutkan bahwa setengah dari populasi berumur diatas 40 tahun menderita penyakit ini dengan insidensi tertinggi antara 45 sampai 65 tahun dan ditemukan seimbang antara pria dan wanita. Penyakit ini bisa disertai gejala mulai dari ringan hingga berat. Walaupun penyakit ini tidak mengancam  jiwa, tetapi dapat menyebabkan perasaan yang sangat tidak nyaman dan diperlukan tindakan.

Hemorrhoid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran balik vena hemoroidalis. Beberapa faktor risiko terjadinya hemorrhoid adalah faktor kerusakan dari tonus sphincter atau defisiensi sphincter ani, hereditas, obstruksi vena, kebiasaan defekasi dan akibat langsung prolaps dari lapisan pembuluh darah. Yang mengakibatkan obstruksi vena yaitu kehamilan, asites, tumor pelvis, sirosis hepatis dan hemorrhoid dengan akibat langsung prolaps dari lapisan pembuluh darah dapat terjadi karena faktor endokrin, umur, kehamilan, konstipasi dan juga tegangan yang lama saat defekasi.

Prevalensi penyakit ini rendah pada negara berkembang dibandingkan negara maju. Beberapa pustaka menyebutkan bahawa salah satu faktor yang mempengaruhi hal ini adalah pola makan yang berbeda, yaitu diet tinggi serat di negara berkembang dan tinggi lemak pada negara maju. Hal ini menjelaskan hubungan sebab akibat dimana populasi dengan diet serat yang tinggi, maka angka kejadian hemorrhoidnya akan rendah.

1.2              BATASAN MASALAH

Laporan Kasus ini berisi tentang Anamnesa, pemeriksaan fisik, gejala pasien, serta penatalaksanaan Hemorrhoid. Laporan ini juga membahas sedikit mengenai Hemorrhoid secara umum.

1.3              TUJUAN PENULISAN

Penulisan Laporan Kasus ini bertujuan untuk:

–          Melaporkan pasien dengan diagnose Hemorrhoid.

–          Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

–          Memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang.

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1       IDENTITAS

Nama                           : Tn.S

Umur                           : 51 tahun

Jenis kelamin               : Laki-laki

Alamat                        : Sumber Pucung

Pekerjaan                     : Petani

Pendidikan                  : tamat SD

Agama                         : Islam

St.Perkawinan             : Menikah

Suku                            : Jawa

Tgl. Berobat                : 08 Juni 2011

No. Register                : 175280

2.2              ANAMNESA

2.2.1    KELUHAN UTAMA

Benjolan yang keluar dari anus

2.2.2    RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang ke poli bedah RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan keluhan benjolan yang keluar dari anus. Keluhan Benjolan tersebut mulai dirasakan pasien sejak ±1 tahun yang lalu, mula – mula keluar benjolan kecil dan semakin lama semakin bertambah besar. Benjolan tersebut mulanya bisa masuk sendiri setelah BAB, namun lama kelamaan benjolan tidak dapat masuk kembali sehingga pasien menggunakan jari tangannya untuk memasukkan benjolan  tersebut kembali kedalam anus. Sejak ± 1 minggu yang lalu pasien mengeluh  benjolan tersebut sudah tidak bisa dimasukkan lagi dengan bantuan jari tangannya. Pasien merasa tidak nyaman saat jalan maupun duduk. Menurut pasien benjolan tersebut teraba lunak saat diraba dan tidak berbenjol-benjol pasien. Pasien juga mengeluh ketika BAB  terasa nyeri dan panas disekitar anus, kadang terasa gatal disekitar anus dan keluar darah merah segar menetes di akhir BAB dan tidak bercampur dengan fesesnya.

Pasien belum pernah memeriksakan dirinya ke dokter. Pasien juga tidak meminum obat apapun untuk mengobati keluhan tersebut. Pasien seringkali dalam seminggu buang air besarnya tidak teratur dan bila buang air besar harus berlama-lama jongkok di toilet dan harus mengejan karena BAB nya keras. Pasien juga tidak mengeluh perutnya kembung atau mules, nyeri didaerah perut, tidak merasa mual atau muntah, tidak mengeluh nafsu makan turun, maupun berat badan turun. Pasien tidak mengeluh adanya perubahan ukuran feses.

2.2.3    RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

–          Diabetes Melitus   : disangkal

–          Hipertensi              : disangkal

–          Alergi                    : disangkal

–          Batuk lama            : disangkal

–          Sembelit                : (+)

2.2.4    RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

–          Riwayat sakit dengan gejala serupa          : Tidak diketahui

–          Diabetes Melitus                                       : Tidak diketahui

–          Hipertensi                                                  : Tidak diketahui

–          Alergi                                                        : Tidak diketahui

2.2.5    RIWAYAT KEBIASAAN

–          Makan                   :

3 x sehari dengan lauk: tahu, tempe, ikan, telur. jarang mengkonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran. Sering makan makanan yang pedas.

–          Minum                   :

Minum air putih sekitar 3-4 gelas/hari. Sering minum kopi kental 3 gelas/hari.

–          Rokok                   : (+) 16-20 batang/hari.

–          Alkohol                 : (-)

–          Obat-obatan          : (-)

–          Jamu                      : (+)

–          Olahraga                : (-)

–          BAB                      : ± 1tahun ini 1x/2hari (sulit BAB).

–          BAK                     : teratur ± 5x/hari

2.3              PEMERIKSAAN FISIK

2.3.1    KEADAAN UMUM

Tidak tampak sakit, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6)

Tanda Vital

Tensi                : 130/80 mmHg

Nadi                : 80 x/menit, isi cukup

Pernafasan       : 18 x/menit, regular, Kusmaull (-), Cheyne-Stokes (-)

Suhu                : 36,7o C

2.3.2    STATUS GENERALIS

  • Kepala

Bentuk                        : normocephali

Rambut                       : warna putih beruban, distribusi merata

  • Mata

Sklera Ikterik              : -/-

Conjuctiva Anemis      : -/-

  • Telinga

Bentuk                                    : normotia

Secret                          : -/-

  • Hidung

Deviasi septum            :  -/-

Sekret                          :  -/-

  • Mulut dan tenggorokan

Bibir                            :  tidak kering dan tidak cyanosis

Tonsil                           :  T1/T1

Pharing                        : tidak hiperemi

  • Leher

Trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran KGB

  • Paru

Suara nafas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

  • Jantung

Auskultasi       : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur  (-), gallop (-)

  • Abdomen

Inspeksi           : abdomen datar, tidak tampak adanya massa

Palpasi             : teraba lemas, tidak ada defence muskular

Perkusi            : timpani.

Auskultasi       : bising usus (+) normal

2.3.3    STATUS LOKALISATA

Regio anus terlihat adanya benjolan dengan diameter kira-kira 3 cm yang keluar dari anus yang dilapisi oleh mukosa. Pada rektal touché benjolan berada pada arah jam 7, pasien mengeluh nyeri, ada lendir, tonus sphincter ani baik, ampula tidak collaps, tidak teraba adanya massa padat, pada sarung tangan tidak ada feces, tidak ada darah.

2.4       RESUME

Pasien Tn.S ♂ umur 51 tahun datang ke poli bedah RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan keluhan benjolan yang keluar dari anus. Keluhan Benjolan tersebut mulai dirasakan pasien sejak ±1 tahun yang lalu, mula – mula keluar benjolan kecil dan semakin lama semakin bertambah besar. Benjolan tersebut mulanya bisa masuk sendiri setelah BAB, namun lama kelamaan benjolan tidak dapat masuk kembali sehingga pasien menggunakan jari tangannya untuk memasukkan benjolan  tersebut kembali kedalam anus. Sejak ± 1 minggu yang lalu pasien mengeluh  benjolan tersebut sudah tidak bisa dimasukkan lagi dengan bantuan jari tangannya. Menurut pasien benjolan tersebut teraba lunak saat diraba dan pasien merasa tidak nyaman saat jalan maupun duduk. Pasien juga mengeluh ketika BAB terasa nyeri dan panas disekitar anus, kadang keluar darah merah segar menetes di akhir BAB dan tidak bercampur dengan fesesnya.

Pasien belum pernah memeriksakan dirinya ke dokter. Pasien juga tidak meminum obat apapun untuk mengobati keluhan tersebut. Pasien adalah seorang petani yang pekerjaannya banyak berdiri daripada duduk dan sering mengangkat barang-barang yang berat. Pasien seringkali dalam seminggu buang air besarnya tidak teratur dan bila buang air besar harus berlama-lama jongkok di toilet dan harus mengejan karena BAB nya keras.  Pasien juga tidak mengeluh perutnya kembung atau mules, tidak merasa mual atau muntah, tidak mengeluh nafsu makan turun, maupun berat badan turun. Pasien tidak mengeluh adanya perubahan ukuran feses.

Pada pemeriksaan lokalisata Regio anus terlihat adanya benjolan dengan diameter kira-kira 3 cm yang keluar dari anus yang dilapisi oleh mukosa. Pada rektal touche teraba benjolan searah jam 7, pasien mengeluh nyeri, ada lendir, tonus sphincter ani baik, ampula tidak collaps, tidak teraba adanya massa, pada sarung tangan tidak ada feces, tidak ada darah.

2.5       DIAGNOSIS

2.5.1    DIAGNOSIS KERJA

Hemorrhoid Interna Grade IV

2.5.2    DIAGNOSIS BANDING

–          Karsinoma kolorektum

–          Penyakit divertikel

–          Polip

2.6       DISKUSI

2.6.1    DASAR DIAGNOSIS

1. Identitas:

Usia pasien 51 tahun, Pekerjaan sebagai petani, Pendidikan tamat SD.

2. Anamnesa:

Keluhan benjolan yang keluar dari anus. Sejak ± 1 minggu yang lalu pasien mengeluh  benjolan tersebut sudah tidak bisa dimasukkan lagi dengan bantuan jari tangannya. BAB  terasa nyeri dan panas disekitar anus, kadang terasa gatal disekitar anus dan keluar darah merah segar menetes di akhir BAB dan tidak bercampur dengan fesesnya. Seringkali dalam seminggu BAB tidak teratur dan bila buang air besar harus berlama-lama jongkok di toilet dan harus mengejan karena BAB nya keras. Tidak ada keluhan perut kembung atau mules, tidak merasa mual atau muntah, tidak mengeluh nafsu makan turun, maupun berat badan turun. Pasien tidak mengeluh adanya perubahan ukuran feses.

3. Pada pemeriksaan lokalisata

Tampak regio anus terlihat adanya benjolan dengan diameter kira-kira 3 cm yang keluar dari anus yang dilapisi oleh mukosa. Pada rektal touche pasien mengeluh nyeri, ada lendir, tonus sphincter ani baik, ampula tidak collaps, tidak teraba adanya massa, pada sarung tangan tidak ada feces, tidak ada darah.

2.6.2. DIAGNOSIS BANDING

1. Karsinoma kolorektum

Karsinoma rectum dijadikan diagnosis banding didasarkan pada benjolan yang keluar dari anus.  Pemeriksaan penunjang seperti kolonoskopi maupun anuskopi dapat dilakukan untuk mengetahui letak benjolan tersebut. Diagnose Karsinoma kolorekti ini disingkirkan karena pada pemeriksaan rectal touché tidak teraba massa padat yang berbenjol-benjol serta pada anamnesa tidak ditemukan darah bercampur dengan kotoran, feses seperti kotaran kambing, tidak terjadi penurunan berat badan, tidak ada keluhan nyeri didaerah umbilicus maupun di epigastrium.

2. Penyakit Divertikel Kolon

Penyakit divertikel dijadikan diagnosis banding didasarkan pada benjolan yang keluar dari anus. Namun pada kasus ini diagnosis tersebut disingkirkan karena pada pemeriksaan rectal touché tidak ditemukan massa yang padat / keras, tidak ada keluhan diare, serangan akut, maupun nyeri tekan local.

3. Polip

Polip dijadikan diagnosis banding didasarkan pada benjolan yang keluar dari anus. Diagnosis ini disingkirkan karena pada pemeriksaan rectal touche tidak ditemukannya bentukan tangkai yang khas pada polip.

2.6.3    TERAPI

Terapi bedah dapat dilakukan dengan teknik Milligan-Morgan. Hal ini berdasarkan pemilihan modalitas terapi hemorrhoid:

    • Hemorroid derajat 1 :

–          Terapi medik

–          Bila kurang baik diganti dengan cara minimal invasive

    • Hemorroid derajat 2 :

–          Terapi dengan cara minimal invasive

–          Bila pasen tidak mau dapat dicoba terapi medik

–          Bila gagal dengan minimal invasive ganti dengan operasi

    • Hemorriod derajat 3 :

–          Terapi dengan minimal invasive atau operasi

    • Hemorroid derajat 4 :

–          Operasi

2.4              PEMERIKSAAN PENUNJANG

Usulan pemeriksaan:

–          Sigmoideskopi

–          Foto barium kolon

–          Kolonoskopi

2.5              PENATALAKSANAAN

2.5.1    NON OPERATIF

Non medikamentosa

KIE :

Pengaturan gaya hidup yang meliputi, olah raga, minum air putih, konsumsi sayur dan buah-buahan, sikap dan lama duduk waktu BAB, menjaga makanan (mengurangi makanan yang pedas/makanan yang menyebabkan sulit BAB)

Medikamentosa

Per oral

Konsumsi obat untuk memudahkan BAB maupun mengurangi nyeri, contoh: Bisacodyl (Dulcolax®), Lactulose (Dulcolactol®), Flavonoid yang dimurnikan (Ardium®), ekstrak tumbuh-tumbuhan (Ambeven®).

Per anal

Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang ditambahkan antiinflamasi, analgesic, antibiotic (Borraginol® supp, Faktu ® zalf).

2.5.2    OPERATIF

Pro operasi

BAB III

PEMBAHASAN HEMORRHOID

3.1              DEFINISI

Hemorrhoid berasal dari bahasa Yunani, Haima (darah) dan rheo (mengalir). Hemoroid adalah bantalan yang terspesialisasi, memiliki banyak vaskular didalam anal kanal pada ruang submukosa. Bantalan vaskular ini merupakan struktur anatomi normal dari anal kanal.  Hemorrhoid adalah pelebaran vena didalam pleksus Hemorrhoidalis dan merupakan istilah penyakit hemoroid ditujukan pada vena-vena disekitar anus atau rektum bagian bawah mengalami pembengkakan, perdarahan, penonjolan (prolapse), nyeri, trombosis, mucous discharge, dan pruritus.

3.2       ANATOMI dan FISIOLOGIS

Bantalan anal (anal cushion) terdiri dari pembuluh darah, otot polos (Treitzs muscle), dan jaringan ikat elastis di submukosa. Bantalan ini berlokasi dianal kanal bagian atas, dari linea dentata menuju cincin anorektal (otot puborektal). Ada tiga bantalan anal, masing-masing terletak di lateral kiri, anterolateral kanan, dan posterolateral kanan. Otot polos (Treitzs muscle) berasal dari otot longitudinal yang bersatu. Serat otot polos ini melalui sfingter internal dan menempelkan diri ke submukosa dan berkontribusi terhadap bagian terbesar dari hemoroid.

Rektum panjangnya 15 – 20 cm dan berbentuk huruf S. Mula – mula mengikuti cembungan tulang kelangkang, fleksura sakralis, kemudian membelok kebelakang pada ketinggian tulang ekor dan melintas melalui dasar panggul pada fleksura perinealis. Akhirnya rektum menjadi kanalis analis dan berakhir jadi anus. Pada sepertiga bagian atas rektum, terdapat bagian yang dapat cukup banyak meluas yakni ampula rektum bila ini terisi maka timbullah perasaan ingin buang air besar. Di bawah ampula, tiga buah lipatan proyeksi seperti sayap – sayap ke dalam lumen rektum, dua yang lebih kecil pada sisi yang kiri dan diantara keduanya terdapat satu lipatan yang lebih besar pada sisi kanan, yakni lipatan kohlrausch, pada jarak 5 – 8 cm dari anus. Melalui kontraksi serabut – serabut otot sirkuler, lipatan tersebut saling mendekati, dan pada kontraksi serabut otot longitudinal lipatan tersebut saling menjauhi.

Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 cm. Batas atas kanalis analis adalah garis anorektum/ garis mukokuatan/ linea pektinata/linea dentata. Di daerah ini terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Lekukan antar sfingter sirkuler dapat teraba saat melakukan colok dubur, dan menunjukkan batas sfingter interna dan eksterna. Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm,sedangkan rektum berasal dari entoderm. Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus sedangkan kanalis analis oleh anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng pada kulit luar. Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai oleh perubahan jenis epitel. Kanalis analis dan kulit luar sekitarnya kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsang nyeri. Mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap rangsang nyeri. Sistem limfe dari rektum mengalirkan isinya melalui pembuluh limfe sepanjang pembuluh hemorrhoidalis superior ke arah kelenjar limfe paraaorta melalui kelenjar limfe iliaka interna, sedangkan limfe yang berasal dari kanalis analis mengalir ke arah kelenjar limfe inguinal.

Vascularisasi terdiri dari arteri hemoroidalis superior yang merupakan cabang langsung a. mesenterica inferior. Arteri hemoroidalis medialis merupakan percabangan anterior a. ilica interna. Arteri hemoroidalis inferior adalah cabang dari a. pudenda interna. Perdarahan di plexus hemorroidalis merupakan kolateral luas dan kaya sekali darah sehingga perdarahan dari hemorroid interna menghasilkan darah segar yang berwarna merah dan bukan darh vena warna kebiruan.

Kembalinya darah dari anal kanal melalui dua sistem, yaitu melalui portal dan sistemik. Hubungan antara kedua sistem ini terjadi pada linea dentata. Pleksus vena dan sinusoid di bawah linea dentata membentuk hemoroid eksterna, mengalirkan darah melalui vena rektal inferior menuju vena pudendal yang merupakan cabang dari vena iliaka internal. Jaringan pada hemoroid eksterna ini sensitif terhadap nyeri, panas, regangan, dan suhu karena diinervasi secara somatik. Pembuluh darah subepitelial dan sinus-sinus di atas linea dentata membentuk hemoroid interna, dialiri darah dari vena rektal media menuju ke vena iliaka interna. Bantalan vaskular di dalam anal kanal berkontribusi terhadap kontinensi anal dan berfungsi melindungi sfingter anal. Bantalan ini juga membantu penutupan lengkap dari anus, yang lebih jauh akan membantu dalam kontinensia. Saat seseorang batuk, bersin, atau mengedan, bantalan ini akan mengembang dan menutupi anal kanal untuk mencegah kebocoran feses saat terjadi peningkatan tekanan intrarektal. Bantalan vaskular ini memberikan informasi sensoris yang memungkinkan seseorang membedakan cairan, benda padat, dan gas.

3.3       ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI

Darah yang berasal dari pleksus Hemorrhoidalis akan dialirkan ke vena mesenterika inferior, kemudian ke vena porta masuk ke hepar. Hemorrhoid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran balik dari vena Hemorrhoidalis. Beberapa penyebab terjadinya pelebaran pleksus Hemorrhoidalis antara lain, yaitu:

  1. Karena bendungan sirkulasi portal akibat kelainan organik:

–          Hepar pada sirosis hepatis

Fibrosis jaringan akan meningkatkan resistensi aliran vena ke hepar  sehingga terjadi hipertensi portal, maka akan terbentuk kolateral antara  lain ke esofagus dan pleksus Hemorrhoidalis.

–          Bendungan vena porta, misal akibat trombosis.

–          Tumor intra abdomen, terutama di daerah pelvis yang menekan vena  sehingga aliran terganggu, misal tumor ovarium, tumor rektum, dan sebagainya.

  1. Idiopatik, tidak jelas asalnya kelainan organik, hanya ada faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya Hemorrhoid, antara lain :

–          Keturunan / herediter

Dalam hal ini yang menurun adalah kelemahan dinding pembuluh darah dan bukan Hemorrhoidnya.

–          Anatomi

Vena di daerah anorektal dan pleksus Hemorrhoidalis kurang mendapat sokongan otot dan fasia di sekitarnya sehingga darah mudah kembali, menyebabkan tekanan di pleksus Hemorrhoidalis.

–          Pekerjaan

Orang yang pekerjaannya banyak berdiri atau duduk lama atau harus mengangkat barang berat, gaya gravitasi akan mempengaruhi timbulnya Hemorrhoid, misalnya polosi lalu lintas, ahli bedah, dan lain-lain.

–          Umur

Pada umur tua timbul degenerasi dari seluruh jaringan tubuh juga otot spingter menjadi tipis dan atonis.

–          Endokrin

Misal pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus.

3.4       GEJALA KLINIS

Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama hemorroid akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak tercampur dengan feses, dapat hanya berupa garis pada feses sampai perdarahan terlihat menetes atau kadang megalir deras. Perdarahan hemorroid yang berulang dapat berakibat timbulnya anemia.

Nyeri yang hebat jarang sekali ada hubungannya dengan hemorroid interna, jika timbul nyeri pada hemorroid interna berarti ada peradangan. Rasa nyeri biasanya hanya timbul ada hemorroid externa degan trombosis. Hemorroid yang membesar secara perlahan-lahan akan menonjol keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awal penonjolan ini hanya terjadi pada waktu defekasi dan disusul reduksi spontan sesudah selesai defeksi. Pada tahap lanjut hemorroid perlu didorong kembali setelah defekasi dan pada akhinya menjadi bentuk yang mengaami prolaps menetap. Keluarnya mukus dan terdapatnya feses pada pakaian dalam merupakan ciri hemorroid yang mengalami prolaps menetap.

Hemorroid eksterna terlihat berupa penonjolan berkulit epitel berkeratin (skin tags), dapat mengganggu higiene perianal, dan menyebabkan gejala – gejala seperti pruritus ani dan ekskoriasi serta trombosis yang nyeri. Iritasi kulit perianal dapat menimbulkan rasa gatal. Hal ini disebabkan oleh kelembaban yang terus-menerus dan rangsangan mukus. Selain itu penderita hemorroid sering mengeluh adanya rasa mengganjal setelah BAB, sehingga menimbulkan kesan proses BAB belum berakhir, sehingga membuat seseorang mengejan lebih kuat yang justru akan memperparah hemorroid.

3.5       KLASIFIKASI

Hemoroid dapat diklasifikasikan menurut letaknya terhadap linea dentata, garis yang membatasi transisi dari epitel skuamosa di bawahnya dengan epitel kolumnar di atasnya.

Hemoroid internal berada di atas linea dentata, ditutupi oleh epitel trasisional dan kolumnar. Sedangkan hemoroid eksternal berada di bawah linea dentata, ditutupi oleh epitel skuamosa. Karena jaringan yang menutupi hemorroid interna ini dipersarafi oleh saraf visera, jaringan ini tidak sensitive terhadap nyeri, suhu, atau sentuhan yang membuat lebih mudah untuk dilakukan prosedur pemeriksaan fisik.

1. Hemorrhoid Eksterna

Hemorrhoid ekterna merupakan pelebaran dan penonjolan fleksus Hemorrhoid inferior terdapat disebelah distal garis mukokutan di dalam jaringan dibawah epitel anus.

Merupakan Hemorrhoid yang timbul pada daerah yang dinamakan anal verge, yaitu daerah ujung dari anal kanal (anus). Hemorrhoid jenis ini dapat terlihat dari luar tanpa menggunakan alat apa-apa. Biasanya akan menimbulkan keluhan nyeri. Dapat terjadi pembengkakan dan iritasi. Jika terjadi iritasi, gejala yang ditimbulkan adalah berupa gatal. Hemorrhoid jenis ini rentan terhadap trombosis (penggumpalan darah). Jika pembuluh darah vena pecah yang mengalami kelainan pecah, maka penggumpalan darah akan terjadi sehingga akan menimbulkan keluhan nyeri yang lebih hebat.

2. Hemorrhoid Interna

Hemorrhoid interna adalah pleksus vena Hemorrhoidalis superior di atas garis mukokutan dan ditutupi oleh mukosa. Hemorrhoid interna ini merupakan bantalan vascular di dalam jaringan submukosa pada rectum sebelah bawah. Sering Hemorrhoid terdapat pada tiga posisi primer, yaitu kanan depan, kanan belakang, dan kiri lateral.

Hemorrhoid interna merupakan Hemorrhoid yang muncul didalam rektum. Biasanya Hemorrhoid jenis ini tidak nyeri. Jadi kebanyakan orang tidak menyadari jika mempunyai Hemorrhoid ini. Perdarahan dapat timbul jika mengalami iritasi. Perdarahan yang terjadi bersifat menetes. Jika Hemorrhoid jenis ini tidak ditangani, maka akan menjadi prolapsed and strangulated hemorrhoids.

  • Prolapsed hemorrhoid  adalah Hemorrhoid yang “muncul” keluar dari rektum.
  • Strangulated hemorrhoid merupakan suatu keadaan terjepitnya prolapsed hemorrhoid karena otot disekitar anus berkontraksi. Hal ini menyebabkan terperangkapnya Hemorrhoid dan terhentinya pasokan darah, yang pada akhirnya akan menimbulkan kematian jaringan yang dapat terasa nyeri sekali.

Hemorrhoid interna dapat dikelompokkan menjadi :

  • Grade I    :

Hemorrhoid tidak keluar dari rektum.

  • Grade II   :

Hemorrhoid prolaps (keluar dari rektum) pada saat mengedan, namun dapat masuk kembali secara spontan.

  • Grade III  :

Hemorrhoid prolaps saat mengedan, namun tidak dapat masuk kembali secara spontan, harus secara manual (didorong kembali dengan tangan).

  • Grade IV  :

Hemorrhoid mengalami prolaps namun tidak dapat dimasukkan kembali.

Gambar:

Derajat Hemorrhoid interna

a). Derajat I b). Derajat II  c). Derajat III dan IV

3.6       PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi yaitu memotong lingkaran patogenesis hemorroid dengan berbagai cara:

1. Mengurangi kongesti:

–                      Manipulasi diit dan mengatur kebiasaan

–                      Obat antiinflammasi

–                      Obat flebotonik

–                      Dilatasi anus

–                      Sfinkterotomi

2. Fiksasi mukosa pada lapisan otot:

–          Skleroterapi

–          Koagulasi infra merah

–          Diatermi bipolar

3. Mengurangi ukuran/vaskularisasi dari pleksus hemorroidalis:

–          Ligasi

–          Eksisi

3.6.1    TERAPI NON MEDIKAMENTOSA

Manipulasi diit dan mengatur kebiasaan. Diit tinggi serat,bila perlu diberikan supplemen serat, atau obat yang memperlunak feses (bulk forming cathartic). Menghindarkan mengedan berlama-lama pada saat defekasi. Menghindarkan diare karena akan menimbulkan iritasi mukosa yang mungkin menimbulkan ekaserbasi penyakit. Defekasi yang lama, baik karena konstipasi atau diare akan mengakibatkan terjadinya hemoroid. Oleh karena itu, tujuan utama terapi hemoroid adalah meminimalisir mengerasnya feses dan mengurangi mengejan saat defekasi. Ini biasanya dapat dicapai dengan menambah jumlah cairan dan serat pada makanan sehari-hari.

Direkomendasikan untuk mengkonsumsi serat tidak larut sebanyak 25-30 gram per hari. Terapi konservatif ditujukan pada hemoroid derajat I dan II. Hemoroid yang sudah mengalami prolaps membutuhkan intervensi bedah, tetapi semua pasien seharusnya dianjurkan untuk mengkonsumsi suplemen serat. Suplemen serat menurunkan kejadian perdarahan dan mengurangi rasa tidak nyaman pada pasien dengan hemoroid internal tetapi tidak memperbaiki prolaps yang sudah terjadi. Suplemen serat juga dapat mengurangi keluhan hemoroid non-prolaps tetapi ini membutuhkan waktu enam minggu untuk mendapatkan hasil yang signifikan. Pasien juga disarankan untuk mengurangi kebiasaan sering mengejan dan membaca di toilet.

Sitz bath merupakan metode mandi di mana pinggul dan pantat direndam di dalam air hangat dengan suhu 40oC untuk mendapatkan efek terapeutik uap hangat pada perianal dan anal. Tidak perlu menambahkan apapun pada air hangat yang digunakan. Isi bak mandi dengan air hangat lalu duduk berendam selama 10- 15 menit, ulangi sesering mungkin. Jangan menggunakan air panas karena dapat menimbulkan luka pada jaringan perianal dan anal. Metode sitz bath ini digunakan untuk anal hygiene dan untuk merelaksasikan otot dasar panggul yang spastik untuk meredakan nyeri.

3.6.2    TERAPI MEDIKAMENTOSA

Terapi medik diberikan pada penderita hemorroid derajat 1 atau 2. Obat antiinflammasi seperti steroid topikal jangka pendek dapat diberikan untuk mengurangi udem jaringan karena inflammasi. Antiinflammasi ini biasanya digabungkan dengan anestesi lokal, vasokonstriktor, lubricant, emollient dan zat pembersih perianal. Obat-obat ini tidak akan berpengaruh terhadap hemorroidnya sendiri, tetapi akan mengurangi inflammasi, rasa nyeri/tidak enak dan rasa gatal.

Penggunaan steroid ini bermanfaat pada saat ekaserbasi akut dari hemorroid karena bekerja sebagai antiinflammasi, antipruritus dan vasokonstriktor. Walaupun demikian pemakaian jangka panjang malah menjadi tidak baik karena menimbulkan atrofi kulit perianal yang merupakan predisposisi terjadinya infeksi. Demikian pula obat yang mengandung anestesi lokal perlu diberikan secara hati-hati karena sering menimbulkan reaksi buruk terhadap kulit/mukosa.

Obat flebotonik seperti Daflon atau preparat rutacea dapat meningkatkan tonus vena sehingga mengurangi kongesti. Daflon merupakan obat yang dapat meningkatkan dan memperlama efek noradrenalin pada pembuluh darah.

3.6.3    TERAPI NON OPERATIF

Penatalaksanaan minimal invasive dilakukan bila pengobatan non farmakologis, farmakologis tidak berhasil atau penderita yang belum mau dilakukan operasi. Paling optimal cara ini dilakukan pada penderita hemorroid derajat 2 atau 3.

  1. 1.      Scleroteraphy (Injeksi phenol oil , phenogloban, aectocxy sclerol)

Skeloterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang merangsang. Misalnya 5% fenol dalam minyak nabati. Penyuntikan diberikan ke sub mukosa di dalam jaringan aerolar yang longgar di bawah Hemorrhoid interna dengan tujuan menimbulkan peradangan steril yang kemudian menjadi fibrotic dan meninggalkan parut. Penyuntikan dilakukan disebelah atsa garis mukokutan dengan jarum yang panjang melalui anoskop. Apabila penyuntikan dilakukan pada tempat yang tepat maka tidak akan menimbulkan  rasa nyeri.

  1. 2.      Rubber Band Ligation ( Ligasi dengan karet ) menurut Barron

Dengan bantuan anoskop, mukosa diatas Hemorrhoid yang menonjol dijepit dan ditarik ata diisap ke dalam tabung ligator khusus.  Gelang karet didorong dari ligator dan ditempatkan secara rapat di sekeliling mukosa pleksus Hemorrhoidalis tersebut. Nekrosis karena iskemia akan terjadi dalam beberapa hari. Mukosa bersama karet akan lepas sendiri.

 

  1. 3.      Infra Red Coagulation (IRC)

Inframerah Coagulasi (IRC) adalah pengobatan yang paling banyak digunakan untuk Hemorrhoid dan lebih disukai dari pada metode lain karena cepat, baik ditoleransi oleh pasien, dan hampir bebas masalah. Sebuah probe kecil dikontakan pada Hemorrhoid. Kemudian cahaya Infrared di expos pada jaringan tersebut selama sekitar satu detik. Pembuluh darah ini akan menggumpal dan menyebabkan Hemorrhoid tersebut menyusut. Pasien mungkin merasakan sensasi panas yang sangat singkat, tetapi umumnya tidak menyakitkan. Oleh karena itu anestesi biasanya tidak diperlukan.

4. Krioterapi / Bedah Beku

Sebagian dari mukosa anus dibekukan dengan nitrogen cair,dalam beberapa hari terjadi nekrosis,kemudian sklerosis dan fiksasi mukosa pada lapisan otot.

5. Bipolar Coagulation / Diatermi Bipolar

Prinsip dari cara-cara ini hampir sama yaitu nekrosis lokal karena panas,terjadi nekrosis, fibrosis/sklerosis dan fiksasi mukosa pada jaringan otot dibawahnya.

6. Hemorrhoidolysis / Galvanic Electrotherapy

Merupakan tindakan pemotongan wasir dengan menggunakan arus listrik.

3.6.4    TERAPI OPERATIF

1. Hemorrhoidektomi Konvensional

a). Teknik Milligan – Morgan (Hemorroidektomi terbuka)

Teknik ini digunakan untuk tonjolan hemoroid di 3 tempat utama. Basis massa hemoroid tepat diatas linea mukokutan dicekap dengan hemostat dan diretraksi dari rektum. Kemudian dipasang jahitan transfiksi catgut proksimal terhadap pleksus hemoroidalis. Penting untuk mencegah pemasangan jahitan melalui otot sfingter internus. Hemostat kedua ditempatkan distal terhadap hemoroid eksterna. Suatu incisi elips dibuat dengan skalpel melalui kulit dan tunika mukosa sekitar pleksus hemoroidalis internus dan eksternus, yang dibebaskan dari jaringan yang mendasarinya.

Hemoroid dieksisi secara keseluruhan. Bila diseksi mencapai jahitan transfiksi cat gut maka hemoroid ekstena dibawah kulit dieksisi. Setelah mengamankan hemostasis, maka mukosa dan kulit anus ditutup secara longitudinal dengan jahitan jelujur sederhana. Striktura rektum dapat merupakan komplikasi dari eksisi tunika mukosa rektum yang terlalu banyak. Sehingga lebih baik mengambil terlalu sedikit daripada mengambil terlalu banyak jaringan.

b). Teknik Whitehead

Teknik operasi yang digunakan untuk hemoroid yang sirkuler ini yaitu dengan mengupas seluruh hemoroid dengan membebaskan mukosa dari submukosa dan mengadakan reseksi sirkuler terhadap mukosa daerah itu. Lalu mengusahakan kontinuitas mukosa kembali.

c). Teknik Langenbeck

Pada teknik Langenbeck, hemoroid internus dijepit radier dengan klem. Lakukan jahitan jelujur di bawah klem dengan cat gut chromic no 2/0. Kemudian eksisi jaringan diatas klem. Sesudah itu klem dilepas dan jepitan jelujur di bawah klem diikat. Teknik ini lebih sering digunakan karena caranya mudah dan tidak mengandung resiko pembentukan jaringan parut sekunder yang biasa menimbulkan stenosis.

2. Hemorrhoidektomi Stapler

Cara lain mengatasi penyakit hemoroid adalah dengan penggunaan alat stapler. Cara ini tidak mengganggu jaringan hemoroid dengan cara hemorrhoidopexy longo diciptakan suatu anastomosis mukosa ke mukosa dengan mengeksisi submukosa di proksimal Linea Dentata. Oleh karena eksisi ini dilakukan di atas Linea Dentata, maka tidak terjadi nyeri seperti nyeri yang ditimbulkan oleh eksisi jaringan hemoroid konvensional di anodem yang diliputi syarafsomatis. Saat ini, PPH belum menggeser peranan hemoroidektomi konvensional ataupun rubber band lagition, hal ini terutama dikarenakan biaya alat yang mahal.

3. Hemorroidektomi Laser

Tehnik hemoroidektomi dengan menggunakan Laser CO2. Secara umum, keuntungan penggunaan Laser adalah tidak terjadinya asap, uap air, atau bunga api yang akan mengganggu pandangan operator pembedahan; Laser memotong dengan menimbulkan perdarahan yang minimal (ini adalah keuntungan Laser yang paling utama); Laser juga menimbulkan kerusakan minimal terhadap jaringan di sekitarnya, hingga luka lebih mudah sembuh dibandingkan bila dipotong dengan kauter.

3.7       KOMPLIKASI

–          Inkontinensia.

–          Retensio urine.

–          Nyeri luka operasi.

–          Stenosisani.

–          Perdarahan fistula & abses.

–          Operasi: Infeksi dan edema pada luka bekas sayatan yang dapat menyebabkan fibrosis.

–          Non Operasi: Bila mempergunakan obat-obat flebodinamik dan sklerotika dapat menyebabkan striktur ani.

3.8       PERAWATAN PASCA BEDAH dan FOLLOW UP

–          Bila terjadi rasa nyeri yang hebat, bisa diberikan analgetika yang berat seperti petidin.

–          Obat pencahar ringan diberikan selama 2-3 hari pertama pasca operasi, untuk melunakkan feses.

–          Rendam duduk hangat dapat dilakukan setelah hari ke-2 (2x sehari), pemeriksaan colok dubur dilakukan pada hari ke-5 atau 6 pasca operasi. Diulang setiap minggu hingga minggu ke 3-4, untuk memastikan penyembuhan luka dan adanya spasme sfingter ani interna.

3.9       PROGNOSA

Prognosa hemorrhoid tergantung dari jenis hemorrhoid itu sendiri. Pada dasarnya prognosanya adalah baik. Hemorrhoid interna grade I dan II dengan terapi perubahan gaya hidup dan medikamentosa pada umumnya baik. Untuk hemorrhoid interna grade III dan IV dengan perubahan gaya hidup, medikamentosa, dan operatif juga memberikan prognosa yang baik.

BAB IV

PENUTUP

4.1       KESIMPULAN

Pasien Tn.S ♂ umur 51 tahun datang ke poli bedah RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan keluhan benjolan yang keluar dari anus. Keluhan Benjolan tersebut mulai dirasakan pasien sejak ±1 tahun yang lalu, mula – mula keluar benjolan kecil dan semakin lama semakin bertambah besar. Benjolan tersebut mulanya bisa masuk sendiri setelah BAB, namun lama kelamaan benjolan tidak dapat masuk kembali sehingga pasien menggunakan jari tangannya untuk memasukkan benjolan  tersebut kembali kedalam anus. Sejak ± 1 minggu yang lalu pasien mengeluh  benjolan tersebut sudah tidak bisa dimasukkan lagi dengan bantuan jari tangannya. Menurut pasien benjolan tersebut teraba lunak saat diraba dan pasien  merasa tidak nyaman saat jalan maupun duduk. Pasien juga mengeluh ketika BAB  terasa nyeri dan panas disekitar anus, kadang keluar darah merah segar menetes di akhir BAB dan tidak bercampur dengan fesesnya.

Pasien juga tidak mengeluh perutnya kembung atau mules,  nyeri didaerah perut, tidak merasa mual atau muntah, tidak mengeluh nafsu makan turun, maupun berat badan turun. Pasien tidak mengeluh adanya perubahan ukuran feses.

Pada pemeriksaan lokalisata Regio anus terlihat adanya benjolan dengan diameter kira-kira 3 cm yang keluar dari anus yang dilapisi oleh mukosa. Pada rektal touche pasien ditemukan benjolan searah jam 7, pasien mengeluh nyeri, ada lendir, tonus sphincter ani baik, ampula tidak collaps, tidak teraba adanya massa, pada sarung tangan tidak ada feces, tidak ada darah.

Berdasarkan data tersebut diagnose pasien adalah Hemorhoid interna grade IV dengan diagnose banding Karsinoma kolorektum, Penyakit divertikel, Polip.

4.2      SARAN

  1. Perubahan gaya hidup dengan berolahraga, minum air putih, konsumsi sayur dan buah-buahan, bila ada luka di dubur maka rendam dengan kalium permanganat, menghindari sikap dan lama duduk waktu BAB.
  2. Untuk hemorrhoid pada pasien ini disarankan melakukan operasi dengan menggunakan tekhnik hemorrhoidektomi konvensional Milligan – Morgan (Hemorroidektomi terbuka).

DAFTAR PUSTAKA

  1. Jong WD. 2005. Usus halus, appendiks, colon, dan rectum. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2: 672-675. Jakarta : EGC.
  2. Jusi D & Dahlan M. 1995. Ilmu Bedah FKUI / RSCM – Hemorrhoid SubBab Bedah Vaskuler Dalam Kumpulan     Kuliah Ilmu Bedah: 226-271. Jakarta : Binarupa Aksara
  3. Dr.dr. IDA BAGUS METRIA,SpBKBD. 2006.  Kuliah Bedah UNISMA – Penanganan Hemorrhoid / Wasir . FK UNS/RSUD Dr. Moewardi
  4. Acheson GA. 2008. Scholefield JH. Management of Hemorrhoid. BJM: 336, 380-383
  5. Dardjat M.T & Achijkat A.K. 1997. Hemorrhoid SubBab Bedah Digestif, Dalam

Kumpulan Kuliah Bedah Khusus: 5-10.  Jakarta: Aksara Medisina.

  1. Kapita selekta Kedokteran Jilid 2:321-323. 2000. Jakarta:  Media Aesculapius FKUI.
  2. Grace P.,Borley N. 2005. At a glance Ilmu Bedah Edisi ketiga hal 114-115. Jakarta: Penerbit Erlangga.


BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi Spinal

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5

Indikasi:

1.      Bedah ekstremitas bawah

2.      Bedah panggul

3.      Tindakan sekitar rektum perineum

4.      Bedah obstetrik-ginekologi

5.      Bedah urologi

6.      Bedah abdomen bawah

7.     Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan

anesthesia umum ringan

Kontra indikasi absolut:

1.      Pasien menolak

2.      Infeksi pada tempat suntikan

3.      Hipovolemia berat, syok

4.      Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

5.      Tekanan intrakranial meningkat

6.      Fasilitas resusitasi minim

7.      Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif:

1.      Infeksi sistemik

2.      Infeksi sekitar tempat suntikan

3.      Kelainan neurologis

4.      Kelainan psikis

5.      Bedah lama

6.      Penyakit jantung

7.      Hipovolemia ringan

8.      Nyeri punggung kronik

Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1.      Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal

2.      Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3.      Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hb, ht,pt,ptt

Peralatan analgesia spinal

1.      Peralatan monitor: tekanan darah,pulse oximetri,ekg

2.      Peralatan resusitasi

3.      Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil(pencil point whitecare)

Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

  1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
  2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
  3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
  4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
  5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
  6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

Posisi

Posisi Duduk

Pasien duduk di atas meja operasi

Dagu di dada

Tangan istirahat di lutut

Posisi Lateral

Bahu sejajar dengan meja operasi

Posisikan pinggul di pinggir meja operasi

Memeluk bantal/knee chest position

Tinggi blok analgesia spinal

Faktor yang mempengaruhi:

  • Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
  • Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
  • Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik.
  • Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
  • Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
  • Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
  • Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
  • Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia yang lebih tinggi.
  • Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
  • Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

Anastetik lokal untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.  Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik local yang paling sering digunakan:

  1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100mg

(2-5ml)

  1. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50mg(1-2ml)
  2. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg
  3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg(1-3ml)

Penyebaran anastetik local tergantung:

  1. Factor utama:
    1. berat jenis anestetik local(barisitas)
    2. posisi pasien
    3. Dosis dan volume anestetik local
  2. Faktor tambahan
    1. Ketinggian suntikan
    2. Kecepatan suntikan/barbotase
    3. Ukuran jarum
    4. Keadaan fisik pasien
    5. Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik local tergantung:

1.      Jenis anestetia local

2.      Besarnya dosis

3.      Ada tidaknya vasokonstriktor

4.      Besarnya penyebaran anestetik local

TINJAUAN PUSTAKA

Komplikasi anestesia spinal

Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed.

Komplikasi tindakan

  1. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.

  1. Bradikardia

Dapat terjadi tanpa  disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2

  1. Hipoventilasi

Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

  1. Trauma pembuluh saraf
  2. Trauma saraf
  3. Mual-muntah
  4. Gangguan pendengaran
  5. Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan

1.      Nyeri tempat suntikan

2.      Nyeri punggung

3.      Nyeri kepala karena kebocoran likuor

4.      Retensio urine

5.      Meningitis

Komplikasi intraoperatif

Komplikasi kardiovaskular

Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.

 

Blok spinal tinggi atau total

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran.  Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.


Komplikasi respirasi

  1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru normal.
  2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
  3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
  4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

Komplikasi postoperatif

 

Komplikasi gastrointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.

 

Nyeri kepala

Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 – 48 jam harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin kedalam epidural untuk menghentikan kebocoran.

 

Nyeri punggung

Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obati secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat sahaja.

 

Komplikasi neurologik

Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.  Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam beberapa hari.

Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.

Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.

Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi tetap berlaku.

Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar ke ruang subaraknoid dari akar saraf.  Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak merata dan adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri.  Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran. Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh yang demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah tidak benar jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit loka pada area lumbar atau yang menderita selulitis.  Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.

Retentio urine / Disfungsi kandung kemih

Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional.  Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal,umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.

Pencegahan:

1.      Pakailah jarum lumbal yang lebih halus

2.      Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater

3.      Hidrasi adekuat,minum/infuse 3L selama 3 hari

Pengobatan:

  1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
  2. Hidrasi adekuat
  3. Hindari mengejan
  4. Bila cara diatas tidak berhasil berikan  epidural blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.

Kesimpulan

Walaupun komplikasi-komplikasi yang timbul ini bisa mengancam jiwa, tetapi harus di ingat bahwa insiden komplikasi ini adalah sangat rendah. Dengan tehnik modern dan persiapan yang rapih, insiden sequel neural mayor selepas anestesi subarakanoid telah dilaporkan kurang dari 1 dalam 10,000 pasien. Ramai anestesiologi berpendapat bahwa jika dibandingkan dengan anestesi umum, komplikasi yang muncul dari anestesi regional adalah minimum sehingga anestesi regional menjadi pilihan utama jika sesuai dengan kebutuhan pada saat operasi

DAFTAR PUSTAKA:

  1. Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia. The Mountsinai Journal of Medicine. Jan-Mar 2002.
  2. Katz J, Aidinis SJ. Complications of Spinal and Epidural Anesthesia. J Bone Joint Surg Am. 2010; 62:1219-1222.
  3. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2009; 107-112.

BAB I

PENDAHULUAN

I.1     LATAR BELAKANG

Femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat di tubuh dan memiliki fungsi yang sangat penting untuk pergerakan normal. Tulang ini terdiri atas tiga bagian, yaitu femoral shaft atau diafisis, metafisis proximal, dan metafisis distal. Femoral shaft adalah bagian tubular dengan slight anterior bow, yang terletak antara trochanter minor hingga condylus femoralis. Ujung atas femur memiliki caput, collum, dan trochanter major dan minor.

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan epifisis dan atau tulang rawan sendi baik yang bersifat total maupun yang parsial. Fraktur dapat terjadi akibat peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik). Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Fraktur dapat disebabkan trauma langsung atau tidak langsung. Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu. Trauma tidak langsung bila titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

Fraktur batang femur mempunyai insiden yang cukup tinggi di antara jenis-jenis patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah. Fraktur di daerah kaput, kolum, trokanter, subtrokanter, suprakondilus biasanya memerlukan tindakan operatif.

I.2        RUMUSAN MASALAH

Bagaimana etiologi, patogenesis, pemeriksaan fisik, diagnosis dan penatalaksanaan fraktur tertutup femur subtrokanter ?

I.3        TUJUAN

Mengetahui etiologi, patogenesis, pemeriksaan fisik, diagnosis dan penatalaksanaan fraktur tertutup femur subtrokanter.

I.4        MANFAAT

I.4.1     Menambah wawasan mengenai penyakit bedah khususnya fraktur tertutup femur subtrokanter.

I.4.2     Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah orthopedi.

DOWNLOAD FULL TEXT

Please Register For Free


BAB I

STATUS PASIEN

Laporan Kasus Pasien

1.1  Identitas Pasien :

  • Nama               : Tn.P
  • Umur               : 60 tahun
  • Alamat                        : Pakisaji
  • Kelamin           : Laki-laki
  • Pekerjaan         : Petani
  • Status              : Menikah
  • Pendidikan      : SD

1.1.1        ANAMNESA

1. Masuk rumah sakit tanggal             : 14 Juni 2011 jam 22.00

2. Keluhan utama                                : keluar darah dari jalan lahir

3. Keluhan penyerta                            :

Pasien dibawa ke RS dengan keluhan keluar darah sedikit dari jalan lahir berwarna merah  segar dan bergumpal sejak tanggal 10 Juni 2011. Pasien pergi ke bidan 4 hari yang lalu, kata bidan belum ada pembukaan. Pasien juga mengeluh sudah 3 hari ini tidak ada pergerakan janin, sehingga pasien pergi ke bidan dan disarankan USG, hasil USG bayi meninggal. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD Kanjuruhan.

4. Riwayat menstruasi                         :

  • Menarche        = usia 18 tahun
  • HPHT              = lupa, pasien merasa hamil 9 bln

5. Riwayat perkawinan                       : Menikah 1x, lamanya 18 tahun

6. Riwayat persalinan sebelumnya      : Anak 1 = th 1999, persalinan normal, di bidan, hidup

Anak 2 = th 2008, keguguran

7. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi         : pil KB, lama 3 tahun

8. Riwayat penyakit sistemik yang pernah dialami     : HT (+), DM (-), Asma (-), Alergi (-), kejang (-), peny. Jantung (-)

9. Riwayat penyakit keluarga             : HT (+), DM (+), Asma (-), Alergi (-), kejang (-), peny. Jantung (-)

10. Riwayat kebiasaan                        : pijit  oyok (+), jamu (+), kopi (-)

11. Riwayat pengobatan                     : –

1.1.2        PEMERIKSAAN FISIK

  1. a.      Status present

Keadaan umum           : cukup

Tekanan darah             : 150/100 mmHg, nadi : 88 x/mnt, suhu : 36,5˚C

RR                               : 20 x/mnt

  1. b.      Pemeriksaan umum

Kulit                            : cianosis (-), ikterik (-), turgor menurun (-)

Kepala                         :

Mata                : anemi -/-, ikterik -/-, edema palpebra -/-

Wajah              : simetris

Mulut              : stomatitis (-), hiperemi pharing (-), pembesaran tonsil (-)

Leher                           : pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tonsil (-)

Thorax                         :

Paru                 : Inspeksi : pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan normal, retraksi costae -/-

Palpasi : teraba massa abnormal -/-, pembesaran kel. Axilla -/-

Perkusi : sonor +/+, hipersonor -/-, pekak -/-

Auskultasi : vesikuler +/+, suara nafas menurun -/-, Wh -/-, Rh -/-

Jantung            : inspeksi : iktus cordis tak teraba

Palpasi : thrill -/-

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : denyut jantung regular

Abdomen                    : inspeksi : flat -, distensi -, gambaran pembuluh darah collateral –

Palpasi pembesaran uterus +, TFU 2 jari dibwh px

Perkusi : –

Auskultasi : bising usus + normal

Ekstremitas                 : edema -/-

  1. c.       Status obstetri

Leopold 1 : TFU 2 jari di bawah px, 32 cm

Leopold 2 : punggung kanan

Leopold 3 : bagian terendah kepala

Leopold 4 : kepala sdh masuk PAP

DJJ : (-)

Pemeriksaan dalam

Pembukaan porsio       : (+) 1cm

v/v                               : cairan ketuban mekoneal, eff 25% , KK (-), H1

1.2 RINGKASAN

Anamnesa      : Pasien dibawa ke RS dengan keluhan keluar darah sedikit dari jalan lahir berwarna merah  segar dan bergumpal sejak tanggal 10 Juni 2011. Pasien pergi ke bidan 4 hari yang lalu, kata bidan belum ada pembukaan. Pasien juga mengeluh sudah 3 hari ini tidak ada pergerakan janin, sehingga pasien pergi ke bidan dan disarankan USG, hasil USG bayi meninggal. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD.

Pemeriksaan fisik      : Tensi: 150/100 mmHg, nadi : 88 x/mnt, suhu : 36,5˚C, RR: 20 x/mnt

Abdomen : Palpasi pembesaran uterus +, TFU 2 jari dibwh px

Pemeriksaan obstetric luar   : TFU 2 jari dibwh px/32 cm, punggung kanan, bagian terendah kepala, kepala sdh masuk PAP

Pemeriksaan obstetric dalam : v/v:cairan ketuban mekoneal, eff 25% , KK (-), H1, Pembukaan porsio    : (+) 1cm.

Hb tanggal 15 Juni 2011: 9 gr/dL

Kondisi pasien: Tanggal 15-6-2011 jam 14.55 partus spontan

Tensi: 150/100

Nadi : 80

TFU 2 jari dibwh pusat

Jam 15.30

Tensi: 150/90

Nadi : 100

perdarahan ± 500 cc

kontraksi uterus lembek

Jam 16.30

Tensi: 120/90

Nadi : 120

perdarahan ± 600 cc

kontraksi uterus lembek

anemis (+)

Jam 17.30

Tensi: 70/50

Nadi : 130

kontraksi uterus lembek

anemis (+)

Lapor: laparotomi cito

Jam 18.25 pasien operasi

Jam 20.30 selesai operasi, pasien dirawat di ICU

STATUS ANASTESI

KETERANGAN UMUM

Nama penderita           : Ny. S                         Umur   : 39 thn, JK : P , Tgl : 15 Juni 2011

Ahli bedah                  : dr. Irwan BP, Sp.OG                        Ahli anastesi    : dr.Wisnu.W, Sp.An

Ass. Bedah                  : –                                             Prwt. Anastesi :

Diagnose Pra bedah    : HPP et causa atoni uteri        Jenis pembedahan:

Diagnose pasca bedah : Ruptur Uteri Inkomplit         Jenis anastesi   : GA

KEADAAN PRABEDAH

Keadaan umum           : gizi kurang/cukup/gemuk/anemis/sianosis/sesak

Tekanan darah :90/50 nadi: 150x/mnt  Pernapasan : 24x/mnt, Suhu  : -°C, Berat badan :± 80 kg, Golongan darah :………….

Hb       : 9 gr%, Lekosit           :6500   /uL  PVC         :………%     Lain-lain:………………

Penyakit-penyakit lain: ……………………………STATUS FISIK  ASA: 1234 Elektif darurat

PREMEDIKASI : S. Atropin……mg Valium……………mg Petidin…………mg DBP…….mg

Lain-lain……………Jam :………………IMIV Lain-lain Efek: …………

POSISI : Supine/prone/lateral/lithotomic/lain-lain AIRWAY : masker muka/endotraheal/traheostomi/ lain-lain

TEKNIK ANASTESI            : Semi closed/closed/spinal/Epidural/Blok Saraf/Lokal/lain-lain

PERNAPASAN         : SPONTAN/ASSISTED/KONTROL

OBAT ANASTESI

  1. Metoklopramid 10 mg
  2. Ketamin 100 mg
  3. Notrixum 30 mg
  4. Efedrin 10 mg
  5. Morfin 3 mg
  6. Ketorolac 30 mg

O2: 3 l/mnt

N2O : 3 l/mnt

Cairan pre op: NaCl 500

DO : RL 1000

DIAGNOSIS

Syok Hipovolemik Pada Perdarahan Post Partum et causa Ruptur Uteri

RENCANA TINDAKAN

  • Infus 2 line
  • Transfusi WB 4 labu
  • Antibiotic
  • Histerektomi

—  Terapi 15-6-2011 di ICU

ceftazidime 2×1                      RL 2000

antrain 3×1                              D5 500

kalnex 2×1                               WB

furosemid                                NS

—  Terapi 16-6-2011 di ICU

ketorolac 3×30 mg

RL 1000 (dlm 24 jam)

D5 1000 (dlm 24 jam)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LATAR BELAKANG

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.

Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari makalah ini adalah syok hipovolemik akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya.

Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun 1900-an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi syok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda resusitasi cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan. Kristaloid dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan pasien yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip yang lain membantu pada perkembangan pedoman yang ada untuk penanganan syok hemoragik traumatik.
2.2 PATOFISIOLOGI

Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.

Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.

Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.

Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dan hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.

Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.

Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.
2.3 MANIFESTASI KLINIS

Riwayat Penyakit

  • Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan langsung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental.
  • Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien.
  • Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor)
  • Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri
  • Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.
  • Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah.
  • Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau nyeri panggul.
  • Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting. Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan. Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esophagus.
  • Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok.
Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat.

Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.

Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.

  • Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
    • Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
    • Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan.
    • Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar 10%
    • Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
      • Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan.
      • Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.
    • Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
      • Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.
      • Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
      • Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
    • Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
      • Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
      • Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis).

Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha, dan bagian luar tubuh.

  • Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang melemah, karena perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru.
  • Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang menunjukkan cedera intraabdominal.
  • Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-tanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha).
  • Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan luar.

Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen. Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit. Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.

Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril. Meskipun, pada perdarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai “double set-up” di ruang operasi. Periksa abdomen, uterus,atau adneksa.
2.4 PENYEBAB

Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh darah, gastrointestinal, atau berhubungan dengan kehamilan. Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma benda tumpul. Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur, dan laserasi pada tengkorak.

Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan darah antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena. Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok hemoragik antara lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, Mallory-Weiss tears, dan fistula aortointestinal. Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik terganggu, plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik umum terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.

2.5 DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Solusio plasenta

Kehamilan ektopik

Aneurisma abdominal

Perdarahan post partum

Aneurisma thoracis

Trauma pada kehamilan

Fraktur femur

Syok hemoragik

Fraktur pelvis

Syok hipovolemik

Gastritis dan ulkus peptikum

Toksik
Plasenta previa
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri.

Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.
Pemeriksaan Radiologi

Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi. . Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan.

Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.

Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur. Jika pasien hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis harus segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.

Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada. Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil. Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi.
2.7 PENATALAKSANAAN

Penanganan Sebelum di Rumah Sakit

Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah yang lebih lanjut.

Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma. Vertebra servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin, dan dipindahkan ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan neurovaskuler dan kehilangan darah.

Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.

Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.

Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.

Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.

Pada tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi perdebatan tentang penggunaan Military Antishock Trousers (MAST). MAST diperkenalkan tahun1960-an dan berdasarkan banyak kesuksesan yang dilaporkan, hal ini menjadi standar terapi pada penanganan syok hipovolemik sebelum ke rumah sakit pada akhir tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an, “American College of Surgeon Commite on Trauma” memasukkan penggunaannya sebagai standar penanganan pasien trauma dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Sejak saat itu, penelitian telah gagal untuk menunjukkan perbaikan hasil dengan penggunaan MAST. “American College of Surgeon Commite on Trauma” tidak lama merekomendasikan penggunaan MAST.
Bidang Kegawatdaruratan 

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain:

1)          memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah,

2)          mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan

3)          resusitasi cairan.

1)          Memaksimalkan penghantaran oksigen

Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.

Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman.

Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.

Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.

Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).

Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.

Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.

Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.

2)          Kontrol perdarahan lanjut

Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.

Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan

Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan. Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim.

Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.

Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.

Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan pasien. Pada pasien yang berusaia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.

Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru).

Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.

Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.

Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut.

3)          Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah kepada keadaan normal sebelum control perdarahan.

Selama perang dunia I, Cannon mengamati dan menandai pasien yang mengalami syok. Dia kemudian mengajukan suatu model hipotensi yang dapat terjadi pada perlukaan tubuh, dengan minimalisasi intensif perdarahan selanjutnya. Penemuan dari penelitian awal menunjukkan bahwa binatang yang mengalami perdarahan telah meningkat angka kelangsungan hidupnya jika binatang ini memperoleh resusitasi cairan. Namun, pada penelitian ini perdarahan dikontol dengan ligasi setelah binatang tersebut mengalami perdarahan.

Selama perang Vietnam dan Korea, resusitasi cairan yang agresif dan akses yang cepat telah dilakukan. Tercatat bahwa pasien yang segera mendapatkan penanganan resusitasi yang agresif memperlihatkan hasil yang lebih baik, dan pada tahun 1970-an, prinsip ini diterapkan secara luas pada masyarakat sipil.

Sejak saat itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah prinsip ini valid pada pasien dengan perdarahan yang tidak terkontrol. Sebagian besar dari penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan angka kelangsungan hidup pada hipotensi yang berat dan kasus yang terlambat ditangani. Teori ini mengatakan bahwa peningkatan tekanan menyebabkan perdarahan lebih banyak dan merusak bekuan darah yang baru terbentuk, di lain pihak hipotensi berat dapat meningkatkan risiko perfusi otak.

Pertanyaan yang belum terjawab dengan sempurna adalah sebagai berikut: mekanisme dan pola cedera yang mana yang disetujui untuk pengisian volume darah sirkulasi? Apakah tekanan darah yang adekuat, tetapi tidak berlebihan?

Meskipun beberapa data menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 80-90 mmHg mungkin adekuat pada trauma tembus pada badan tanpa adanya cedera kepala, dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.
2.8 PENGOBATAN

Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi
Obat Anti Sekretorik

Obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat mengurangi aliran darah ke sistem porta.
Somatostatin (Zecnil)

Secara alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit.

  • Dosis

Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika berhasil

Anak-anak Tidak dianjurkan

  • Interaksi

Epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat ini.

  • Kontraindikasi

Hipersensitifitas
Kehamilan: Risiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada risiko terhadap janin.

  • Perhatian

Dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih; mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan defek konduksi jantung.

Ocreotide (Sandostatin)

Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama. Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau pankreas.

  • Dosis

Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg; penanganan hingga 5 hari.

Anak-anak
1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W.

  • Kontraindikasi

Hipersensitivitas
Kehamilan : Risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada beberapa penelitian pada binatang.

  • Perhatian

Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pasien Ny. S, usia 39 th, Pasien dibawa ke RS dengan keluhan keluar darah sedikit dari jalan lahir berwarna merah  segar dan bergumpal sejak tanggal 10 Juni 2011. Pasien pergi ke bidan 4 hari yang lalu, kata bidan belum ada pembukaan. Pasien juga mengeluh sudah 3 hari ini tidak ada pergerakan janin, sehingga pasien pergi ke bidan dan disarankan USG, hasil USG bayi meninggal. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD.Pemeriksaan fisik: Tensi: 150/100 mmHg, nadi : 88 x/mnt, suhu : 36,5˚C, RR: 20 x/mnt, Abdomen : Palpasi pembesaran uterus +, TFU 2 jari dibwh px. Pemeriksaan obstetric luar: TFU 2 jari dibwh px/32 cm, punggung kanan, bagian terendah kepala, kepala sdh masuk PAP. Pemeriksaan obstetric dalam : v/v:cairan ketuban mekoneal, eff 25% , KK (-), H1, Pembukaan porsio : (+) 1cm.

Hasil lab. Tgl 15 Juni 2011: Hb 9 gr/dL, Status Anestesi: Tekanan darah :90/50 nadi: 150x/mnt  Pernapasan : 24x/mnt, Berat badan :± 80 kg. Status Fisik : ASA III, diagnosis : Syok Hipovolemik Pada Perdarahan Post Partum et causa Ruptur Uteri, penatalaksaan : Infus 2 line, Transfusi WB 4 labu, Antibiotic, Histerektomi.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Ettinger, S. J. dan E. C. Feldman.  2005.  Textbook of Veterinary Internal Medicine. Vol. 1.  6th Ed.  St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.
  2. Fuentes, V. L.  2007.  Cardiovascular emergencies.  In  Proceedings of the SCIVAC Congress. Rimini, Italy.
  3. Kahn, C. M. dan S. Line.  2008.  The Merck Veterinary Manual (E-book). 9th Ed.Whitehouse Station, N.J., USA: Merck and Co., Inc.
  4. Kirby, R.  2007.  Shock and shock resuscitation. In Proceedings of the Societa Culturale Italiana Veterinari Per Animali Da Compagnia Congress. Rimini, Italy.
  5. Lorenz, M. D., L. M. Cornelius, dan D. C. Ferguson.  1997.  Small Animal Medical Therapeutics.  Philadelphia: Lippincott Raven Publisher.
  6. Lorenz, M. D. dan L. M. Cornelius.  2006.  Small Animal Medical Diagnosis. 2nd Ed.  Iowa, USA: Blackwell Publishing.
  7. Sibuea, W. H., M. M. Panggabean, dan S. P. Gultom.  2005.  Ilmu Penyakit Dalam.  Cetakan Kedua.  Jakarta: Rineka Cipta.

BAB I

PENDAHULUAN

Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas. Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1 – 18% pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 – 0,35% pasien tidak dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 – 10 pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi. Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian.

Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya penatalaksanaan jalan nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah kasus-kasus malpraktek yang diperiksa oleh American Society of Anesthesiologist Closed Claims Project. Pada kasus-kasus yang sudah ditutup tersebut terhitung bahwa jumlah terbanyak insiden kerusakan otak dan kematian disebabkan oleh kesulitan respirasi. Tujuan dari bab berikut adalah mendiskusikan dasar-dasar dari anatomi jalan nafas dan penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI JALAN NAFAS :

Secara sistem, jalan nafas dimulai dari bagian luar yaitu mulut dan hidung kemudian berakhir di alveolar. Pemahaman mengenai anatomi jalan nafas dapat membantu penatalaksanaan pasien selama periode operatif. Pada bagian berikutnya akan dilakukan peninjauan mengenai dasar anatomi jalan nafas dan fungsionalnya. Anatomi jalan nafas akan didiskusikan dalam beberapa bagian yaitu jalan nafas supraglotis, laring dan jalan nafas subglotis.

2.1.1 Jalan Nafas Supraglotis :

  1. a.      Hidung

Hidung berfungsi melembabkan dan menghangatkan udara saaat udara masuk kedalam hidung. Udara yang masuk dari hidung dibatasi dengan ukuran dari turbin pada lubang hidung, dimana didalamnya banyak terdapat pembuluh darah, sehingga pada pemasukan endotracheal tube atau bronchoscope melalui hidung dapat menyebabkan banyak perdarahan. Septum nasal kadang berdeviasi pada beberapa orang sehingga menyebabkan salah satu lubang hidung akan menyempit dibandingkan dengan sisi sebelahnya. Nasofaring kemudian terbuka dan menyambung dengan orofaring. Cabang dari Nervus V yang akan menginervasi sensorik pada hidung.

  1. b.      Faring

Ruang pada bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring, orofaring, dan hipo faring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit proses intubasi dengan endotracheal tube karena jaringan tersebut menutupi jalan masuk. Otot internal dari faring membantu proses menelan dengan mengangkat palatum. Sedangkan otot eksternalnya merupakan otot konstriktor yang membantu mendorong makanan masuk kedalam esophagus. Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari endotracheal tube pada pasien yang akan dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien yang teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan motorik dari faring berasal dari Nervus Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini yang dipersarafi oleh Nervus Kranial V.

Penyumbatan jalan nafas dapat terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat timbulnya pembengkakan yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut terjadi pada daerah Palatum Molle yang kemudian menepel pada dinding nasofaring. Contoh lidah dapat jatuh kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan nafas dengan menempel pada dinding posterior orofaring. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada pasien sewaktu tidur. Penyumbatan terjadi akibat penurunan tonus otot dan penurunan fungsi lumen faring. Pada pasien yang bernafas spontan, penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat berhubungan dengan meningkatnya frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif yang besar dibawah tingkat obstruksi. Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk dengan penyumbatan yang timbul akibat adanya tekanan negatif yang menekan jaringan lunak ke daerah yang kolaps. Permasalahan seperti ini terdapat pada pasien dengan obstuktive sleep apnea.

  1. c.       Laring

Laring memiliki bentuk yang rumit yang berfungsi yaitu melindungi jalan nafas bawah, sebagai salah satu organ untuk fonasi, dan membantu proses pernafasan. Semua fungsi tersebut bergantung pada proses interaksi antara kartilago, tulang, dan jaringan lunak yang merupakan komponen dari faring dan laring. Laring memiliki 9 kartilago yaitu Epiglotis, Tiroid, Krikoid, Sepasang Aritenoid, Sepasang Cuneiformis dan Sepasang Corniculata. Laring memiliki otot-otot ekstrinsik dan intrinsik. Persarafan sensorik dan motorik dari jalan nafas bagian atas juga banyak.

Struktur Laring :

Tulang Hyoid akan menggantung pada laring dan menempel pada tulang Temporal melalui ligament Stylohyoid.

Kartilago Laring

  • Kartilago Tiroid : Merupakan kartilago terbesar dari laring dan memiliki sudut yang lebih tajam pada laki-laki sehingga memberikan bentuk menonjol dan panjang. Memberikan nada rendah pada pita suara. Kartilago ini melekat pada membrane Hyoid di bagian atas dan berartikulasi dengan kartilago Krikoid di bagian bawah. Bagian batang Epiglottis dan ligamen Vestibular melekat pada permukaan bagian dalamnya.
  • Kartilago Krikoid : Berbentuk cincin utuh dengan bagian belakang yang lebih lebar melekat pada Esophagus. Sudut anterior melekat pada kartilago tiroid melalui membrane Cricotiroid. Membran Cricotiroid tidak memiliki pembuluh darah sehingga dapat menjadi akses jalan nafas dalam keadaan gawat darurat dengan cara insisi di bagian tengahnya atau dengan menusukan jarum pada bagian tengahnya.
  • Kartilago Aritenoid : Berbentuk pyramidal, Aritenoid adalah tempat tambatan bagi beberapa otot internal laring dan juga bagi pita suara. Kartilago Cuneiformis dan Corniculata melekat pada kartilago ini melalui ligamennya.
  • Epiglotis : Merupakan stuktur bentuk kartilago yang besar berbentuk tetesan air atau daun atau sadel sepeda. Sifatnya flesibel dengan ukuran yang berbagai macam. Terletak vertical dibelakang tulang Hyoid dan melekat pada ligamen Hyoepiglotis. Dasar epiglottis melekat pada Aritenoid melalui lipatan Aryepiglotis. Mukosa dari Epiglotis berjalan ke anterior dan lateral membentuk ruang antara lipatan Faringoepiglotis yang disebut Valecula. Ruang ini merupakan tempat jatuhnya benda asing seperti makanan dan juga merupakan tempat yang tersedia untuk meletakan ujung dari bilah laringoskop Macintosh.

Interior Laring

Bagian dalam laring merupakan struktuk bentuk yang rumit juga. Lekukan pada laring dari faring berbentuk hampir tegak lurus. Rongga laring dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Vestibula memanjang dari lengkung laring kearah lipatan vestibular yang disebut sebagai pita suara palsu. Ventrikel laring memanjang dari pita suara palsu sampai ke pita suara asli. Daerah antara pita suara saat menutup dan kartilago Aritenoid disebut Rima Glotis. Bagian ini adalah bagian yang paling dangkal dari jalan nafas atas pada orang dewasa. Infraglotis laring memanjang dari pita suara sampai bagian atas trakea dibatasi oleh membrane Cricotiroid dan kartilago Krikoid. Daerah ini adalah daerah yang paling dangkal pada jalan nafas anak.

Otot-Otot Laring

Otot-otot ekstrinsik laring bekerjasama dengan bagian laring lainnya untuk bergerak pada proses menelan. Otot-otot ini termasuk Sternohyoid, Sternothyroid, Thyrohyoid, Thyroepiglottis, Stylopharingeus, dan Konstriktor Pharingeal Inferior. Otot-otot dalam laring meng aduksi pita suara untuk menutup pada saat menelan dan abduksi pada saat inspirasi serta mengubah tegangan pada pita suara selama proses fonasi. Otot-otot dari laring ini adalah :

Oblique Arytenoid                 : Menutup Rima Glotis

Tranverse Arytenoid               : Adduksi Arytenoid, menutup Rima Glotis

Lateral Cricoarytenoid            : Adduksi pita suara

Posterior Cricoarytenoid         : Abduksi pita suara

Cricithyroid                             : Tegangan pada pita suara

Thyroarytenoid                       : Relaksasi tegangan pada pita suara

Vocalis                                    : Relaksasi pita suara

Penutupan pada laring adalah proses yang penting. Laring dfapat ditutup pada tiga bagian : lipatan Aryepiglottis, pita suara palsu dan pita suara asli. Laring akan menutup selama proses menelan dimana akan terjadi tiga tahap pada proses tersebut : pertama, makanan akan didorong kearah posterior faring oleh lidah, kedua, tahap menelan, proses respirasi akan berhenti, otot palatoglosal berkontraksi dan orofaring tertutup dari nasofaring dan laring dengan kerjasama antara beberapa otot yang menarik laring superior agar epiglottis menutup laring. Pada tahap ketiga proses penelanan makanan yang membawa makanan masuk ke Esophagus.

Persarafan Laring

Struktur laring mempunyai persarafan sensorik dan motorik . Fungsi motorik sebagai adduksi (penutupan pita suara), abduksi (membuka pita suara) dan tegangan (menegangkan pita suara untuk mengeluarkan suara dengan nada tinggi). Semua persarafan sensorik dan motorik dari otot-otot intrinsic laring berasal dari percabangan Nervus Vagus. Nervus Laringeal Superior adalah cabang dari Nervus Vagus yang berjalan di sisi dalam Arteri Carotis sebelum terbagi menjadi cabang external dan internal. Cabang internal yang besar masuk kedalam membrane Thyroid dan Os. Hyoid. Cabang ini kemudian akan mempersarafi sensorik dari laring. Cabang eksternal dari Nervus Laringeal Superior membawa serabut motorik dari Nervus Assesory Spinalis. Cabang ini berjalan sepanjang kartilago Thyroid mempersarafi otot Cricothyroid. Nervus Laringeal Rekurens meninggalkan Vagus di daerah dada kemudian berjalan di bagian alur tracheoesophageal. Nervus Laringeal Rekurens mempersarafi motorik dari semua otot-otot intrinsik dari laring kecuali otot Cricothyroid. Reflex laryngeal dapat terstimuli di daerah laring atau supraglotis dan dapat menyebabkan tertutupnya pita suara sampai dengan terjadinya laringospasme.

Untuk memblok sensorik dari mukosa laring dibutuhkan blok daripada Nervus Laringeal Superior sampai dengan pita suara ditambah dengan blok pada Nervus Laringeal Rekurens atau dengan pemberian anestesi lokal dengan injeksi transtracheal atau dengan spray pada mukosa di bawah pita suara. Blok motorik komplit untuk memfasilitasi intubasi dibutuhkan blok pada Nervus Laringeal Rekuren karena nervus ini mempersarafi fungsi motorik dari semua nervus intrinsik dari laring kecuali untuk otot Cricothyroid. Blok pada saraf ini dapat dilakukan dengan transtracheal atau injeksi pada Cricothyroid atau secara topikal dengan spray.

Stimulasi dari struktur supraglotis dapat menyebabkan penutupan glottis atau laringospasme. Stimuli ini dapat berupa sentuhan panas atau kimiawi. Respon ini biasanya cepat. Laringospasme adalah suatu keadaan dimana glottis menutup rapat setelah timbulnya rangsangan.

2.2 LARYNGEAL MASK AIRWAY (LMA)

A. DEFINISI

Adalah sebuah  alat untuk mempertahankan jalan  napas paten tanpa intubasi trakea, yang terdiri dari tabung terhubung ke cuff oval yang berfungsi untuk mengunci laring.

B. KONSEP DAN DESAIN

LMA mengisi cekungan antara Face Mask (FM) dan Trakeal Tube (TT) baik dari segi posisi anatomis dan tingkat invasi. Dibuat dari kelas silikon karet medis dan dapat digunakan kembali.

LMA ini terdiri dari 3 komponen utama (Gbr. 1):

  1. Tabung jalan napas (airway tube)
  2. Masker karet dan
  3. Garis inflasi.

Gambar. 1

Jalan napas tabung sedikit melengkung untuk menyesuaikan dengan anatomi orofaringeal, semirigid untuk memfasilitasi insersi atraumatik dan semitransparan, sehingga kondensasi dan materi muntahan dapat terlihat. Sebuah garis hitam berjalan longitudinal sepanjang lengkungan posterior untuk membantu orientasi. Lubang pada distal dari tabung saluran udara terbuka ke dalam lumen dari masker karet dan dilindungi oleh dua karet vertikal yang fleksibel, disebut Mask Aperture Bars (MAB), untuk mencegah pada epiglotis masuk dan menghalangi jalan napas.

Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas. Tanggung jawab dokter anestesi adalah untuk menyediakan respirasi dan managemen jalan nafas yang adekuat untuk pasien. LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di insersi secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk laring. Dibawah ini tabel 2 keuntungan dan kerugian pemakaian LMA jika dibandingkan dengan ventilasi facemask atau intubasi ET.

Tabel.1

Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 8 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.

Tabel. 2

C. MACAM-MACAM LMA

1. Clasic LMA

Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway management yang dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai alternatif baik itu untuk ventilasi facemask maupun intubasi ET. LMA juga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan difficult airway. Jika LMA dimasukkan dengan tepat maka tip LMA berada diatas sfingter esofagus, cuff samping berada di fossa pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan dengan dasar lidah. Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif dengan inflasi yang minimal dari lambung.

2. LMA Fastrach ( Intubating LMA )

LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang melengkung ( diameter internal 13 mm ) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm, handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara LMA clasic dan LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan batang pengangkat epiglottic. Nama lain dari Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal mask yang dirancang khusus untuk dapat pula melakukan intubasi tracheal. Sifat ILMA : airway tube-nya kaku, lebih pendek dan diameternya lebih lebar dibandingkan cLMA. Ujung proximal ILMA terdapat metal handle yang berfungsi membantu insersi dan membantu intubasi, yang memungkinkan insersi dan manipulasi alat ini. Di ujung mask terdapat ”pengangkat epiglotis”, yang merupakan batang semi rigid yang menempel pada mask. ILMA didesign untuk insersi dengan posisi kepala dan leher yang netral.

Ukuran ILMA : 3 – 5, dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone yang dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0 – 8,0 mm internal diameter. ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi esofagus bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat ”blind intubation technique”. Setelah intubasi direkomendasikan untuk memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok dan suara serak biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian ILMA dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam managemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien dengan cedera tulang belakang bagian cervical. Dan dapat dipakai selama resusitasi cardiopulmonal.

Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip dengan intubasi konvensional dengan menggunakan laryngoscope. Kemampuan untuk insersi ILMA dari belakang, depan atau dari samping pasien dan dengan posisi pasien supine, lateral atau bahkan prone, yang berarti bahwa ILMA merupakan jalan nafas yang cocok untuk insersi selama mengeluarkan pasien yang terjebak. ILMA merupakan alat yang mahal dengan harga kira-kira 500 dollar America dan dapat digunakan sampai 40 kali.

3. LMA Proseal

LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi tekanan positif. Pertama, tekanan seal jalan nafas yang lebih baik yang berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA Proseal terdapat pemisahan antara saluran pernafasan dengan saluran gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk dekompresi lambung.

PLMA diperkenalkan tahun 2000. PLMA mempunyai “mangkuk” yang lebih lunak dan lebih lebar dan lebih dalam dibandingkan cLMA. Terdapat drainage tube yang melintas dari ujung mask, melewati “mangkuk” untuk berjalan paralel dengan airway tube. Ketika posisinya tepat, drain tube terletak dipuncak esofagus yang mengelilingi cricopharyngeal, dan “mangkuk” berada diatas jalan nafas. Lebih jauh lagi, traktus GI dan traktus respirasi secara fungsi terpisah. PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat insersi sulit dapat melalui suatu jalur rel melalui suatu bougie yang dimasukkan kedalam esofagus. Tehnik ini paling invasif tetapi paling berhasil dengan misplacement yang kecil.

Terdapat suatu teori yang baik dan bukti performa untuk mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan PLMA, berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut .

Harga PLMA kira-kira 10 % lebih mahal dari cLMA dan direkomendasikan untuk 40 kali pemakaian. Pada pasien dengan keterbatasan komplian paru atau peningkatan tahanan jalan nafas, ventilasi yang adekuat tidak mungkin karena dibutuhkan tekanan inflasi yang tinggi dan mengakibatkan kebocoran. Modifikasi baru, Proseal LMA telah dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan ini dengan cuf yang lebih besar dan tube drain yang memungkinkan insersi gastric tube. Versi ini sering lebih sulit untuk insersinya dan pabrik merekomendasikan dengan bantuan introduser kaku.

4. Flexible LMA

Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya meningkat yang memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA memberikan perlindungan yang baik terhadap laryng dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral, termasuk tonsilektomy. Airway tube fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi tube dan work of breathing. Ukuran fLMA : 2 – 5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA karena flexibilitas airway tube. Mask dapat ber rotasi 180 pada sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah ke belakang. Harga fLMA kira-kira 30 % lebih mahal dari cLMA dan direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.

D. TEHNIK ANESTESI LMA

1. Indikasi  :

1)      Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.

2)      Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan.

3)      Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.

 

2. Kontraindikasi :

1)      Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada emergency adalah pengecualian ).

2)      Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung.

3)      Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.

4)      Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu terjadinya laryngospasme.

 

3. Efek Samping

Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama adalah aspirasi.

4. Teknik Induksi dan Insersi

Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam sering membuat posisi mask yang tidak sempurna. Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak ber respon dengan mandibula yang relaksasi dan tidak ber-respon terhadap tindakan jaw thrust. Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang dapat mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian pelumpuh otot akan mengurangi trauma oleh karena reflex proteksi yang ditumpulkan, atau mungkin malah akan meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan nafas yang relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan.

Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat menekan refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau terjadinya gerakan. Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi dinding pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan dengan menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung.

Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy ( Sniffing Position ) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi dan permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum dilakukan insersi. Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih menyukai insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tehnik ini akan menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa pharing .

Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu tangan men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain memegang cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA ”berhenti” selama insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus ( sfingter esofagus bagian atas ) dan harusnya sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut untuk meyakinkan ”titik akhir” ter-identifikasi.

Blind Intubation dengan endotracheal tube melalui laryngeal mask airway :

1)      Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA

2)      Berikan lumbrikasi pada ET melalui LMA, putar 90º dari posisi normal agar mudah melewati LMA; Pada jarak 20 cm, putar ET kembali ke posisi normal.

3)      Masukan ET ke dalam trakea, kembangkan cuff, dan pastikan ventilasi

4)      Amankan ET dan LMA pada tempatnya atau potong dan pisahkan LMA agar ET dapat diposisikan dengan aman.

Intubasi fiberoptic melalui laryngeal mask airway :

1)      Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA

2)      Berikan lumbrikasi pada ET kemudian ET diposisikan di bronchoscope

3)      Masukan bronchoscope melewati LMA, kemudian masuk ke trakea. ET akan masuk bersama dengan bronchoscope

4)      Pastikan posisi ET terlihat dan tarik bronchoscope

5)      Amankan ET dan LMA pada tempatnya atau potong dan pisahkan LMA agar ET dapat diposisikan dengan aman.

Tanda-tanda pemasanga LMA yang benar:

a. Adanya sedikit gerakan ke luar dari tube pada saat inflasi LMA.

b. Adanya pembengkakan berbentuk oval kecil di leher sekitar tiroid dan daerah krikoid.

c. Cuff tidak terlihat dalam rongga mulut.

d. Pengenmbanga dinding dada pada saat kompresi bag.

Kesulitan pemasangan LMA pada penatalaksanaan jalan nafas sulit :

  1. Epiglotis dapat jatuh menutupi sewaktu pemberian jalan nafas dan keterbatasan ukuran ruang untuk memasukan alat lain kedalam  trakea. Hal ini dapat terjadi meskipun pasien dapat diventilasi.
  2. Batang dari LMA dapat membatasi jalan masuk alat lainnya.
  3. Endotracheal tube mungkin terlalu pendek untuk masuk kedalam trakea melalui LMA.
  4. Kombinasi LMA dan endotracheal tube sulit untuk diamankan dan dapat terlepas keluar dari trakea.
  5. Adanya resiko aspirasi dari benda-benda yang berasal dari lambung. Pemasangan proseal dapat menurunkan resiko ini.

7. MAINTENANCE

Saat ventilasi kendali digunakan, puncak tekanan jalan nafas pada orang dewasa sedang dan juga pada anak-anak biasanya tidak lebih dari 10 -14 cmH2O. Tekanan diatas 20 cmH2O harus dihindari karena tidak hanya menyebabkan kebocoran gas dari cLMA tetapi juga melebihi tekanan sfingter esofagus. Pada tekanan jalan nafas yang rendah, tekanan gas keluar lewat mulut, tetapi pada tekanan yang lebih tinggi, gas akan masuk ke esofagus dan lambung yang akan meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi. Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode yang lama kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi jalan nafas dan akses ke jalan nafas untuk membersihkan sekret, tidak sebaik lewat tube trakea. Untungnya ventilasi kendali pada grup ini sering lebih mudah sebagaimana anak-anak secara umum mempunyai paru-paru dengan compliance yang tinggi dan sekat jalan nafas dengan cLMA secara umum sedikit lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.

Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya menyediakan jalan nafas yang bebas dan penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran dapat terjadi jika anestesi kurang dalam atau pasien bergerak. Kantung reservoir sirkuit anestesi harus tampak dan di monitoring dengan alarm yang tepat harus digunakan selama tindakan anestesi untuk meyakinkan kejadian-kejadian ini terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di ubah, akan bijaksana untuk melepas jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian posisi telah dilakukan, sambungkan kembali ke sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan nafas.

8. TEKNIK EXTUBASI

Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex proteksi jalan nafas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada pahryng secara umum tidak diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti laryngospasme. Saat pasien dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik.

Kebanyakan sekresi akan terjadi pada saat-saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan sekret tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi jika cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat ditarik ”dalam”. Jika cLMA ditarik dalam kondisi masih ”dalam”, perhatikan mengenai obstruksi jalan nafas dan hypoksia. Jika ditarik dalam keadaan sadar, bersiap untuk batuk dan terjadinya laryngospasme

9. KOMPLIKASI LMA

cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru karena regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA pada pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau refluks gastro-esofageal dan pada pasien obese.

Pada penelitian Turan et all, LMA dibandingkan dengan beberapa alat yang juga digunakan untuk menjaga patensi jalan nafas ( laryngeal tube dan perilaryngeal airway ) dan insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA sekitar 28 % 13 dimana insidensi ini mirip dengan kisaran yang pernah dilaporkan yaitu antara 21,4 % – 30 % ( Wakeling et al ), 28,5 % ( Dingley et al ) dan sampai 42 %. Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan nafas yang lebih kecil dibandingkan dengan ET. Namun clasic LMA mempunyai kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah ( rata-rata 18 – 20 cmH2O ), sehingga jika dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada jalan nafas akan berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas dan inflasi lambung. Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan perlindungan pada kasus regurgitasi isi lambung.

Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya stimulasi respirasi dibandingkan ET selama situasi emergensi pembiusan. ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA selama ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan 50 % dibandingkan clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi dengan mengurangi kebocoran dari jalan nafas. Sebagai tambahan drain tube pada ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat menjadi rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.

BAB III

KESIMPULAN

  1. Seorang dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas. Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan.
  2. Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif.
  3. LMA dapat dibagi menjadi 3 : Clasic LMA, Fastrach LMA, Proseal LMA, Flexible LMA dengan spesifikasinya masing-masing.
  4. Pemasangan LMA tetap membutuhkan pemilihan kasus yang selektif. Dengan memperhatikan indikasi dan kontraindikasi.

5. Untuk insersi LMA membutuhkan kedalaman anestesi yang adekuat

6. Diperlukan suatu optimalisasi dalam hal ketepatan penempatan.

7. Digunakan ventilasi bertekanan rendah setelah dilakukan insersi dan pasien dapat di ektubasi dalam keadaan sadar penuh.

DAFTAR PUSTAKA

1. Thomas J Gal. Airway Management in Miller’s Anesthesia, Chapter 42,  Elsivier : 2005 : page 1617.

2. Verghese C, Brimacombe JR. Survey of Laryngeal mask airway usage in 11910 patients : safety and efficacy for conventional and nonconventional usage. Anesth Analg 1996 ; 82 : 129 – 133

3. Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fourth Edition. McGraw-Hill Companies. 2006 : 98.

4. Peter F Dunn. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217

5. Tim Cook, Ben Walton. The Laryngeal Mask Airway. In : Update in Anaesthesia : 32 – 42

6. Cook TM, Lee G, Nolan JP. The ProSeal laryngeal mask airway ; a review of the literature. Can j Anesth 2005 ; 52 : 739 – 760

7. Brimacombe J, Clarke G, Keller C. Lingual nerve injury associated with the ProSeal laryngeal mask airway : a case report and review of the literature. Br J Anaesth 2005 ; 95 : 420 – 423

8. Brimacombe J, Keller C, Kurian S, Myles J. Reliability of epigastric auscultation to detect gastric insufflation. Br J Anaesth 2002 ; 88 ( 1 ) : 127 – 129

9. Turan et al. Comparison of the laryngeal mask ( LMA ) and laryngeal tube ( LT ) with the new perilaryngeal airway ( CobraPLA ) in short surgical procedures. EJA 2006 ; 23 : 234 – 238

10. Brimacombe J. The advantage of the LMA over the tracheal tube or face mask : a meta analysis. Can J Anaest 1995 ; 42 : 1017 – 1023

11. Devitt JH, Wenstone R, Noel AG, O’Donnell MP. The laryngeal mask airway and positive-pressure ventilation. Anesthesiology 1994 ; 80 : 550 – 555

12. El-Ganzouri A, Avramov MN, Budac S, Moric M, Tuman KJ. Proseal laryngeal mask airway versus endotracheal tube : ease of insertion, hemodynamic response and emergence characteristic. Anesthesiology 2003 ; 99 : A571


BAB I

STATUS PASIEN

1.1  Identitas Pasien :

  • Nama               : Tn.P
  • Umur               : 60 tahun
  • Alamat            : Pakisaji
  • Kelamin          : Laki-laki
  • Pekerjaan       : Petani
  • Status              : Menikah
  • Pendidikan      : SD
  • Tanggal MRS  : 15 Juli 2011
  • No Reg            : 242382

1.2  ANAMNESA

Keluhan utama                      : Susah BAK sejak ± 6 bulan yang lalu.

Keluhan penyakit sekarang :

Sejak ± 6 bulan yang lalu pasien merasakan susah untuk memulai BAK, dan terkadang harus disertai dengan mengedan untuk buang air kEcil, pancaran semakin lama dirasa melemah dan kadang pasien mengalami kencing tiba-tiba berhenti dan lancar kembali. Sebelumnya pasien juga merasakan anyang-anyangen tapi sekarang menghilang, pasien menceritakan bahwa dirinya sering berkali-kali ke kamar kecil dikarenakan adanya keinginan buang air kecil akan tetapi saat di kamar kecil hanya keluar beberapa tetes saja dan merasa kurang puas.

Selain itu pasien mengaku sering terganggu tidurnya dikarenakan ke kamar mandi untuk buang air kecil, keluhan yang lain juga kadang terasa menetes padahal pasien telah buang air kecil 15 menit yang lalu. Pasien  tidak merasakan pusing, mual, muntah, BAB (+) normal, nyeri perut (-), kencing darah (-) , panas (-), pinggang terasa sakit.

Riwayat penyakit dahulu     :

HT (+), DM (-), Asma (-), Alergi (-), kejang (-), penyakit Jantung (-)

Riwayat penyakit keluarga :

HT (-), DM (-), Asma (-), Alergi (-), kejang (-), penyakit Jantung (-)

Riwayat kebiasaan                :

Jamu (+), kopi (+), rokok (+)

Riwayat pengobatan             : –

1.3  PEMERIKSAAN FISIK

  1. a.      Status present

Keadaan umum           : Kesadaran Compos Mentis (GCS 456)

Tensi                            : 140/90 mmHg

Nadi                            : 80 kali/mnt

RR                               : 18 kali/mnt

Suhu                            : 36,2 ˚C

  1. b.      Pemeriksaan umum

Kulit                : cianosis (-), ikterik (-), turgor menurun (-)

Kepala             : bentuk normocephali

Mata                : anemi -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/-

Mulut              : stomatitis (-), hiperemi pharing (-), pembesaran tonsil (-)

Leher               : pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tonsil (-)

Paru                 :

Inspeksi : pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan normal, retraksi costae -/-

Palpasi     : teraba massa abnormal -/-, pembesaran kel. Axilla -/-

Perkusi     : sonor +/+, hipersonor -/-, pekak -/-

Auskultasi : vesikuler +/+, suara nafas menurun -/-, Wh -/-, Rh -/-

Jantung                        :

inspeksi           : iktus cordis tak teraba

Palpasi             : thrill -/-

Perkusi            : batas jantung normal

Auskultasi       : denyut jantung regular

Abdomen        :

inspeksi     : flat , distensi -, gambaran pembuluh darah collateral –

Palpasi       : –

Perkusi      : –

Auskultasi : bising usus + normal

Ekstremitas     : edema -/-

1.4 RINGKASAN

Anamnesa      :

Pasien Tn.P ♂ umur 60 tahun datang ke RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan keluhan susah BAK sejak ± 6 bulan yang lalu. Pasien juga merasa susah untuk memulai BAK, dan terkadang harus disertai dengan mengedan untuk buang air kacil, pancaran semakin lama dirasa melemah dan kadang pasien mengalami kencing tiba-tiba berhenti dan lancar kembali. Sebelumnya pasien  juga merasakan anyang-anyangen tapi sekarang menghilang, pasien menceritakan bahwa dirinya sering bekali-kali ke kamar kecil dikarenakan hasrat ingin buang air kecil akan tetapi saat di kamar kecil hanya keluar beberapa tetes saja dan merasa kurang puas. Selain itu pasien mengaku sering tergangguan tidurnya dikarenakan kekamar mandi untuk buang air kecil, keluhan yang lain juga kadang terasa menetes padahal pasien telah buang air kecil 15 menit yang lalu.

Pemeriksaan fisik : (Tidak dilakukan)

Pemeriksaan dalam (digital rectal examina-tion) : sfingter ani mencengkeram kuat, mukosa licin, ampula rectum tidak kolaps, teraba prostat kenyal, kanan dan kiri tidak simetris, nyeri tekan (-), sulcus medianus tidak teraba, tidak berbenjol-benjol.

Hasil lab. Tgl 15 Juli 2011

Hb                               : 12,6 gr/dL

Leukosit                      : 3.770 /ul

LED                            : 28/jam

Trombosit                    : 343.000/ul

Masa perdarahn           : 1’00”

Masa pembekuan        : 9’30”

GDS                            : 117 mg/dL

SGOT                          : 32

SGPT                          : 21

Ureum                                             : 33

Kreatinin                     :0,91

Pemeriksaan Penunjang

Foto Rongent Thorax : dbn

EKG : dbn

USG:

Prostat                                : Ukuran 5,1 x 4 x 4,5 cm

Ren Dekstra    : dbn

Ren Sinistra     : dbn

Vesika Urinaria : dbn

1.5 DIAGNOSIS

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) + LUTS dengan ASA 2

1.6 RENCANA TINDAKAN

Open Prostatektomi

Regional Anestesi

LAPORAN OPERASI

No. Register : 242382
Nama : Ny. P Alamat : Pakisaji – kepanjen
Umur : 60 thn IRNA : D
Nama :       Ahli bedah : dr. A, Sp.B        Asisten: –                 Perawat : –
Tanggal operasi : 20 Juli 2011 Jaringan yang di : ………………………….Excisi Incisi
Pukul operasi : 09.30
Dimulai : 09.30 Dikirim untuk : Pemeriksaan PAYa Tidak
Selesai : 10.30
Lama operasi : 1 jam
Jenis anastesi : Regional Anestesi
Diagnosa  : Pembesaran prostat jinak (BPH) + LUTSPrabedah  :
Diagnose      :Pasca bedah
Tindakan         : 1.Open ProstatektomiPembedahan      2. Sterilisasi

3. ……………………….

4. ……………………….

5. ………………………Klasifikasi :Darurat                        Mayor

Terencana (+)              Medium

Rawat jalan                  MinorLaporan pembedahan

Instruksi            :Pasca bedah

STATUS ANASTESI

KETERANGAN UMUM

Nama penderita           : Tn. P                                      Umur   : 60 thn, JK : P , Tgl : 20 Juli 2011

Ahli bedah                  : dr. A, Sp.B                            Ahli anastesi    : dr.J,Sp.A

Ass. Bedah                  : –                                             Perawat Anastesi        :

Diagnose Pra bedah    : BPH + LUTS                        Jenis pembedahan   : Open

Prostatektomi

Diagnose pasca bedah : Post Op Prostatektomi          Jenis anastesi         : Regional

Anestesi

KEADAAN PRABEDAH

Keadaan umum                       : gizi kurang/cukup/gemuk/anemis/sianosis/sesak

Tekanan darah                         :140/90 mmHg

Nadi                            : 82 kali/mnt

Pernapasan                  : 18 kali/mnt,

Suhu                            : 36,2°C,

Berat badan                 :± 50 kg,

STATUS FISIK

ASA: 1234 Elektif darurat

PREMEDIKASI

– Metoclopramid 10 mg IV

POSISI           : Supine/prone/lateral/lithotomic/lain-lain

AIRWAY       : masker muka/endotraheal/traheostomi/ lain-lain Nasal

TEKNIK ANASTESI            : Semi closed/closed/spinal/Epidural/Blok Saraf/Lokal/lain-lain

PERNAPASAN         : SPONTAN/ASSISTED/KONTROL

OBAT ANASTESI

  1. Buvanest 20 mg                      4. Ketorolac 10 mg                 7………
  2. Metoklopramid 10 mg                        5. Sedacum 2 mg                    8……….
  3. Efedrin 10 mg                         6………..

O2: 3 l/mnt

N2O : 3 l/mnt

Cairan Pre op: NaCl 500

DO : RL 1000

1.7 DISKUSI PENATALAKSANAAN

A. Pre-Operatif

Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik ASA & risk. Diputuskan kondisi fisik pasien termasuk ASA II (pasien giatri), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik SubArachoid Block.

Pasien yang akan menjalani operasi prostattectomy umumnya adalah pasien geriatri, untuk itu penting dilakukan evaluasi ketat terhadap fungsi kardiovaskuler, respirasi dan ginjal. Pasien-pasien ini dilaporkan mempunyai prevalensi yang cukup tinggi untuk mengalami gangguan kardiovaskular dan respirasi, hal lain yang perlu diperhatikan pada pembedahan ini adalah darah harus selalu tersedia karena perdarahan prostat dapat sangat sulit dikontrol, terutama pada pasien yang kelenjar prostatnya > 40 gram.

Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi cara spinal. Anastesi regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi T10 memberikan efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang optimal bagi prostattectomy. Dibanding dengan general anastesi, regional anastesi dapat menurunkan insidens terjadinya post-operative venous trombosis.

B. Durante operatif

Prosedur pembedahan ini adalah membuka perlekatan prostat dengan vesika urinaria kemudian mereseksi kelenjar prostat yang membesar, selalu memerlukan cairan irigasi kontinyu dalam jumlah besar. Penggunaan sejumlah besar cairan irigasi membawa beberapa komplikasi antara lain TURP syndrom, hipotermi, dan koagulopati.

Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok bagian tubuh inferior saja. Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah Buvanest spinal 20 mg (berisi bupivakain Hcl 20 mg), Buvanest spinal dipilih karena durasi kerja yang lama. Bupivakain Hcl merupakan anastesi lokal golongan amida. Bupivakain Hcl mencegah konduksi rangsang saraf dengan menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi elekton, memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan potensial aksi. Selain itu Buvanest juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua jaringan yang terkena.

Sebagai analgetik digunakan Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas pada clinicaal trial pemberian ketorolac dosis pakai ketorolac untuk pasien giatri (> 65 tahun) adalah titik lebih dari 60 mg/hari dipakai 30 mg karena ternyata bahwa 30 mg merupakan dosis yang tepat dan memberikan terapeutik index yang lebih baik.

C. Post Operatif

Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign stabil pasien dipindahkan ke bangsal, dengan anjuran untuk bed rest 24 jam, tidur terlentang dengan 1 bantal, minum banyak air putih serta tetap diawasi vital sign selama 24 jam post operasi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANESTESI SPINAL

Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal (CSF). Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.

Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk memberikan kondisi operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah umbilikus. Spinal anestesi dianjurkan untuk operasi di bawah umbilikus misalnya hernia, ginekologi dan operasi urologis dan setiap operasi pada perineum atau alat kelamin. Semua operasi pada kaki, tapi amputasi meskipun tidak sakit, mungkin merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien yang dalam kondisi terjaga. Dalam situasi ini dapat menggabungkan tehnik spinal anestesi dengan anestesi umum.

Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus-pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik anestesia yang lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anestesi regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental pasien.

Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang-orang dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan gangguan endokrin seperti diabetes. Banyak pasien dengan penyakit jantung ringan mendapat manfaat dari vasodilatasi yang menyertai anestesi spinal kecuali orang-orang dengan penyakit katub pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol. Sangat cocok untuk menangani pasien dengan trauma yang telah mendapatkan resusitasi yang adekuat dan tidak mengalami hipovolemik.

Indikasi:

  1. Bedah ekstremitas bawah
  2. Bedah panggul
  3. Tindakan sekitar rektum perineum
  4. Bedah obstetrik-ginekologi
  5. Bedah urologi
  6. Bedah abdomen bawah
  7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan.

Kontra indikasi absolut:

  1. Pasien menolak
  2. Infeksi pada tempat suntikan
  3. Hipovolemia berat, syok
  4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
  5. Tekanan intrakranial meningkat
  6. Fasilitas resusitasi minim
  7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif:

  1. Infeksi sistemik
  2. Infeksi sekitar tempat suntikan
  3. Kelainan neurologis
  4. Kelainan psikis
  5. Bedah lama
  6. Penyakit jantung
  7. Hipovolemia ringan
  8. Nyeri punggung kronik

Persiapan analgesia spinal :

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

  1. Informed consent        : tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
  2. Pemeriksaan fisik        : tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
  3. Pemeriksaan laboratorium anjuran      : Hb, ht,pt,ptt

Peralatan analgesia spinal :

  1. Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, ekg
  2. Peralatan resusitasi
  3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).

Teknik analgesia spinal :

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

  1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
  2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
  3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
  4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan (Bupivacain 20 mg)
  5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
  6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm. Posisi:
    1. Posisi Duduk
    2. Pasien duduk di atas meja operasi
    3. Dagu di dada
    4. Tangan istirahat di lutut

Posisi Lateral:

  1. Bahu sejajar dengan meja operasi
  2. Posisikan pinggul di pinggir meja operasi
  3. Memeluk bantal/knee chest position

Tinggi blok analgesia spinal :

Faktor yang mempengaruhi:

  1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
  2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
  3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik.
  4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
  5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
  6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
  7. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
  8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia yang lebih tinggi.
  9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
  10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

2.2 Anastesi Lokal untuk Anastesi Spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.  Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik local yang paling sering digunakan:

  1. Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100 mg (2-5ml)
  2. Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50 mg (1-2 ml)
  3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20 mg
  4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)

Bupivacaine

Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.

Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino amida. Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupiivacaine kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.

Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivacaine adalah anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut.

Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.

Penyebaran anastetik local tergantung:

1. Factor utama:

a)      Berat jenis anestetik local(barisitas)

b)      Posisi pasien

c)      Dosis dan volume anestetik local

2. Faktor tambahan :

a)      Ketinggian suntikan

b)      Kecepatan suntikan/barbotase

c)      Ukuran jarum

d)     Keadaan fisik pasien

e)      Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik local tergantung:

  1. Jenis anestetia local
  2. Besarnya dosis
  3. Ada tidaknya vasokonstriktor
  4. Besarnya penyebaran anestetik local

2.3 Komplikasi Anastesi Spinal

Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed.

Komplikasi tindakan :

  1. Hipotensi berat: Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.
  2. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa  disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2
  3. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
  4. Trauma pembuluh saraf
  5. Trauma saraf
  6. Mual-muntah
  7. Gangguan pendengaran
  8. Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan:

  1. Nyeri tempat suntikan
  2. Nyeri punggung
  3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
  4. Retensio urine
  5. Meningitis

Komplikasi intraoperatif:

1). Komplikasi kardiovaskular

Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.

Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.

Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.

2). Blok spinal tinggi atau total

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran.  Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.

Komplikasi respirasi

  1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru normal.
  2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
  3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
  4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

Komplikasi postoperative:

1). Komplikasi gastrointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.

2). Nyeri kepala

Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah.

Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 – 48 jam harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin kedalam epidural untuk menghentikan kebocoran.

3). Nyeri punggung

Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obati secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat sahaja.

4). Komplikasi neurologik

Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.  Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam beberapa hari.

Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.

Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.

Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi tetap berlaku.

Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar ke ruang subaraknoid dari akar saraf.  Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak merata dan adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri.  Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.

Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah.

Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh yang demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah tidak benar jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit loka pada area lumbar atau yang menderita selulitis.  Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.

5). Retentio urine / Disfungsi kandung kemih

Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional.  Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

  1. Penatalaksanaan anastesi pada penderita ”BPH (Benigne Prostate Hypertrophy)” yang dilakukan operasi Prostattectomy pada seorang laki-laki berumur 60 tahun menggunakan anastesi Regional dengan teknik anastesi spinal pada lumbal 3 / lumbal 4 dan status fisik ASA II.
  2. Dilakukan premedikasi dengan Metoclopramid 10 mg. Medikasi induksi dengan bupivakain HCl 20 mg. Maintenance dengan inhalasi O2 2,0 liter/menit, pemberian injeksi sedacum (Midazolam 2,5 mg IV) dan Ketorolac 10 mg IV. Durante operasi monitoring tensi dan nadi. Induksi anastesi dilakukan selama ± 10 menit dan bertahan selama operasi yang berlangsung selama 1 jam 10 menit. Durante operasi tidak didapatkan penyulit anastesi maupun pembedahan. Pasca operasi pasien dibawa ke ruang pemulihan untuk dimonitor keadaan umum setelah pasien pulih anastesi pasien dibawa ke bangsal.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia. The Mountsinai Journal of Medicine. Jan-Mar 2002.
  2. Katz J, Aidinis SJ. Complications of Spinal and Epidural Anesthesia. J Bone Joint Surg Am. 2010; 62:1219-1222.
  3. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2009; 107-112.
  4. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Anestesiologi. FKUI, Jakarta. 1989.
  5. Michael B. Dubson. Penuntut Praktis Anestesi. EGC, Jakarta. 1994.
  6. Boulton, Thomas B. Anestesiologi. EGC, Jakarta. 1994.
  7. Departemen Kesehatan RI Dirjen POM. Linformatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Sagung Seto, Jakarta. 2001.
  8. Arif Mansoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. edisi Ketiga Media Aesculapius FKUI, Jakarta. 2000.
  9. Buku ajar Ilmu Bedah / Editor, R Sjamsuhidajat, wim de jong. Edisi 2, Jakarta: EGC. 2004.
  10. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar urologi. Sagung seto, Jakarta. 2007